Enam Masjid Tua Jakarta di awal abad ke 20. |
Artikel ini adalah bagian ke lima dan bagian ahir dari
sequel masjid masjid tua di Jakarta. Pada bagian ini ada enam masjid yang kami
ulas secara singkat. Masing masing masjid tersebut semuanya dibangun di paruh
awal abad ke 20 menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Tak
mengherankan bila sejarah enam masjid berikut ini berkaitan erat dengan
perjuangan kemerdekaan Indonesia.
(21).
Masjid Baitul Mughni (1901) Jakarta Selatan
Sejarah Masjid Baitul Mughni dimulai sejak tahun 1901. Ketika itu Guru Mughni baru
pulang dari tanah Suci, kembali ke Batavia. Ia membeli lahan dan langsung
mendirikan sebuah masjid kecil berukuran 13 x 13 meter yang pada awal
pendiriannya belum memilki nama. Bahan bangunannya terdiri dari batu bata pada
bagian dindingnya, lantainya berubin warna merah dengan beratapkan genteng.
Bentuk masjid itu adalah empat persegi dengan mihrab di depan sebagai tempat
imam memimpin shalat. Meski demikian, jika dibandingkan dengan bangunan yang
ada di wilayah lain saat itu, bangunan masjid ini tergolong bangunan mewah.
Masjid Baitul Mughni menara tingginya kini terselip diantara gedung gedung yang jauh lebih jangkung di sekelilingnya. |
Dengan bertambahnya jumlah jamaah, ukuran Masjid Baitul Mughni pun diperluas, bagian belakangnya ditambah dengan
bahan bangunan dari anyaman bambu. Bagian belakang ini dimanfaatkan sebagai
tempat mengaji dan bermalam bagi murid-murid Guru Mughni yang datang dari
tempat tempat yang jauh. Belum ada menara masjid pada waktu itu. Baru menjelang
Guru Mughni wafat dibuat menara. Setelah itu menyusul renovasi demi renovasi
berikutnya. satu-satunya peninggalan masjid lamanya tersisa pilar masjid bekas
tiang penyangga masjid di sebelah dalam.
Sejak pertama pendiriannya, Masjid Baitul Mughni berfungsi tak hanya sebagai tempat ibadah namun juga
sebagai tempat pendidikan dan penyebaran ilmu-ilmu agama, bahkan saat itu Masjid Baitul Mughni juga sebagai pusat informasi Ru’yatul Hilal (penentuan
awal Ramadhan dan awal Syawal) bagi masyarakat Jakarta Selatan. Ketika itu,
masjid ini melahirkan seorang tokoh ahli ilmu falak yakni K.H. Abdullah
Suhaimi, yang juga menantu Guru Mughni sendiri. Ketika itu bisa dibilang Masjid Baitul Mughni merupakan masjid rujukan bagi masjid-masjid kecil di
sekitarnya. Seperti untuk menentukan waktunya azan, biasanya masjid-masjid
lainnya berpatokan pada masjid ini. Mereka tidak akan azan sebelum mendengar
suara azan dari Masjid Baitul Mughni ini.
Masjid Ar-Raudah di kawasan pekojan, mirip dengan rumah penduduk |
(22). Masjid
Ar-Raudhah Pekojan (1905) Jakarta Barat
Masjid Ar Raudah, Pekojan (1905) adalah salah satu
masjid tua di Jakarta yang berada di Jalan Pekojan II, kelurahan Pekojan,
kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Masjid ini dahulunya merupakan tempat
berkumpulnya anggota Jamiatul Khair (Perkumpulan Kebaikan) yang dibentuk oleh
Ali dan Idrus yang berasal dari keluarga Shahab di masa penjajahan Belanda.
Perkumpulan itu berperan dalam penyebaran agama Islam
pada masa Hindia Belanda. Namun, Belanda mencurigai kumpulan tersebut. Jamiatul
Khair tetap ingin diakui sebagai organisasi dan mengajukan permohonan pada
1903. Baru pada 1905 mereka resmi diakui sebagai organisasi oleh pemerintah
kolonial Belanda.
Ide dasar dari perkumpulan Jamiatul Khair adalah untuk
memunculkan ide para pemuda Islam untuk membentuk organisasi organisasi
kebangsaan lainnya seperti Budi Utomo yang berdiri pada 1908. Sejarah
perkumpulan Jamiatul Khair dan adanya sumber mata air di dalam masjid ini yang
tak pernah kering makin menghiasi sejarah dari Masjid Ar Raudah di
Pekojan II ini.
Masjid Keramat Kampung Bandan atau Masjid Al-Mukarromah |
(23).
Masjid Al-Mukarromah
Kampung Bandan (1917) Jakarta Utara
Masjid Al-MukarromahKampung Bandan adalah salah satu masjid tua di Jakarta yang dibangun
pada abad ke 18. Lokasinya kini berada di Jalan Lodan, Kampung Bandan,
Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Dalam bahasa Arab, nama
masjid ini memiliki arti mulia atau yang dimuliakan. Pertama kali dibangun
sebagai sebuah Mushola di dekat dua makam Ulama Besar Batavia oleh Sayid Abdul
Rachman bin Alwi As Syatiri pada tahun 1879. Beliau wafat tahun 1908 dan putra
beliau Sayid Alwi bin Abdul Rachman bin Alwi As-Syatiri yang kemudian membangun
mushola tersebut sebagai sebuah masjid.
Sejarah Masjid Al-Mukarromah ini
terbilang cukup unik. Habib Abdurrahman bin Alwi Asy-Syahtiri adalah seorang
saudagar yang pada suatu kesempatan sekitar tahun 1874 berkunjung ke kediaman
Habib Abdullah bin Muhsin Al-Attas di Empang, Bogor. Awalnya Habib Abdurrahman
hanya berniat mengadu masalah usaha dagangnya. Tapi, lalu Habib Abdullah
menyuruh beliau menelusuri 2 makam ulama besar di Batavia. Jika ditemukan, Habib
Abdullah berpesan agar Habib Abdurrahman memelihara dan mendirikan tempat
ibadah di dekat makam tersebut.
Dijelaskannya, kedua makam itu adalah para wali Allah.
Semasa hidupnya, mereka berdakwah dan menyebarkan syiar Islam di tengah-tengah
perkampungan para budak dari Banda yang terzalimi ulah jahat penjajah.
"Keduanya terlibat dalam pemberontakan kepada VOC di tahun 1682”. Setelah
melakukan penelusuran ditemukan dua makam berdampingan yang terletak di Kampung
Bandan. Habib Abdullah pun membenarkan bahwa kedua makam itu merupakan dua
ulama yang dicarinya. Habib Abdurrahman mengikuti amanat Habib Abdullah dengan
membeli tanah tempat keberadaan makam tersebut, mendirikan tempat singgah dan
salat untuk peziarah di tahun 1879, dan meneruskan ajaran agama Islam di sana.
Habib Abdurrahman wafat pada 1908, kepengurusan tempat
ibadah yang awalnya hanya berbentuk mushola ini, diteruskan oleh putranya,
Habib Alwi bin Abdurrahman Asy-Syahthiri. Mushola baru berkembang jadi masjid
sejak tahun 1913 dan selesai tahun 1917. Masjid Al-Mukarromah
terletak di atas tanah seluas 95 x 50 m, dibatasi pagar beton dengan jeruji
besi dilengkapi dengan pintu gerbang yang terletak di sisi selatan. Bangunan
utamanya berukuran 15 x 13 m, dengan dua buah pintu masuk. Di dalamnya terdapat
tiang, makam, mihrab, dan mimbar. Bagian selatan, timur, dan barat terdapat
serambi.
Masjid Hidayatullah Setiabudi, ditepian kali krukut yang airnya kita menghitam legam karena polusi |
(24).
Masjid Hidayatullah Setiabudi (1921) Jakarta Selatan
Masjid Hidayatullah Setiabudi ini merupakan salah satu masjid dengan sentuhan budaya Thionghoa di
Indonesia. Pertama kali dibangun pada tahun 1747 di atas lahan wakaf dari
pengusaha Batik bernama Mohamad Yusuf yang tinggal didaerah Karet, lahan seluas
tiga ribu meter persegi untuk masjid tersebut beliau dapat dari seorang Belanda
bernama Safir Hands.
Masjid Hidayatullah sudah tiga kali direnovasi, yaitu tahun 1921, 1948, dan 1996. Namun
renovasi sama sekali tidak mengubah wajah asli masjid. Pada tahun 1991
pengusaha swasta dan pejabat pemerintah pernah akan menggusur peninggalan
sejarah ini, sehingga menimbulkan bentrokan antara warga setempat dengan
aparat. Pengurus masjid dibantu Museum Nasional DKI Jakarta berhasil
mempertahankannya.
Masjid Hidayatullah menjadi saksi bisu perjuangan para pahlawan saat melawan penjajah. Dimasa
penjajahan dulu sering dipakai sebagai tempat mengatur strategi. Dua menara
menjulang tinggi di kanan dan kiri pintu masuk masjid dulunya juga dipakai
untuk mengintai musuh. Melalui masjid inilah pengiriman senjata ke daerah
Karawang dan Cikampek dilakukan.
Bukti lain keterlibatan Masjid Hidayatullah dalam perebutan kemerdekaan adalah ditangkapnya salah seorang pengurus
masjid, yaitu H. Saidi yang sempat dibuang ke Digul, sebelum akhirnya
dikembalikan ke lingkungan tersebut. Pahlawan Betawi ini meninggal tahun
1950-an dan di makamkan di sekitar masjid.
Masjid
Maulana Hasanudin didirikan oleh H Mursan bin Thaifin atau Kiai Kucang
pada tahun 1928 dan baru dinyatakan selesai pada tahun 1933. Pada awalnya,
pembangunan masjid ini mendapat tentangan dari sekelompok ulama lain, karena
pembangunannya dianggap belum perlu mengingat di sekitar lokasi sudah ada Masjid Jami’ Al Atiq, Kampung Melayu.
Namun Kiai Kucang dengan dibantu rekan-rekannya, tetap
bersikeras mendirika masjid baru, mengingat jarak kampung cikoko dengan Masjid Jami’ Al Atiq terbilang cukup jauh. Pada masa itu mushala-mushala di
Jakarta belum sebanyak saat ini, masyarakat Cikoko, kala itu harus jalan kaki
menuju Masjid Jami’ Al Atiq
dengan waktu tempuh yang cukup lama untuk menunaikan sholat berjamaah.
Pada saat didirikan, oleh penduduk diberi nama
"At Taghwan." Baru pada tahun 1967, atas permintaan pemerintah daerah
dilakukan perubahan nama menjadi Masjid Jami Maulana Hasanudin, mengambil nama
sultan pertama Banten. Warga setuju karena memang Kiai Kucang masih murid dari
Sultan Maulana Hasanudin. Masjid
Maulana Hasanudin pada zamannya merupakan salah satu masjid yang
penting. Konon, banyak jemaah haji di zaman Hindia Belanda selalu menyempatkan
diri untuk singgah ke masjid ini seusai pulang dari tanah suci dengan kapal
laut.
Menara Masjid Al-Riyadh Kwitang |
(26).
Masjid Jami’ Al-Riyadh Kwitang (1938) Jakarta Pusat
Masjid Jami’ Al-Riyadh Kwitang didirikan oleh Ali Al Habsyi Sekitar tahun 1356H/1938M. Di tempat
inilah Habib Ali bersama murid-muridnya dan penduduk setempat mendirikan sebuah
majelis taklim di rumah pribadinya. Tempat tersebut lantas ia beri nama Baitul
Makmur. Beberapa tahun berjalan majelis itu dia beri nama Unwanul Falakh.
Sekitar tahun 1950, majelis tersebut resmi diberinama Masjid Al-Riyadh.
Namun masyarakat sekitar lebih mengenalnya dengan nama Masjid Kwitang.
Sedangkan Ali Al Habsyi dikenal masyarakat sebagai Habib Ali Alhabsji seorang
tokoh ulama Betawi yang begitu berpengaruh di zamannya.
Sampai tahun 1960-an, Habib Ali selalu mengajar di Masjid Al-Riyadh ini.
Beiau kemudian membangun Islamic Centre Indonesia di kediamannya, kira-kira 300
meter dari masjid. Masjid Al-Riyadh pada
tahun 1963 pernah diresmikan Bung Karno. Oleh proklamator kemerdekaan Indonesia
ini, masjid itu diberi nama Baitul Ummah atau kekuatan umat. Tapi kemudian
diganti lagi dengan nama semula.
Pada masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia,
selain digunakan untuk syiar agama Islam, Masjid Al-Riyadh dipakai
untuk tempat pertemuan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ini tidak
mengagetkan karena Ali Al Hasyi adalah salah satu penasehat dan orang
kepercayaan Presiden Soekarno. Beliau bagian dari tentara Hisbullah. Suara
Jakarta, pelopornya Beliau. Tanpa persetujuannya rakyat sulit bergerak.***
Selesai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA