Halaman

Minggu, 04 Juni 2017

Masjid Jami Tambora Jakarta Barat

Masjid Jami' Tambora, dengan kanopinya yang menutupi ruas jalan di depan masjid.

Masjid Jami Tambora merupakan salah satu masjid tua dan bersejarah di wilayah DKI Jakarta, tepatnya berada di Kelurahan Tambora, kecamatan Tambora, Kota Administrasi Jakarta Barat. Nama Tambora pada masjid dan daerah ini memang merujuk kepada nama Gunung Tambora di pulau Sumbawa provini Nusa Tenggara Timur, yang merupakan daerah asal dari pendiri masjid ini.

Google menandai jalan itu sebagai Jl Tambora 4, namun papan nama menyebut alamat Masjid Jami Tambora berada di Jl Tambora Masjid No 11. Sebelum bernama Jl Tambora Masjid, jalan itu sebelumnya dikenal sebagai Jl. Blandongan. Masjid ini berdiri ditepian kali Krukut, kini seruas jalan kecil membentang di depannya, membatasi masjid ini dengan kali Krukut. Kini Masjid Jami’ Tambora dikelola oleh Yayasan Masjid Jamik Tambora yang didirikan tahun 1959 dan diketuai oleh Haji Memed.

Masjid Jami' Tambora
Jl. Tambora Masjid (d/h Jl. Blandongan) No. 11
Kelurahan Tambora, Kecamatan Tambora
Jakarta Barat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11220



Masjid Jami’ Tambora dibangun pada tahun 1181 H (1761 M) oleh Kiai Haji Moestoyib, Ki Daeng, dan kawan-kawan. Mereka berasal dari Makasar dan lama tinggal di Sumbawa tepatnya di kaki Gunung Tambora. Pada tahun 1176 H (1756 M) KH. Moestodijb dan Ki Daeng dikirim ke Batavia oleh Kompeni karena menentang dan dihukum kerja paksa selama lima tahun.

Setelah hukuman selesai mereka tidak kembali ke Sumbawa, tetapi menetap di Kampung Angke Duri (sekarang Tambora) dan berkenalan dengan ulama setempat. Kemudian mereka menemukan ide untuk membangun sebuah masjid sebagai tanda syukur. Lokasinya sengaja dibuat di tepi Kali Krukut karena saat itu air kali masih jernih sehingga bisa dipakai untuk berwudlu.

Sumber lain menyebutkan, konon Masjid Tambora ini dibangun oleh H.Moestoyib, bersama seorang kontraktor Tionghoa Muslim yang berasal dari Makasar pada tahun 1761, kedua Muballigh itu ditahan oleh penguasa Belanda selama kurang lebih 5 Tahun dengan tuduhan makar, tetapi tuduhan itu tidak terbukti dan mereka pun dibebaskan, lalu penguasa Belanda memberikan sebidang tanah di luar tembok Batavia yang kemudian dibangun Masjid Tambora.

Serambi dan pintu masuk Masjid Jami Tambora

Sejak masjid selesai dibangun, peribadatan dimasjid ini dipimpin oleh K.H. Moestoyib sampai wafat. Haji Mustoyib dikuburkan di halaman depan masjid ini demikian pula dengan Ki Daeng. Guna kelanjutan kegiatan masjid setelah mereka wafat maka pada tahun 1256 H (1836 M) pimpinan masjid dialihkan kepada Imam Saiddin sampai wafat. Setelah itu masjid telah mengalami beberapa kali pergantian pimpinan. Terakhir pada tahun 1370 H (1950 M) pimpinan dipegang oleh Mad Supi dan kawan-kawannya dari gang Tambora. Masjid ini diperluas dan dipugar menyeluruh pada tahun 1980

Pembangunan masjid ini bersamaan dengan pembangunan Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke yang dibangun oleh Muslim Thionghoa dan setahun setelah pembangunan Masjid Jami’ Annawier, Pekojan (1760) yang dibangun oleh para pedagang muslim India yang bertempat tinggal di Pekojan.

Semasa revolusi kemerdekaan, Masjid Jami Tambora juga digunakan sebagai tempat pertemuan para pemuda untuk menyusun perlawanan terhadap Belanda, sehingga masjid digerebek pada Oktober 1945 oleh NICA dan beberapa orang pemuda pun ditawan, diantaranya adalah Mad Supi dan kawan-kawan.

Interior Masjid Jami Tambora

Masjid Jami Tambora tercatat sebagai benda cagar budaya pada tahun 1994, dan telah mengalarni pemugaran, yaitu tahun 1979 oleh Proyek Sasana Budaya dan tahun 1980 Dinas Museum dan Sejarah Daerah Khusus Ibukota Jakarta merenovasi dan menambah ruangan aula dan tempat sholat untuk kaum wanita (sisi selatan) serta penggantian warna cat dinding, dan tahun 1988/1989 oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

Terkait dengan dua makam bercungkup di halaman masjid Jami’ Tambora ini, ada perbedaan pendapat antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian Pariwisata dengan sejarawan Belanda Adolf Heuken SJ, dalam bukunya yang berjudul Masjid-Masjid Bersejarah di Jakarta, Makam itu adalah Makam Muhammad Djabbarti, seorang guru Agama Islam asal Sudan, Afrika Utara. Namun menurut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian Pariwisata itu adalah Makam H.Moestoyib, Namun Adolf Heuken tidak percaya, kalau itu Makam H.Moestoyib karena tidak ada info yang jelas tentang H.Moestoyib tersebut. 

Arsitektur Masjid Jami Tambora

Denah masjid berbentuk empat persegi panjang dan luas bangunannya 435 m persegi. berdiri di atas tanah yang luasnya 555 m2. Halaman depan masjid diberi ubin. Adapun batas-batasnya adalah sebelah utara dan selatan merupakan perumahan penduduk, sebelah timur sungai Blandongan, dan sebelah barat gedung SD Yayasan Masjid Jamik Pendidikan Islam Tambora serta rumah penduduk.

Bagian depan Masjid Jami Tambora

Sebelum masuk ke dalam ruang utama, di depannya terdapat teras. Di kiri-kanan pintu masuk terdapat tulisan angka berdirinya masjid yaitu 1181 H (kiri) dan 1761 M (kanan). Dua buah pintu lainnya terdapat di kiri menuju ke ruang aula dan di kanan menuju ke tempat wudhu. Pintu pertama berwarna merah pada Masjid Tambora ini bergaya khas Tionghoa. Sedangkan di dalam ruangan utama masjid terdiri atas tiang-tiang, mihrab, dan mimbar.

Tiang yang terdapat dalam ruang utama ada empat buah dan merupakan tiang utama (saka guru) bergaya arab, menggambarkan perjuangan Rosulullah SAW dan para sahabatnya. Pada bagian barat dari ruang utama terdapat semacam relung yang dinamakan mihrab. Bentuk atas mihrab menyerupai bentuk kubah, diatasnya terdapat tulisan angka Arab di kanan dan kiri yaitu angka 11 dan 81. Di utara (kanan) mihrab terdapat mimbar.

Pada bagian selatan masjid terdapat bangunan: aula, berdenah empat persegi berukuran 10 x 10 m, ruang sekretariat remaja masjid, ruang koperasi, dan ruang marbot. Bangunan yang terdapat di utara adalah: ruang sekretariat yayasan, dan tempat wudhu. Sedangkan bangunan yang terdapat di utara adalah ruang sekretariat yayasan dan tempat wudhu.

Ruang utama berukuran 16 x 10 m, di depannya terdapat teras yang pondasinya 20 cm di atas permukaan halaman masjid. Terdapat tiga pintu dengan satu pintu utama berukuran 2,40 x 1,30 m dan tebalnya 20 cm. Atap Masjid Jamik Tambora merupakan atap tumpang dua berbentuk limasan dari genteng. Pada puncak atap terdapat mustaka berbentuk nanas.

Papan nama dan cungkup makam di bagian belakangnya

Di halaman depan masjid di sudut tenggara terdapat bangunan makam bercungkup, yang merupakan makam pendiri masjid yaitu KH. Moestoyib dan Ki Daeng yang wafat tahun 1836. Makam terdiri atas jirat dan nisan. Jirat berbentuk empat persegi panjang tanpa hiasan dari semen biasa. Bagian tengahnya terdapat tanah tempat meletakkan tiang nisan.

Bangunan tempat melindungi makam (cungkup) merupakan bangunan empat persegi dengan atap yang disangga oleh empat tiang. Ada juga keramik keramik Cina yang menempel pada pilar cungkup makam, tak jelas kaitan antara keramik keramik china tersebut dengan sejarah masjid ini. Meskipun masjid ini dibangun sejaman dengan Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke yang dibangun oleh Muslim Thionghoa, namun belum jelas keterkaitan antara kedua bangunan masjid ini.

Menurut kisah tutur di halaman masjid ini dulunya terdapat sebuah bak penampung air berukuran besar untuk berwudhu. Di halaman masjid ini juga dulunya banyak terdapat kuburan kubura tua namun kemudian dibongkar dimasa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, menyisakan dua kuburan yang kini berada di dalam cungkup di halaman masjid.

Halaman masjid dipasang kanopi permanen hingga menutupi jalan yang membentang didepannya. Mungkin menjadi sebuah indikasi bahwa jalan akan ditutup ketika sholat Jumat dan sholat hari raya lebaran serta hari raya kurban. Sekedar informasi tambahan untuk pelaksanaan sholat tarawih di masjid Jami Tamboar sebanyak 11 Rakaat.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA