Masjid Jami' Tambora, dengan kanopinya yang menutupi ruas jalan di depan masjid. |
Masjid Jami Tambora merupakan salah satu masjid
tua dan bersejarah di wilayah DKI Jakarta, tepatnya berada di Kelurahan
Tambora, kecamatan Tambora, Kota Administrasi Jakarta Barat. Nama Tambora pada
masjid dan daerah ini memang merujuk kepada nama Gunung Tambora di pulau
Sumbawa provini Nusa Tenggara Timur, yang merupakan daerah asal dari pendiri
masjid ini.
Google menandai jalan itu sebagai
Jl Tambora 4, namun papan nama menyebut alamat Masjid Jami Tambora berada di Jl
Tambora Masjid No 11. Sebelum bernama Jl Tambora Masjid, jalan itu sebelumnya
dikenal sebagai Jl. Blandongan.
Masjid ini berdiri ditepian kali Krukut, kini seruas jalan kecil membentang di
depannya, membatasi masjid ini dengan kali Krukut. Kini Masjid Jami’ Tambora
dikelola oleh Yayasan Masjid Jamik Tambora yang didirikan tahun 1959 dan diketuai oleh
Haji Memed.
Masjid Jami' Tambora
Jl. Tambora Masjid (d/h Jl. Blandongan) No. 11
Kelurahan
Tambora, Kecamatan Tambora
Jakarta Barat,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 11220
Masjid Jami’ Tambora
dibangun pada tahun 1181 H
(1761 M) oleh Kiai Haji Moestoyib, Ki Daeng, dan kawan-kawan. Mereka berasal
dari Makasar dan lama tinggal
di Sumbawa tepatnya di kaki Gunung Tambora. Pada tahun 1176 H (1756 M)
KH. Moestodijb dan Ki Daeng dikirim ke Batavia oleh Kompeni karena menentang
dan dihukum kerja paksa selama lima tahun.
Setelah hukuman selesai mereka
tidak kembali ke Sumbawa, tetapi menetap di Kampung Angke Duri (sekarang
Tambora) dan berkenalan dengan ulama setempat. Kemudian mereka menemukan ide
untuk membangun sebuah masjid sebagai tanda syukur. Lokasinya
sengaja dibuat di tepi Kali Krukut karena saat itu air kali masih jernih
sehingga bisa dipakai untuk berwudlu.
Sumber lain menyebutkan, konon Masjid
Tambora ini dibangun oleh H.Moestoyib, bersama seorang kontraktor Tionghoa
Muslim yang berasal dari Makasar pada tahun 1761, kedua Muballigh itu ditahan
oleh penguasa Belanda selama kurang lebih 5 Tahun dengan tuduhan makar, tetapi
tuduhan itu tidak terbukti dan mereka pun dibebaskan, lalu penguasa Belanda
memberikan sebidang tanah di luar tembok Batavia yang kemudian dibangun Masjid
Tambora.
Serambi dan pintu masuk Masjid Jami Tambora |
Sejak masjid selesai dibangun, peribadatan dimasjid ini dipimpin oleh K.H. Moestoyib sampai wafat.
Haji Mustoyib dikuburkan di halaman depan masjid ini demikian pula
dengan Ki Daeng. Guna
kelanjutan kegiatan masjid setelah mereka wafat maka pada tahun 1256 H (1836 M)
pimpinan masjid dialihkan kepada Imam Saiddin sampai wafat. Setelah itu masjid
telah mengalami beberapa kali pergantian pimpinan. Terakhir pada tahun 1370 H
(1950 M) pimpinan dipegang oleh Mad Supi dan kawan-kawannya dari gang Tambora. Masjid
ini diperluas dan dipugar menyeluruh pada tahun 1980
Pembangunan masjid
ini bersamaan dengan pembangunan Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke yang dibangun oleh Muslim Thionghoa dan setahun setelah pembangunan Masjid Jami’ Annawier, Pekojan (1760) yang dibangun oleh para pedagang muslim
India yang bertempat tinggal di Pekojan.
Semasa revolusi kemerdekaan,
Masjid Jami Tambora juga digunakan sebagai tempat pertemuan para pemuda untuk
menyusun perlawanan terhadap Belanda, sehingga masjid digerebek pada Oktober
1945 oleh NICA dan beberapa orang pemuda pun ditawan, diantaranya adalah Mad Supi dan kawan-kawan.
Interior Masjid Jami Tambora |
Masjid Jami Tambora tercatat sebagai benda cagar budaya pada tahun 1994,
dan telah mengalarni pemugaran, yaitu tahun 1979 oleh Proyek Sasana Budaya dan
tahun 1980 Dinas Museum dan Sejarah Daerah Khusus Ibukota Jakarta merenovasi
dan menambah ruangan aula dan tempat sholat untuk kaum wanita (sisi selatan)
serta penggantian warna cat dinding, dan tahun 1988/1989 oleh Pemerintah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta.
Terkait dengan dua
makam bercungkup di halaman masjid Jami’ Tambora ini, ada perbedaan pendapat
antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian Pariwisata dengan sejarawan Belanda Adolf
Heuken SJ, dalam bukunya yang berjudul Masjid-Masjid Bersejarah di Jakarta,
Makam itu adalah Makam Muhammad Djabbarti, seorang guru Agama Islam asal Sudan,
Afrika Utara. Namun menurut Pemerintah
Provinsi DKI Jakarta dan Kementerian Pariwisata itu adalah Makam H.Moestoyib,
Namun Adolf Heuken tidak percaya, kalau itu Makam H.Moestoyib karena tidak ada
info yang jelas tentang H.Moestoyib tersebut.
Arsitektur Masjid Jami Tambora
Denah masjid berbentuk empat
persegi panjang dan luas bangunannya 435 m persegi. berdiri di atas tanah yang
luasnya 555 m2. Halaman
depan masjid diberi ubin. Adapun batas-batasnya adalah sebelah utara dan
selatan merupakan perumahan penduduk, sebelah timur sungai Blandongan, dan
sebelah barat gedung SD Yayasan Masjid Jamik Pendidikan Islam Tambora serta
rumah penduduk.
Bagian depan Masjid Jami Tambora |
Sebelum masuk ke dalam ruang
utama, di depannya terdapat teras. Di kiri-kanan pintu masuk terdapat tulisan
angka berdirinya masjid yaitu 1181 H (kiri) dan 1761 M (kanan). Dua buah pintu
lainnya terdapat di kiri menuju ke ruang aula dan di kanan menuju ke tempat
wudhu. Pintu pertama
berwarna merah pada Masjid Tambora ini bergaya khas Tionghoa. Sedangkan di dalam ruangan utama masjid terdiri atas
tiang-tiang, mihrab, dan mimbar.
Tiang yang terdapat dalam ruang
utama ada empat buah dan merupakan tiang utama (saka guru) bergaya arab, menggambarkan perjuangan
Rosulullah SAW dan para sahabatnya. Pada bagian barat dari ruang utama terdapat
semacam relung yang dinamakan mihrab. Bentuk atas mihrab menyerupai bentuk
kubah, diatasnya terdapat tulisan angka Arab di kanan dan kiri yaitu angka 11
dan 81. Di utara (kanan) mihrab terdapat mimbar.
Pada bagian selatan masjid
terdapat bangunan: aula, berdenah empat persegi berukuran 10 x 10 m, ruang
sekretariat remaja masjid, ruang koperasi, dan ruang marbot. Bangunan yang
terdapat di utara adalah: ruang sekretariat yayasan, dan tempat wudhu. Sedangkan
bangunan yang terdapat di utara adalah ruang sekretariat yayasan dan tempat
wudhu.
Ruang utama berukuran 16 x 10 m,
di depannya terdapat teras yang pondasinya 20 cm di atas permukaan halaman
masjid. Terdapat tiga pintu dengan satu pintu utama berukuran 2,40 x 1,30 m dan
tebalnya 20 cm. Atap Masjid Jamik Tambora merupakan atap tumpang dua berbentuk
limasan dari genteng. Pada puncak atap terdapat mustaka berbentuk nanas.
Papan nama dan cungkup makam di bagian belakangnya |
Di halaman depan masjid di sudut
tenggara terdapat bangunan makam bercungkup, yang merupakan makam pendiri
masjid yaitu KH. Moestoyib dan Ki Daeng yang wafat tahun 1836. Makam terdiri atas jirat dan nisan.
Jirat berbentuk empat persegi panjang tanpa hiasan dari semen biasa. Bagian tengahnya terdapat tanah tempat
meletakkan tiang nisan.
Bangunan tempat melindungi makam
(cungkup) merupakan bangunan empat persegi dengan atap yang disangga oleh empat
tiang. Ada juga keramik
keramik Cina yang
menempel pada pilar cungkup makam,
tak jelas kaitan antara keramik keramik china tersebut dengan sejarah masjid
ini. Meskipun masjid ini dibangun sejaman dengan Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke yang dibangun oleh Muslim Thionghoa, namun belum jelas keterkaitan antara
kedua bangunan masjid ini.
Menurut kisah tutur di halaman masjid ini
dulunya terdapat sebuah bak penampung air berukuran besar untuk berwudhu. Di
halaman masjid ini juga dulunya banyak terdapat kuburan kubura tua namun
kemudian dibongkar dimasa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, menyisakan dua
kuburan yang kini berada di dalam cungkup di halaman masjid.
Halaman masjid dipasang kanopi permanen hingga menutupi jalan
yang membentang didepannya. Mungkin menjadi sebuah indikasi bahwa jalan
akan ditutup ketika sholat Jumat dan sholat hari raya lebaran serta hari raya
kurban. Sekedar informasi
tambahan untuk pelaksanaan sholat tarawih di masjid Jami Tamboar
sebanyak 11 Rakaat.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA