TERTUA, Masjid Al-Alam Cilincing merupakan satu dari dua masjid tertua di jakarta bersama dengan Masjid Al-Alam Marunda. |
Masjid ini mungkin tidak setenar
"kembaranya" Masjid Al Alam Marunda yang lebih dikenal dengan nama
masjid si pitung, namun masjid yang juga didirikan oleh fatahillah saat akan
merebut sunda kelapa dari Portugis
ini sangat besar nilainya bagi sejarah jakarta dan indonesia. Kini masjid ini sehari hari dikelola oleh “Yayasan Masjid Al-Alam Cilincing Jakarta
Utara”.
Berdasarkan versi sejarah Dinas
purbakala DKI Jakarta, masjid
ini dibangun pada 22 Juni 1527, persis sama dengan HUT kota Jakarta.
Menjadikannya sebagai masjid
tertua yang ada di jakarta bersama
dengan masjid Al-Alam Marunda yang dibangun ditahun dan oleh orang yang sama.
Letaknya berada di jalan rekreasi cilincing Jakarta utara, tepatnya di sebelah
pasar ikan cilincing atau 18 Km dari pusat kota jakarta.
Masjid Al Alam
Cilincing Jakarta
JL Cilincing, RT. 005/04, RT.3/RW.4, Cilincing
Kota Jkt Utara, Daerah Khusus Ibukota Jakarta
17131
Indonesia
Untuk menyelamatkan tempat
bersejarah ini, pada
1972 dilakukan pemugaran masjid oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, saat
masih dipimpin Gubernur Ali Sadikin, dan bangunan ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Pada saat itu dilakukan penggantian dinding
bata setinggi 1 meter, namun tetap mempertahankan keaslian bagian atasnya yang
terbuat dari dinding bambu. Sedangkan di sisi Selatan dan Barat dibuat pelataran
parkir. Pada 1989 dilakukan perluasan serambi Timur dan Utara, serta membuat
tempat wudhu dan WC.
Masjid Al Alam Cilincing memiliki lima pintu masuk, masing masing dua pintu di utara
dan selatan serta satu pintu di sisi timur. Serambi berada di sisi
Selatan, Timur, dan Utara dengan lantai keramik berwarna merah hati. Pada
serambi sisi timur terdapat kentongan kayu dan bedug yang ditopang empat kayu
penyangga. Serambi terbuka di sisi Utara ditopang oleh 11 tiang.
Masjid Al-Alam Cilincing dimalam hari |
Ruang utama Masjid Al Alam
Cilincing berukuran 10 x 10 m, dengan empat soko guru dari kayu jati, Dilengkapi dengan mihrab yang menjorok ke luar bangunan
menyerupai sebuah relung dengan dinding dari keramik putih yang
berhiaskan kaligrafi bertuliskan dua kalimat syahadat, Sebuah mimbar berada di relung yang lebih kecil yang
juga terbuat dari keramik warna putih.
Atapnya yang berbentuk limas dan
tidak memiliki langit-langit tetapi langsung ditutupi dengan papan berplitur
coklat. Dindingnya juga setengah tembok dan setengah kayu. Bagian luarnya ditutup genteng
berbentuk limas tumpang dua dengan puncak memolo berbentuk mahkota raja.
Dan di salah satu sisi masjid
terletak sebuah kayu berukir yang bertuliskan “Wasiat Sunan Gunung Jati” . Di
bawahnya tertulis dalam aksara hanacaraka dan Latin “Ingsun Titip Tajug lan
Fakir Miskin” dengan terjemahan dalam Bahasa Indonesia “Aku Tititpkan Masjid
dan Fakir Miskin”.
Interior Masjid Al-Alam Cilincing |
Arsitektur masjid merupakan gaya asli masjid masjid Nusantara.
Tiang, soko guru, pintu, dan kayu-kayu induk kabarnya masih asli. Empat soko
guru melambangkan iman, Islam, ilmu, amal. Sedangkan jendela yang berjumlah 8,
melambangkan jumlah surga.
Di bagian luar di sisi timur laut
terdapat sebuah ruangan yang dipergunakan untuk kantor Sekretariat Ikatan
Remaja Masjid. Di samping ruangan ini terdapat tempat wudhu dan kamar kecil,
berupa bangunan baru. Pada dinding bagian luarnya terdapat tujuh buah kran air.
Di bagian belakang masjid juga
terlihat deretan kuburan yang sebagian konon sudah berusia puluhan bahkan
ratusan tahun.
Sebuah bangunan pendopo ditambahkan di sisi
timur bangunan asli. Lantai pendopo berlapiskan keramik warna coklat
dengan tiang tiang berukir dan dicat warna emas. Atapnya berbentuk limas
bersusun dua dan kalau diperhatikan mirip dengan atap bangunan utama masjid.
Bangunan masjid yang asli agak sulit dilihat secarah utuh karena sudah
ditutupi oleh pendopo tambahan ini
yang lebih tinggi.
Beda ketinggian permukaan lantai
antara pendopo dan bangunan utama ini menyebabkan Jemaah harus menuruni beberapa anak tangga menuju
bangunan utama yang sekan-akan tenggelam karena lantainya lebih rendah sekitar
satu meter. Karena masjid ini dibangun di kawasan rawa di dekat laut, maka
air rob selalu membuat masjid ini rentan banjir, itu sebabnya bangunan pendopo yang dibangun
belakangan dibangun lebih tinggi.
Di Masjid Al-Alam Cilincing ini terdapat sebuah
sumur tua yang terletak di samping masjid. Banyak orang menyakini air
sumur tersebut memiliki khasiat untuk menyembuhkan berbagai penyakit. meski
berukuran kecil, masjid ini juga selalu didatangi oleh banyak orang dari
berbagai daerah untuk beribadah.
Pada saat shalat jumat karena terlalu
banyaknya jumlah jamaah, beberapa jamaah bahkan ada yang melakukan ibadah
shalat jumat hingga ke samping tempat wudhu dan toilet. Sedangkan pada
jumat malam, banyak orang yang datang ke masjid ini untuk melakukan istiqosah
bersama. Di bulan suci
Romadhan Jemaah masjid ini akan lebih ramai lagi, pelaksanaan sholat Tarawih di
masjid ini dilaksanakan 20 rekaat ditambah 3 witir 3 rekaat.
Interior area Pendopo di Masjid Al-Alam Cilincing, dibagian depan merupakan bangunan lama. |
Sunda Kelapa, Fatahillah & Sunan Gunung
Jati
Sama halnya dengan Masjid Al-Alam Marunda,
pembangunan masjid ini dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan tempat ibadah bagi
anggota pasukan gabungan Kesultanan Demak & Kesultanan Cirebon dibawah
pimpinan Fatahillah selama penyerbuan ke Sunda Kelapa yang dikuasai Portugis.
Sebelum bertolak ke Sunda Kelapa, sesuai
perintah Sultan Demak, Fatahillah singgah ke Cirebon untuk menggabungkan
pasukannya dengan Pasukan Kesultanan Cirebon, baru kemudian bertolak ke Sunda
Kelapa setelah mendapat arahan dari Sunan Gunung Jati. Gabungan pasukan dua
kesultanan ini kemudian juga mendapatkan dukungan dari Banten.
Meski demikian, cerita turun temurun mengaitkan
sejarah Masjid ini dengan para Wali Songo terutama Sunan Gunung Jati alias Syarif
Hidayatullah yang kala itu memang sedang memegang kekuasaan sebagai Sultan di
Kesultanan Cirebon. Terlebih lagi sebagian dari masyarakat kita terlanjur
mengidentikkan Sunan Gunung Jati dan Fatahillah sebagai sosok atau orang yang
sama. Meskipun faktanya beliau berdua adalah dua sosok yang berbeda.
Itu sebabnya kemudian terdapat tulisan wasiat
Sunan Gunung Jati di Masjid ini. Wasiat yang sama juga akan anda temukan pada
saat berkunjung ke Makam Syech Quro di Pulo Bata di Kabupaten Karawang,
meskipun tidak ada keterkaitan antara Syech Quro dengan Sunan Gunung Jati
karena diantara dua tokoh ini hidup di masa yang berbeda.
Namun demikian, wasiat tersebut merupakan
wasiat yang baik dari sorang Wali dan tentu saja sangat pantas ditempatkan di
tempat yang ramai dikunjungi masyarakat luas sebagai pengingat dan nasihat.
Sunan Gunung Jati dan Fatahillah sama sama wafat dan dimakamkan di Cirebon.
Makam mereka berdua berada di titik tertinggi
Astana Gunung Jati di Gunung Sembung kota Cirebon. Namun dengan berbagai
pertimbangan, hanya anggota keluarga keraton saja yang diperkenankan masuk ke
komplek makam tersebut, sedangkan masyarakat umum disediakan tempat di luar
tembok pemakaman.***
subhanalloh
BalasHapus