Masjid Al-Markaz Burundi, berdiri megah di kawasan Nyakabiga, kota Bujumbura, Ibukota Negara Burundi. |
Negara satu ini
mungkin jarang terdengar di telinga orang Indonesia. Burundi adalah sebuah
Negara kecil yang berada di tengah tengah daratan benua Afrika tanpa akses ke
laut. Negara ini berbatasan dengan
Rwanda di utara, Tanzania di selatan dan timur, serta Republik Demokratik Kongo
di barat. Meskipun negara ini tidak mempunyai batas laut, perbatasan di sebelah
barat-nya hampir separuh berada di Danau Tanganyika yang menjulur dari utara ke
selatan di perbatasan antara Burundi dengan Kongo, juga menjadi batas alami
antara Tanzania dengan Konggo dan Malawi.
Burundi
merupakan salah satu Negara termiskin di dunia dengan pendapatan perkapitanya
sekitar 400 kali lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia. Kondisi
geografisnya yang tanpa akses ke laut, penduduknya yang padat di wilayah yang
sempit ditambah lagi dengan sumber alamnya yang terbatas, diperburuk dengan
kondisi negaranya yang tak pernah sepi dari konflik yang berkepanjangan. Burundi menjadi salah satu Negara di dunia
yang paling banyak konflik terutama perseteruan antara Etnis Tutsi yang
minoritas namun berkuasa di elit politik terhadap Etnis Hutu yang mayoritas dalam
jumlah namun terpinggir.
Luas wilayahnya
27.834 km2, sedikit lebih kecil dibandingkan dengan luas provinsi
Maluku Utara (31.982,5 km2) dengan perkiraan populasi 10.216.190
jiwa. Meski berada di wilayah Afrika Timur, posisinya di Benua Afrika
membuatnya kerap dianggap sebagai bagian dari Afrika Tengah. Burundi merupakan
sebuah kerajaan merdeka sejak abad ke-16. Hingga jatuhnya kerajaan pada tahun
1966. Pada tahun 1903, Burundi menjadi jajahan Jerman dan diserahkan kepada Belgia
pada Perang Dunia II. Ia kemudian menjadi bagian dari mandat Liga Bangsa-Bangsa
Belgia, Ruanda-Urundi pada tahun 1923, dan kemudian Wilayah Kepercayaan PBB di
bawah otoritas Belgia setelah Perang Dunia II dan Merdeka dari kolonialisasi
Belgia pada 1 Juli 1962.
Namun sejak
kemerdekaannya hingga tahun pemilu pada tahun 1993, Burundi dikuasai
serangkaian diktator militer, seluruhnya dari kelompok minoritas Tutsi. Periode
tersebut dipenuhi kerusuhan etnis termasuk peristiwa peristiwa besar pada tahun
1964, 1972 dan akhir 1980-an. Pada tahun 1993, Burundi mengadakan pemilu
demokratis pertamanya, yang dimenangi Front untuk Demokrasi di Burundi
(FRODEBU) yang didominasi suku Hutu. Pemimpin FRODEBU Melchior Ndadaye menjadi
presiden Burundi pertama yang berasal dari suku Hutu, namun beberapa bulan
kemudian dia dibunuh sekelompok tentara suku Tutsi yang kemudian mengakibatkan pecahnya
perang saudara antara kedua suku ini.
Perang saudara
antar suku Hutu dan Tustsi terus berlanjut hingga tahun 1996, saat mantan presiden
Pierre Buyoya mengambil alih kekuasaan dalam suatu kudeta. Antara tahun 1993
dan 1999, perang antar suku Tutsi dan Hutu telah merenggut 250.000 korban jiwa.
Pada Agustus 2000, persetujuan damai ditandatangani dilanjutkan kemudian pada
tahun 2003, gencatan senjata disetujui antara pemerintah Buyoya dan kelompok
pemberontak Hutu terbesar, CNDD-FDD. Meski telah ada persetujuan damai, hingga
kini konflik masih berlanjut. Dalam pemilu yang diadakan bulan Juli 2005,
mantan pemberontak Hutu, CNDD-FDD berhasil memenangkan pemilu.
Islam di Burundi
Islam merupakan
agama minoritas di Burundi. Merujuk
kepada data kementerian luar negeri Amerika Serikat tahun 2010, diperkirakan
sekitar 2-5% penduduk Burundi beragama Islam. Menurut data pada Pew Research
Center, pada 2009 jumlah Muslim di Burundi sekitar 180 ribu jiwa atau dua
persen dari total populasi. Namun, berdasarkan data The World Factbook dalam
situs CIA yang diperbarui setiap pekan, populasi Muslim di Burundi mencapai 10
persen dari total penduduk. Agama mayoritas di negara itu adalah Kristen yang
mencapai 67 persen. Sisanya adalah agama
pribumi, yang dipeluk oleh 23 persen penduduknya.
Muslim Burundi
berasal dari suku dan bangsa yang beragam. Selain penduduk asli Burundi (Hutu
dan Tutsi, konon telah berada di Burundi sejak abad 15), Muslim Burundi juga
berasal dari Rwanda. Selain itu, ada pula Warabu (sebutan bagi pedagang Arab
dan Oman yang telah tinggal di Burundi), serta Bahindi (orang-orang India dan
Pakistan yang juga telah lama bermukim di Burundi).
Masjid dan Islamic Center Bujumbura |
Selain mereka,
orang-orang Afrika Barat juga memasuki Burundi dalam beberapa dekade terakhir.
Mereka adalah para pedagang dari Mali, Senegal, dan Pantai Gading yang datang
untuk mengimpor pakaian dan kain atau bertransaksi emas yang ditambang dari
Kongo. Banyak dari mereka kemudian meninggalkan Burundi saat konflik pecah pada
1993. Sisanya tetap tinggal dan membuka toko-toko kecil di pasar pusat atau di
Bwiza.
Satu hal yang
menarik dari muslim pribumi Burundi, meskipun mereka berasal dari dua suku yang
dalam sejarahnya tak pernah akur, namun setelah memeluk Islam mereka hidup
bersaudara dan tak lagi terlibat dalam pertikaian antar etnis yang begitu keras
sejak Negara tersebut merdeka. Muslim Burundi memainkan peran teramat penting
dalam proses rekonsiliasi kedua belak pihak yang berteru di negara tersebut di
era 1990-an.
Libur Nasional
Konstitusi
Burundi menganut sistem Sekuler, namun demikian beberapa peringatan hari hari
besar Islam ditetapkan sebagai hari libur Nasional, yakni perayaan Hari Raya
Idul Fitri dan Idul Adha. Sejak Idul Fitri 1426 H bertepatan dengan 2005, hari
raya umat Islam itu untuk pertama kalinya ditetapkan sebagai hari libur
nasional Burundi. Dan meskipun secara jumlah, muslim Burundi terbilang sedikit
namun eksistensi mereka cukup terwakili hingga posisi pejabat senior di kancah
politik dan kemasayarakatan, terutama sejak berahirnya perang Sipil disana
tokoh tokoh Islam di Burundi memutuskan untuk terjun ke kancah politik.
Sejarah Islam di Burundi
Islam pertama
kali masuk ke Burundi dari kawasan pantai Afrika Timur semasa perdagangan budak
yang terjadi di awal abad ke 19. Perlawanan oleh kerajaan Burundi dipimpin oleh
mwami (Raja) Mwezi IV Gisabo, berhasil
menangkal pendudukan kerajaan Burundi oleh bangsa Arab, namun demikian Bangsa
Arab berhasil menguasai kawasan di Ujiji dan Uvira berdekatan dengan perbatasan
Negara Burundi saat ini.
Masjid Bujumbura di selembar kartu pos |
Islam mula-mula
diperkenalkan oleh para pedagang Arab dan Swahili yang tiba di Burundi sejak
awal abad 19, melalui Samudera Hindia melewati Ujiji (sekarang wilayah di
Tanzania) untuk mencari gading dan juga budak. Sekitar tahun 1850, mereka
membuat koloni di Uvira. Ujiji dan Uvira kemudian menjadi titik pertemuan para
kafilah dan para pedagang (orang-orang Arab dan Afrika). Dari sana, mereka lalu
mulai bertukar produk atau barang dagangan dengan Nyanza dan Rumonge, dua kota
tepi danau di Burundi.
Sedikit demi
sedikit, Islam mulai masuk ke Burundi. Tahun 1885, gubernur Ujiji, Mohammed bin
Khalfan memutuskan untuk memperluas kekuasaannya ke selatan dengan tujuan
memperoleh lebih banyak gading dan budak belian. Bin Khalfan merupakan bagian
dari Barwani, sebuah keluarga Oman yang masyhur dan telah bermukim di Afrika
Timur.
Ia berkali-kali
mengirim serangan ke wilayah tepian danau di Burundi. Namun pertahanan Raja
Mwami Mwezi IV Gisabo Bikata-Bijoga (raja Burundi yang berkuasa pada 1852-1908)
berhasil menahan serangan-serangan tersebut sehingga Bin Khalfan gagal
menguasai Burundi.
Pada 1890,
rombongan misionaris pertama tiba di daerah yang sekarang menjadi Kota Burundi.
Di sana, mereka menemukan Wangwana, nama yang diberikan pada Muslim Afrika di
Afrika Tengah. Dengan kata lain, Muslim telah tiba lebih dahulu daripada
Kristen. Saat Perang Dunia I pecah pada 1914, mayoritas populasi Bujumbura
merupakan pemeluk Islam.
Selanjutnya,
Islam di Bujumbura meningkat dengan kolonisasi yang dilakukan oleh Jerman yang
sebagian tentara kolonialnya beragama Islam. Pada waktu yang sama, para
pedagang India dan Arab berduyun-duyun memasuki Bujumbura demi meraup
keuntungan berdagang yang lebih besar dari kota yang sedang berkembang
tersebut.
Kala itu, Jerman
memasukkan orang-orang Swahili dan Banyamwezi dalam satuan polisi dan
administrasi, dan Kiswahili menjadi bahasa resmi Jerman Afrika Timur (nama
untuk wilayah kolonial Jerman di Afrika Timur).
Pada masa
kolonisasi Belgia yang dimulai pada 1919, penduduk Burundi mulai tinggal di
Bujumbura. Namun hingga 1957, orang-orang Burundi tidak lebih dari 27 persen
dari total penduduk Bujumbura. Selain mereka, terdapat lebih dari 80 suku yang
berbicara dalam 34 bahasa berbeda. Saat itu, Muslim berjumlah 35,6 persen dari
seluruh populasi yang beragam itu.
Pada saat ini
komunitas muslim Burundi terpusat di kawasan perkotaan terutama di ibukota negara,
Kota Bujumbura, khususnya di distrik Buyenzi dan Bwiza, Gitega, Rumonge,
Nyanza, Muyinga dan Makamba. Di kota Bujumbura telah berdiri masjid utama
Burundi dan Islamic Cultural Center yang dibangun pemerintah Libia di masa kepresidenan
Bagaza (1976-1987). Sebagian besar muslim Burundi merupakan muslim Suni, hanya
sebagian kecil saja yang menganut faham syi’ah.
Salah satu masjid di Bujumbura |
Muslim Burundi
rata rata menggunakan bahasa Swahili dalam kehidupan sehari hari, yang
merupakan salah satu bahasa Nasional Burundi, Jarang ditemukan Muslim Burundi
yang tidak bisa berbicara bahasa ini, karena itu, istilah "Swahili"
sering digunakan untuk menyebut Muslim di Burundi. Meskipun mereka juga
menggunakan bahasa resmi nasional lainnya termasuk bahasa Kirundi yang
merupakan bahasa resmi Burundi.
Berhaji
Di tengah
berbagai keterbatasan itu, umat Islam Burundi masih berupaya untuk menunaikan
ibadah haji ke Tanah Suci. Musim Haji 1432 H / 2012M, ada 44 Muslim dari Burundi
yang berkesempatan menunaikan Ibadah Haji. Bandingkan dengan Jemaah haji
Indonesia yang mencapai 220 ribu Jemaah. Para jamaah haji dari Burundi itu
mengaku sangat bahagia bisa menunaikan rukun Islam yang kelima. Betapa tidak.
Untuk bisa melakukan perjalanan yang menghabiskan biaya 2.950 dolar AS atau
26,5 juta itu mereka harus menunggu cukup lama.
Masalah Pendidikan
Sayangnya, kaum
Muslim di Burundi tidak memiliki dukungan yang signifikan dari dunia Islam di
bidang pendidikan. Karena itu, keberadaan sekolah Islam di sana teramat
sedikit. Itupun dengan kondisi yang serba terbatas, seperti bangunan sekolah
yang setengah jadi atau dibangun sekadarnya, serta jumlah buku ajar dan Alquran
yang terbatas.
Di Burundi, doa
dan bacaan shalat dilafalkan dalam bahasa Arab sebagaimana pembacaan Alquran,
meski banyak pula Muslim yang membaca Alquran terjemahan dengan bahasa
Kiswahili. Pada akhir abad 20, Alquran
juga diterjemahkan ke dalam bahasa Kirundi. Alquran berbahasa Kirundi itu juga
dipublikasikan di Kenya atas dana dari Arab Saudi.
Tokoh Tokoh Muslim Burundi
Beberapa tokoh
muslim Burundi yang menduduki posisi penting di negara tersebut diantaranya
adalah (mendiang) Zedi Feruzi yang merupakan tokoh muslim sangat berpengaruh di
Burundi, beliau merupakan pemimpin partai oposisi Burundi, Union for Peace and
Development. Zedi Feruzi terbunuh bersama para pengawalnya oleh sekelompok
bersenjata pada 23 Mei 2015. insiden tersebut mengakibatkan panasnya suhu
politik di negara tersebut.
TOKOH MUSLIM BURUNDI : atas : (mendiang) Zedi Feruzi, Kanan bawah : Leontine Nzeyimana, dan Kiri bawah : (mendiang) Hafsa Mossi. |
Insiden pembunuhan
tersebut terjadi di tengah pergolakan politik yang dipicu oleh protes yang
sedang berlangsung terhadap keputusan kontroversial Presiden Pierre Nkurunziza berupaya
kembali berkuasa sebagai presiden untuk ketiga kalinya.
Nama (mendiang)
Zedi Feruzi mencuat kepermukaan di kancah perpolitikan Burundi terutama setelah
pemecatan tokoh Islam lainnya, Hussein Radjabu di tahun 2007, dari partai
CNDD-FDD yang berkuasa dibawah presiden Nkurunziza dari suku Hutu. padahal
Hussein Radjabu sendiri merupakan salah satu pendiri partai tersebut.
Sosok tokoh
muslim Burundi lainnya adalah Sheikh Mohammed Rukara, anggota parlemen negara
tersebut dari pemilu tahun 2011. Beliau merupakan seorang dosen Bahasa Swahili
di Universitas Burundi, sosok yang begitu disegani, sekaligus juga tokoh
sentral dalam penandatanganan perjanjian damai antara dua etnis bertikai
dinegara itu. Perjanjian damai ditandatangani di Ibukota negara Tanzania pada
tahun 2000 dan dikenal dengan Arusha Accords. Beliau juga dikenal sebagai sosok
yang mampu menyelesaikan berbagai sengketa kepemilikan tanah antara masyarakat
dan pemerintah Burundi. Beliau juga dikenal dekat dengan Mufti Burundi,
Abdallah Kajandi Sadiki.
Muslimah Burundi
pun masuk ke kancah politik negara terebut, diantaranya adalah Hafsa Mossi,
beliau pernah menduduki jabatan setingkat Menteri yang bertanggung jawab
menangani hubungan Burundi dengan Komunitas Afrika Timur (East African
Community – EAC). beliau sebelumnya merupakan seorang wartawati dan menduduki
jabatan dikementrian tersebut selama tiga tahun, sejak tahun 2009 sekaligus memangku jabatan sebagai anggota legislatif di parlemen East African Community. Beliau juga
wafat akibat ditembak oleh sekelompok orang tak dikenal pada tanggal 13 Juli
2016.
Muslimah
berikutnya adalah Leontine Nzeyimana, yang merupakan penerus dari Hafsa Mossi
di Kementrian Urusan Komunitas Afrika Timur. Beliau dilahirkan di provinsi
Makamba dan terpilih sebagai anggota parlemen mewakili daerahnya di tahun 2010,
di usianya yang baru menginjak 30 tahun. Beliau merupakan satu dari begitu
sedikitnya wanita di tataran Politik Burundi.***
sangat menarik
BalasHapus