Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh benar benar menorehkan bentuknya di Masjid Besar Bujang Salim di Krueng Gekeuh, ibukota kabupaten Aceh Utara ini. |
Masjid Besar Bujang Salim merupakan masjid
pertama yang dibangun dikawasan yang kini dikenal dengan kecamatan Dewantara,
kabupaten Aceh Utara. Pembangunan masjid ini diprakarsai dan dibangun di atas tanah
seorang bangsawan kerajaan Nisam, Teuku Rhi Bujang alias Teuku Bujang Slamat bin Rhi
Mahmud yang kemudian dikenal dengan nama Bujang Salim. Semasa hidupnya beliau juga dikenal sebagai
pejuang kemerdekaan, dan nama masjid ini merupakan salah satu bentuk
penghormatan kepada beliau.
Masjid Besar Bujang Salim ini seringkali
disebut sebagai kembarannya Masjid Raya Baiturrahman di Kutaraja Banda Aceh
karena kemiripan diantara keduanya. Namun demikian kedua masjid ini tidaklah
benar benar serupa meski memang pembangunan masjid Bujang Salim ini meniru gaya
masjid Raya Baiturrahman. Sekilas pandang kedua masjid ini memanglah tampak
serupa. Namun demikian, bila Masjid Raya Baiturrahman memiliki tujuh buah
kubah, Masjid Besar Bujang Salim ini hanya memiliki lima kubah saja.
Masjid Budjang Salim
Jl. Ramai Keude Krueng Geukueh
Ds. Beringin Dua, Kec. Dewantara,
Kab. Aceh Utara
Provinsi Aceh, Indonesia
Masjid Percontohan
Nasional 2016
Masjid Besar Bujang Salim meraih penghargaan
sebagai juara satu lomba masjid percontohan kategori Ri’ayah
(pembangunan/pemeliharaan) tingkat nasional tahun 2016 yang digelar Kementerian Agama (Kemenag) RI. Pada awal
2016, Masjid Besar Bujang Salim terpilih menjadi masjid besar percontohan di
Aceh, menjadikannya sebagai
wakil provinsi Aceh untuk mengikuti lomba masjid tingkat nasional yang
diadakan Kementerian Agama RI melalui Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam.
Proses penilaian diawali dengan
verifikasi oleh tim Kemenag RI pada September 2016. Tim yang turun langsung ke
lokasi masjid ini, menilai idarah (manajemen), imarah (kemakmurah/peribadatan),
dan ri’ayah. Aspek penilaian bukan hanya dalam bentuk fisik, tapi juga sarana
dan kegiatan di masjid. Hasil
verifikasi lapangan ini diperiksa kembali dalam sidang yang melibatkan Dewan
Majelis Indonesia (DMI), Majelis Ulama Indonesia (MUI), panitia lomba, serta
organisasi masyarakat Islam.
Pada 13 Desember 2016, Kabid
Imarah Bujang Salim Tgk M Katsir Syamsyuddin memenuhi undangan panitia untuk
mempresentasikan profil masjid tersebut di hadapan para guru besar dari
berbagai universitas dan unsur lainnya, yang menjadi dewan juri, di Lumire
Hotel Pasar Senen, Jakarta Pusat. Setelah
melewati proses panjang dan perbandingan dengan masjid-masjid lain dari seluruh
Indonesia, dewan juri sepakat menetapkan Masjid Besar Bujang Salim sebagai
juara satu masjid percontohan untuk kategori Ri’ayah
(pembangunan/pemeliharaan). Sementara juara kedua diraih oleh Masjid Asmaul Husna Banten dan juara tiga
Masjid Baitul Makmur, Kepulauan Riau.
Fitur interior Masjid Besar Bujang Salim |
Tropi dan piagam penghargaan yang
diteken Menteri Agama Lukman Hakim Saefuddin, diserahkan Sekretaris Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI, Prof Dr Muhammadiyah Amin.
Tropi itu diterima Ketua Badan Kesejahteraan Masjid Besar Bujang Salim Tgk
Jalaluddin Ibrahim, didampingi Tgk M Katsir Syamsyuddin dan Kasi Kemasjidan
Kantor Wilayah Kemenag Aceh Rizal Mulyadi MA, di Lumire Hotel, Jakarta. Selain tiga masjid tersebut, juga
diberikan piagam penghargaan kepada 9 masjid lain di Indonesia dalam kategori
percontohan iradah, imarah, dan paripurna.
Sejarah Masjid Bujang
Salim
Masjid Bujang Salim dibangun pada tahun
1921 dengan semangat memperkuat persatuan dan kesatuan. Kala itu, belum ada
masjid di kawasan yang kini masuk wilayah Kecamatan Dewantara, sehingga
masyarakat setempat harus melaksanakan
shalat jamaah di rumah masing-masing atau di meunasah dengan kondisi yang
terbatas. Kondisi ini mendapat
perhatian serius dari bangsawan kerajaan Nisam Teuku Rhi Bujang alias T Bujang
Slamat bin Rhi Mahmud. Pria pemberani yang kerap menentang kolonial Belanda ini
merupakan pahlawan perintis kemerdekaan RI yang berasal dari Nisam.
Teuku Bujang Slamat memprakarsai
pembangunan masjid, di atas tanahnya yang berada pusat Keude Krueng Geukueh
dengan ukuran 20 x 15 meter. Namun,
sebelum dapat meletakkan batu pertama pendirian masjid tersebut, tahun 1921
Teuku Bujang diasingkan ke Papua,
karena menentang Kolonial Belanda. Bahkan, untuk menghilangkan pengaruhnya dari
negeri ini, Bujang Slamat diasingkan hingga ke Australia. Kendati demikian,
pembangunan masjid yang digagasnya terus dilanjutkan oleh masyarakat setempat.
Jemaah sholat jum'at di dalam Masjid Besar Bujang Salim |
Pembangunan masjid ini
dilanjutkan Uleebalang asal Dewantara, Ampon Hanafiah. Hingga kemudian berhasil
dibangun masjid sederhana dengan ukuran 20x15 meter. Dalam perjalanannya,
masyarakat setempat sepakat menambalkan nama Teuku Bujang Slamat menjadi nama
masjid Jamik tersebut, yaitu dengan nama Bujang Salim.
Tahun 1980 dibawah pimpinan tokoh masyarakat, Tgk H
A Gani masjid ini diperluas
dari ukuran 20 x 15 meter menjadi 40 x 30 meter. Tahun 1990 statusnya
menjadi Masjid Besar Bujang Salim, karena selain karena masjid pertama yang
didirikan di Dewantara juga karena lokasinya berada di pusat kecamatan serta
sudah banyak masjid jami’
lainnya di sekitar kawasan tersebut.
Perluasan masjid tersebut kembali
dimulai pada 1996 atas usulan masyarakat yang dipimpin Camat Dewantara kala
itu, Drs H Marzuki M Amin. Masjid yang sebelumnya berukuran 40 x 30 meter
menjadi 60 x 30 m. Perluasan juga dilakukan untuk pekarangan masjid, dari
ukuran 50 x 30 meter menjadi 95 x 80 meter dan pembangunan menara, Taksiran
dana yang digunakan untuk membangun masjid itu sudah mencapai Rp 12 miliar.
Mimbar dan Mihrab Masjid Besar Bujang Salim |
Aktivitas Masjid Besar
Bujang Salim
Masjid Besar Bujang Salim tidak saja memiliki
ukuran yang besar namun juga memiliki keindahan tersendiri baik ekterior maupun
interiornya. Masjid Bujang Salim memiliki luas 1650 meter persegi dan mampu menampung
hingga 2500 jemaah sekaligus. Pembangunannya di danai oleh masyarakat muslim
setempat serta bantuan dari beberapa perusahaan seperti PT AAF, PT PIM,
PT Arun, Pemda Aceh Utara, dan Pemerintah Aceh.
Tak hanya salat lima waktu dan
salat Jumat, Masjid Bujang Besar Salim juga digunakan untuk pengajian rutin
saban malam yang diasuh sejumlah ulama. Kecuali Senin malam dan Jumat malam karena pada Senin malam
pengurus masjid masjid ini
mengikuti
pengajian di Abu Paloh Gadeng (Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh Utara,
pimpinan dayah di Paloh Gadeng).
Di masjid ini, ada pula majelis taklim dari kelompok pemuda, pengajian
kaum ibu, dan pengajian anak-anak. Selain dari semua itu, masjid Besar Bujang Salim ini juga memiliki aula
dan Stasiun Radio sendiri.
Genset di masjid ini memiliki cerita unik
tersendiri. Adalah Wakil Gubernur Aceh Muzakkir Manaf atau Mualem, dalam
satu kesempatan ber i’tikaf dalam masjid tersebut seusai Magrib, tiba-tiba
listrik padam. Dan sebulan
kemudian di awal tahun 2013 beliau memberikan bantuan
generator set (genset) otomatis berukuran besar untuk masjid Besar Bujang Salim.
Teuku Bujang bin Teuku Rhi Mahmud (1891-1959) Pahlawan Pergerakan Kemerdekaan asal Aceh yang belum menjadi Pahlawan Nasional. |
Siapakah Bujang Salim
?
Bujang Salim (1891-1959) atau Teuku Rhi Bujang
Selamat atau Bujang Salim Bin Rhi Mahmud dikenal sebagai salah seorang Pahlawan Perintis Pergerakan
Kebangsaan / Kemerdekaan). Beliau dilahirkan pada tahun 1891 di Nisam, Kecamatan Keude
Amplah, Kabupaten Aceh Utara. Putra
Uleebalang Nanggroe Nisam.
Pada tahun 1912 beliau menyelesaikan
kelas 5 (lima) Kweekschool dan Osvia di Bukit Tinggi (Sumatera Barat) dan
kemudian kembali ke Aceh. Tahun
1913 menjabat sebagai Zelfbsrtuurdier Nanggroe Nisam, namun pada tanggal 8 Februari 1920 beliau dipecat dan dibuang ke Mearuke (Papua) akibat dari aktifitasnya di bidang politik dan
keagamaan, yang mengundang
kekhawatiran pihak penjajah Belanda.
Selama di sana, Bujang Salim juga
melakukan aktifitas pendidikan dan keagamaan yang merupakan suatu kegiatan
bertentangan dengan kebijakan Belanda
ketika itu dan lagi lagi beliau dibuang ke Tanah Merah (Digul) pada 5 April
1935. Semasa penjajahan
Jepang, pada 11 Mei 1942, Bujang Salim diungsikan ke hutan Bijan,
kemudian dikembalikan lagi ke Meurauke. Pada 3 November 1942, ia kembali dibawa
pulang ke Tanah Merah. Pertengahan tahun 1943, atas anjuran Van Der Plas
pemerintahan interniran Belanda, mengangkut semua orang buangan untuk
diungsikan ke Australia, termasuk Bujang Salim. Tiba di Mackay, Australia, 5
Juni 1943.
Masjid Besar Bujang Salim. |
Akhir tahun 1945, pemerintah
interniran Belanda memerdekakan orang-orang buangan tersebut dan dijanjikan
akan dipulangkan ke masing-masing tempat asal. Pada 7 Oktober 1946, Bujang
Salim dan rombongan eks buangan diberangkatkan dengan kapal barang tentara
sekutu dan tiba di Jakarta, 14 Oktober 1946. Ia dimasukkan ke kamp Chause Complex, satu bulan kemudian,
anggota rombongan lainnya diberangkatkan ke Cirebon dan diserahkan kepada pemerintah Indonesia.
Sedangkan Bujang Salim, karena anaknya sakit keras, tidak jadi diberangkatkan
sampai empat bulan lamanya.
Bujang Salim kemudian berhubungan
sendiri dengan pemerintah Indonesia di Pegangsaan Timur dan dibolehkan
berangkat ke Purwokerto. Pada 15 Februari 1947 oleh Kementrian Dalam Negeri di
Purwokerto, dipekerjakan di sana sementara menunggu kapal yang berangkat dari
Cilacap menuju Sumatera. Karena Agresi I Belanda pada 31 Juli 1947, ia dan
keluarga terpaksa mengungsi ke lereng-lereng gunung Slamet (Jawa Tengah) selama
enam bulan.
Pada Maret 1948, ia ditangkap
oleh satu pasukan patroli Belanda dan ditahan untuk diperiksa. Dua hari
kemudian ia dilepaskan dan dengan dasar janji Belanda di Australia dulu, ia
dibawa ke Medan (Sumatera Utara),
tiba 20 April 1948. Pada Februari
1950 dengan bantuan Gubernur Aceh ketika itu, Bujang Salim diberangkatkan ke
Kutaradja (Banda Aceh). Lalu, 31 Juli 1950 ia pulang ke Krueng Geukuh, yang
saat itu merupakan bagian dari
Nanggroe Nisam. Bujang Salim meninggal dunia pada Rabu, 14 Januari 1959 dan dikebumikan di Krueng
Geukuh, di dekat Masjid
Besar Bujang Salim yang beliau prakarsai pembangunannya. Selama hidup, beliau dikaruniai 8 (delapan) orang putra dan putri.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA