Aerial View Masjid Jakarta Islamic Center |
Dari Lokasi Prostitusi
Menjadi Pusat Pengkajian Islam
Sulit
membayangkan bahwa lahan tempat masjid ini berdiri dulunya adalah bekas lahan
prostitusi atau lokalisasi Karamat Tunggak di wilayah Jakarta Utara. Tapi
begitulah faktanya. Situs resmi masjid ini menyebut kehadiran Jakarta Islamic
Centre (JIC) yang merubah tanah hitam menjadi tanah putih, "min
al-dzulumaat ila an-nuur", diharapkan mampu menampilkan citra baru yang
memancarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang menyejukkan nurani.
Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta atau yang lebih dikenal dengan Islamic
Center Jakarta atau Jakarta Islamic Centre (JIC), adalah organisasi Non
Struktural di bawah Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. Dibangun para era
kepemimpinan Gubernur Sutiyoso. Rancangannya ditangani oleh Prof. Muhammad
Nu’man yang terkenal dengan mahakarya arsitekturnya, beberapa diantara-nya
adalah Masjid Amir Hamzah di Taman Ismail Marzuki, Masjid at-Tin Jakarta,
Masjid Indonesia atau Masjid Soeharto di Bosnia serta Masjid Syekh Yusuf di
Cape Town, Afrika Selatan.
Masjid Jakarta Islamic Center (JIC)
Jl,
Kramat Jaya, Kelurahan Tugu Utara
Kecamatan
Koja, Kotamadya Jakarta Utara
Provinsi
DKI Jakarta
Mengubah Tanah Hitam Menjadi Putih
Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre) yang berdiri megah saat ini sebelumnya adalah Lokasi
Resosialisasi (Lokres) Kramat Tunggak dengan nama resmi Panti Sosial Karya
Wanita (PKSW) Teratai Harapan Kramat Tunggak, bahasa sederhana-nya adalah Pusat
Lokalisasi para WTS atau PSK, yang terletak di jalan Kramat Jaya RW 019,
Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Kotamadya Jakarta Utara, menempati lahan
seluas 109.435 m2 terdiri dari sembilan Rukun Tetangga (RT).
Lokres
Kramtung tidak saja terkenal di Indonesia, namun juga terkenal hingga ke Asia Tenggara
sebagai pusat jajan terbesar bagi para pria hidung belang, yang pada ahirnya
menimbulkan begitu banyak masalah sosial seiring dengan perkembangannya yang
luar biasa, bisa dibayangkan bila pada saat dibuka tahun 1972, di tempat ini
terdapat 300 orang WTS dengan 76 orang germo dan menjelang ditutupnya Lokres tersebut
di tahun 1999, jumlahnya sudah membengkak 1.615 orang WTS dan 258 orang germo.
Mereka tinggal di 277 unit bangunan yang memiliki 3.546 kamar.
Selain
masalah sosial yang ditimbulkannya Lokres ini menciderai citra Jakarta yang
tidak bisa dipisahkan dari sejarahnya sebagai sebuah kultur Betawi yang sangat
identik sebagai komunitas Islam yang terbuka, bersemangat multikultur, toleran
dan sangat mencintai Islam sebagai identitas utama kebudayaan mereka. Kondisi
ini menimbulkan desakan tidak henti-hentinya dari ulama dan masyarakat agar komplek
tersebut segera ditutup. Merespon hal tersebut Dinas Sosial bersama Universitas
Indonesia melakukan penelitian di tahun 1997 dan merekomendasikan penutupan
komplek pelacuran tersebut.
Interior Islamic Center Jakarta |
Pada
tahun 1998 dikeluarkan SK Gubernur KDKI Jakarta No. 495/1998 tentang penutupan
panti sosial tersebut selambat-lambatnya akhir Desember 1999. Pada 31 Desember
1999, Lokres Kramat Tunggak secara resmi ditutup melalui SK Gubernur KDKI
Jakarta No. 6485/1998. Selanjutnya Pemda Provinsi DKI Jakarta melakukan
pembebasan lahan eks lokres Kramat Tunggak.
Setelah
dibebaskan banyak muncul gagasan terhadap lokasi bekas Kramat Tunggak tersebut,
ada yang mengusulkan pembangunan pusat perdagangan (mall), perkantoran dan lain
sebagainya. Namun Gubernur H. Sutiyoso justru menggaungkan ide membangun
Islamic Centre dilokasi tersebut. Sebuah ide yang cemerlang yang menyatukan
kelompok-kelompok lain yang awalnya berbeda-beda.
Pada
tahun 2001 Gubernur Sutiyoso mengadakan Forum Curah Gagasan dengan seluruh
elemen masyarakat untuk mengetahui sejauhmana dukungan masyarakat. Gagasan
untuk membangun Jakarta Islamic Centre (JIC) dikemukakan Gubernur Sutiyoso
kepada Prof. Azzumardi Azra (Rektor UIN Syarif Hidayatullah) di New York di
sela-sela kunjungannya ke PBB pada tanggal 11-18 April 2001 dan mendapatkan
respon yang sangat positif.
Ekterior Masjid Jakarta Islamic Center. Ada kemiripan yang cukup kuat antara foto kiri atas dan foto kanan bawah dengan Masjid Agung At-Tin di Jakarta Timur. |
Master
plan pembangunan JIC dirumuskan pada tahun 2002 setelah konsultasi terus
menerus antara masyarakat, ulama, praktisi lokal maupun regional hingga
international. Di tahun yang sama dilakukan studi banding ke Islamic Centre di
Mesir, Iran, Inggris dan Perancis kemudian dilanjutkan dengan perumusan
Organisasi dan Manajemen JIC.
Masjid
Jakarta Islamic Center diresmikan pada tanggal 4 Maret 2003 Luas bangunan
masjidnya mencapai 2200 meter di atas lahan tanah seluas 109,435 m2 dan mampu
menampung hingga 20.680 jemaah sekaligus. Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja
Badan Pengelola Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta
Islamic Centre) ditetapkan tahun 2003 melalui SK Gubernur KDKI No. 99/2003.
Kemudian dilalkukan penetapan Badan Pengelola Pusat Pengkajian dan Pengembangan
Islam Jakarta (Jakarta Islamci Centre) melaui SK Gubernur KDKI Jakarta No.
651/2004 pada bulan April 2004.
Namun
selanjutnya, kehadiran JIC tidak sekedar hanya merubah tanah hitam menjadi
putih, atau hanya sebuah masjid saja, melainkan lebih dari itu JIC diharapkan
menjadi salah satu simpul pusat peradaban Islam di Indonesia dan Asia Tenggara
yang menjadi simbol kebangkitan Islam di Asia dan Dunia. Ciri peradaban yang
dimaksud adalah dengan adanya kelengkapan fasilitasi fungsi-fungsi kemakmuran
masjid yang terdiri dari fungsi peribadatan, fungsi kediklatan dan fungsi
pedagangan/bisnis.
Arsitektural Masjid
Jakarta Islamic Center (JIC)
Gaya
Usmaniyah Turki sangat kental pada bangunan masjid ini, baik dalam gaya maupun
ukurannya, kesan tersebut sangat terasa saat memandang masjid ini dari
kejauhan. Masjid masjid dari era Usmaniyah terkenal dengan ukurannya yang
gigantik alias tinggi besar, kubah besar serta menara tinggi yang ramping dan
lancip, ditambah dengan area pelataran (court yard) yang memang sudah
mentradisi sebelum masa Emperium Usmaniyah. Masjid JIC ini seolah menghadirkan
Masjid Usmaniyah (Turki) di Ibukota Negara Indonesia dengan rasa Nusantara
Perbedaan
paling menyolok Antara masjid ini dengan masjid Klasik Usmaniyah terlihat jelas
di ruang utama masjid yang sama sekali tidak terdapat tiang penyanggah, yang
justru menjadi salah satu ciri khas Masjid Usmaniyah. Dalam skala yang lebih
kecil, Penggunaan model atap masjid seperti atap masjd JIC ini dapat anda
temukan di Masjid Agung Kota Cimahi, Jawa Barat.
Dari kejauhan tampak dengan utuh kemegahan masjid ini beserta sebatang menaranya yang menjulang. |
Ruangan
masjid tanpa tiang seperti ini telah lama dijadikan standar oleh Yayasan Amal Bhakti
Muslim Pancasila (YAMP) bagi 1000 masjid yang telah mereka bangun baik di dalam
maupun di luar negeri. Rancangan seperti ini menghadirkan nuansa lebih luas di
dalam masjid yang pada Masjid Usmaniyah disiasati dengan pembuatan jendela
jendela kaca berukuran besar dalam jumah banyak.
Rancangan
atap masjid ini memang tampak cukup rumit, sederhananya adalah berupa tumpukan
tumpukan atap menyiratkan atap tradisional masjid masjid asli Indonesia. Pada
setiap tingkatan atap terdapat sisi vertical dan ditempatkan beberapa jendela
kaca berukuran besar menghadirkan penerangan gratis ke dalam masjid dari cahaya
matahari disiang hari sekaligus memberikan efek fantastis di dalam masjid.
Untuk
menghindari kesan sumpek dan pengap, dinding bagian dalam masjid ini dibalut
dengan warna cerah, kontras dengan warna langit langitnya yang lebih gelap, dan
area mezanin (lantai dua) nya dibangun tanpa menutupi area sholat utama.
Rancangan seperti ini tentu saja juga akan anda temukan di Masjid Agug At-Tin
di kawasan TMII, Jakarta Timur, karena memang dirancang oleh arsitek yang sama.
Bangunan bergaya Usmaniyah dengan cita rasa Indonesia. |
Mihrab
di dalam masjid ini di dominasi oleh Mimbar khatib yang cukup besar. Khatib
akan menyampaikan khutbahnya di mimbar yang ditempatkan cukup tinggi hingga
dapat telihat oleh Jemaah paling belakang. Posisi imam saat memimpin sholat tidak
di dalam mihrab tapi beberapa meter di depan mihrab. Satu buah beduk yang juga
berukuran besar ditempatkan di dalam masjid ini di sudut kanan depan. Kehadiran
beduk ini tentu saja menghadirkan nuansa yang sangat Indonesia.
Pelataran
masjid ini cukup luas dikelilingi rangkaian koridor tak terputus. Seluruh
permukaan pelataran sudah diberikan garis shaf permanen untuk memudahkan Jemaah
yang sholat di luar masjid menentukan garis shaf mereka. Sebatang menara ramping
menjulang tinggi dibangun tepisah cukup jauh dari bangunan utama masjid.
Bangunan
menara berdenah segi empat tidak seperti menara masjid Usmani yang bundar.
Melihat menara ini mengesankan sebagai menara masjid Agung Demak dalam bentuk lebih
besar dan modern. Ujung menara dilengkapi dengan kubah lonjong berwarna senada
dengan kubah utama, di atas kubah terdapat ornamen tusuk sate dengan 5 bentuk
bola menyimbolkan lima rukun Islam dan di ujungnya ditempatkan simbol bulan
sabit berbentuk simetris ke atas.
Masjid
Masjid rancangan Prof. Muhammad Nu’man memiliki benang merah yang sangat kuat
terhadap rancangan masjid masjid dari era ke-khalifahan Islam (Emperium)
Usmaniyah yang berpusat di Istanbul, Turki. Namun sudah barang tentu dibangun
dengan teknik modern dan di oplos dengan tradisi Islam Indonesia.
Bila
Emperium Usmaniyah (Turki) memiliki arsitek ternama Mimar Sinan yang begitu
melegenda, sampai sampai pemerintah Turki membangun sebuah masjid megah untuk
menghormatinya. Saya pribadi sebagai orang awam arsitektur menganggap Prof.
Muhammad Nu’man dengan karya karyanya yang sangat Usmaniyah, sebagai Mimar
Sinan-nya Indonesia.*** (dari berbagai sumber, data diolah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA