Halaman

Minggu, 05 Februari 2017

Masjid Jakarta Islamic Center (JIC)

Aerial View Masjid Jakarta Islamic Center

Dari Lokasi Prostitusi Menjadi Pusat Pengkajian Islam

Sulit membayangkan bahwa lahan tempat masjid ini berdiri dulunya adalah bekas lahan prostitusi atau lokalisasi Karamat Tunggak di wilayah Jakarta Utara. Tapi begitulah faktanya. Situs resmi masjid ini menyebut kehadiran Jakarta Islamic Centre (JIC) yang merubah tanah hitam menjadi tanah putih, "min al-dzulumaat ila an-nuur", diharapkan mampu menampilkan citra baru yang memancarkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan yang menyejukkan nurani.

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta atau yang lebih dikenal dengan Islamic Center Jakarta atau Jakarta Islamic Centre (JIC), adalah organisasi Non Struktural di bawah Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta. Dibangun para era kepemimpinan Gubernur Sutiyoso. Rancangannya ditangani oleh Prof. Muhammad Nu’man yang terkenal dengan mahakarya arsitekturnya, beberapa diantara-nya adalah Masjid Amir Hamzah di Taman Ismail Marzuki, Masjid at-Tin Jakarta, Masjid Indonesia atau Masjid Soeharto di Bosnia serta Masjid Syekh Yusuf di Cape Town, Afrika Selatan.

Masjid Jakarta Islamic Center (JIC)
Jl, Kramat Jaya, Kelurahan Tugu Utara
Kecamatan Koja, Kotamadya Jakarta Utara
Provinsi DKI Jakarta



Mengubah Tanah Hitam Menjadi Putih

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre) yang berdiri megah saat ini sebelumnya adalah Lokasi Resosialisasi (Lokres) Kramat Tunggak dengan nama resmi Panti Sosial Karya Wanita (PKSW) Teratai Harapan Kramat Tunggak, bahasa sederhana-nya adalah Pusat Lokalisasi para WTS atau PSK, yang terletak di jalan Kramat Jaya RW 019, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Kotamadya Jakarta Utara, menempati lahan seluas 109.435 m2 terdiri dari sembilan Rukun Tetangga (RT).

Lokres Kramtung tidak saja terkenal di Indonesia, namun juga terkenal hingga ke Asia Tenggara sebagai pusat jajan terbesar bagi para pria hidung belang, yang pada ahirnya menimbulkan begitu banyak masalah sosial seiring dengan perkembangannya yang luar biasa, bisa dibayangkan bila pada saat dibuka tahun 1972, di tempat ini terdapat 300 orang WTS dengan 76 orang germo dan menjelang ditutupnya Lokres tersebut di tahun 1999, jumlahnya sudah membengkak 1.615 orang WTS dan 258 orang germo. Mereka tinggal di 277 unit bangunan yang memiliki 3.546 kamar.

Selain masalah sosial yang ditimbulkannya Lokres ini menciderai citra Jakarta yang tidak bisa dipisahkan dari sejarahnya sebagai sebuah kultur Betawi yang sangat identik sebagai komunitas Islam yang terbuka, bersemangat multikultur, toleran dan sangat mencintai Islam sebagai identitas utama kebudayaan mereka. Kondisi ini menimbulkan desakan tidak henti-hentinya dari ulama dan masyarakat agar komplek tersebut segera ditutup. Merespon hal tersebut Dinas Sosial bersama Universitas Indonesia melakukan penelitian di tahun 1997 dan merekomendasikan penutupan komplek pelacuran tersebut.

Interior Islamic Center Jakarta

Pada tahun 1998 dikeluarkan SK Gubernur KDKI Jakarta No. 495/1998 tentang penutupan panti sosial tersebut selambat-lambatnya akhir Desember 1999. Pada 31 Desember 1999, Lokres Kramat Tunggak secara resmi ditutup melalui SK Gubernur KDKI Jakarta No. 6485/1998. Selanjutnya Pemda Provinsi DKI Jakarta melakukan pembebasan lahan eks lokres Kramat Tunggak.

Setelah dibebaskan banyak muncul gagasan terhadap lokasi bekas Kramat Tunggak tersebut, ada yang mengusulkan pembangunan pusat perdagangan (mall), perkantoran dan lain sebagainya. Namun Gubernur H. Sutiyoso justru menggaungkan ide membangun Islamic Centre dilokasi tersebut. Sebuah ide yang cemerlang yang menyatukan kelompok-kelompok lain yang awalnya berbeda-beda.

Pada tahun 2001 Gubernur Sutiyoso mengadakan Forum Curah Gagasan dengan seluruh elemen masyarakat untuk mengetahui sejauhmana dukungan masyarakat. Gagasan untuk membangun Jakarta Islamic Centre (JIC) dikemukakan Gubernur Sutiyoso kepada Prof. Azzumardi Azra (Rektor UIN Syarif Hidayatullah) di New York di sela-sela kunjungannya ke PBB pada tanggal 11-18 April 2001 dan mendapatkan respon yang sangat positif.

Ekterior Masjid Jakarta Islamic Center. Ada kemiripan yang cukup kuat antara foto kiri atas dan foto kanan bawah dengan Masjid Agung At-Tin di Jakarta Timur.

Master plan pembangunan JIC dirumuskan pada tahun 2002 setelah konsultasi terus menerus antara masyarakat, ulama, praktisi lokal maupun regional hingga international. Di tahun yang sama dilakukan studi banding ke Islamic Centre di Mesir, Iran, Inggris dan Perancis kemudian dilanjutkan dengan perumusan Organisasi dan Manajemen JIC.

Masjid Jakarta Islamic Center diresmikan pada tanggal 4 Maret 2003 Luas bangunan masjidnya mencapai 2200 meter di atas lahan tanah seluas 109,435 m2 dan mampu menampung hingga 20.680 jemaah sekaligus. Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamic Centre) ditetapkan tahun 2003 melalui SK Gubernur KDKI No. 99/2003. Kemudian dilalkukan penetapan Badan Pengelola Pusat Pengkajian dan Pengembangan Islam Jakarta (Jakarta Islamci Centre) melaui SK Gubernur KDKI Jakarta No. 651/2004 pada bulan April 2004.

Namun selanjutnya, kehadiran JIC tidak sekedar hanya merubah tanah hitam menjadi putih, atau hanya sebuah masjid saja, melainkan lebih dari itu JIC diharapkan menjadi salah satu simpul pusat peradaban Islam di Indonesia dan Asia Tenggara yang menjadi simbol kebangkitan Islam di Asia dan Dunia. Ciri peradaban yang dimaksud adalah dengan adanya kelengkapan fasilitasi fungsi-fungsi kemakmuran masjid yang terdiri dari fungsi peribadatan, fungsi kediklatan dan fungsi pedagangan/bisnis.

Interior Masjid Jakarta Islamic Center. Lega dan lapang tanpa tiang tiang penyanggah di tengah tengah ruangan masjid, serta unik dengan ornamen lampu gantung berbentuk ornamen khas Betawi sebagai penghias ruangan.

Arsitektural Masjid Jakarta Islamic Center (JIC)

Sebagai sebuah Islamic Center, di dalam komplek JIC ini tidak hanya terdapat bangunan Masjid dengan ukuran sangat besar namun juga dilengkapi dengan fasilitas fasilitas pendukung termasuk komplek gedung perkantoran, aula dan perpustakaan serta fasilitas pendukung lainnya. Kesan megah dan modern sangat terasa pada komplek Islamic Center terbesar Indonesia ini. Sejauh ini JIC juga eksis di dunia maya melalui situs yang mereka kelola.

Gaya Usmaniyah Turki sangat kental pada bangunan masjid ini, baik dalam gaya maupun ukurannya, kesan tersebut sangat terasa saat memandang masjid ini dari kejauhan. Masjid masjid dari era Usmaniyah terkenal dengan ukurannya yang gigantik alias tinggi besar, kubah besar serta menara tinggi yang ramping dan lancip, ditambah dengan area pelataran (court yard) yang memang sudah mentradisi sebelum masa Emperium Usmaniyah. Masjid JIC ini seolah menghadirkan Masjid Usmaniyah (Turki) di Ibukota Negara Indonesia dengan rasa Nusantara

Perbedaan paling menyolok Antara masjid ini dengan masjid Klasik Usmaniyah terlihat jelas di ruang utama masjid yang sama sekali tidak terdapat tiang penyanggah, yang justru menjadi salah satu ciri khas Masjid Usmaniyah. Dalam skala yang lebih kecil, Penggunaan model atap masjid seperti atap masjd JIC ini dapat anda temukan di Masjid Agung Kota Cimahi, Jawa Barat.

Dari kejauhan tampak dengan utuh kemegahan masjid ini beserta sebatang menaranya yang menjulang.

Ruangan masjid tanpa tiang seperti ini telah lama dijadikan standar oleh Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (YAMP) bagi 1000 masjid yang telah mereka bangun baik di dalam maupun di luar negeri. Rancangan seperti ini menghadirkan nuansa lebih luas di dalam masjid yang pada Masjid Usmaniyah disiasati dengan pembuatan jendela jendela kaca berukuran besar dalam jumah banyak.

Sebagai pengganti “kekosongan” elemen” tiang penyanggah ini dihadirkan elemen elemen dekoratif khas tradisi Betawi pada langit langit bangunan yang plong tanpa plafon ditambah dengan dominasi warna biru diseluruh langit langit menghadirkan nuansa langit tanpa awan ke dalam masjid ini. Pada kubah besar masjid ini dilengkapi dengan “jendela jendea” transfaran membentuk pola menara menara kecil disekeliling diameter kubah terlihat indah di siang hari saat cahaya matahari menerebos masuk ke dalam masjid melalui jendela jendela tersebut.

Rancangan atap masjid ini memang tampak cukup rumit, sederhananya adalah berupa tumpukan tumpukan atap menyiratkan atap tradisional masjid masjid asli Indonesia. Pada setiap tingkatan atap terdapat sisi vertical dan ditempatkan beberapa jendela kaca berukuran besar menghadirkan penerangan gratis ke dalam masjid dari cahaya matahari disiang hari sekaligus memberikan efek fantastis di dalam masjid.

Untuk menghindari kesan sumpek dan pengap, dinding bagian dalam masjid ini dibalut dengan warna cerah, kontras dengan warna langit langitnya yang lebih gelap, dan area mezanin (lantai dua) nya dibangun tanpa menutupi area sholat utama. Rancangan seperti ini tentu saja juga akan anda temukan di Masjid Agug At-Tin di kawasan TMII, Jakarta Timur, karena memang dirancang oleh arsitek yang sama.

Bangunan bergaya Usmaniyah dengan cita rasa Indonesia.

Mihrab di dalam masjid ini di dominasi oleh Mimbar khatib yang cukup besar. Khatib akan menyampaikan khutbahnya di mimbar yang ditempatkan cukup tinggi hingga dapat telihat oleh Jemaah paling belakang. Posisi imam saat memimpin sholat tidak di dalam mihrab tapi beberapa meter di depan mihrab. Satu buah beduk yang juga berukuran besar ditempatkan di dalam masjid ini di sudut kanan depan. Kehadiran beduk ini tentu saja menghadirkan nuansa yang sangat Indonesia.

Ruang sholat utama masjid ini berada di lantai dua, ada tangga besar menuju ke lantai dua yang mengarah langsung ke pelataran masjid. Selain tangga masjid ini juga dilengkapi dengan perangkat eskalator. Lantai dasar masjid digunakan sebagai area pendukung dan kantor serta area tempat wudhu dan lainnya. Selain di lantai dasar, tempat wudhu juga tersedia di area pelataran yang dibangun cukup unik. Hal yang sama juga akan anda temui di kebanyakan masjid masjid Usmaniyah.

Pelataran masjid ini cukup luas dikelilingi rangkaian koridor tak terputus. Seluruh permukaan pelataran sudah diberikan garis shaf permanen untuk memudahkan Jemaah yang sholat di luar masjid menentukan garis shaf mereka. Sebatang menara ramping menjulang tinggi dibangun tepisah cukup jauh dari bangunan utama masjid.

Bangunan menara berdenah segi empat tidak seperti menara masjid Usmani yang bundar. Melihat menara ini mengesankan sebagai menara masjid Agung Demak dalam bentuk lebih besar dan modern. Ujung menara dilengkapi dengan kubah lonjong berwarna senada dengan kubah utama, di atas kubah terdapat ornamen tusuk sate dengan 5 bentuk bola menyimbolkan lima rukun Islam dan di ujungnya ditempatkan simbol bulan sabit berbentuk simetris ke atas. 

Masjid Masjid rancangan Prof. Muhammad Nu’man memiliki benang merah yang sangat kuat terhadap rancangan masjid masjid dari era ke-khalifahan Islam (Emperium) Usmaniyah yang berpusat di Istanbul, Turki. Namun sudah barang tentu dibangun dengan teknik modern dan di oplos dengan tradisi Islam Indonesia.

Bila Emperium Usmaniyah (Turki) memiliki arsitek ternama Mimar Sinan yang begitu melegenda, sampai sampai pemerintah Turki membangun sebuah masjid megah untuk menghormatinya. Saya pribadi sebagai orang awam arsitektur menganggap Prof. Muhammad Nu’man dengan karya karyanya yang sangat Usmaniyah, sebagai Mimar Sinan-nya Indonesia.*** (dari berbagai sumber, data diolah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA