Halaman

Minggu, 29 Januari 2017

Masjid Sultan Ahmed (Masjid Biru) Istanbul

Megah di puncak bukit Istambul, telihat nyaris dari segala penjuru kota. Masjid Sultan Ahmed atau Masjid Biru Istanbul merupakan salah satu dari peningggalan Emperium Islam Usmaniyah yang sudah berumur 4 abad.

Emperium atau Kekaisaran Usmaniyah atau oleh bangsa Eropa disebut dengan Kekaisaran Otoman, sejatinya adalah Ke-Khalifahan Islam terahir yang pernah eksis selama 623 tahun, sejak pertama kali dibentuk Oleh Osman Bey tahun 1299 sampai kemudian dihapuskan oleh Mustafa Kemal Attaturk pada tahun 1922 dan kemudian bekas pusat wilayah kekuasannya berubah menjadi Republik Turki yang kini kita kenal, pusat pemerintahannya pun dipindahkan dari Ankara.

Sejarah Emperium Usmaniyah yang paling terkenal ke seantero dunia adalah sejarah kejatuhan Konstantinopel yang merupakan pusat kekuasaan Emperium Byzantium Romawi Timur oleh pasukan Muhammad Al-Fatih pada Hari Jum,at tanggal 23 Maret 1453. Al-Fatih mengganti nama Konstantinopel menjadi Istambul dan menjadikan kota itu sebagai ibukota Emperium Usmaniyah, setelah sebelumnya berada di Edirne. Masa ini merupakan awal perkembangan luar biasa dari Emperium Usmaniyah.

Paska penaklukan tersebut, Al-Fatih mengubah Gereja Ayasofia menjadi Masjid resmi atau masjid nasional Emperium Usmaniyah. satu setengah abad setelah itu, pada masa pemerintahan Sultan Ahmed I yang memerintah pada tahun 1603-1617 dibangun Masjid Nasional yang baru berhadapan dengan Masjid Hagia Shopia, yakni Masjid yang kini dikenal dengan nama Masjid Sultan Ahmed atau dikenal juga dengan nama Masjid Biru atau Blue Mosque.

The Blue Mosque / Sultan Ahmet Camii
Sultanahmet Mh., At Meydanı No:7, 34122 Fatih/İstanbul, Turki



Kini, Meski telah berumur 4 abad, Masjid Sultan Ahmed ini masih terawatt baik dan masih berfungsi sebagaimana mestinya sekaligus menjadi salah satu destinasi wisata andalan kota Istanbul. Seperti Tradisi masjid masjid bersejarah lain-nya di pekarangan masjid ini juga menjadi tempat dimakamkannya mendiang Sultan Ahmed I, yang membangun masjid ini.

Sejarah Masjid Sultan Ahmed

Masjid Sultan Ahmed atau Masjid Biru dibangun pada tahun 1609 sampai dengan tahun 1616 pada masa Kekuasaan Sultan Ahmed 1. Pembangunnya adalah Husna Bint Mayram dibawah pengawasan langsung dari Hāndān Vālida Sultânā, putra dari Sultan Ahmed I. Pembangunan masjid ini sempat menuai protes dari kalangan ulama ke-khalifahan karena dilaksanakan pada saat Ke-Khalifahan Usmaniyah baru mencapai perdamaian Zsitvatorok dan menderita kekalahan dalam perang Persia, namun justru tujuan dari Sultan Ahmed 1 membangun masjid ini adalah untuk mengembalikan lagi marwah Kekhalifahan.

Sebelumnya Ke-Khalifahan Usmaniyah di Istanbul menggunakan Hagia Sophia sebagai masjid Nasional. Para pengikut Sultan harus bekerja keras membangun masjid ini sebagai pengganti kekalahan perang, sementara Sultan Ahmed 1 harus menguras perbendaharaan Negara untuk biaya pembangunannya, mengingat perang terhadap Persia tidak memberikan hasil yang gemilang.

Masjid Sultan Ahmed dari kejauhan salah satu sudut kota Istanbul

Lokasi pembangunan Masjid ini dipilih pada lokasi Istana kekaisaran Byzantium, di depan Katedral Aya Sofia yang sudah dikonversi menjadi Masjid Agung Hagia Shopia Sejak Kemenangan Muhammad Al-Fatih menghancurkan Emperium Byzantium (Romawi Timur) dengan menaklukkan Kota Konstantinopel pada Hari Jum,at tanggal 23 Maret 1453 dan mendirikan ke-Khalifahan Usmaniyah lalu mengubah nama Konstantinopel menjadi Istambul.

Lokasi ini memang merupakan tempat yang memiliki arti simbolis yang teramat penting, mengingat disini 150 tahun sebelumnya merupakan pusat Kekuasaan Byzantium (Romawi Timur), dipuncak bukit yang mendominasi pemandangan kota Istambul dari arah selatan. Sebagian besar sisi selatan masjid ini berdiri tepat di pondasi bekas Istana Byzantium tersebut berdekatan dengan gedung Hippodrome. Wajar bila Sultan Ahmed 1 bersikukuh membangun masjid ini untuk menunjukkan kekuasaan dan membangkitkan lagi marwah Ke-Khalifahan.

Paralelisasi Sejarah

Pembangunan Masjid Sultan Ahmed ini pada tahun 1609 hingga tahun 1616. Bila disejajarkan dengan sejarah Kesultanan di Nusantara, pada saat di Istambul dilaksanakan pembangunan Masjid ini di Nusantara saat yang sama sedang berkuasa Kesultanan Jayakarta (1527-1619). Menunjukkan bahwa masa kekuasaan Sultan Ahmed 1 di Emperium Usmaniyah (Turki) bersamaan dengan masa Kekuasaan Pangeran Jayakarta di Kesultanan Jayakarta (Indonesia).

Masjid Sultan Ahmed pada dasarnya terdiri dari satu bangunan utama dan satu pelataran tertutup yang diintegrasikan menjadi satu. 

Hanya saja tiga tahun setelah Pembangunan Masjid Sultan Ahmed ini selesai dan digunakan sebagai Masjid Nasional bagi Emperium Usmaniyah, Masjid Agung Jayakarta justru tak bersisa di bumi hanguskan oleh J.P. Coen setelah berhasil menaklukkan Jayakarta pada 12 Maret 1619, sedangkan Emperium Usmaniyah masih berkuasa hingga tiga abad setelah itu. Dan Masjid Sultan Ahmed masih berfungsi hingga hari ini.

Arsitektur Masjid Sultan Ahmed

Masjid Sultan Ahmed dirancang oleh arsitek Sedefkâr Mehmed Ağa (wafat tahun 1622) dengan enam menara lancip, ramping dan menjulang, bangunan utamanya ditutup dengan lima kubah utama, dan enam kubah sekunder. Rancangan ini disebut sebut sebagai titik kulminasi dari dua abad perkembangan masjid masjid Emperium Usmaniyah. Sangat jelas ada perpaduan Antara rancangan dari bangunan Masjid Hagia Shopia yang berada disebelahnya.

Rancangan tersebut kemudian dipadu dengan tradisi arsitektur Islam dan menjadikannya sebagai Masjid Agung terahir yang di bangun pada periode klasik. Arsitek Sedefkâr Mehmed Ağa benar berhasil mensintesa ide ide dari gurunya, Mimar Sinan (1450?-1588) yang dikenal sebagai arsitek termashur Emperium Usmaniyah, dengan rancangan masjid berukuran raksasa, menakjubkan dan mengagumkan. Rancangan masjid Sultan Ahmed ini dan masjid masjid lainnya yang dibangun pada era Emperium Usmaniyah ini dikemudian hari menjadi salah satu rujukan rancang bangun Masjid di seluruh dunia dan kini dikenal sebagai gaya rancangan masjid Turki Usmani.

Serba biru. itu sebabnya disebut Blue Mosque atau masjid biru, merujuk kepada warna biru yang mendominasi langit langit senatero bagian dalam masjid tua ini.

Secara umum bangunan masjid Sultan Ahmen ini dibagi menjadi dua bagian utama yakni bangunan utama masjid dan area pelataran tengah atau court yard yang dikelilingi dengan korodor menyatu dengan bangunan utama. Rancangan seperti ini memang sudah mentradisi sejak masa ke-khalifahan Islam sebelumnya, dimana hampir semua masjid berukuran besar dirancang dengan pola yang sama. Pelataran tengah berupa plaza terbuka ini digunakan sebagai area sholat tambahan bagi jamaah yang tidak tertampung di dalam bangunan utama.

Berdasarkan perhitungan matematika dengan mempertimbangan postur rata rata orang Eropa, Masjid Sultan Ahmed ini dapat menampung hingga 10 ribu Jemaah sekaligus. Dengan ukuran ruang utamanya mencapai 73 x 65 meter. Ketinggian utamanya pada sisi luar mencapai 43 meter serta garis tengah lingkarannya mencapai 23,5 meter. Sementara tinggi masing masing menara runcingnya itu mencapai 64 meter.

Interior Masjid Sultan Ahmed

Pada setiap tingkatan di bagian dalam masjid Sultan Ahmed ini sarat dengan jejeran lebih dari 20 ribu keeping keramik buatan tangan bergaya Iznik yang memang dibuat di Iznik (Nicaea Kuno) corak yang digunakannya berupa lebih dari 50 corak bunga tulip yang berbeda. Pada bagian bawah banyak menggunakan gaya tradisional dalam rancangannya sedangkan pada bagian atas rancangannya lebih flamboyan dengan kehadiran aneka corak bunga, buah dan pepohonan hijau.

Seperti rancangan masjid tradisional di Indonesia, Masjid ini juga ditopang dengan empat tiang, hanya saja tiang tiang di masjid ini berukuran sangat besar dan terbuat dari beton berlapis batu granit dan ornamen keramik hias dari Iznik bewarna biru.

Pembuatan masing masing keping keramik hias tersebut diawasi langsung oleh seorang pakar Iznik, sedangkan harga masing masing kepingan keramik tersebut ditetapkan dengan dekrit dari Sultan Ahmed dengan harga yang tetap kendatipun pada kala itu harga masing masing kepingan keramik Iznik senantiasa meningkat sepanjang waktu.

Interior bagian paling atas masjid ini di dominasi dengan balutan warna biru, warna ini yang kemudian lengket dengan nama masjid ini sebagai Masjid Biru. Ada l ebih dari 200 jendela kaca patri dengan rancangan yang cukup rumit memainkan cahaya alami matahari dan kini dibantu dengan tambahan cahaya lampu gantung. Uniknya pada lampu gantung ini terdapat cangkang telur burung onta untuk mencegah munculnya jaring laba laba di dalam masid ini. lampu lampu gantung ini juga dilengkapi dengan bola bola Kristal, namun Pernik Pernik unik tersebut kini sudah disimpan di museum.

Dekorasi kaligrafi di masjid ini dibuat oleh Seyyid Kasim Gubari, yang dikenal sebagai kaligrafer ternama pada masa itu. Seluruh lantai dalam masjid dilapis dengan karpet yang merupakan sumbangan dari Jemaah dan secara berkala diganti pada saat ada kerusakan. Banyaknya jendela jendela besar di masjid ini mengesankan ruang yang lebih lega dari aslinya.Tingkap (kusen dan bingkai jendela) pada bagian lantai bawah dihias dengan teknik Opus Sectile yakni ragam hias dengan merangkai potongan potongan berbagai material pilihan kemudian dirangkai satu persatu membentuk pola tertentu sebagaimana sebuah mozaik.

Mohrab dan mimbar di Masjid Sultan Ahmed, keduanya sama sama dibangun tinggi sekali.

Kubah utama Masjid Sultan Ahmed dilengkapi dengan 28 jendela (lima diantaranya adalah jendela tanpa kaca) sedangkan masing masing semi kubah nya dilengkapi dengan 14 Jendela dan setiap Exedra (ruang ceruk yang terbentuk oleh bangun semi kubah) dilengkapi dengan lima jendela). Kaca jendela berwarna warni di masjid ini merupakan hadiah dari Signoria of Venice kepada Sultan. Beberapa dari jendela jendela warna warti itu kini telah mengalami penggantian.

Mihrab dan Mimbar

Sesuai dengan ukuran masjidnya, ruangan dalam masjid ini dirancang sebagai sebuah aula besar beratap sangat tinggi setara dengan gedung berlantai 4, Begitupun mihrab dan mimbarnya yang dibangun begitu tinggi. Bentuk mihrabnya berupa ceruk setengah lingkaran kemudian dibingkai dengan bentuk menyerupai sebuah gapura besar dilengkapi dengan dua bentuk pilar di kiri dan kanan yang bagian atasnya dihias dengan ukiran bewarna emas. Bahan nya menggunakan batu pualam yang di ukir dan dipahat begitu halus, kemudian diberikan aksen warna emas. Dibagian atas ceruk di hias dengan sedikit Muqornas (ragam hias stalaktit) dan di sisi Mihrab paling atas diletakkan dua inskripsi kaligrafi.

Mimbar diletakkan disebelah kanan mihrab. Sebuah mimbar yang cukup tinggi dilengkapi dengan jejeran anak anak tangga dan sebuah bentuk seperti gapura di depannya. bagian atas mimbar diberikan atap runcing seperti halnya ujung Menara masjid ini. rancangan mimbar seperti ini bertujuan untuk menempatkan khatib pada posisi yang mudah dilihat oleh seluruh jamaah di dalam masjid dan memungkinkan suaranya terdengar hingga Jemaah terjauh dari mihrab.  dinding pada sisi kiblat masjid ini juga dilengkapi dengan begitu banyak jendela termasuk di sisi kiri, kanan dan atas mimbar dan mihrabnya.

Pelataran tengah tertutup di Masjid Sultan Ahmed. Bangunan segi delapan ditengah tengah itu adalah pancuran air.

Masjid Sultan Ahmed dilengkapi dengan area sholat khusus untuk keluarga kerajaan, bila di Indonesia area tersebut dikenal dengan istilah Maksura yang terdapat di berbagai masjid kesultanan di Indonesia. Selain itu di masjid ini juga dilengkapi dengan area khusus untuk keluarga kerajaan berikut dengan ruangan untuk mereka beristirahat. masih di masjid ini juga terdapat ruangan tempat tinggal Imam masjid.

Exterior Masjid Sultan Ahmed

Seperti disebutkan di bagian depan tulisan ini, masjid Sultan Ahmed terdiri dari bangunan utama masjid dan pelataran dengan masing masing ukuran luasnya hampir sama. Pelataran tengah ini dikelilingi oleh koridor arcade berkesinambungan terhubung langsung ke bangunan utama masjid. disana juga ditempatkan tempat berwudhu di kedua sisinya. dibagian tengah pelataran ini juga terdapat pancuran kecil berdenah heksagonal.

Sebuah gerbang dibangun menuju ke area pelataran masjid dengan rancangan arsitektur yang cukup memukau dilengkapi juga dengan semi kubah dan struktur muqarnas yang apik. di puncak gapura ini dilengkapi dengan satu kubah berukuran kecil berdiri diatas tholobate (bentuk silindris seperti drum yang menopang kubah). Di komplek masjid ini juga terdapat bekas bangunan Sekolah Dasar (Sıbyan Mektebi) yang sangat bersejarah dan kini digunakan sebagai pusat informasi masjid. di pusat informasi ini pengunjung bisa mendapatkan informasi tentang Masjid Biru dan informasi tentang Islam secara umum dengan Cuma Cuma alias gratis.

Enam menara ?, Seharusnya adalah Menara Emas. Hanya saja yang sudah terlanjur berdiri adalah enam menara, bukan menara emas.

Satu hal menarik lainnya dari masjid ini adalah adanya rantai besi yang digantungkan di pintu masuk menuju ke pelataran masjid dari arah barat yang dulunya hanya digunakan khusus sebagai akses untuk Khalifah (kini tebiasa disebut dengan Sultan). Rantai tersebut digantung cukup rencah sehingga setiap kali Sultan hendak masuk ke masjid, beliau harus menundukkan kepala agar tak tersangkut di rantai besi tersebut. Sengaja dibuat demikian sebagai sebuah simbol dari sikap merendahkan diri dan bahwa kekuasaan penguasa sama sekali tidak sebanding dengan kekuasaan Allah Subhanahuwata’ala.

Enam Menara Atau Menara Emas ?

Masjid Sultan Ahmed ini merupakan salah satu dari dua Masjid di Turki yang memiliki enam Menara, salah satunya lagi adalah Masjid Sabanci di kota Adana yang dibangun pada era modern. Konon, berdasarkan kisah tutur, enam Menara pada masjid Sultan Ahmed ini dibangun karena Arsitek yang merancangnya salah mendengar perintah Sultan. Kala itu, dalam Bahasa Turki Sultan memerintahkan dibangun “Altin Minareler” atau “Menara emas” namun yang terdengar oleh arsiteknya justru “Alti Minare” yang berarti “Enam Menara”.

Masalahnya adalah pada saat itu baru Masjidil Harom di Mekah yang memiliki Enam Menara dan sudah menjadi ciri khasnya sebagai masjid dengan Menara terbanyak. Karenanya kemudian Sultan memerintahkan pembangunan satu menara lagi untuk Masjidil Haram di Mekah, hingga jumlah Menara Masjidil Haram menjadi tujuh lebih banyak dari Menara di masjid Sultan Ahmed sehingga tetap menjadikan Masjidil Haram sebagai masjid dengan Menara terbanyak.

Merendahlah dihadapan Allah. Siapapun yang akan lewat pintu ini harus menunduk bila tak ingin kepala terbentur rantai baja tersebut. sebuah simbol bahwa kekuasaan yang dimiliki manusia tak ada apa apa-nya dibandingkan kekuasaan Allah.

Menara Pinsil

Anda tahu bentuk pensil yang diraut, nah begitulah kira kira bentuk dasar Menara Menara masjid dari era Emperium Usmaniyah. Bentuknya selalu ramping, semampai dan runcing. masing masing Menara dilengkapi dengan tiga balkoni (dalam Bahasa Turki disebut (Şerefe) dengan penopangnya yang dibentuk seni muqornas (Stalaktit). Pada masanya, Menara ini benar benar berfungsi sebagai tempat Muazin mengumandangkan azan dari balkoni teratas Menara.

Setiap kali menjelang waktu sholat tiba, muazin akan naik ke Menara meniti tangga melingkar yang sempit di dalam Menara hingga ke balkoni puncak dan mengumandangkan azan disana sekeras kerasnya supaya suaranya terdengar sejauh mungkin. Fungsi tersebut kini sudah digantikan dengan sistem pengeras suara elektronik dan jangkauan suara azan dari masjid ini pun kini terdengar hingga ke seantero kawasan.

Lukisan wajah Sultan Ahmed 1.
Azan magrib di Masjid ini juga menjadi salah satu objek wisata menarik bagi para wisatawan asing disana sambil menyaksikan tenggelamnya matahari di senja hari seiring dengan lantunan azan yang merdu, bebeberapa media bahkan menyebutkan beberapa wisatawan asing yang pernah menikmati momen tersebut kemudian bahkan tersentuh untuk memeluk Islam.

Kunjungan Paus Benedictus XVI ke Masjid Sultan Ahmed

Paus Benedictus XVI selaku pemimpin ummat Katholik sedunia, pernah berkunjung ke Masjid Sultan Ahmed pada tanggal 30 November 2006 dalam rangkaian kunjungan beliau ke Turki. Ditemani oleh Mufti dan Imam Masjid Sultan Ahmed, Paus Benedictuts XVI melepaskan sepatunya, masuk ke masjid menuju ke depan mihrab kemudian berdiam diri disana sambil memejamkan mata sekitar dua menit. Kunjungan tersebut memiliki sejarah tersendiri bagi Masjid Sultan Ahmed dan Turki, mengingat bahwa kunjungan tersebut baru merupakan kunjungan kedua kalinya dari Orang Nomor Satu di Vatikan ke tempat ibadah ummat Islam sepanjang sejarah.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA