Emperium atau Kekaisaran Usmaniyah atau oleh
bangsa Eropa disebut dengan Kekaisaran Otoman, sejatinya adalah Ke-Khalifahan
Islam terahir yang pernah eksis selama 623 tahun, sejak pertama kali dibentuk
Oleh Osman Bey tahun 1299 sampai kemudian dihapuskan oleh Mustafa Kemal
Attaturk pada tahun 1922 dan kemudian bekas pusat wilayah kekuasannya berubah
menjadi Republik Turki yang kini kita kenal, pusat pemerintahannya pun dipindahkan
dari Ankara.
Sejarah Emperium Usmaniyah yang paling terkenal
ke seantero dunia adalah sejarah kejatuhan Konstantinopel yang merupakan pusat
kekuasaan Emperium Byzantium Romawi Timur oleh pasukan Muhammad Al-Fatih pada
Hari Jum,at tanggal 23 Maret 1453. Al-Fatih mengganti nama Konstantinopel
menjadi Istambul dan menjadikan kota itu sebagai ibukota Emperium Usmaniyah, setelah
sebelumnya berada di Edirne. Masa ini merupakan awal perkembangan luar biasa
dari Emperium Usmaniyah.
Paska penaklukan tersebut, Al-Fatih mengubah
Gereja Ayasofia menjadi Masjid resmi atau masjid nasional Emperium Usmaniyah.
satu setengah abad setelah itu, pada masa pemerintahan Sultan Ahmed I yang
memerintah pada tahun 1603-1617 dibangun Masjid Nasional yang baru berhadapan
dengan Masjid Hagia Shopia, yakni Masjid yang kini dikenal dengan nama Masjid Sultan
Ahmed atau dikenal juga dengan nama Masjid Biru atau Blue Mosque.
The Blue Mosque / Sultan Ahmet Camii
Sultanahmet Mh., At Meydanı No:7, 34122
Fatih/İstanbul, Turki
Kini, Meski telah berumur 4 abad, Masjid Sultan
Ahmed ini masih terawatt baik dan masih berfungsi sebagaimana mestinya
sekaligus menjadi salah satu destinasi wisata andalan kota Istanbul. Seperti
Tradisi masjid masjid bersejarah lain-nya di pekarangan masjid ini juga menjadi
tempat dimakamkannya mendiang Sultan Ahmed I, yang membangun masjid ini.
Sejarah Masjid Sultan Ahmed
Masjid Sultan Ahmed atau Masjid Biru dibangun
pada tahun 1609 sampai dengan tahun 1616 pada masa Kekuasaan Sultan Ahmed 1.
Pembangunnya adalah Husna Bint Mayram dibawah pengawasan langsung dari Hāndān
Vālida Sultânā, putra dari Sultan
Ahmed I. Pembangunan masjid
ini sempat menuai protes dari kalangan ulama ke-khalifahan karena dilaksanakan
pada saat Ke-Khalifahan Usmaniyah baru mencapai perdamaian Zsitvatorok dan menderita kekalahan dalam perang
Persia, namun justru tujuan dari Sultan Ahmed 1 membangun masjid ini adalah
untuk mengembalikan lagi marwah Kekhalifahan.
Sebelumnya Ke-Khalifahan Usmaniyah di Istanbul menggunakan
Hagia Sophia sebagai masjid Nasional. Para pengikut Sultan harus bekerja keras
membangun masjid ini sebagai pengganti kekalahan perang, sementara Sultan Ahmed
1 harus menguras perbendaharaan Negara untuk biaya pembangunannya, mengingat
perang terhadap Persia tidak memberikan hasil yang gemilang.
Masjid Sultan Ahmed dari kejauhan salah satu sudut kota Istanbul |
Lokasi pembangunan Masjid ini dipilih pada
lokasi Istana kekaisaran Byzantium, di depan Katedral Aya Sofia yang sudah
dikonversi menjadi Masjid Agung Hagia Shopia Sejak Kemenangan Muhammad Al-Fatih
menghancurkan Emperium Byzantium (Romawi Timur) dengan menaklukkan Kota
Konstantinopel pada Hari Jum,at tanggal 23 Maret 1453 dan mendirikan
ke-Khalifahan Usmaniyah lalu mengubah nama Konstantinopel menjadi Istambul.
Lokasi ini memang merupakan tempat yang
memiliki arti simbolis yang teramat penting, mengingat disini 150 tahun
sebelumnya merupakan pusat Kekuasaan Byzantium (Romawi Timur), dipuncak bukit
yang mendominasi pemandangan kota Istambul dari arah selatan. Sebagian besar
sisi selatan masjid ini berdiri tepat di pondasi bekas Istana Byzantium
tersebut berdekatan dengan gedung Hippodrome. Wajar bila Sultan Ahmed 1
bersikukuh membangun masjid ini untuk menunjukkan kekuasaan dan membangkitkan
lagi marwah Ke-Khalifahan.
Paralelisasi Sejarah
Pembangunan Masjid Sultan Ahmed ini pada tahun
1609 hingga tahun 1616. Bila disejajarkan dengan sejarah Kesultanan di
Nusantara, pada saat di Istambul dilaksanakan pembangunan Masjid ini di
Nusantara saat yang sama sedang berkuasa Kesultanan Jayakarta (1527-1619).
Menunjukkan bahwa masa kekuasaan Sultan Ahmed 1 di Emperium Usmaniyah (Turki)
bersamaan dengan masa Kekuasaan Pangeran Jayakarta di Kesultanan Jayakarta
(Indonesia).
Masjid Sultan Ahmed pada dasarnya terdiri dari satu bangunan utama dan satu pelataran tertutup yang diintegrasikan menjadi satu. |
Hanya saja tiga tahun setelah Pembangunan
Masjid Sultan Ahmed ini selesai dan digunakan sebagai Masjid Nasional bagi
Emperium Usmaniyah, Masjid Agung Jayakarta justru tak bersisa di bumi hanguskan
oleh J.P. Coen setelah berhasil menaklukkan Jayakarta pada 12 Maret 1619,
sedangkan Emperium Usmaniyah masih berkuasa hingga tiga abad setelah itu. Dan
Masjid Sultan Ahmed masih berfungsi hingga hari ini.
Arsitektur Masjid Sultan Ahmed
Masjid Sultan Ahmed dirancang oleh arsitek Sedefkâr
Mehmed Ağa (wafat tahun 1622)
dengan enam menara lancip, ramping dan menjulang, bangunan utamanya ditutup
dengan lima kubah utama, dan enam kubah sekunder. Rancangan ini disebut sebut
sebagai titik kulminasi dari dua abad perkembangan masjid masjid Emperium
Usmaniyah. Sangat jelas ada perpaduan Antara rancangan dari bangunan Masjid
Hagia Shopia yang berada disebelahnya.
Rancangan tersebut kemudian dipadu dengan
tradisi arsitektur Islam dan menjadikannya sebagai Masjid Agung terahir yang di
bangun pada periode klasik. Arsitek Sedefkâr Mehmed Ağa benar berhasil mensintesa ide ide dari
gurunya, Mimar Sinan (1450?-1588) yang dikenal sebagai arsitek termashur
Emperium Usmaniyah, dengan rancangan masjid berukuran raksasa, menakjubkan dan
mengagumkan. Rancangan masjid Sultan Ahmed ini dan masjid masjid lainnya yang
dibangun pada era Emperium Usmaniyah ini dikemudian hari menjadi salah satu
rujukan rancang bangun Masjid di seluruh dunia dan kini dikenal sebagai gaya
rancangan masjid Turki Usmani.
Serba biru. itu sebabnya disebut Blue Mosque atau masjid biru, merujuk kepada warna biru yang mendominasi langit langit senatero bagian dalam masjid tua ini. |
Secara umum bangunan masjid Sultan Ahmen ini
dibagi menjadi dua bagian utama yakni bangunan utama masjid dan area pelataran
tengah atau court yard yang dikelilingi dengan korodor menyatu dengan bangunan
utama. Rancangan seperti ini memang sudah mentradisi sejak masa ke-khalifahan
Islam sebelumnya, dimana hampir semua masjid berukuran besar dirancang dengan
pola yang sama. Pelataran tengah berupa plaza terbuka ini digunakan sebagai
area sholat tambahan bagi jamaah yang tidak tertampung di dalam bangunan utama.
Berdasarkan perhitungan matematika dengan
mempertimbangan postur rata rata orang Eropa, Masjid Sultan Ahmed ini dapat
menampung hingga 10 ribu Jemaah sekaligus. Dengan ukuran ruang utamanya
mencapai 73 x 65 meter. Ketinggian utamanya pada sisi luar mencapai 43 meter
serta garis tengah lingkarannya mencapai 23,5 meter. Sementara tinggi masing
masing menara runcingnya itu mencapai 64 meter.
Interior Masjid Sultan Ahmed
Pada setiap tingkatan di bagian dalam masjid
Sultan Ahmed ini sarat dengan jejeran lebih dari 20 ribu keeping keramik buatan
tangan bergaya Iznik yang memang dibuat di Iznik (Nicaea Kuno) corak yang
digunakannya berupa lebih dari 50 corak bunga tulip yang berbeda. Pada bagian
bawah banyak menggunakan gaya tradisional dalam rancangannya sedangkan pada bagian
atas rancangannya lebih flamboyan dengan kehadiran aneka corak bunga, buah dan
pepohonan hijau.
Pembuatan masing masing keping keramik hias
tersebut diawasi langsung oleh seorang pakar Iznik, sedangkan harga masing
masing kepingan keramik tersebut ditetapkan dengan dekrit dari Sultan Ahmed dengan
harga yang tetap kendatipun pada kala itu harga masing masing kepingan keramik
Iznik senantiasa meningkat sepanjang waktu.
Interior bagian paling atas masjid ini di
dominasi dengan balutan warna biru, warna ini yang kemudian lengket dengan nama
masjid ini sebagai Masjid Biru. Ada l ebih dari 200 jendela kaca patri dengan
rancangan yang cukup rumit memainkan cahaya alami matahari dan kini dibantu
dengan tambahan cahaya lampu gantung. Uniknya pada lampu gantung ini terdapat
cangkang telur burung onta untuk mencegah munculnya jaring laba laba di dalam
masid ini. lampu lampu gantung ini juga dilengkapi dengan bola bola Kristal,
namun Pernik Pernik unik tersebut kini sudah disimpan di museum.
Dekorasi kaligrafi di masjid ini dibuat oleh Seyyid
Kasim Gubari, yang dikenal
sebagai kaligrafer ternama pada masa itu. Seluruh lantai dalam masjid dilapis
dengan karpet yang merupakan sumbangan dari Jemaah dan secara berkala diganti
pada saat ada kerusakan. Banyaknya jendela jendela besar di masjid ini
mengesankan ruang yang lebih lega dari aslinya.Tingkap (kusen dan bingkai
jendela) pada bagian lantai bawah dihias dengan teknik Opus Sectile yakni ragam
hias dengan merangkai potongan potongan berbagai material pilihan kemudian
dirangkai satu persatu membentuk pola tertentu sebagaimana sebuah mozaik.
Mohrab dan mimbar di Masjid Sultan Ahmed, keduanya sama sama dibangun tinggi sekali. |
Kubah utama Masjid Sultan Ahmed dilengkapi
dengan 28 jendela (lima diantaranya adalah jendela tanpa kaca) sedangkan masing
masing semi kubah nya dilengkapi dengan 14 Jendela dan setiap Exedra (ruang ceruk
yang terbentuk oleh bangun semi kubah) dilengkapi dengan lima jendela). Kaca
jendela berwarna warni di masjid ini merupakan hadiah dari Signoria of
Venice kepada Sultan. Beberapa dari jendela jendela warna
warti itu kini telah mengalami penggantian.
Mihrab dan Mimbar
Sesuai dengan ukuran masjidnya, ruangan dalam
masjid ini dirancang sebagai sebuah aula besar beratap sangat tinggi setara
dengan gedung berlantai 4, Begitupun mihrab dan mimbarnya yang dibangun begitu
tinggi. Bentuk mihrabnya berupa ceruk setengah lingkaran kemudian dibingkai
dengan bentuk menyerupai sebuah gapura besar dilengkapi dengan dua bentuk pilar
di kiri dan kanan yang bagian atasnya dihias dengan ukiran bewarna emas. Bahan
nya menggunakan batu pualam yang di ukir dan dipahat begitu halus, kemudian
diberikan aksen warna emas. Dibagian atas ceruk di hias dengan sedikit Muqornas
(ragam hias stalaktit) dan di sisi Mihrab paling atas diletakkan dua inskripsi
kaligrafi.
Mimbar diletakkan disebelah kanan mihrab.
Sebuah mimbar yang cukup tinggi dilengkapi dengan jejeran anak anak tangga dan
sebuah bentuk seperti gapura di depannya. bagian atas mimbar diberikan atap
runcing seperti halnya ujung Menara masjid ini. rancangan mimbar seperti ini
bertujuan untuk menempatkan khatib pada posisi yang mudah dilihat oleh seluruh
jamaah di dalam masjid dan memungkinkan suaranya terdengar hingga Jemaah
terjauh dari mihrab. dinding pada sisi
kiblat masjid ini juga dilengkapi dengan begitu banyak jendela termasuk di sisi
kiri, kanan dan atas mimbar dan mihrabnya.
Pelataran tengah tertutup di Masjid Sultan Ahmed. Bangunan segi delapan ditengah tengah itu adalah pancuran air. |
Masjid Sultan Ahmed dilengkapi dengan area
sholat khusus untuk keluarga kerajaan, bila di Indonesia area tersebut dikenal
dengan istilah Maksura yang terdapat di berbagai masjid kesultanan di
Indonesia. Selain itu di masjid ini juga dilengkapi dengan area khusus untuk
keluarga kerajaan berikut dengan ruangan untuk mereka beristirahat. masih di
masjid ini juga terdapat ruangan tempat tinggal Imam masjid.
Exterior Masjid Sultan Ahmed
Seperti disebutkan di bagian depan tulisan ini,
masjid Sultan Ahmed terdiri dari bangunan utama masjid dan pelataran dengan
masing masing ukuran luasnya hampir sama. Pelataran tengah ini dikelilingi oleh
koridor arcade berkesinambungan terhubung langsung ke bangunan utama masjid.
disana juga ditempatkan tempat berwudhu di kedua sisinya. dibagian tengah
pelataran ini juga terdapat pancuran kecil berdenah heksagonal.
Sebuah gerbang dibangun menuju ke area
pelataran masjid dengan rancangan arsitektur yang cukup memukau dilengkapi juga
dengan semi kubah dan struktur muqarnas yang apik. di puncak gapura ini
dilengkapi dengan satu kubah berukuran kecil berdiri diatas tholobate (bentuk
silindris seperti drum yang menopang kubah). Di komplek masjid ini juga
terdapat bekas bangunan Sekolah Dasar (Sıbyan Mektebi) yang sangat bersejarah dan kini digunakan
sebagai pusat informasi masjid. di pusat informasi ini pengunjung bisa mendapatkan
informasi tentang Masjid Biru dan informasi tentang Islam secara umum dengan
Cuma Cuma alias gratis.
Enam menara ?, Seharusnya adalah Menara Emas. Hanya saja yang sudah terlanjur berdiri adalah enam menara, bukan menara emas. |
Satu hal menarik lainnya dari masjid ini adalah
adanya rantai besi yang digantungkan di pintu masuk menuju ke pelataran masjid
dari arah barat yang dulunya hanya digunakan khusus sebagai akses untuk
Khalifah (kini tebiasa disebut dengan Sultan). Rantai tersebut digantung cukup
rencah sehingga setiap kali Sultan hendak masuk ke masjid, beliau harus
menundukkan kepala agar tak tersangkut di rantai besi tersebut. Sengaja dibuat
demikian sebagai sebuah simbol dari sikap merendahkan diri dan bahwa kekuasaan
penguasa sama sekali tidak sebanding dengan kekuasaan Allah Subhanahuwata’ala.
Enam Menara Atau Menara Emas ?
Masjid Sultan Ahmed ini merupakan salah
satu dari dua Masjid di Turki yang memiliki enam Menara, salah satunya lagi
adalah Masjid Sabanci di kota Adana yang dibangun pada era modern. Konon,
berdasarkan kisah tutur, enam Menara pada masjid Sultan Ahmed ini dibangun
karena Arsitek yang merancangnya salah mendengar perintah Sultan. Kala itu,
dalam Bahasa Turki Sultan memerintahkan dibangun “Altin Minareler” atau “Menara
emas” namun yang terdengar oleh arsiteknya justru “Alti Minare” yang berarti
“Enam Menara”.
Masalahnya adalah pada saat itu baru
Masjidil Harom di Mekah yang memiliki Enam Menara dan sudah menjadi ciri
khasnya sebagai masjid dengan Menara terbanyak. Karenanya kemudian Sultan
memerintahkan pembangunan satu menara lagi untuk Masjidil Haram di Mekah,
hingga jumlah Menara Masjidil Haram menjadi tujuh lebih banyak dari Menara di
masjid Sultan Ahmed sehingga tetap menjadikan Masjidil Haram sebagai masjid
dengan Menara terbanyak.
Menara Pinsil
Anda tahu bentuk pensil yang diraut, nah
begitulah kira kira bentuk dasar Menara Menara masjid dari era Emperium
Usmaniyah. Bentuknya selalu ramping, semampai dan runcing. masing masing Menara
dilengkapi dengan tiga balkoni (dalam Bahasa Turki disebut (Şerefe) dengan penopangnya yang dibentuk
seni muqornas (Stalaktit). Pada masanya, Menara ini benar benar berfungsi
sebagai tempat Muazin mengumandangkan azan dari balkoni teratas Menara.
Setiap kali menjelang waktu sholat tiba, muazin
akan naik ke Menara meniti tangga melingkar yang sempit di dalam Menara hingga
ke balkoni puncak dan mengumandangkan azan disana sekeras kerasnya supaya
suaranya terdengar sejauh mungkin. Fungsi tersebut kini sudah digantikan dengan
sistem pengeras suara elektronik dan jangkauan suara azan dari masjid ini pun
kini terdengar hingga ke seantero kawasan.
Lukisan wajah Sultan Ahmed 1. |
Azan magrib di Masjid ini juga menjadi salah
satu objek wisata menarik bagi para wisatawan asing disana sambil menyaksikan
tenggelamnya matahari di senja hari seiring dengan lantunan azan yang merdu,
bebeberapa media bahkan menyebutkan beberapa wisatawan asing yang pernah
menikmati momen tersebut kemudian bahkan tersentuh untuk memeluk Islam.
Kunjungan Paus Benedictus XVI ke Masjid Sultan Ahmed
Paus Benedictus XVI selaku pemimpin ummat Katholik sedunia, pernah
berkunjung ke Masjid Sultan Ahmed pada tanggal 30 November 2006 dalam rangkaian kunjungan beliau ke
Turki. Ditemani oleh Mufti dan Imam Masjid Sultan Ahmed, Paus Benedictuts XVI
melepaskan sepatunya, masuk ke masjid menuju ke depan mihrab kemudian berdiam
diri disana sambil memejamkan mata sekitar dua menit. Kunjungan tersebut
memiliki sejarah tersendiri bagi Masjid Sultan Ahmed dan Turki, mengingat bahwa
kunjungan tersebut baru merupakan kunjungan kedua kalinya dari Orang Nomor Satu
di Vatikan ke tempat ibadah ummat Islam sepanjang sejarah.***