Masjid Agung di kota Yamoussoukro, ibukota pemerintahan Pantai Gading. |
Republik
Pantai Gading, dalam bahasa Prancis disebut Republique de Cote D'Ivote dan Ivory
Coast dalam bahasa Inggris, merupakan sebuah negara di pantai barat benua
Afrika, berbatasan langsung dengan Liberia dan Guyana
disebelah timur, Burkina
Faso di Utara dan Republik
Ghana di sebelah timur, sedangkan sisi selatannya menghadap langsung ke
Samudera Atlantik. Pantai Gading mulanya ber-ibukota di Abidjan kemudian
dipindahkan ke Yamoussoukro di tahun 1983. Menjadikan negara ini sebagai salah
satu negara yang memindahkan pusat pemerintahannya. Namun demikian banyak
negara, termasuk Amerika Serikat, yang menempatkan kedutaan besarnya di
Abidjan, bukan di Yamoussoukro.
Pantai
Gading dikenal oleh para pecinta liga sepakbola Inggris dari pemain
sepakbolanya yang merumput di liga Inggris dan liga Eropa lainnya, salah
satunya yang cukup terkenal adalah Kolo Toure atau bernama lengkap Kolo Habib
Toure[i],
pesepakbola muslim asli Pantai Gading ini mengundang decak kagum ketika dia
berhasil mengantarkan Manchester City sebagai juara liga Inggris.
Bahasa
nasional Pantai Gading adalah bahasa Perancis, di samping bahasa Dioula, yang
merupakan bahasa asli setempat. Dengan wilayah seluas 322.460 km2, dihuni
sekitar 17.327.724 orang, terdiri dari suku asli Afrika 97% (Akan 42%,
Gur/Voltaiques 17%, Mende 27%, Krous 11%, lain-lain 3%).
Islam di Pantai Gading
Menurut
situs Islamonline, dari 16 juta penduduk Pantai Gading, 60% beragama Islam
disusul oleh pemeluk Katolik 22% dan 18% animis. Situs world fact book
menyebutkan Agama Islam dianut sekitar 38,6%, Kristen 32,8%, penganut
kepercayaan asli setempat 11.9% dan tak beragama 16,7%. world
fact book juga menyebutkan bahwa 70% tenaga kerja
asing disana beragama Islam dan 20% beragama Kristen[iii].
Sementara penelitian Library of Congress Country Studies, menyatakan bahwa 1
dari 4 penduduk Pantai Gading adalah Muslim, sedangkan Kristen 1 berbanding 8.
PEW yang menyebutkan bahwa muslim di Pantai Gading mencapai angka 36.7%
dari jumlah total penduduk atau setara dengan 7.745.000 jiwa berdasarkan data
tahun 2009 lalu[iv].
Data tersebut menjadikan Pantai Gading sebagai salah satu negara dengan
minoritas muslim yang cukup besar.
Masuknya Islam ke Benua Afrika
Islam
sudah masuk ke benua Afrika sejak abad ke tujuh, pada masa khalifah Muawiyah bin
Abu Sofyan. Beliau mengutus Uqba
Bin Nafi menjadi gubernur di Afrika pada 666 M dengan ibukota di Fustat. Uqba
Bin Nafi memimpin pasukan menghadapi tentara musuh yang mengacau di Fezzaan
(sekarang daerah Libya Selatan) dan Wardan. Uqba
Bin Nafi juga lah yang pertama kali menembus padang pasir Sahara, menembus
wilayah-wilayah Sudan termasuk Ghana. Pada masa pemerintahan Yazid I, Uqba
Bin Nafi memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Maroko di Afrika utara
dan sekitarnya[v].
Sebuah Masjid Megah di pusat kota Metropolitan Abidjan |
Islam
datang ke wilayah Afrika Bagian Barat dalam tiga gelombang. Pertama pada abad
ke-9 ketika bangsa Berber (Maroko dan sekitarnya di Afrika Utara) menyebarkan Islam
di Ghana. Gelombang kedua terjadi pada abad ke-13, ketika Kesultanan Mali
terbentuk dan menyebarkan Islam ke seluruh Sabana di Afrika Barat sampai dengan
abad ke-18. Terakhir pada abad ke-19 ketika seorang pahlawan Muslim Mali, yaitu
Samore Toure menyebarkan ke arah selatan Afrika.
Masuknya Islam Ke Pantai Gading
Islam
masuk ke Pantai Gading pada gelombang ke-2, yaitu pada abad ke-13 ketika
Kesultanan Mali berjaya dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru Afrika Barat.
Sedangkan Kristen baru datang ke kawasan itu pada abad ke-17. Mayoritas pemeluk
Islam di Pantai Gading beraliran Sunni, dan mengikuti Madzhab Maliki. Aliran
sufi juga dianut oleh sebagian komunitas Muslim Pantai Gading. Aliran sufi yang
dianut adalah Qadiriyah dan Tijaniyah.
Pada
awalnya, Pantai Gading adalah suatu perkampungan yang sangat terisolasi,
didiami tak kurang dari 60 suku, ditemukan oleh para pedagang Portugis dan
Perancis pada abad ke-15. Mereka mencari gading dan budak, dan pada akhirnya
Perancis menduduki Pantai Gading hingga abad ke-20. Mungkin Pantai Gading
adalah sebuah negara di antara sedikit negara yang dibangun penuh dengan
pertikaian agama sampai saat ini, yaitu Islam dan Kristen. Islam di utara dan
Kristen di selatan, yang saling berebut kekuasaan.
Pertikaian Muslim – Kristen
Pantai
Gading sebenarnya adalah sebuah negara kaya, penghasil coklat terbesar di
dunia, disamping kopi dan minyak nabati, namun rakyatnya tak kunjung makmur
akibat pertikaian berdarah yang tak kunjung usai di negeri tersebut. Konflik
berdarah di Pantai Gading telah berlangsung lama terutama pertikaian antara
komunitas Muslim dan Kristen disana, yang berurat berakar sejak pembentukan
Pantai
Gading adalah Negara bekas jajahan Perancis, pertama kali terbentuk sebagai
sebuah sebuah Rpublik otonom dibawah kendali Prancis pada tahun 1893. Tahun
1959 dibentuk kesatuan adat antara Pantai Gading, Benin, Niger dan Burkina Faso,
barulah pada tanggal 7 Agustus 1960 Pantai Gading memperoleh kemerdekaan dari
Perancis, dan Felix Houphouet-Boigny terpilih sebagai Presiden pertama di
Negara Pantai Gading yang baru terbentuk dengan azaz demokrasi. Felix Houphouet-Boigny
terpilih kembali secara demokratis pada pemilu presiden tahun 1990, dan beliau
wafat pada tahun 1993. Henri Konan Bedie menggantikan beliau sampai dengan
tahun 1999.
jemaah di halaman Masjid di Kota Abidjan |
Berbeda
dengan Felix Houphouet-Boigny yang memerintah secara demokratis dan berupaya
mempersatukan Pantai Gading, Henri Konan Bedie justru mengeluarkan kebijakan
sectarian yang bertajuk “program kebanggaan atas kemurnian bangsa Pantai Gading”,
yang berimplikasi kepada penyingkiran terhadap etnis yang disebut sebagai
pendatang dari Mali dan Burkina Faso yang mendiami kawasan utara Pantai Gading
dan notabene merupakan wilayah yang meyoritas penduduknya beragama Islam.
Tak
pelak upaya tersebut memicu kontroversi dan ketegangan karena dianggap sebagai
upaya pencegalan terhadap calon Preiden muslim, Alassane Ouattara yang berasal
dari utara yang juga merupakan mantan Perdana Menteri antata tahun 1990-1993
pada era pemerintahan mendian presiden Felix Houphouet-Boigny, beliau juga
merupakan mantan pejabat senior di organisasi internasional IMF. Alassane
Ouattara termasuk tokoh muslim dari utara yang dianggap bukan penduduk asli,
namun berasal dari Burkina Faso.
Alassane
Ouattara mundur dari jabatan Perdana Menteri di tahun 1993 pada saat Henri
Konan Bedie naik sebagai presiden dan meluncurkan kebijakan rasis tersebut dan
menuduh beliau sebagai bukan trah asli Pantai Gading. Kebijakan pemerintah
tersebut tak pelak memicu pertentangan politik yang pada ahirnya berujung
kepada perang saudara tak berkesudahan.
Pemilu
presiden yang akan diselenggarakan pada bulan Oktober 2000 pun nyaris gagal
dilaksanakan akibat kudeta yang dilakukan oleh Jendral Robert Guei pada bulan
Desember 1999. Meski ahirnya tetap terlaksana dan dimenangkan Laurent Gbagbo, namun
dianggap sebagai kemenangan yang penuh tipu daya. Alassane Ouattara memboikot hasil
pemilu, sedangkan Jenderal Robert Guei hengkang keluar negeri dan memobilisasi
pemberontakan, dan akhirnya terbunuh pada tanggal 19 September 2002.
Dengan
dukungan penuh dari penduduk muslim bagian utara Alassane Ouattara memilih
menjadi opposan terhadap Laurent Gbagbo sebagai presiden yang penuh kontroversi
dan mendapat dukungan penduduk bagian selatan yang mayoritas Kristen. Tekanan
yang begitu kuat yang melibatkan suku dan agama, yang menewaskan ribuan
penduduk, memaksa Presiden Laurent Gbagbo mengadakan rekonsoliasi dengan pihak
oposisi.
Megahnya Masjid Agung Yamoussoukro |
Perundingan
di Paris pada bulan Januari 2003 menghasilkan kesepakatan Laurent Gbagbo
bersedia membagi kekuasaan kepada pihak oposisi. Bulan Maret 2003 Seydou Diarra,
seorang tokoh muslim dari utara, diangkat sebagai Perdana Menteri Pantai
Gading. Sedangkan Alassane Ouattara yang diragukan kewarganegaraannya, pada
bulan Juni 2002 telah diakui penuh sebagai warga Negara Pantai Gading.
Namun
masalah dan perang saudara tak usai sampai disitu, Presiden Laurent Gbagbo
membuat blunder politik paling berat dalam sejarah pemerintahannya, ketika pada
tanggal 6 Nopember 2004 pasukan militer-nya mengebom kamp militer Perancis yang
menewaskan 31 tentara. Perancis membalas dengan menembak 2 pesawat Sukhoi dan 5
helikopter milik Pantai Gading. Ketegangan pun merebak, baik antara Perancis
dan Pantai Gading, maupun sebagian rakyat Pantai Gading yang berkeinginan kuat
untuk mengusir warga Perancis keluar dari Pantai Gading. Kehadiran militer
Prancis di Pantai Gading merupakan bagian dari pasukan perdamaian internasional
di bawah komando PBB.
Tentu
saja situasi ini tidak menguntungkan Laurent Gbagbo, di satu pihak memimpin
pemerintahan yang sangat tidak stabil, didera pertikaian sectarian antara
Kristen dan Muslim, di lain pihak berhadapan dengan Perancis yang pernah
menjajah negaranya, dan kecaman dunia intenasional. Perang saudara kembali
berkecamuk di Negara tersebut manakala Laurent Gbago enggan menyerahkan
kekuasaannya, meski telah kalah dalam pemilu demokratis tahun 2010 oleh lawan
politiknya Ouattara, dengan perolehan suara 54,1 persen, unggul dibanding Gbago
yang mendapat 45,9 persen.
Alih
alih mengakui kemenangan pihak oposisi, Laurent Gbago kemudian malah
membatalkan ribuan perolehan suara Ouatarra dan mengumumkan dirinya sebagai
pemenang pemilu. Keputusan yang tentu saja ditentang oleh pihak oposisi dan
dunia internasional. Pertikaian bersenjata antara dua pihak tak terelakkan, diperkirakan
800 orang tewas dalam pertempuran sepekan tersebut dan sekitar satu juta orang
mengungsi hingga ke Negara Negara tetangga.
The Smiling President, Mr. Allasane Ouattara |
Konflik
agak mereda setelah Laurent Gbago akhirnya tertangkap oleh pasukan loyalis
presiden terpilih yang mendapatkan dukungan internasional, di bunker
persembunyiannya pada bulan April 2011, bersama istri dan ibu mertuanya yang
ditengarai selama ini memiliki pengaruh begitu kuat atas keputusan dan
kebijakannya selama menjabat[vi]
Presiden Muslim Pertama Pantai Gading
Jum’at,
6 Mei 2011, merupakan hari bersejarah bagi muslim Pantai Gading, Mahkamah Agung
(MA) Pantai Gading, menetapkan Alassane Ouattara sebagai presiden, lima bulan
setelah ia memenangkan pemilu. Alassane Ouattara, menjadi presiden ke empat di
Pantai Gading, sekaligus menjadi presiden muslim pertama di Pantai Gading,
membuka jalan bagi rekonsiliasi nasional sebagai sebuah Negara damai seperti
yang pernah terjadi di era awal kemerdekaan Negara tersebut.
Alassane
Ouattara, pria kelahiran Dimbokro pada tanggal 1 Januari 1942, merupakan salah
satu tokoh intelektual Muslim Pantai Gading, Doktor pakar ekonomi
lulusanUniversity of Pennsylvania. Sangat disegani baik dalam politik maupun
karir internasionalnya. Menjabat sebagai Perdana Menteri tahun 1990-1993,
kemudian sebagai wakil direktur manajemen di IMF, 1 Juli 1994- 31 Juli 1999,
dan kemudian menjadi presiden dari Partai Rally of the Republicans (RDR) 1
Agustus 1999.***
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA