Masjid Al-Ijtihaj di Kampungnya para pemburu paus, Lamakera |
Lamakera adalah sebuah desa di
pantai ujung timur pulau Solor, Nusa Tenggara Timur. Secara administratif desa
ini masuk ke dalam kecamatan Solor Timur, kabupaten Flores Timur, dan selama
berabad abad terkenal sebagai desanya para pemburu ikan paus, sebuah propesi
yang benar benar langka dan membutuhkan nyali besar untuk menjalaninya. Lamakera
adalah satu dari dua desa di NTT yang penduduknya memiliki propesi tak biasa
tersebut, desa lainnya adalah desa yang namanya nyaris sama, yakni Desa
Lamalera di Kabupaten Lembata.
Sejak tahun 2015 Lamakera
dikembangkan oleh Pemkab Flotim sebagai kawasan pariwisata bahari baru bagi
para pecinta dunia laut. Di Lamakera dtemukan sejumlah jenis ikan langka yang
hidup diperaian ini sejak berabad abad silam. Beberapa diantara hewan hewan
laut itu kini bahkan nyaris punah, diantaranya dalah ikan paus, hiu, lumba
lumba dan ikan pari manta atau dalam bahasa setempat disebut ikan Moku.
Lamakera merupakan sebuah
perkampungan berbasis islam, letaknya yang berada di ujung timur pulau solor
menjadikannya sebagai daerah yang cukup strategis karena menjadi tempat
pertemuan arus dan mudah menjangkau laut sawu. Orang Lamakera merupakan nelayan
ulung yang memulai tradisi perburuan paus biru dengan hanya bermodalkan
“gala”(Tombak) dengan bertelanjang dada melesat diatas ganasnya samudera.
Laskar Lamakera nama gelar untuk
para penangkap paus desa Lamakera seajak dahulu. Laskar lamakera inilah yang
memulai tradisi perburuan paus yang kemudian ditiru desa serumpunnya Lamalera
disebelah selatan pulau lomblen (Lembata) yang bermayoritas Katolik dan Kristen
protestan. Hanya saja justru desa Lamalera yang di eskpose oleh media massa
yang berakibat protes keras dari warga Lamakera.
Kampung yang indah menghadap ke laut lepas berlatar bukit menghijau |
Dulunya, Desa Lamakera terdiri
dari dua dusun, yaitu Dusun Motonwutun di sebelah timur dan Dusun Watobuku di
sebelah barat. Seiring meningkatnya jumlah penduduk di kedua dusun tersebut,
sekarang statusnya sudah meningkat menjadi desa, yaitu Desa Motonwutun dan Desa
Watobuku. Meski sudah terbagi menjadi dua desa, tapi warga kedua desa tersebut
tetap menyebut dirinya sebagai Warga Desa Lamakera.
Untuk mencapai Desa Lamakera,
memang butuh sedikit perjuangan. Dari kota Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores
Timur dapat ditempuh dengan perahu (kapal motor) selama sekitar dua jam.
Satu-satunya kapal motor yang menuju Lamakera adalah Kapal Motor (KM) Rahmat
Solor yang dimiliki oleh Warga Lamakera. Setiap hari kapal ini berangkat dari
Pelabuhan Larantuka jam 12.00 siang dan tiba di Desa Lamakera sekitar jam
14.00.
Opsi lainnya untuk menuju ke
Lamakera, dari Larantuka Anda bisa naik perahu sampai ke Kota Waiwerang, Pulau
Adonara kemudian lanjut naik perahu kecil hingga tiba di Lamakera. (edyra). Sampai
saat ini tidak ada hotel ataupun penginapan di Desa Lamakera. Namun, pengunjung
bisa menginap di rumah warga yang ramah dan terbuka terhadap para pengunjung
desa mereka.
Sebagai sebuah desa dengan
penduduk beragama Islam, di Lamakera berdiri sebuah masjid megah bergaya modern
dengan nama Masjid Al-Ijtihaj. Sebuah bangunan megah dengan menaranya yang
tinggi menjulang telah menjadi landmark Lamakera sejak masjid tersebut berdiri.
Bagaimana tidak selain sebagai bangunan termegah di seantero desa, masjid ini
juga merupakan bangunan tertinggi sekawasan.
Masjid
AlIjtihad Lamakera
Desa Watobuku, Kecamatan Solor Timur, Kabupaten Flores TimurProvinsi Nusa Tenggara Timur. Indonesia
Koordinat : 8°26'4"S 123°9'49"E
Posisi Lamakera yang berada di
bibir pantai dan lokasi masjid ini yang juga berada di tepi pantai membuat
menara dan kubah besarnya sudah terlihat dari kejauhan, menjadi semacam
mercusuar bagi para nelayan Lamakera yang sedang melaut. Dari bukit batu yang
berada di sisi barat desa bangunan masjid ini terlihat tinggi menjulang
diantara bangunan rumah rumah penduduk.
Masjid Al-Ijtihaj Lamakera ini
dibangun dengan dana swadaya masyarakat muslim setempat sejak tahun 2012,
sebuah upaya dan semangat ke-Islaman yang luar biasa dari muslim setempat
dengan segala keterpencilannya, mampu membangun sebuah masjid yang begitu
megah, bahkan menara utama masjid ini memiliki ketinggian hingga 45 meter
menjadi menara masjid tertinggi di kabupaten Flores Timur dan provinsi NTT.
Masjid Al-Ijtihat mempunyai tujuh
pintu, dan masing masing pintu diberi nama sesuai nama tujuh suku yang ada di
Lamakera, yaitu Lewoklodo, Ema Onang, Kiko Onang, Lamakera, Hari Onang,
Lawerang, dan Kuku Onang. Masjid ini mempunyai lima menara dengan menara utama
yang berada di depan masjid menjulang setinggi 45 meter.
Masya Allah Indahnya |
Lamakera memiliki pesona alam
yang menawan. Pengunjung yang datang kesana dapat memanjat ratusan anak tangga
hingga ke puncak menara dengan meminta izin dari takmir masjid. Panorama yang
terlihat dari puncak menara sangat menakjubkan. Seluruh Desa Lamakera bisa
terlihat dengan jelas lengkap dengan bukit-bukit hijau di belakang desa dan
Selat Solor yang berair biru di depannya. Pulau Adonara di seberang selat dan
Pulau Lembata di sebelah timur juga terlihat jelas.
Desa Lamakera diapit dua buah
tanjung. Di sebelah barat desa namanya Tanjung Watobuku dan di sebelah timur
desa namanya Tanjung Motonwutun. Nama kedua tanjung ini kemudian dijadikan nama
desa, setelah Desa Lamakera dipecah menjadi dua. Panorama di Tanjung Watobuku
sangat cantik. Di tanjung ini terdapat sekumpulan batuan dengan bentuk yang
unik. Batu ini dikeramatkan oleh Warga Lamakera.
Tak jauh dari Tanjung Watobuku
juga terdapat sebuah pantai yang menarik, namanya Pantai Kebang. Di pantai ini
terdapat sebuah batu karang yang menjorok ke laut, bentuknya mirip
moncong/mulut buaya. Ada juga batuan berwarna merah di pinggir pantai yang
semakin menambah keindahan pantai Di dekat Pantai Kebang juga terdapat padang
savana dengan rumput hijau yang menghampar luas. Selain itu, kita juga bisa
melihat Gunung Ile Bolang yang berdiri menjulang di Pulau Adonara.
Lamakera dari bebukitan |
Kepercayaan nenek moyang
masyarakat Lamakera sebelum kedatangan Islam adalah animisme. Seperti di
kawasan Indonesia pada umumnya, awal masuknya Islam di Nusa Tenggara Timur
melalui jalur perdagangan yang dilakukan oleh para pedagang dan ulama. Pada
abad XV, banyak para pedagang Islam dari berbagai wilayah di Nusantara, seperti
para pedagang dari pulau Jawa, Sumatera dan Bugis Makasar yang melakukan
perdagangan dan atau menyinggahi berbagai wilayah di Nusa Tenggara Timur
sebagai tempat transit sebelum meneruskan pelayaran ke Maluku, Makasar ataupun
ke bandar-bandar di pulau Jawa.
Karena faktor tersebut agama
Islam paling awal masuk di wilayah Nusa Tenggara Timur adalah di sekitar
bandar-bandar strategis yang banyak dikunjungi para pedagang Islam.
Tempat-tempat tersebut antara lain : Pulau Solor, Pulau Ende, Pulau Alor, Kota
Kupang, dan pesisir utara Sumba Barat. Pulau Solor merupakan tempat yang paling
strategis bila ditinjau dari segi perdagangan karena berada pada posisi silang
pelayaran dari bandar di pulau Jawa, Sumatera, Makasar ke Maluku atau
sebaliknya, dari bandar-bandar di pulau Jawa, Sumatera, Makasar ke pulau Timor
dan dari bandar di Makasar ke pantai utara Australia.
Di samping itu di Lamakera
terdapat pelabuhan alam yang bagus dan aman sebagai tempat persinggahan kapal
dalam rangka menunggu cuaca dan angin yang tepat untuk berlayar. Itulah
sebabnya Lamakera yang terletak di ujung timur pulau Solor sebagai tempat yang
paling banyak dikunjungi para pedagang dan pelaut Islam dan merupakan salah
satu tempat di NTT yang paling awal menerima agama Islam.
Dari arah laut |
Keberuntungan yang disebabkan
oleh letak yang strategis dalam jalur perdagangan serta tersedianya pelabuhan
alam yang aman telah menjadikan masyarakat Lamakera sebagai komunitas yang
terbuka untuk menerima segala hal baru yang dibawa para pedagang yang hilir
mudik tersebut.
Apalagi tradisi raja Lamakera
pada saat itu, adalah mengundang dan menjamu setiap saudagar dari luar yang
singgah untuk berdagang dan atau sekedar berteduh dari gangguan musim angin
yang kencang. Keramahan tuan rumah seperti yang dicontohkan sang raja tersebut,
merupakan kesempatan yang baik bagi para pedagang Islam, untuk lebih mudah
memperkenalkan Islam kepada penguasa dan masyarakat Lamakera.
Sekitar abad ke XV, seorang
pedagang dari Palembang bernama Syahbudin bin Ali bin Salman Al Farisyi atau
yang kemudian dikenal juga dengan Sultan Menanga, merupakan salah seorang tokoh
perintis penyebaran agama Islam. Tokoh ini oleh Raja Sangaji Dasi diberi izin
menetap di wilayah perbatasan antara kerajaan Lamakera dan Lohayong. Di sana ia
mendirikan perkampungan Islam yang diberi nama Menanga.
Melalui pendekatan kekeluargaan,
tokoh ini berhasil menjadi menantu kerajaan dengan mengawini putri dari adik
Raja Sangaji Dasi. Pada saat bersamaan, ia juga berhasil meng-Islam-kan Raja
Sangaji Dasi. Dengan keberhasilan meng-Islam-kan tokoh kunci yakni raja dan keluarganya,
maka semakin lancarlah upaya penyebaran agama Islam bagi pengikut dan rakyat di
kerajaan tersebut.
Lamakera dengan menara masjidnya yang menjulang menjadi semacam mercusuar bagi para nelayannya |
Kecerdasan para pedagang dan
ulama dalam menjelaskan ajaran Islam kepada penguasa dan masyarakat Lamakera,
telah membuat Islam begitu mudah diterima dan dalam waktu yang tidak begitu
lama penguasa dan masyarakat Lamakera yang sebelumnya merupakan penyembah Rera
Wulan Tanah Ekang, menjadi penganut Islam yang taat.
Penyebaran Islam di Lamakera
dapat berjalan dengan baik dan cepat diterima oleh masyarakat Lamakera karena
Sultan Menanga berhasil meng-Islam-kan Raja Sangaji Dasi. Sepeninggal Sultan
Mananga, maka untuk menjalankan kewajiban sebagai seorang muslim, penyebaran
agama Islam selanjutnya dilaksanakan oleh raja dan dibantu oleh Sultan Syarif
Sahar.
Walaupun raja mempunyai kekuasaan
dan wewenang yang kuat untuk memerintahkan masyarakatnya, namun dalam hal
penyebaran agama Islam tetap dilakukan baik, arif dan bijaksana dengan
seruan-seruan yang baik tanpa kekerasan serta pemaksaan. Hal ini dapat
dibuktikan bahwa Raja Sangaji Dasi yang pada saat itu berkuasa, adalah tokoh
yang disegani, ditaati dan mempunyai kharisma serta pengaruh yang sangat luas
hingga seluruh wilayah Solor Timur, namun masih ada masyarakat di daerah-daerah
kekuasaannya tetap menyembah Rera Wulan Tanah Ekang dan baru memeluk ajaran
Islam setelah Indonesia merdeka, terutama setelah berkembangnya pendidikan
agama Islam di Solor Timur. (Dirangkum dari berbagai sumber)***
Baca Juga