Salah satu masjid tua dan bersejarah di provinsi Kalimantan Barat. Masjid Jami Sultan Nata dari Kraton Kesultanan Sintang. |
Masjid Jamik Sultan Nata merupakan
salah satu peninggalan sejarah di Provinsi Kalimantan Barat. Masjid ini terletak
di sebelah barat Istana Al Mukarramah Kesultanan Sintang di Jalan Bintara No.22
Lingkungan 1 RT.02 RW.01 Kelurahan Kapuas Kiri Hilir, Kecamatan Sintang,
Kabupaten Sintang.
Alamat Masjid Jami' Sultan Nata
Kapuas Kiri Hilir, Kecamatan Sintang
Kabupaten Sintang, Kalimantan
Barat 78615
Indonesia
Masjid Masjid Jamik Sultan Nata
didirikan pada hari Senin 12 Muharram 1883 H atau 10 Mei 1672. Pembangunan itu
bertepatan dengan penobatan Sultan Nata sebagai raja. Saat dinobatkan, usianya
baru sepuluh tahun dan langsung dianugerahi gelar Sultan Nata Muhammad
Syamsudin Sa’adul Khairiwaddin, sekaligus menjadi raja Islam ke-3 dalam sejarah
Kesultanan Sintang.
Mengawali pembangunan masjid,
didirikan sembilan tiang penyangga utama (soko). Pemasangan tiang tersebut
selesai dalam satu malam di hari saat penobatan Sultan. Dan, pembangunan secara
keseluruhan memakan waktu selama dua tahun. Masjid itu menjadi pusat penyebaran
Islam di Sintang.
Di tepian sungai Kapuas, Masjid Jami Sultan Nata terlihat berjejer dengan Kraton Kesultanan Sintang |
Membangun masjid sendiri
merupakan salah satu dari tujuh kesepakatan kerabatan kesultanan yang harus
dijalankan Sultan Nata begitu dinobatkan. Ketujuh kesepakatan itu meliputi
mendirikan istana sebagai tempat tinggal raja, mendirikan masjid, membuat
Undang-Undang (qanun), menulis silsilah raja, membuat jalan di sepanjang tepian
sungai, raja bergelar Sultan, dan memerintahkan penghulu Luan mengambil Al
Qur’an 30 juz tulisan tangan ke Banjar.
Pembangunan masjid dinilai sudah
sangat mendesak saat Sultan Nata dinobatkan. Pasalnya jumlah umat Islam di
Sintang mulai banyak tapi belum mempunyai masjid. Tempat beribadah
dilangsungkan – seperti salat – masih di istana kesultanan. Tokoh dibalik
pencetus pembangunan yaitu Senopati Laket dan Pangeran Mungkumilik. Keduanya
mendampingi Sultan berhubung Sultan masih berusia belia.
Komplek Kraton Kesultanan Sintang. Di sebelah kiri foto adalah kraton Kesultanan Sintang, Berjejer dengan masjid Jami' Sultan Nata. |
Masuknya Islam Ke Kerajaan Sintang
Sementara Islam mulai masuk ke
Sintang sekitar abad ke-16. Tonggaknya yakni Raja Sintang ke-17 Pangeran Agung
memeluk Islam. Ia pun menjadi Raja Sintang Islam pertama, sekaligus merupakan
Raja Sintang Hindu terakhir. Penyebaran Islam ke Sintang dilakukan dua ulama
besar. Mereka adalah Muhammad Saman dari Banjarmasin dan Encik Somad dari
Sarawak Malaysia.
Sepeninggal Pangeran Agung,
kekuasaan dilanjutkan putranya, Pangeran Tunggal. Raja Sintang Islam kedua ini,
mempunyai dua orang putra, Pangeran Purba dan Abang Itut. Pengaruh Islam kian
besar di Sintang. Seiring sudah berjalan di dua generasi kesultanan. Hanya saja
masjid belum dibangun. Pangeran Purba menikah dengan Dayang Mengkuing, putri
Raja Sanggau. Dia menetap di sana. Enggan kembali ke Sintang serta menolak
mewarisi tahta kesultanan. Bahkan sampai dijemput kerabat kerajaan sekalipun,
saat Pangeran Tunggal sakit keras.
Masjid Jami' Sultan Nata dari pintu gerbang |
Hingga ajal menjemput Pangeran Tunggal, bujukan kepada Pangeran Purba tetap gagal. Sementara Abang Itut tak memungkinkan mewarisi tahta kesultanan lantaran sakit. Kondisi itu membuat kerabat kesultanan bermufakat untuk menentukan pengganti Pangeran Tunggal. Perundingan menghasilkan kesepakatan, pewaris kesultanan dicari dari keturunan saudara Pangeran Tunggal. Saudara Pangeran Tunggal adalah seorang perempuan bernama Nyai Cilik. Nyai Cilik bersuamikan Pangeran Mungkumilik dari Ambaluh (Kapuas Hulu). Buah pernikahan mereka melahirkan seorang putra, yakni Sultan Nata.
Sultan Nata yang masih berusia
sepuluh tahun tetap dinobatkan sebagai Raja. Langkah itu diambil guna
mengantisipasi kekosongan kekuasaan di Kesultanan Sintang. Hanya dalam
memerintah dia didampingi dua kerabat istana, yakni Senopati Laket – yang
dikenal karena kejujurannya – dan Pangeran Mungkumilik merupakan ayah dari Sultan
Nata. Mereka berdua mendampingi sampai Sultan Nata berusia 20 tahun.
Masjid ini sudah mengalami lima
kali renovasi dengan tidak mengubah bangunan aslinya. Bentuk bangunan dan
ukurannya masih sama. Pertama dibangun, luasnya 20 x 20 meter. Renovasi
tersebut dilakukan hanya pembangunan teras masjid saja. Penambahan itu
sepenuhnya agar kapasitas daya tampung masjid memadai. Perluasan pertama masjid
berlangsung di masa kepemimpinan Sultan Abdurrasyid. Dia adalah putra Sultan Abdurrahman.
Sultan Abdurrahman menggantikan Sultan Nata.
Pada abad ke 18, renovasi
dilakukan di masa kepemimpinan Adipati Muhammad Djamaludin yang bergelar Ade
Moh Yasin. Ia merupakan anak dari Rahmad Kamarudin, pengganti Sultan
Abdurrasyid. Lalu renovasi kembali dilakukan saat panembahan Abdurrasyid Kesuma
1 berkuasa. Dan, kemudian pada tahun 1994 dilakukan renovasi kembali atas
bantuan dari pemerintah pusat. Tahun 2000, masjid ini dilengkapi dengan taman
rumput yang cukup luas, dengan hiasan pohon-pohon palem yang rindang. Di bagian muka masjid, juga dibangun
jembatan penyeberangan dari kayu yang menghubungkan masjid dan istana yang
dipisahkan oleh jalan beraspal. Sejak tahun itu pula, masjid ini ditetapkan
sebagai situs cagar budaya Kabupaten Sintang.
Bangunan masjid ini berarsitektur
campuran, ada unsur Melayu, Jawa, maupun Timur Tengah. Konstruksi bangunannya
terbuat dari kayu bulian, kayu yang tumbuh di bumi Kalimantan. Bentuk atap
masjid bercirikan khas undak layaknya tajug pada arsitektur Jawa. Atap pertama
dan kedua berbentuk limas, sedangkan atap ketiga berbentuk kerucut bersegi
delapan. Meski telah berusia 3 abad lebih, Masjid Sultan Nata Sintang tetap
kokoh berdiri. Menjadi tempat ibadah umat muslim, sekaligus sebagai saksi
sejarah tentang perkembangan Islam di Sintang.
Masjid Sultan Nata be-rsitektur rumah panggung khas pesisir sungai.
Konstruksi bangunan masjid seluruhnya terbuat dari kayu dari pondasi hingga
penutup atapnya. Masjid Sultan Nata sebetulnya telah mengalami beberapa kali
renovasi, namun delapan tiang penyangga yang terbuat dari kayu belian tetap
dipertahankan sesuai aslinya hingga saat ini. Tiang berupa kayu silinder
setinggi lebih dari 10 meter tersebut tetap berdiri kokoh meski usianya telah
melampaui tiga abad.
Bangunan masjid ini memiliki tiga susun atap. Atap pertama dan kedua
berbentuk limas, sedangkan atap ketiga berbentuk kerucut bersegi delapan.
Bentuk atap kerucut ini juga dipakai pada atap dua menara kembar yang berada di
samping masjid. Tiap bagian di dalam masjid dibalut dengan cat warna putih
dengan sedikit garis-garis hijau di beberapa bagian, seperti pada jendela,
dasar tiang, serta dinding. Sebagai pemanis hiasan, korden penutup jendela
dipilih yang berwarna kuning, warna khas Melayu. Sementara di pojok masjid. Di
masjid ini juga terdapat bedug berusia ratusan tahun yang terbuat dari sebatang
pohon utuh.
Di masjid ini, para pelancong dapat menyaksikan susunan penghulu/menteri
agama Kerajaan Sintang dari masa ke masa. Selain itu, takmir masjid juga
menyediakan buku sederhana yang menceritakan sejarah berdirinya masjid serta
renovasi-renovasi yang pernah dilakukan.***
Baca Juga
mksh bg...bagus...
BalasHapusizin copy bahannya ��,krn sdkt sekali data sejarah tertulis yg msh ada. jd sulit utk verifikasi validitas data yg msh ada skrg... jadi, kalau ada tolong berbagi referensi utk validasi... sejarah lisan jg ok. asal valid nama orgnya..
trmksh ����