Halaman

Minggu, 25 September 2016

Masjid Agung Tuban Jawa Timur

Warna meriah. Penggunaan warna warna terang pada masjid ini berhasil menjadikannya sebagai bangunan ikon kota Tuban yang memang sangat menarik perhatian.

Tuban, salah satu kabupaten di provinsi Jawa Timur, salah satu tempat Sunan Bonang Bedakwah. Dan salah satu wilayah bawahan Majapahit yang kemudian Bupatinya memeluk agama Islam. Di Tuban berdiri sebuah masjid megah yang seringkali disebut sebagai masjid dengan keindahan layaknya bangunan dalam dongeng 1001 malam, masjid tersebut adalah Masjid Agung Tuban.

Lokasi dan Alamat Masjid Agung Tuban

Berdiri megah di sisi barat alun alun Tuban, masjid ini telah menjadi Ikon kebanggaan warga Tuban. Lokasinya berdiri tidak saja berada di pusat kota tapi juga bersebelahan dengan salah satu situs penting sejarah tanah Jawa, yakni Kompek Makam Sunan Bonang yang ramai di ziarahi oleh berbagai lapisan masyarakat dari berbagai tempat.


Arsitektur Masjid Agung Tuban

Aristektur masjid ini memadukan ragam budaya dari berbagai negara seperti Arab, Turki, dan India. Secara umum bangunan masjid ini terdiri dari bangunan utama masjid yang diapit oleh empat menara di masing masing empat penjuru masjid, dua bangunan serambi di sisi depan bagian kiri dan kanan serta ditambah dua menara yang lebih tinggi dari empat menara lainnya.

Penggunaan aneka warna terang sangat kuat menonjolkan bangunan masjid ini ditengah tengah kota Tuban. Kubah utama diapit dua kubah lainnya diantara enam menaranya yang menjulang seakan akan menghadirkan suasana negeri dongeng dalam kehidupan nyata di kota Tuban.

Sejarah Masjid Agung Tuban

Tuban dan Sunan Bonang

Kota Tuban bagaimanapun tidak dapat dipisahkan dari nama besar Sunan Bonang. Meski Kota Tuban bukan satu-satunya kota tempat Sunan Bonang berdakwah, tetapi karena ia dimakamkan di Tuban maka tidak salah jika ia sering disebut Sunan Tuban. Ada pula yang menyebutkan, makamnya di Lamongan. Seperti para wali yang lain, Sunan Bonang juga mendirikan sebuah masjid sebagai pusat kegiatan dakwahnya. Masjid tersebut dikenal sebagai Masjid Astana yang berada di bangunan kompleks makam Sunan Bonang. Bersebalahan dengan komplek masjid Agung Tuban.

Sepasang Landmark. Di latar depan foto adalah bangunan yang menaungi makam Sunan Bonang dan kerabat dekatnya dengan latar belakang Masjid Agung Tuban. Dua Landmark Tuban yang sangat penting bagi sejarah kota tersebut.

Dalam berdakwah, Sunan Bonang atau Raden Makdum Ibrahim, sering menggunakan alat musik tradisional yang disebut bonang. Bonang adalah sejenis gamelan yang terbuat dari besi atau kuningan yang bagian tengahnya dibuat menonjol. Bila tonjolan itu dipukul dengan kayu yang lunak maka akan timbul suara yang merdu.

Pada waktu itu, bunyi demikian sudah sangat mengasyikkan telinga. Apalagi yang membunyikan bonang itu seorang wali maka bunyinya mempunyai pengaruh yang luar biasa, sehingga banyak penduduk yang berbondong-bondong ingin menyaksikan dan mendengar dari dekat.

Sunan Bonang yang cerdik sudah memperhitungkan hal itu maka ia mempersiapkan kolam di depan masjid. Siapa yang mau masuk ke masjid harus membasuh kakinya. Setelah mereka berkumpul di dalam masjid, ia pun mengajarkan tembang-tembang yang berisikan ajaran Islam.

Sepulangnya dari masjid, tembang itu mereka hafalkan di rumah. Sanak saudara mereka pun turut menyanyikan tembang itu karena tertarik akan kemerduan lagunya. Demikianlah cara Sunan Bonang berdakwah sehingga santrinya tersebar di berbagai penjuru Nusantara.

Masjid Agung Tuban Dulu dan Sekarang

Berdirinya Masjid Jam Tuban

Sebelum menjadi Masjid Agung Tuban, sebelumnya masjid ini dikenal sebagai Masjid Jami’ Tuban. Sejarah pembangunan masjid ini tidak ada sangkut pautnya dengan Sunan Bonang, pembangunan masjid ini sendiri dilaksanakan pada tahun 1894, terpaut sekitar empat abad dari masa Sunan Bonang. Namun demikian kehadiran masjid ini telah menjadi saksi sejarah keberhasilan dakwah Sunan Bonang di Tuban.

Masjid Jami’ Tuban pertama kali dibangun pada abad ke-15 Masehi, yakni pada masa pemerintahan Adipati Raden Ario Tedjo (Bupati Tuban ke-7), letaknya tidak jauh dari kompleks makam Sunan Bonang, Raden Ario Tedjo sendiri merupakan Bupati Tuban pertama yang memeluk Islam. Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan masjid ini diperluas menjadi bangunan masjid yang dikenal sebagai Masjid Agung Tuban saat ini.

Masjid tersebut sempat mengalami beberapa kali renovasi. Renovasi pertama kali dilakukan tahun 1894, yakni pada masa pemerintahan Raden Toemengoeng Koesoemodiko (Bupati ke-35 Tuban). Saat itu Raden Toemengoeng Koesoemodiko menggunakan jasa arsitek berkebangsaan Belanda, BOHM Toxopeus. Sebagaimana disebutkan dalam prasasti yang ada di depan masjid ini yang berbunyi :

“Batoe yang pertama dari inie missigit dipasang pada hari Akad tanggal 29 Djuli 1894 oleh R. Toemengoeng Koesoemodiko Boepati Toeban. Inie missigit terbikin oleh Toewan Opzicter B.O.H.M. Toxopeus.”

Bila bentuknya kita amati, Masjid Jami Tuban ini memiliki cari khas tersendiri. Secara garis besar, bentuk bangunannya terdiri atas dua bagian, yaitu serambi dan ruang shalat utama. Bentuknya tidak terpengaruh dengan kebiasaan bentuk masjid di Jawa yang atapnya bersusun tiga. Arsitektur masjid ini justru terpengaruh oleh corak Timur Tengah, India, dan Eropa. Sekilas tampak ada kemiripan dengan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, terutama bentuk berandanya yang dipertahankan hingga kini.

Renovasi selanjutnya dilakukan tahun 1985. Masjid mengalami perluasan. Kemudian, di tahun 2004 dilakukan renovasi total terhadap bangunan Masjid Agung Tuban oleh pemerintah Kabupaten Tuban. Renovasi yang dilakukan kali ini meliputi pengembangan satu lantai menjadi tiga lantai, menambah sayap kiri dan kanannya dengan mengadopsi arsitektur bangunan berbagai masjid terkenal di dunia serta penambahan enam menara masjid dengan luas keseluruhan mencapai 3.565 meter persegi. ***

----------------

Baca Juga Masjid di Jawa Timur Lainnya


3 komentar:

  1. Thanks for the auspicious writeup. It actually was a leisure account it.
    Glance complicated to more introduced agreeable from you! However, how
    could we communicate?

    BalasHapus

Dilarang berkomentar berbau SARA