Masjid Sendang Duwur dengan latar depan komplek makam Sendang Duwur |
Mesjid Sendang Dhuwur, merupakan mesjid
tertua di Lamongan. Mesjid tersebut merupakan bukti kebesaran perjuangan Sunan Sendang Dhuwur di Lamongan
dan Tuban. Meski berusia 477 tahun, bangunannya
masih berdiri kokoh dan menjadi bukti sejarah Islam yang tak lekang dimakan
waktu. Bangunan masid Sendang Dhuwur sempat mengalami perbaikan pada tahun
1920. Namun, arsitektur aslinya masih tampak dan menggambarkan kebesaran pada
zamannya. Beberapa peninggalan sejarah masih tersisa seperti mimbar, beduk
kulit, dan gentong tempat air minum.
Sejarah berdirinya masjid ini
syarat dengan cerita yang luar biasa. Masyarakat setempat yakin bahwa masjid
ini dibangun dalam waktu satu malam. Disebutkan bahwa Sunan Sendang Dhuwur
memindahkan masjid ini dari Mantingan di Jepara – Jawa Tengah ke Lokasi yang
sekarang, dalam waktu satu malam. Itu sebabnya masjid ini juga disebut sebagai
masjid Tiban. Kini, Mesjid Sendang Dhuwur menjadi satu di antara tiga mesjid
peninggalan wali yang masih terawat dengan baik. Dua di antaranya yakni Mesjid Sunan Ampel dan Sunan
Giri.
Lokasi Masjid Sunan
Sendang Dhuwur
Desa Sendang Duwur, Kecamatan
Paciran
Kabupaten Lamongan, Jawa Timur
Sunan Sendang Duwur
Sunan Sendang Duwur bernama asli Raden Noer Rahmad adalah putra dari Abdul Kohar Bin Malik Bin Sultan Abu Yazid yang berasal dari Baghdad (lrak). Raden Nur Rahmad lahir pada tahun 1320 M dan wafat pada tahun 1585 M. Bukti ini dapat dilihat pada pahatan yang terdapat di dinding makam beliau. Beliau adalah tokoh kharismatik yang pengaruhnya dapat disejajarkan dengan Wali Songo pada saat itu.
Ada yang
mengatakan Sunan Sendang Duwur sebagai putra Abdul Qohar dari Sedayu (Gresik),
salah satu murid Sunan Drajad. Ada pula yang menyebut Sunan Sendang Duwur
adalah putra Abdul Qohar tapi tidak berguru pada Sunan Drajad. Namun dari
perbedaan itu, disepakati bahwa Raden Noer Rochmat akhirnya diwisuda Sunan
Drajad sebagai Sunan Sendang Duwur.
Sejarah Masjid Sunan Sendang Dhuwur
Setelah mendapat gelar sunan, Raden Noer berharap bisa mendirikan masjid di
Desa Sendang Duwur. Karena tidak mempunyai kayu, Sunan Drajad menyampaikan
masalah ini kepada Sunan Kalijogo yang mengarahkannya pada Ratu Kalinyamat atau
Retno Kencono di Mantingan, Jepara, yang saat itu mempunyai masjid.
Interior Masjid Sendang Duwur |
Ratu Kalinyamat merupakan putri Sultan Trenggono dari Kraton Demak Bintoro. Suaminya bernama Raden Thoyib (Sultan Hadlirin Soho) cucu Raden Muchayat, Syech Sultan dari Aceh. Saat diangkat menjadi bupati di Jepara, R. Thoyib tidak lupa bersyiar agama Islam. Sehingga dibangun masjid megah di wilayahnya pada 1531 Masehi. Banyak ulama dan kiai saat itu kagum terhadap keindahan dan kemegahan masjid tersebut.
Setelah itu Sunan Drajat memerintahkan Sunan Sendang Duwur pergi ke Jepara untuk menanyakan masjid tersebut. Tapi apa kata Mbok Rondo Mantingan saat itu? Hai anak bagus, mengertilah, aku tidak akan menjual masjid ini. Tapi suamiku (saat itu sudah meninggal, Red) berpesan, siapa saja yang bisa memboyong masjid ini seketika dalam keadaan utuh tanpa bantuan orang lain (dalam satu malam), masjid ini akan saya berikan secara cuma-cuma.
Mendengar jawaban Mbok Rondo Mantingan, Sunan Sendang Duwur yang masih muda saat itu merasa tertantang. Sebagaimana yang diisyaratkan padanya dan tentunya dengan izin Allah, dalam waktu tidak lebih dari satu malam masjid tersebut berhasil diboyong ke bukit Amitunon, Desa Sendang Duwur. Masjid Sendang Duwur pun berdiri di sana, ditandai surya sengkala yang berbunyi: "gunaning seliro tirti hayu" yang berarti menunjukkan angka tahun baru 1483 Saka atau Tahun 1561 Masehi.
Tapi cerita lain menuturkan, masjid tersebut dibawa rombongan (yang diperintah Sunan Drajad dan Sunan Sendang Duwur) melalui laut dari Mantingan menuju timur (Lamongan) dalam satu malam. Rombongan itu diminta mendarat di pantai penuh bebatuan mirip kodok (Tanjung Kodok) yang terletak di sebelah utara bukit Amitunon di Sendang Duwur.
Akulturasi budaya di komplek masjid dan makam Sendang Duwur |
Tradisi Kupatan di Tanjung Kodok Lamongan
Rombongan dari Mantingan
itu disambut Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur beserta pengikutnya. Sebelum
meneruskan perjalanan membawa masjid ke bukit Amitunon, rombongan itu diminta
istirahat karena lelah sehabis menunaikan tugas berat. Saat istirahat, sunan
menjamu rombongan dari Mantingan itu dengan kupat atau ketupat dan lepet serta
legen, minuman khas daerah setempat. Berawal dari sini, sehingga setiap tahun
di Tanjung Kodok (sekarang Wisata Bahari Lamongan) digelar upacara kupatan.
Masjid itu
kini sudah berusia 477 tahun (didirikan R. Thoyib di Mantingan pada 1531). Karena usianya yang tua, beberapa konstruksi
kayunya terpaksa diganti dan yang asli tetap disimpan di lokasi makam, di
sekitar masjid. Maski masjid kuno itu sempat dipugar, arsitektur masjid
peninggalan wali ini masih tampak dan menggambarkan kebesaran pada zamannya.
Ajaran Sunan
Sendang Dhuwur
Dari masjid inilah Sunan Sendang Duwur terus melakukan syiar agama Islam. Salah satu ajaran yang masih relevan pada zaman sekarang adalah : "mlakuho dalan kang benar, ilingo wong kang sak burimu" (berjalanlah di jalan yang benar, dan ingatlah pada orang yang ada di belakangmu. Ajaran sunan ini menghimbau pada seseorang agar berjalan di jalan yang benar dan kalau sudah mendapat kenikmatan, jangan lupa sedekah.
Meski berada di ketinggian, masjid dan komplek makam ini dapat di capai dengan kendaraan bermotor. |
Hubungan Sunan Drajad dengan Sunan Sendang Duwur sangat erat dalam siar agama Islam, dan hubungan itu terus mengalir sampai kini. Terlihat, tidak jarang para peziarah ke makam Sunan Drajad di Desa Drajad, Kec. Paciran untuk singgah ke Sunan Sendang Duwur.
Bangunan yang menunjukkan
Hinduistis masih tampak di masjid dan makam. Meski halaman dan makam menyatu,
masjid ini mempunyai halaman sendiri-sendiri. Dari arah jalan, yang tampak
lebih dulu adalah kompleks pecandian. Sedangkan gapura halaman berbentuk mirip
Candi Bentar di Bali. Bentuk candi seperti ini telah dikenal sejak zaman Majapahit,
seperti Gapura Jati Pasar dan Waringin Lawang.
Bangunan Makam
Sunan Sendang Duwur yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar tersebut
berarsitektur tinggi yang menggambarkan perpaduan antara kebudayaan Islam dan
Hindu. Bangunan gapura bagian luar berbentuk Tugu Bentar dan gapura bagian
dalam berbentuk Paduraksa. Sedangkan dinding penyangga cungkup makam dihiasi
ukiran kayu jati yang bernilai seni tinggi dan sangat indah. Dua buah batu
hitam berbentuk kepala Kala menghiasi kedua sisi dinding penyangga cungkup.
Makam Sunan Sendang Duwur yang letaknya di atas bukit itu, tetapi bisa dijangkau oleh kendaraan umum ataupun pribadi. Sarana jalan yang sudah baik dan memadai memudahkan para pengunjung yang ingin kesana untuk berwisata ziarah.***