Halaman

Minggu, 14 Agustus 2016

Mesjid Raya Sultan Akhmadsyah Tanjung Balai, Warisan Kesultanan Asahan

Diantara Ruko dan sarang walet. Masjid Raya Sultan Akhmadsyah dibangun tahun 1886, jauh lebih tua dibandingkan dengan Masjid Raya Al-Mahsun di Kota Medan (1909) maupun Masjid Raya Sulaimaniyah (1894) di kabupaten Serdang Bedagai. Kini bangunan tua bersejarah ini berhimpitan dengan jejeran pertokoan dan bangunan bangunan beton sarang walet yang menjulang menandingi tingginya menara masjid.

Masjid Raya Sultan Ahmadsyah terletak di jalan Masjid, Kelurahan Indra Sakti, Kecamatan Tanjung Balai Selatan, Kota Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara. Masjid dibangun di atas tanah wakaf Kesultanan Asahan dengan luas 10.000 meter persegi dan luas bangunan 1000 meter persegi. Masjid Raya ini merupakan bangunan masjid bersejarah yang sudah berumur lebih dari satu abad, warisan dari kesultanan Asahan yang pernah berjaya di Sumatera Timur. Selesai dibangun tahun 1886 digagas oleh Sultan Akhmadsyah yang namanya di-abadikan sebagai nama masjid raya ini. Beliau merupakan Sultan Asahan ke sembilan.

Alamat Masjid Raya Sultan Akhmadsyah
Jalan Mesjid, kelurahan Indra Sakti
Kecamatan Tanjungbalai Selatan, Kota Tanjung Balai
Provinsi Sumatera Utara, indonesia


Saksi Sejarah Tragedi Pembantaian di Sumatera Timur 1946

Penampilan Masjid Raya Sultan Akhmadsyah di kota Tanjung Balai ini jelas menyiratkan sebuah perjalanan panjang dari sebuah bangunan masjid yang menjadi saksi bisu sebagian perjalanan sejarah kesultanan Asahan dan kota Tanjung Balai khususnya. Masjid ini juga menjadi saksi bisu kerusuhan sosial di bulan Maret tahun 1946, yang meluluhlantakkan kesultanan kesultanan di wilayah Sumatera Timur termasuk Kesultanan Asahan. Di halaman masjid ini terdapat satu makam yang merupakan pemakaman massal 73 korban tewas dalam kerusuhan sosial tersebut.

Kuburan tersebut ditandai dengan batu prasasti berpahatkan 73 nama nama korban penyerbuan dan pembantaian yang terjadi di Asahan, bulan Maret 1946. Jasad-jasad yang ada di kuburan ini pada mulanya ditemukan dalam bentuk tulang belulang yang terserak di Sungai Lendir tahun 2003, sebuah kampung di Asahan, yang untuk mencapainya harus menggunakan perahu atau motor boat. Mereka adalah para petinggi Kesultanan Melayu Asahan beserta cerdik pandai dan masyarakat umum, termasuk dua orang orang Mandailing bermarga Siregar dan Nasution.

Masjid Raya Sultan Akhmadsyah dengan gerbangnya. Gerbang ini merupakan bangunan baru begitupun dengan satu bangunan menara nya yang lebih tinggi.

Selain Kuburan tersebut, di halaman masjid ini juga terdapat makam para Sultan Asahan dan kerabatnya serta kuburan kuburan keluarga imam dan nazir masjid. Kuburan kuburan tersebut rata rata dilengkapi dengan batu nisan dari batu pualam yang kebanyakan didatangkan dari Penang, Malaysia, berpahatkan nama nama para mendiang dengan hurup Arab Melayu (Arab Gundul) dengan khat yang cukup indah.

Salah satu sultan Asahan yang dimakamkan di halaman masjid ini adalah Tengku Muhammad Husain Syah yang lahir 3 Dzulhijjah 1278 dan wafat 25 Sya'ban sanah 1333, beberapa nisan bahkan bertuliskan tahun yang lebih tua ratusan tahun dari itu. Saat ini di pendopo masjid juga terdapat tiga buah meriam peninggalan Kesultanan Asahan. Sultan Asahan lainnya yang dimakamkan di halaman masjid ini adalah Sultan Syaibun Abdul Jalil Rahmadsyah, Sultan terakhir Asahan yang wafat tahun 1980.

Kesultanan Asahan Selayang Pandang

Sejarah Kesultanan Asahan dimulai dengan penobatan Sultan Abdul Jalil sebagai Sultan pertama yang berlangsung meriah disekitar kampung Tanjung pada tanggal 27 Desember 1620. Kesultanan Asahan pernah diperintah oleh delapan orang Sutan yang sejak Sultan Abdul Jalil pada tahun 1620 sampai dengan Sultan Syaibun Abdul Jalil Rahmadsyah yang naik tahta sebagai sultan Asahan di tahun 1933. Kejayaan Kesultanan Asahan berahir kelam di bulan Maret tahun 1946. Tujuh bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan di Jakarta.

Mimbar dengan bendera hijau Kesultanan

Pada Bulan Maret tahun 1946 pecahlah apa yang dinamakan Revolusi Sosial di Sumatera Timur yang dimotori oleh PKI dalam sebuah aksi yang disebutnya perlawanan terhadap feodalisme. Kelompok masyarakat bersenjata membantai keluarga Kesultanan Melayu di Asahan, Kualuh, Langkat, Bilah, dan Kotapinang. Pembantaian serupa juga terjadi di Karo serta Simalungun. Konon pada saat itu berita proklamasi kemerdekaan Indonesia yang baru berumur tujuh bulan, bahkan belum sampai ke wilayah Sumatera Timur, termasuk wilayah Kesultanan Asahan.

Massa yang dimotori PKI melakukan penyerbuan terhadap pihak kesultanan yang berujung kepada aksi penjarahan, penghancuran aset aset kesultanan, penculikan dan pembunuhan massal terhadap keluarga Kesultanan dan para tokoh tokoh nya. Meskipun selamat dari tragedi tahun 1946 tersebut, Sultan Syaibun Abdul Jalil Rahmadsyah, praktis sudah kehilangan sebagian besar anggota keluarga dan para petinggi kesultanan yang menjadi korban genosida serta kehilangan aset kesultanan yang menjadi korban perampasan dan penghancuran. Beliau wafat di kota Medan pada tanggal 17 April 1980 dan dimakamkan di kompleks Mesjid Raya Tanjungbalai.

Pembangunan Masjid Raya Sultan Akhmadsyah

Masjid Raya Sultan Ahmadsyah Tanjung Balai mulai dibangun tahun 1884 dan selesai dibangun pada tahun 1886. Penggagas pembangunannya adalah Sultan Ahmadsyah yang bergelar Marhum Maharaja Indrasakti memerintah Kesultanan Asahan mulai tahun 1854 hingga 1888, Sultan Ahmadsyah naik tahta menggantikan ayahanda-nya Sultan Muhammad Hussein Syah (1813-1854). Dari tahun pembangunannya, Masjid Raya Sultan Akhmadsyah ini jauh lebih tua dibandingkan dengan Masjid Raya Al-Mahsun di Kota Medan (1909) maupun Masjid Raya Sulaimaniyah (1894) di kabupaten Serdang Bedagai.

Sentuhan Eropa di masjid ini ditandai dengan jejeran pilar pilar besar di teras masjid.

Fungsi didirikannya Masjid Raya Sultan Ahmadsyah bukan hanya sebagai sebuah tempat ibadah, tetapi juga merupakan tempat strategis bagi pengembangan masyarakat, Selain sebagai tempat ritual, masjid juga sebagai pusat tumbuh dan perkembangnya kebudayaan Islam. Di dalamnya dilakukan penyusunan strategi, perencanaan dan aksi di dalam kerangka penyebaran Islam di tengah kehidupan masyarakat. Selain sebagai kepentingan ritual ibadah keagamaan, juga memiliki kepentingan politis untuk melawan hegemoni penjajah.

Arsitektur

Ciri utama dari masjid ini adalah bangunan Melayu. Hal ini terlihat dari bentuk bangunannya yang berbentuk persegi panjang seperti kebanyakan bangunan Melayu. Pada pinggir atapnya juga terdapat ciri khas bangunan Melayu yaitu ukiran pucuk rebung. Keunikan masjid ini adalah tidak terdapat pilar di bagian dalam masjid yang bermakna Allah tidak memerlukan penyangga untuk berdiri. Padahal bangunan dasar dari masjid ini hampir tidak memakai semen melainkan pasir dan tanah liat serta batu bata. Keunikan lainnya yaitu kubah masjid tidak terletak di tengah bangunan melainkan di bagian depan masjid sehingga jika dilihat dari depan, masjid ini terkesan biasa namun menyembunyikan keunikannya.

Ruang sholat utama yang lega tanpa tiang tiang penopang di tengah ruang sholat

Di dalam masjid terdapat mimbar yang berornamen Cina. Mimbar ini didatangkan langsung oleh Sultan dari Cina. Panji hijau kembar terpancang kokoh di bagian belakang mimbar, seperti kebanyakan di masjid masjid kesultanan lainnya. Di bagian depan mimbar, terpahat kaligrafi dengan gaya khat tsuluts yang amat indah. Kaligrafi ini bertuliskan dua bait syair yang berisi ajaran tentang rukun khutbah Jum'at dalam mazhab imam Syafi'i. Dua bait syair itu kira-kira  bermakna:

Rukun khutbah Jum'at menurut imam-imam kita
Seluruh ada 5, ketahulah wahai sidang Jumat yang mulia
Yaitu membacan pujian, kemudian sholawat dan berwasiat takwa
Lalu membaca ayat, dan doa sebagai penutup khutbah kita

Selain itu juga ada tangga putar untuk naik ke menara masjid yang terletak tepat di belakang mimbar. Bangunan utama Masjid Raya Sultan Ahmadsyah belum pernah direnovasi. Namun bangunan pendukungnya banyak yang diganti maupun ditambah. Seperti tempat wudhu’ yang berbentuk qullah dan dapur masjid diganti dengan pendopo. Sedangkan gerbang dan menara utamanya dibangun kemudian sehingga masjid ini memiliki dua menara.

Aktivitas Masjid Raya Sultan Akhmadsyah

Fungsi Masjid Raya Ahmadsyah saat ini adalah sebagai tempat ibadah masyarakat muslim Tanjung Balai. Selain itu, di Masjid Raya Ahmadsyah juga dilakukan pengajian-pengajian mingguan, pengajian bulan ramadhan, pengajian remaja masjid dan pengajian anak-anak. Masjid Raya Ahmadsyah juga berfungsi sebagai tempat latihan manasiq haji serta tempat sosial kemasyarakatan seperti pemotongan hewan kurban dan khitanan massal serta penyolatan jenazah.

Sejarah Singkat Kota Tanjung Balai

Sebelum kemerdekaan, Kota Tanjung Balai merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Asahan (1620 – 1946). Statusnya sebagai kotapraja di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia disyahkan melalui UU No. 1 Tahun 1957. Namun demikian peringatan hari jadi Kota Tanjung Balai diperingati setiap tanggal 27 Desember, didasarkan kepada sejarah penobatan Sultan Pertama Kesultanan Asahan pada tanggal 27 Desember 1620. Penetapan hari jadi tersebut disyahkan melalui keputusan DPRD Kota Tanjungbalai Nomor 4/DPRD/TB/1986 Tanggal 25 November 1986.

Kuburan masal korban Tragedi di Bulan Maret 1946. 

Di masa penjajahan Belanda, Kota Tanjungbalai berstatus sebagai Gementee berdasarkan Besluit G.G. tanggal 27 Juni 1917 dengan Stbl.1917 No. 284. Sebagai kota pelabuhan dan berstatus sebagai Gementee, Kota Tanjung Balai menjadi tempat kedudukan bagi Assisten Resident dan Ketua Dewan (Voorzitter van den Gemeen-teraad). Tanjung Balai juga menjadi tempat kedudukan Sultan Kerajaan Asahan. Kota ini menjadi kota bandar yang sangat penting bagi Belanda terlebih dengan dibukanya perkebunan-perkebunan di derah Sumatera Timur termasuk daerah Asahan seperti H.A.P.M., SIPEF dan lain-lain, menjadikan Tanjungbalai sebagai kota pelabuhan dan pintu masuk ke daerah Asahan.

Dengan telah berfungsinya jembatan Kisaran dan dibangunnya jalan kereta api Medan – Tanjungbalai, maka hasil-hasil dari perkebunan dapat lebih lancar disalurkan atau diekspor melalui kota pelabuhan Tanjungbalai. Untuk memperlancar kegiatan perkebunan, maskapai-maskapai Belanda membuka kantor dagangnya di kota Tanjungbalai antara lain: kantor K.P.M., Borsumeij dan lain-lain, maka pada abad XX mulailah penduduk bangsa Eropa tinggal menetap di kotaTanjungbalai.

Setelah proklamasi kemerdekaan, berahir pula kekuasaan politik Asahan sebagai sebuah kesultanan ditambah lagi dengan kerusuhan sosial di tahun 1946. Di tahun 1956 Pemerintah Republik Indonesia mengerluarkan Undang-Undang Darurat No. 9 Tahun 1956 kemudian di-umumkan dalam Lembaran Negara nomor 60 tahun 1956 nama Hamintee Tanjungbalai diganti menjadi Kota Kecil Tanjungbalai. Kemudian jabatan Walikota Tanjung Balai dipisahkan dari Bupati Asahan berdasarkan Surat Mentri Dalam Negeri No. UP 15/2/3 tanggal 18 September 1956. Selanjutnya dengan UU No. 1 Tahun 1957 nama Kota Kecil Tanjungbalai diganti menjadi Kotapraja Tanjungbalai.

Walikota Termuda 2016

Walikota Tanjung Balai memegang rekor sebagai Walikota termuda di Indonesia. Adalah Muhammad Syahrial, Walikota Tanjungbalai yang dilantik di Lapangan Merdeka Medan pada hari Rabu 17 Februari 2016, ternyata masih berumur 26 tahun. Dengan usia tersebut, Syahrial didaulat menjadi Wali Kota termuda di Indonesia. Muhammad Syahrial dilantik sebagai Walikota Tanjung Balai bersama dengan 14 Kepala Daerah Se-Sumut lainnya oleh Plt Gubernur Sumatera Utara, T Erry Nuradi, sebagai hasil dari Pilkada serentak di provinsi Sumatera Utara tahun 2016.***

Related post


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA