Masjid Raya Sultan Ahmadsyah
terletak di jalan Masjid, Kelurahan Indra Sakti, Kecamatan Tanjung Balai
Selatan, Kota Tanjung Balai, Provinsi Sumatera Utara. Masjid dibangun di atas
tanah wakaf Kesultanan Asahan dengan luas 10.000 meter persegi dan luas
bangunan 1000 meter persegi. Masjid Raya ini merupakan bangunan masjid
bersejarah yang sudah berumur lebih dari satu abad, warisan dari kesultanan
Asahan yang pernah berjaya di Sumatera Timur. Selesai dibangun tahun 1886
digagas oleh Sultan Akhmadsyah yang namanya
di-abadikan sebagai nama masjid raya ini. Beliau merupakan Sultan Asahan ke
sembilan.
Alamat Masjid Raya Sultan
Akhmadsyah
Jalan Mesjid, kelurahan Indra
Sakti
Kecamatan Tanjungbalai Selatan,
Kota Tanjung Balai
Provinsi Sumatera Utara,
indonesia
Saksi Sejarah Tragedi Pembantaian di Sumatera Timur 1946
Penampilan Masjid Raya Sultan
Akhmadsyah di kota Tanjung Balai ini jelas menyiratkan sebuah perjalanan
panjang dari sebuah bangunan masjid yang menjadi saksi bisu sebagian perjalanan
sejarah kesultanan Asahan dan kota Tanjung Balai khususnya. Masjid ini juga
menjadi saksi bisu kerusuhan sosial di bulan Maret tahun 1946, yang
meluluhlantakkan kesultanan kesultanan di wilayah Sumatera Timur termasuk
Kesultanan Asahan. Di halaman masjid ini terdapat satu makam yang merupakan
pemakaman massal 73 korban tewas dalam kerusuhan sosial tersebut.
Kuburan tersebut ditandai dengan
batu prasasti berpahatkan 73 nama nama korban penyerbuan dan pembantaian yang
terjadi di Asahan, bulan Maret 1946. Jasad-jasad yang ada di kuburan ini pada
mulanya ditemukan dalam bentuk tulang belulang yang terserak di Sungai Lendir
tahun 2003, sebuah kampung di Asahan, yang untuk mencapainya harus menggunakan
perahu atau motor boat. Mereka adalah para petinggi Kesultanan Melayu Asahan
beserta cerdik pandai dan masyarakat umum, termasuk dua orang orang Mandailing
bermarga Siregar dan Nasution.
Masjid Raya Sultan Akhmadsyah dengan gerbangnya. Gerbang ini merupakan bangunan baru begitupun dengan satu bangunan menara nya yang lebih tinggi. |
Selain Kuburan tersebut, di
halaman masjid ini juga terdapat makam para Sultan Asahan dan kerabatnya serta
kuburan kuburan keluarga imam dan nazir masjid. Kuburan kuburan tersebut rata
rata dilengkapi dengan batu nisan dari batu pualam yang kebanyakan didatangkan
dari Penang, Malaysia, berpahatkan nama nama para mendiang dengan hurup Arab Melayu
(Arab Gundul) dengan khat yang cukup indah.
Salah satu sultan Asahan yang
dimakamkan di halaman masjid ini adalah Tengku
Muhammad Husain Syah yang lahir 3 Dzulhijjah 1278 dan wafat 25 Sya'ban
sanah 1333, beberapa nisan bahkan bertuliskan tahun yang lebih tua ratusan
tahun dari itu. Saat ini di pendopo masjid juga terdapat tiga buah meriam
peninggalan Kesultanan Asahan. Sultan Asahan lainnya yang dimakamkan di halaman
masjid ini adalah Sultan Syaibun Abdul Jalil
Rahmadsyah, Sultan terakhir Asahan yang wafat tahun 1980.
Kesultanan Asahan Selayang Pandang
Sejarah Kesultanan Asahan dimulai
dengan penobatan Sultan Abdul Jalil sebagai Sultan
pertama yang berlangsung meriah disekitar kampung Tanjung pada tanggal 27
Desember 1620. Kesultanan Asahan pernah diperintah oleh delapan orang Sutan
yang sejak Sultan Abdul Jalil pada tahun
1620 sampai dengan Sultan Syaibun Abdul Jalil
Rahmadsyah yang naik tahta sebagai sultan Asahan di tahun 1933. Kejayaan
Kesultanan Asahan berahir kelam di bulan Maret tahun 1946. Tujuh bulan setelah
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan di Jakarta.
Mimbar dengan bendera hijau Kesultanan |
Pada Bulan Maret tahun 1946
pecahlah apa yang dinamakan Revolusi Sosial di Sumatera Timur yang dimotori
oleh PKI dalam sebuah aksi yang disebutnya perlawanan terhadap feodalisme.
Kelompok masyarakat bersenjata membantai keluarga Kesultanan Melayu di Asahan,
Kualuh, Langkat, Bilah, dan Kotapinang. Pembantaian serupa juga terjadi di Karo
serta Simalungun. Konon pada saat itu berita proklamasi kemerdekaan Indonesia
yang baru berumur tujuh bulan, bahkan belum sampai ke wilayah Sumatera Timur,
termasuk wilayah Kesultanan Asahan.
Massa yang dimotori PKI melakukan
penyerbuan terhadap pihak kesultanan yang berujung kepada aksi penjarahan, penghancuran
aset aset kesultanan, penculikan dan pembunuhan massal terhadap keluarga
Kesultanan dan para tokoh tokoh nya. Meskipun selamat dari tragedi tahun 1946
tersebut, Sultan Syaibun Abdul Jalil Rahmadsyah,
praktis sudah kehilangan sebagian besar anggota keluarga dan para petinggi
kesultanan yang menjadi korban genosida serta kehilangan aset kesultanan yang
menjadi korban perampasan dan penghancuran. Beliau wafat di kota Medan pada
tanggal 17 April 1980 dan dimakamkan di kompleks Mesjid Raya Tanjungbalai.
Pembangunan Masjid Raya Sultan Akhmadsyah
Masjid Raya Sultan Ahmadsyah
Tanjung Balai mulai dibangun tahun 1884 dan selesai dibangun pada tahun 1886.
Penggagas pembangunannya adalah Sultan Ahmadsyah
yang bergelar Marhum Maharaja Indrasakti
memerintah Kesultanan Asahan mulai tahun 1854 hingga 1888, Sultan Ahmadsyah naik tahta menggantikan ayahanda-nya
Sultan Muhammad Hussein Syah (1813-1854).
Dari tahun pembangunannya, Masjid Raya Sultan Akhmadsyah ini jauh lebih tua
dibandingkan dengan Masjid
Raya Al-Mahsun di Kota Medan (1909)
maupun Masjid
Raya Sulaimaniyah (1894) di kabupaten Serdang Bedagai.
Sentuhan Eropa di masjid ini ditandai dengan jejeran pilar pilar besar di teras masjid. |
Fungsi didirikannya Masjid Raya
Sultan Ahmadsyah bukan hanya sebagai sebuah tempat ibadah, tetapi juga merupakan
tempat strategis bagi pengembangan masyarakat, Selain sebagai tempat ritual,
masjid juga sebagai pusat tumbuh dan perkembangnya kebudayaan Islam. Di
dalamnya dilakukan penyusunan strategi, perencanaan dan aksi di dalam kerangka
penyebaran Islam di tengah kehidupan masyarakat. Selain sebagai kepentingan
ritual ibadah keagamaan, juga memiliki kepentingan politis untuk melawan
hegemoni penjajah.
Arsitektur
Ciri utama dari masjid ini adalah
bangunan Melayu. Hal ini terlihat dari bentuk bangunannya yang berbentuk
persegi panjang seperti kebanyakan bangunan Melayu. Pada pinggir atapnya juga
terdapat ciri khas bangunan Melayu yaitu ukiran pucuk rebung. Keunikan masjid
ini adalah tidak terdapat pilar di bagian dalam masjid yang bermakna Allah
tidak memerlukan penyangga untuk berdiri. Padahal bangunan dasar dari masjid
ini hampir tidak memakai semen melainkan pasir dan tanah liat serta batu bata.
Keunikan lainnya yaitu kubah masjid tidak terletak di tengah bangunan melainkan
di bagian depan masjid sehingga jika dilihat dari depan, masjid ini terkesan
biasa namun menyembunyikan keunikannya.
Ruang sholat utama yang lega tanpa tiang tiang penopang di tengah ruang sholat |
Di dalam masjid terdapat mimbar
yang berornamen Cina. Mimbar ini didatangkan langsung oleh Sultan dari Cina. Panji
hijau kembar terpancang kokoh di bagian belakang mimbar, seperti kebanyakan di
masjid masjid kesultanan lainnya. Di bagian depan mimbar, terpahat kaligrafi
dengan gaya khat tsuluts yang amat indah. Kaligrafi ini bertuliskan dua bait
syair yang berisi ajaran tentang rukun khutbah Jum'at dalam mazhab imam
Syafi'i. Dua bait syair itu kira-kira
bermakna:
Rukun khutbah Jum'at menurut imam-imam kita
Seluruh ada 5, ketahulah wahai sidang Jumat yang mulia
Yaitu membacan pujian, kemudian sholawat dan berwasiat takwa
Lalu membaca ayat, dan doa sebagai penutup khutbah kita
Selain itu juga ada tangga putar
untuk naik ke menara masjid yang terletak tepat di belakang mimbar. Bangunan
utama Masjid Raya Sultan Ahmadsyah belum pernah direnovasi. Namun bangunan
pendukungnya banyak yang diganti maupun ditambah. Seperti tempat wudhu’ yang
berbentuk qullah dan dapur masjid diganti dengan pendopo. Sedangkan gerbang dan
menara utamanya dibangun kemudian sehingga masjid ini memiliki dua menara.
Aktivitas Masjid Raya Sultan Akhmadsyah
Fungsi Masjid Raya Ahmadsyah saat
ini adalah sebagai tempat ibadah masyarakat muslim Tanjung Balai. Selain itu,
di Masjid Raya Ahmadsyah juga dilakukan pengajian-pengajian mingguan, pengajian
bulan ramadhan, pengajian remaja masjid dan pengajian anak-anak. Masjid Raya
Ahmadsyah juga berfungsi sebagai tempat latihan manasiq haji serta tempat
sosial kemasyarakatan seperti pemotongan hewan kurban dan khitanan massal serta
penyolatan jenazah.
Sejarah Singkat Kota Tanjung Balai
Sebelum kemerdekaan, Kota Tanjung
Balai merupakan bagian dari wilayah Kesultanan Asahan (1620 – 1946). Statusnya
sebagai kotapraja di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia disyahkan melalui
UU No. 1 Tahun 1957. Namun demikian peringatan hari jadi Kota Tanjung Balai
diperingati setiap tanggal 27 Desember, didasarkan kepada sejarah penobatan
Sultan Pertama Kesultanan Asahan pada tanggal 27 Desember 1620. Penetapan hari
jadi tersebut disyahkan melalui keputusan DPRD Kota Tanjungbalai Nomor
4/DPRD/TB/1986 Tanggal 25 November 1986.
Kuburan masal korban Tragedi di Bulan Maret 1946. |
Di masa penjajahan Belanda, Kota
Tanjungbalai berstatus sebagai Gementee berdasarkan Besluit G.G. tanggal
27 Juni 1917 dengan Stbl.1917 No. 284. Sebagai kota pelabuhan dan berstatus
sebagai Gementee, Kota Tanjung Balai menjadi tempat kedudukan bagi Assisten
Resident dan Ketua Dewan (Voorzitter van den Gemeen-teraad). Tanjung Balai juga
menjadi tempat kedudukan Sultan Kerajaan Asahan. Kota ini menjadi kota bandar
yang sangat penting bagi Belanda terlebih dengan dibukanya
perkebunan-perkebunan di derah Sumatera Timur termasuk daerah Asahan seperti
H.A.P.M., SIPEF dan lain-lain, menjadikan Tanjungbalai sebagai kota pelabuhan
dan pintu masuk ke daerah Asahan.
Dengan telah berfungsinya jembatan
Kisaran dan dibangunnya jalan kereta api Medan – Tanjungbalai, maka
hasil-hasil dari perkebunan dapat lebih lancar disalurkan atau diekspor melalui
kota pelabuhan Tanjungbalai. Untuk memperlancar kegiatan perkebunan,
maskapai-maskapai Belanda membuka kantor dagangnya di kota Tanjungbalai antara
lain: kantor K.P.M., Borsumeij dan lain-lain, maka pada abad XX mulailah
penduduk bangsa Eropa tinggal menetap di kotaTanjungbalai.
Setelah proklamasi kemerdekaan,
berahir pula kekuasaan politik Asahan sebagai sebuah kesultanan ditambah lagi
dengan kerusuhan sosial di tahun 1946. Di tahun 1956 Pemerintah Republik
Indonesia mengerluarkan Undang-Undang Darurat No. 9 Tahun 1956 kemudian
di-umumkan dalam Lembaran Negara nomor 60 tahun 1956 nama Hamintee Tanjungbalai
diganti menjadi Kota Kecil Tanjungbalai. Kemudian jabatan Walikota Tanjung
Balai dipisahkan dari Bupati Asahan berdasarkan Surat Mentri Dalam Negeri No.
UP 15/2/3 tanggal 18 September 1956. Selanjutnya dengan UU No. 1 Tahun 1957
nama Kota Kecil Tanjungbalai diganti menjadi Kotapraja Tanjungbalai.
Walikota Termuda 2016
Walikota Tanjung Balai memegang
rekor sebagai Walikota termuda di Indonesia. Adalah Muhammad Syahrial, Walikota
Tanjungbalai yang dilantik di Lapangan Merdeka Medan pada hari Rabu 17 Februari
2016, ternyata masih berumur 26 tahun. Dengan usia tersebut, Syahrial didaulat
menjadi Wali Kota termuda di Indonesia. Muhammad Syahrial dilantik sebagai
Walikota Tanjung Balai bersama dengan 14 Kepala Daerah Se-Sumut lainnya oleh
Plt Gubernur Sumatera Utara, T Erry Nuradi, sebagai hasil dari Pilkada serentak
di provinsi Sumatera Utara tahun 2016.***
Related post
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA