Halaman

Rabu, 22 Mei 2013

Masjid Merah Panjunan – Cirebon

TERTUA DI CIREBON ?. Konon Masjid Merah Panjunan dibangun lebih dulu sebelum Masjid Agung Sang Ciptarasa oleh Pangeran Panjunan yang merupakan putra penguasa Bagdad (Iraq). Beliau datang ke Cirebon bersama 40 orang yang kemudian menetap di kampung yang dikemudian hari disebut sebagai kampung Panjunan. Di kampung itu beliau mendirikan tajuk sebagai tempat beribadah bagi para pelaku bisnis yang datang dari berbagai bangsa di kawasan itu. Juga sebagai tempat pertemuan beliau dengan Sunan Gunung Jati.

Masjid Merah Panjunan merupakan salah satu masjid tua di kota Cirebon. Awalnya masjid ini bernama Al-Athyang yang artinya dikasihi Disebut masjid merah karena memang hampir keseluruhan bangunan masjid ini berbalut warna merah. Dan nama Panjunan pada nama masjid ini merujuk kepada nama Pangeran Panjunan pendiri masjid ini yang dikemudian hari nama yang sama juga menjadi nama desa tempat masjid ini berada.

Pangeran Panjunan bernama asli Maulana Abdul Rahman, nama Panjunan yang disandangnya merupakan gelaran atas profesi yang digelutinya sebagai pembuat Anjun atau Gerabah porselen. Profesi yang cukup lama ditekuni oleh keturunannya yang tinggal di desa Panjunan sampai ahirnya perlahan terkikis tinggal kenangan menjadi sebuah nama desa.

Lokasi dan Alamat Masjid Merah Panjunan

Masjid Merah Panjunan
Jl. Kolektoran (perempatan dengan Jl. Kenduran)
Kampung Panjunan, Desa Panjunan
Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon
Provinsi Jawa Barat      

 

Sejarah Masjid Merah Panjunan

Menurut sumber yang terpampang sebelum pintu masuk ke Masjid Merah Panjunan, Masjid Merah ini pertama kali dibangun oleh Pangeran Panjunan, salah seorang murid Sunan Gunung Jati pada tahun 1480 dalam bentuk surau kecil atau tajuk berukurn 150 m2 di dalam lingkungan perkampungan masyarakat keturunan Arab.

Nama asli dari Pangeran Panjunan adalah Maulana Abdul Rahman, pemimpin kelompok pendatang Arab dari Baghdad. Sang Pangeran dan keluarga mencari nafkah dari membuat keramik porselen. sehingga kampong tempat mereka tinggal diberi nama Panjunan, pembuat Anjun. Konon pembangunan masjid tersebut di-arsiteki oleh Pangeran Losari.

AKULTURASU BUDAYA. Digunakannya bentuk gerbang candi bentar bagi gerbang masjid Panjunan ini merupakan salah satu ciri berpadunya berbagai budaya di masjid tua satu ini. Selain itu, Budaya Jawa khsusunya Majapahit sangat kental terlihat pada penggunaan bentuk bangunannya yang berupa bangunan limasan.

Pembangunan Tajug atau Mushola sederhana tersebut sebagai tempat ibadah bagi para pedagang dari berbagai suku bangsa yang bertemu dan bertransaksi disana. Selain untuk beribadah, awalnya masjid ini juga menjadi tempat berbagi ilmu Wali Songo atau antara Wali Songo, terutama Sunan Gunung Jati, dengan Pangeran Panjunan. Gaya bangunannya sendiri merupakan perpaduan budaya dan agama sejak sebelum Islam, yaitu Hindu – Budha. Dan juga turut dipengaruhi oleh gaya Jawa dan Cina.

Pagar Kutaosod yang mengelilingi masjid ini dan terbuat dari susunan bata merah merupakan hasil pembangunan tahun 1949 oleh panembahan Ratu (Cicit Sunan Gunung Jati) berikut pembuatan pintu masuk di bangun sepasang candi bentar dan pintu panel Jati Berukir. Pada tahun 1978 masyarakat setempat membangun menara di halaman depan sebelah selatan sementara candi bentar dan pintu panel dibongkar. Renovasi terahir dilakukan oleh dinas kebudayaan dan pariwisata provinsi Jawa Barat yang melakukan penggantian atap sirap tahun 2001-2002.

MENARA YANG HILANG. foto bawah memperlihatkan Masjid Merah Panjunan dengan menaranya yang dibangun tahun 1978, namun belakangan menara ini lenyap. Sejauh ini kami belum menemukan keterangan tentang raib nya menara tersebut.

Hanya saja tidak jelas kapan bangunan menara di depan masjid ini dibongkar. Bentuk menara tersebut hanya dapat dinikmati di situs suara Cirebon terbitan 7 September 2012. Semula masjid ini dikelola oleh pihak Kesultanan Kasepuhan, tetapi selanjutnya diserahkan kepada DKM Panjunan. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001, Masjid Merah ditetapkan sebagai benda cagar budaya.

Arsitektural Masjid Merah Panjunan

Masjid Merah Panjunan termasuk bangunan ukuran kecil dengan jarak antara lantai dan atap yang rendah seperti rumah-rumah tua di Jawa. Bangunan utamanya berukuran 25 x 25 m memiliki halaman yang sangat sempit. Lantai keramik berwarna merah marun, Gerbang dan dinding bata merah sangat mencolok dan tak lazim sebagai bangunan masjid, batu bata sangat lumrah dipakai untuk membuat candi.

INTERIOR. Bagian dalam masjid Merah Panjunan ini memang di dominasi oleh warna merah pada tembok kelilingnya yang tidak menutup hingga ke atap. Pola yang serupa juga dapat ditemui di Masjid Agung Sang Ciptarasa di wilayah Kraton Kasepuhan.

Masjid Merah disokong 17 tiang penyangga yang melambangkan 17 rakaat dalam salat. Empat dari 17 tiang penyangga itu ada empat sokoguru yang merupakan penyangga utama sebagai simbol empat imam dalam hukum atau syariat Islam. Mereka adalah Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi'i, dan Imam Hanafi.

Ujung setiap tiang penyokong itu berbentuk bintang dengan delapan bunga. Hal itu membuktikan adanya pengaruh arsitektur Arab pada masjid itu. Bintang itu melambangkan delapan lafal selawat yang diajarkan Rasulullah.

KERAMIK CINA. Beberapa sumber menyatakan bahwa keramik keramik yang ada di Masjid Merah Panjunan ini merupakan keramik dari Cina yang merupakan hadiah dari kaisar Cina. Sedangkan beberapa keramik lainnya merupakan keramik dari kerajaan Belanda.

Hiasan piring keramik menempel pada dinding bagian dalam masjid baik bagian kiri, sisi kanan, maupun bagian depan. Konon, piring-piring keramik itu berasal dari Cina. Selain menandakan hubungan Kerajaan Cirebon dengan Cina pada masa lalu, itu menyimbolkan bahwa ajaran Islam tidak hanya berkembang di tanah air.

Meskipun bentuk dan tinggi pagar sama, hiasan pada dinding pagar ini beda motif. Dinding kanan pintu masuk Masjid Merah dihiasi motif batik, sedangkan dinding pagar kiri polos tanpa hiasan. Dinding itu memang sengaja dibangun demikian dan memiliki makna khusus.

PEMBAURAN YANG SEMPURNA. Sepeti halnya masjid Agung Sang Ciptarasa, di Masjid Merah Panjunan inipun watak pembauran dalam arsitekturalnya sangat terasa. Pembauran tradisi Islam, Jawa, Cina dan Eropa berbaur jadi satu menghasilkan bangunan masjid tua yang sangat menarik dan menjadi simbol keberhasilan Islam menyelaraskan tradisi dengan syar'i.

"Di luar orang boleh berbeda, tetapi ketika memasuki ke masjid, semua orang satu tujuan. Di dalam masjid, setiap orang harus berhati bersih dan punya satu tujuan yang sama untuk menghadap Allah,"  Filosofi itu pun mewakili perbedaan karakter Wali Songo (sembilan wali). Namun, mereka toh tetap bersatu, berkumpul, dan berdiskusi tentang ajaran Islam.

Dinding masjid masih dipertahankan agar tetap tampak warna asli, merah tanah liat. dinding pagar dan dinding masjid merah tanah liat masjid selalu dipertahankan karena dua alasan. Pertama, merah liat itu melambangkan keberanian Pangeran Panjunan serta Wali Songo untuk mengambil keputusan.

MAKAM SANG PANGERAN. Masjid Merah Panjunan ini juga menjadi tempat bermakamnya Pangeran Panjunan, maka lengkaplah sudah nama Panjunan sebagai nama Desa, nama profesi, yang juga menjadi gelar bagi Sang Pangeran.

Selain itu, merah liat sebagai ciri khas dari masjid tersebut, sehingga disebut Masjid Merah. Dari beranda masjid, ada satu pintu utama dengan ukuran kecil, hal itu mengingatkan agar orang yang masuk ke masjid menanggalkan kesombongnya dan dengan rendah hati menghadap Allah. Hal itu dipertegas dengan adanya tulisan kalimat Syahadat yang digantung sebelum pintu itu. Namun, tulisan itu baru menjadi tambahan sekitar 1980-an.

Meskipun masjid ini difungsikan hanya untuk tempat shalat sehari-hari, tidak dipakai untuk ibadah shalat Jumat. Namun pada saat bulan suci Ramadhan tiba, masjid ini banyak dikunjungi para peziarah. Selain itu, menu kopi arab dan makanan ringan khas Cirebon dan Arab menjadi suguhan wajib saat waktu berbuka tiba.***

Artikel Terkait


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA