Masjid Merah Panjunan
merupakan salah satu masjid tua di kota Cirebon. Awalnya masjid ini bernama Al-Athyang yang artinya dikasihi Disebut masjid merah
karena memang hampir keseluruhan bangunan masjid ini berbalut warna merah. Dan
nama Panjunan pada nama masjid ini merujuk kepada nama Pangeran Panjunan
pendiri masjid ini yang dikemudian hari nama yang sama juga menjadi nama desa
tempat masjid ini berada.
Pangeran Panjunan
bernama asli Maulana Abdul Rahman, nama Panjunan yang disandangnya merupakan
gelaran atas profesi yang digelutinya sebagai pembuat Anjun atau Gerabah
porselen. Profesi yang cukup lama ditekuni oleh keturunannya yang tinggal di
desa Panjunan sampai ahirnya perlahan terkikis tinggal kenangan menjadi sebuah
nama desa.
Lokasi dan Alamat
Masjid Merah Panjunan
Masjid Merah Panjunan
Jl. Kolektoran
(perempatan dengan Jl. Kenduran)
Kampung Panjunan,
Desa Panjunan
Kecamatan Lemah
Wungkuk, Kota Cirebon
Provinsi Jawa Barat
Sejarah Masjid Merah
Panjunan
Menurut sumber yang
terpampang sebelum pintu masuk ke Masjid Merah Panjunan, Masjid Merah ini pertama kali dibangun oleh Pangeran Panjunan, salah seorang murid Sunan Gunung
Jati pada tahun 1480 dalam bentuk surau kecil atau tajuk berukurn
150 m2 di dalam lingkungan perkampungan masyarakat keturunan Arab.
Nama asli dari
Pangeran Panjunan adalah Maulana Abdul Rahman, pemimpin kelompok pendatang Arab
dari Baghdad. Sang Pangeran dan keluarga mencari nafkah dari membuat keramik
porselen. sehingga kampong tempat mereka tinggal diberi nama Panjunan, pembuat Anjun.
Konon pembangunan masjid tersebut di-arsiteki oleh Pangeran Losari.
Pembangunan Tajug
atau Mushola sederhana tersebut sebagai tempat ibadah bagi para pedagang dari
berbagai suku bangsa yang bertemu dan bertransaksi disana. Selain untuk
beribadah, awalnya masjid ini juga menjadi tempat berbagi ilmu Wali Songo atau
antara Wali Songo, terutama Sunan Gunung Jati, dengan Pangeran Panjunan. Gaya
bangunannya sendiri merupakan perpaduan budaya dan agama sejak sebelum Islam,
yaitu Hindu – Budha. Dan juga turut dipengaruhi oleh gaya Jawa dan Cina.
Pagar Kutaosod yang mengelilingi masjid ini dan terbuat dari susunan
bata merah merupakan hasil pembangunan tahun 1949
oleh panembahan Ratu (Cicit Sunan Gunung Jati) berikut pembuatan pintu masuk di
bangun sepasang candi bentar dan pintu panel Jati Berukir. Pada tahun 1978
masyarakat setempat membangun menara di halaman depan sebelah selatan sementara candi
bentar dan pintu panel dibongkar.
Renovasi terahir dilakukan oleh
dinas kebudayaan dan pariwisata provinsi Jawa Barat yang melakukan penggantian
atap sirap tahun 2001-2002.
Hanya saja tidak
jelas kapan bangunan menara di depan masjid ini dibongkar. Bentuk menara
tersebut hanya dapat dinikmati di situs suara Cirebon terbitan 7 September
2012. Semula masjid ini dikelola oleh pihak Kesultanan Kasepuhan, tetapi
selanjutnya diserahkan kepada DKM Panjunan. Berdasarkan Surat Keputusan (SK)
Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001, Masjid Merah ditetapkan sebagai benda
cagar budaya.
Arsitektural Masjid
Merah Panjunan
Masjid Merah Panjunan
termasuk bangunan ukuran kecil dengan jarak antara lantai dan atap yang rendah
seperti rumah-rumah tua di Jawa. Bangunan utamanya berukuran 25 x 25 m memiliki halaman yang sangat sempit. Lantai keramik berwarna merah marun, Gerbang
dan dinding bata merah sangat mencolok dan tak lazim sebagai bangunan masjid,
batu bata sangat lumrah dipakai untuk membuat candi.
Masjid Merah disokong
17 tiang penyangga yang melambangkan 17 rakaat dalam salat. Empat dari 17 tiang
penyangga itu ada empat sokoguru yang merupakan penyangga utama sebagai simbol
empat imam dalam hukum atau syariat Islam. Mereka adalah Imam Maliki, Imam
Hambali, Imam Syafi'i, dan Imam Hanafi.
Ujung setiap tiang
penyokong itu berbentuk bintang dengan delapan bunga. Hal itu membuktikan
adanya pengaruh arsitektur Arab pada masjid itu. Bintang itu melambangkan
delapan lafal selawat yang diajarkan Rasulullah.
Hiasan piring keramik
menempel pada dinding bagian dalam masjid baik bagian kiri, sisi kanan, maupun
bagian depan. Konon, piring-piring keramik itu berasal dari Cina. Selain
menandakan hubungan Kerajaan Cirebon dengan Cina pada masa lalu, itu
menyimbolkan bahwa ajaran Islam tidak hanya berkembang di tanah air.
Meskipun bentuk dan
tinggi pagar sama, hiasan pada dinding pagar ini beda motif. Dinding kanan
pintu masuk Masjid Merah dihiasi motif batik, sedangkan dinding pagar kiri
polos tanpa hiasan. Dinding itu memang sengaja dibangun demikian dan memiliki
makna khusus.
"Di luar orang
boleh berbeda, tetapi ketika memasuki ke masjid, semua orang satu tujuan. Di
dalam masjid, setiap orang harus berhati bersih dan punya satu tujuan yang sama
untuk menghadap Allah," Filosofi
itu pun mewakili perbedaan karakter Wali Songo (sembilan wali). Namun, mereka
toh tetap bersatu, berkumpul, dan berdiskusi tentang ajaran Islam.
Dinding masjid masih
dipertahankan agar tetap tampak warna asli, merah tanah liat. dinding pagar dan
dinding masjid merah tanah liat masjid selalu dipertahankan karena dua alasan. Pertama,
merah liat itu melambangkan keberanian Pangeran Panjunan serta Wali Songo untuk
mengambil keputusan.
Selain itu, merah
liat sebagai ciri khas dari masjid tersebut, sehingga disebut Masjid Merah.
Dari beranda masjid, ada satu pintu utama dengan ukuran kecil, hal itu
mengingatkan agar orang yang masuk ke masjid menanggalkan kesombongnya dan
dengan rendah hati menghadap Allah. Hal itu dipertegas dengan adanya tulisan
kalimat Syahadat yang digantung sebelum pintu itu. Namun, tulisan itu baru
menjadi tambahan sekitar 1980-an.
Meskipun masjid ini difungsikan hanya untuk tempat shalat sehari-hari, tidak dipakai
untuk ibadah shalat Jumat. Namun pada saat bulan suci Ramadhan tiba, masjid ini
banyak dikunjungi para peziarah. Selain itu, menu kopi arab dan makanan ringan
khas Cirebon dan Arab menjadi suguhan wajib saat waktu berbuka tiba.***
Artikel
Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA