|
Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon dengan Gerbang sisi baratnya. |
Kebakaran dan Renovasi Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Baik
catatan sejarah maupun sejarah tutur yang berkembang di masyarakat Cirebon,
masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon ini sempat mengalami kebarakaran hebat
pada masa Awal bedirinya bangunan masjid ini. Disebutkan bahwa masjid ini
pernah mengalami kebakaran hebat yang pada bagian atapnya yang masih
menggunakan daun rumbia sebagai akibat terror dari pendekar Menjangan Wulung
yang memiliki kesaktian ilmu hitam. Kisah ini terkait dengan sejarah awal
dikumandangkannya Azan Pitu (azan tujuh) di Masjid ini.
Dalam
catatan sejarah disebutkan bahwa pada tahun 1549, Ratu Dewi Pakungwati binti
Pangeran Cakrabuana yang merupakan istri pertama Sunan Gunung Jati, wafat di
Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon dalam usia yang sangat tua setelah turut
serta berjibaku memadamkan kebakaran yang melanda Masjid Agung ini. Apakah
kedua rentetan peristiwa tersebut merupakan peristiwa yang terjadi dalam waktu
yang sama ? wallohua’lam. Paska kebararan yang mengakibatkan kerusakan pastinya
dilakukan perbaikan atas bagian bagian yang rusak, meski tak ada catatan pasti
tentang proses perbaikan tersebut.
:: Pemugaran Oleh Pemerintah R.I. ::
|
Prasati Pemugaran Masjid Agung Cirebon oleh Pemerintah R.I. |
Beberapa
meter dari pintu gerbang utara masjid, menghadap ke arah pintu gerbang
tersebut, kini berdiri sebuah prasasti peringatan tentang renovasi yang
dilakukan oleh pemerintah Republik Indonesia terhadap masjid ini dan diresmikan
pada tanggal 23 Februari tahun 1978. berikut kutipan isi dari Prasasti tersebut
:
“DENGAN
RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PADA HARI KAMIS TANGGAL 23 FEBRUARI 1978 MENTERI
PdanK TELAH MERESMIKAN HASIL PEMUGARAN MESJID AGUNG CIREBON…..MENTERI
PENDIDIKAN dan KEBUDAYAAN R.I…… SJARIF THAJEB”
|
Penyanggah penyanggah besi baja di dalam masjid Agung Sang Cipta Rasa dipasang pada 12 sokoguru masjid ini untuk menopangnya, mengingat bangunan masjid ini yang sudah tidak muda lagi. |
Kemungkinan
besar pemugaran yang dimaksud dalam prasasti ini adalah penambahan tiang besi
baja pada 12 sokoguru di dalam ruang utama masjid serta beberapa sokoguru
dibagian luar. Dan penambahan empat pendopo di sekeliling bangunan utama.
Mengingat lokasi penempatan dari prasasti ini sendiri berada pada sisi luar
pendopo.
Hikayat Azan Pitu, Memolo Dan Masjid Berpasangan
Azan
Pitu atau azan tujuh adalah tradisi azan di Masjid Agung Sang Cipta Rasa
Cirebon yang dilantunkan oleh tujuh orang muazin sekaligus. Biasanya azan ini
dilantunkan saat jelang sholat subuh dan sholat Jum’at. Selain azan pitu, di
Cirebon juga mengenal azan awal sebelum sholat subuh sebagai pengingat bagi
kaum muslimin bahwa waktu subuh akan segera tiba supaya bersiap diri.
|
Interior Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon. Dari titik tengah ini azan pitu dikumandangkan dari masjid ini. |
Azan
pitu pada mulanya dilaksanakan atas perintah dari Sunan Gunung Jati untuk memusnahkan
pengaruh sihir yang ditebarkan oleh Menjangan Wulung terhadap jemaah yang akan
masuk ke masjid Sang Cipta Rasa Cirebon untuk melaksanakan sholat subuh. Disebutkan
bahwa pada suatu masa ketika Islam baru menunjukkan perkembangan yang baik di
wilayah Cirebon, beberapa orang yang keberatan dengan hal tersebut berupaya
menebar terror.
Sosok
Menjangan Wulung sendiri menurut beberapa sumber merupakan sosok ghaib yang di
utus oleh seseorang ke Masjid Agung Cirebon untuk menebar terror. Korban pertamanya
adalah muazin yang akan mengumandangkan azan subuh di masjid ini yang mendadak
tewas secara misterius. Mengakibatkan ketakutan yang luar biasa bagi jemaah
lainnya yang akan masuk ke masjid ini. Amukan Menjangan wulung ini juga
mengakibatkan atap masjid yang masih terbuat dari rumbia mengalami kebakaran
hebat.
|
Masjid Agung Sang Cipta
Rasa disekitar tahun 1920-1933 saat bangunan utama masjid ini belum dilengkapi dengan berbagai bangunan pendopo yang kini mengelilinginya. Perhatikan puncak atap masjidnya yang tidak dilengkapi dengan memolo. |
Berbagai
upaya dilakukan untuk memadamkan api, namun selalu gagal. Sampai akhirnya istri
Sunan Gunungjati Nyi Mas Pakungwati menyarankan agar dikumandangkan azan. Namun
api belum juga padam. Azan kembali dikumandangkan oleh dua orang sampai
berturut-turut tiga orang sampai enam orang, namun api belum juga padam. Konon
api baru padam setelah azan dikumandangkan oleh tujuh orang muazin, atas perintah
dari Sunan Gunung Jati berdasarkan petunjuk Ilahi.
Menjangan
Wulung berhasil ditaklukkan, konon dia melarikan diri ke arah Banten dan tak
pernah kembali. Masih dalam kaitan dengan hikayat ini disebutkan juga bahwa
menjangan wulung juga menghantam memolo yang ada di puncak masjid hingga
terpental jauh. Ada juga yang menyebut bahwa memolo (mastaka / ornament hiasan berbentuk
simbar dipuncak masjid) tersebut hancur akibat ledakan yang terjadi saat aksi
Menjangan Wulung tersebut.
|
Memolo di puncak atap masjid Agung Banten. Memolo yang memang bertumpuk dua. Apakah salah satunya merupakan memolo Masjid Agung Cirebon yang terpelanting hingga ke Banten akibat ledakan semasa huru hara Menjangan Wulung, tiga tahun sebelum Masjid Agung Banten ini dibangun ?. |
Namun
satu hikayat yang senantiasa dituturkan oleh pemandu wisata di Masjid ini bahwa
memolo tersebut terpental hingga ke Masjid Agung Banten. Dan itu sebabnya
Masjid Agung Banten memiliki dua memolo sedangkan Masjid Agung Cirebon tanpa
memolo sama sekali. Cerita terahir tersebut memiliki penafsiran yang bermacam
macam.
Pertama
bahwa masjid Agung Banten dibangun jauh setelah berdirinya Masjid Agung
Cirebon. Bila kita merujuk kepada tahun wafatnya Ratu Dewi Pakungwati yakni
tahun 1549 sebagai tahun terjadinya huru hara Menjangan Wulung, artinya : meski
memolo tersebut memang terpental jauh hingga ke Banten, tidak serta merta langsung
bertengger di Masjid Agung Banten tapi butuh setidaknya tiga tahun bagi
siapapun disana untuk memungut memolo tersebut dan memasangnya ke Masjid Agung
Banten yang baru dibangun tiga tahun kemudian (1552-1570).
|
::Masjid Sepasang:: Kanan adalah Masjid Agung Demak dan Kiri adalah Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon. Bisa anda temukan persamaan dan perbedaannya ?. |
Sedangkan
dari sudut pandang arsitektural, Masjid Agung Cipta Rasa disebutkan sebagai
pasangan dari Masjid Agung Demak. Bila Masjid Agung Demak dibangun dalam watak
Maskulin lengkap dengan memolo dan berdiri gagah, lain halnya dengan masjid
Agung Sang Cipta Rasa Cirebon yang dibangun dalam watak Fenimim dengan denah
persegi panjang, boleh jadi sejak awal masjid ini memang dibangun tanpa memolo
sebagai perwujudan dari kefemeninimannya.
Namun
demikian, tradisi azan pitu ini tetap dilestarikan di Masjid Agung Cirebon ini.
sebagai sebuah tradisi yang merupakan satu satunya masjid dengan tradisi yang amat
unik dan langka ini. Azan pitu dilantunkan oleh tujuh orang muazin sekaligus
dengan pakaian putih putih kadang dilengkapi dengan jubah. Mereka bertujuh
berjejer di tengah tengah bangunan asli tepat dibawah wuwungan atap masjid.
Masih
mengenai memolo, versi lain menyebutkan bahwa memolo tersebut hancur karena
secara tidak sengaja terkena lemparan tongkat Panebahan Satu pada saat Cirebon
dilanda wabah penyakit yang konon datang secara ghaib. Panebahan Ratu adalah
Raja ke empat Kesultanan Cirebon, beliau adalah cicit dari Sunan Gunung Jati.
|
Pengeras suara di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon ini diletkaan dibawah empat penjuru atap puncaknya. Sama hal nya dengan masjid masjid tua tanah Jawa Lainnya. |
Menara
dan Penghormatan Kepada Raja
Bila
diperhatikan masjid masjid tua di tanah Jawa termasuk Masjid Agung Demak,
Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon, Saka Tunggal di Banyumas, Sunan Ampel di
Surabaya dan lainnya, selalu saja dibangun tanpa menara. Meski dari sisi
tradisi arsitektural tanah air, ketiadaan menara ini sudah menjadi pakem bagi
masjid tradisional Indonesia namun dibalik semua itu ada makna filosofis yang
mendalam.
Ketiadaan
menara pada bangunan masjid masjid tua tersebut kait mengait dengan tradisi
tanah jawa yang menjungjung tinggi ewuh pakewuh. Keberadaan menara yang memang
pada masa awalnya merupakan tempat muazin mengumandangkan azan akan
memposisikan muazin yang berada di menara lebih tinggi dari seluruh jemaah yang
ada di dalam masjid termasuk Raja dan para petinggi kerajaan lainnya. Hal tersebut
dianggap tidak sopan.
Karenanya
masjid masjid tua tanah Jawa hampir seluruhnya tidak dilengkapi dengan menara.
Menara di Masjid Agung Demak pun dibangun belakangan bukan merupakan komponen
asli yang dibangun sejak awal pembangunan masjid. Seiring dengan telah
dikembangkannya perangkat pengeras suara, muazin tak perlu lagi menaiki menara
pada saat akan mengumandangkan azan cukup pengeras suaranya yang disimpan di
menara sedangkan azannya dilantunkan muazin dari dalam masjid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA