Halaman

Rabu, 29 Mei 2013

Tokoh Dibalik Sliding Dome dan Payung Masjid Nabawi

::: Ada 27 kubah di Masjid Nabawi yang dirancang untuk bisa dibuka dan di tutup tergantung pada kondisi cuaca disana, seluruh sistem kendali kubah ini dikendalikan dengan sistem komputer :::

Sudah pernah ke Masjid Nabawi ? Alhamdulillah bila sudah, bila belum, semoga kita sama sama segera diberi kesempatan untuk datang kesana, setidaknya sekali dalam rangkaian memenuhi panggilan ilahi.  Masjid Nabawi merupakan tempat suci kedua bagi 1.6 milyar lebih muslim di seluruh dunia, di masjid ini Baginda Rosulullah S.A.W junjungan kita dimakamkan.

Bagi yang sudah pernah kesana mungkin sempat mengamati Kubah Geser dan Payung di masjid ini.  27 kubah di Masjid Nabawi ini yang semuanya dirancang sebagai sliding dome atau kubah yang dapat digeser untuk dibuka dan ditutup kembali sesuai keperluan layaknya sebuah pintu atau jendela di atap masjid.  27 sliding dome tersebut masing masing 12 kubah ditempatkan di bangunan sayap kiri dan kanan dan 3 kubah di bangunan sayap belakang bangunan utama masjid Nabawi.



Ke-27 kubah geser tersebut merupakan dari proyek perluasan Masjid Nabawi yang dilaksanakan oleh Raja Fahd di tahun 1992-1994. Proyek perluasan Raja Fahd ini disebut sebut sebagai proyek perluasan paling komplit dan komprehensif dalam sejarah Masjid Nabawi. Dari bagian utama Masjid Nabawi seluas 16.500 m2 kemudian ditambah dengan bangunan perluasan Raja Fahd yang seluruhnya seluas 82.000 m2. Dua hal yang paling menyedot perhatian dalam proyek ini adalah 27 Sliding Dome nya serta dipasangnya serangkaian 105 payung elektronik untuk memayungi seantero plataran terbuka di sekitar masjid Nabawi.

Payung Masjid Nabawi ini yang dikemudian hari menjadi trend baru bagi masjid masjid di seantero bumi termasuk di Indonesia. Sebut saja diantaranya adalah penggunaan payung yang serupa di Masjid Az-Zikra (d/h Masjid Muammar Qadaffy) di Sentul – Bogor dan payung di Pelataran Masjid Agung Jawa Tengah di Semarang.

::: 27 Kubah geser Masjid Nabawi ditandai dengan kotak warna merah pada foto di atas. Bangunan lama Masjid Nabawi ada di bagian bawah foto dengan kubah hijaunya menandai lokasi makam Baginda ROsululah S.A.W :::

Kubah geser dan payung payung di Masjid Nabawi ini dibuat menggunakan material material khusus serta teknologi terdepan. Kubah gesernya dibuat dari material terpilih mulai dari baja ringan, campuran resin khusus untuk pembentuk kubah, lembaran kain dari material khusus untuk payung, kayu kayu oak terpilih untuk ukuran interior kubah dan lain lainnya. Serta masing masing interior kubah ini dilapis dengan enam kilo emas murni, ditambah dengan taburan permata Amazonite.

Pengendalian 27 kubah dan 105 payung di Masjid Nabawi ini dikendalikan dengan jaringan computer canggih dengan serangkaian sistim kontrol dan sensor otomatis, untuk memudahkan pengendaliannya yang disesuaikan dengan kondisi cuaca setempat. 105 payung di pelataran masjid Nabawi ini tidak sekedar membuka pada saat cuaca panas. Untuk memberikan rasa nyaman bagi jemaah, namun juga dengan otomatis akan menyemburkan udara sejuk secara berkelanjutan pada saat sudah membuka sempurna.

Siapa Pembangun Sliding Dome Dan Payung Masjid Nabawi

::: Lebih dekat ke Kubah Geser Masjid Nabawi dari bagian luar :::

Dari berbagai literatur disebutkan bahwa pembangunan kubah geser dan payung dalam proyek perlusan Raja Fahd di Masjid Nabawi ini melibatkan begitu banyak pihak. Sejak dari proses perencanaan, pemilihan material, pemilihan teknologi yang tepat, perencanaan rancang bangun, pemilihan para seniman dan tenaga ahli hingga ke proses pembuatan, perakitan, pemasangan hingga perawatannya.

Proses pembuatan kubah itu sendiri dikerjakan secara terpisa pisah di berbagai Negara sesuai dengan spesialisasi yang dibutuhkan. Begitu banyak Negara yang terlibat dalam proses ini mulai dari Saudi Arabia sendiri, lalu Kanada, Inggris, Swiss, Maroko, Kenya, Jerman hingga Negeri jiran kita, Malaysia, dan jangan lupa pula jasa dari para tenaga kerja dari Indonesia.

::: Rangkaian payung di Masjid Nabawi :::

Dr. Bodo Rasch adalah tokoh yang menangani rancang bangun structural (Struktural Engineering) kubah dan payung payung tersebut. Beliau tidak bekerja sendirian, dia bekerja bersama Ian Liddell, Eddie Pugh dengan perusahaan Buro Happold yang menangani pembuatan kain khusus yang digunakan untuk payung payung di masjid tersebut. Ada 105 lima payung yang dipasang di pelataran Masjid Nabawi yang produksi masalnya ditangani oleh oleh perusahaan Liebherr kemudian di kapalkan ke Saudi Arabia.

Proses pembuatan 27 kubah geser ini juga melibatkan perusahaan Uni Emirat Arab yang bertanggung jawab dalam proses pembuatannya menggunakan material composite yang tersusun dari serat gelas dan resin yang kemudian disatukan dengan busa thermoplastic sebagai intinya. Hasilnya adalah kubah berukuran 18x18 meter yang beratnya 15% lebih ringan dibandingkan dengan kubah beton namun memiliki keunggulan lebih dalam kekuatannya.

::: Kubah geser Masjid Nabawi dari bagian dalam :::

Dipilihnya material dengan kriteria tersebut mengingat bahwa kubah ini harus mampu di buka dan di tutup dengan mudah oleh sitem robotik yang menggerakkannya. Material yang lebih ringan akan mengurangi beban stuktur yang menopangnya dan tentu saja mengurangi beban sistim robotik yang menggerakkannya. Selain dari itu, material composite ini memiliki tingkat pemuaian yang sangat rendah terhadap perubahan suhu udara ekstrim padang pasir, sehingga mengurangi dampak kerusakan struktur dan komponen penunjangnya sebagai akibat dari perubahan dimensi.

Proses pembuatan kubah kubah itu sendiri tidak dikerjakan di Uni Emirat Arab namun dikerjakan oleh beberapa perusahaan terpisah di Jerman serta perusahaan subkontraktor lainnya yang tersebar di berbagai negara. Selain material material yang sudah disebutkan di atas, kubah kubah tersebut juga menggunakan lapisan keramik dibagian luarnya serta menggunakan struktur baja ringan.

::: Sliding Dome Masjid Nabawi dengan proses pembukaannya :::

Ornamen interior kubah geser ini ditangani oleh Jay Bonner dengan melibatkan berbagai seniman interior dari berbagai Negara termasuk Maroko yang memang sudah dikenal sebagai pengukir handal.  Ukiran ornament interior kubah ini didasarkan pada ukiran sesuai syariah dengan menggunakan ornament floral (tumbuh tumbuhan). Seluruh ukiran interior kubah menggunakan kayu Cedar Maroko dipadu dengan beragam batu permata Amazonite dan lempengan lempengan emas. Masing masing kubah ini menghabiskan 6 kilo emas murni.

150 orang pengukir professional Maroko dilibatkan dalam proyek ini selama lebih dari satu tahun penuh. Jay Boner juga bertanggung jawab atas mutu ukiran kayu yang dibuat oleh para pengukir Maroko tersebut termasuk juga bagi bertanggung jawan bagi mutu ornamen batu batu permata yang akan dipasang di kubah tersebut sampai dengan proses intalasi awal elemen dekoratif tersebut yang dilaksanakan di Jerman.

Proyek luar biasa tersebut berada di bawah kendali perusahaan Bin Ladin Group bekerja sama dengan Fakultas Teknik Universitas King Saud, Saudi Arabia. Kelompok perusahaan ini yang mengendalikan seluruh proses pembangunan bekerja sama dengan begitu banyak perusahaan musltinasional dari berbagai Negara.

Payung payung di pelataran Masjid Nabawi, Madinah.

Saat ini Masjid Nabawi kembali dalam proses perluasan untuk kesekian kalinya oleh pemerintah Kerajaan Saudi Arabia. Perluasan kali ini mengarah kea rah timur dan barat daya Masjid Nabawi dan menimbulkan kekhawatiran banyak pihak, karena proyek tersebut di khawatirkan akan turut menggusur bangunan bangunan bersejarah dan sudah berusia lebih dari seribu tahun di lokasi tersebut. Sebagaimana disebut oleh Wikipedia, sempat juga beredar kabar bahwa pemerintah setempat juga akan meratakan makam Baginda Rosul berikut kubah hijau yang menaunginya dan sudah menjadi ciri khas masjid Nabawi.

Masjid Nabawi mengajarkan kepada kita semua, bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana diamanatkan oleh Baginda Rosulullah adalah hal mutlak bagi ummat Islam dimanapun berada. Suka atau tidak, proyek perluasan Raja Fahd di Masjid Nabawi yang melibatkan begitu banyak bangsa telah membuktikan hal tersebut. Kejayaan hanya dapat dicapai dengan kekuatan salah satunya adalah kekuatan teknologi. Semoga bermanfaat. Bila ada tambahan informasi dipersilahkan menghubungi kami atau dituliskan di kolom komentar berikut dengan referensinya.***

Langgar Agung Keraton Kasepuhan Cirebon

::: terlihat sepi di hari biasa, namun Langgar Agung ini benar benar dopadati jem'ah hingga ke jalanan di dua sholat hari raya dan di perayaan maulid nabi :::

Langgar Agung atau kadang disebut Masjid Langgar Agung adalah mushola tua yang berada di dalam komplek keraton Kasepuhan Cirebon. Kata Langgar adalah sama dengan surau atau mushola. Disebut dan difungsikan sebagai Langgar karena memang tak jauh dari lokasi nya, berdiri megah Masjid Agung Sang Ciptarasa yang merupakan masjid resmi kesultanan Cirebon, dan di dalam komplek keraton ini juga terdapat Langgar Alit dengan ukuran yang jauh lebih kecil.

Ada beberapa tradisi yang sangat unik dari Langgar Agung ini yang tetap dilestarikan oleh keluarga keraton Kasepuhan Cirebon. Diantaranya yang paling menyedot perhatian masyarakat luas adalah perhelatan Panjang Jimat oleh Keraton Kasepuhan yang acara puncaknya digelar di Langgar Agung ini.

Langgar Agung Keraton Kasepuhan
Kompek Keraton Kasepuhan Cirebon
Kampung Mandalangan, Kelurahan Kasepuhan
Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat.


Untuk menuju ke Langgar Agung, tentu saja harus menuju ke Keraton Kasepuhan Cirebon, salah satu dari tiga Keraton di Kota Cirebon yang pada awalnya merupakan satu Kesultanan yakni Kesultanan Cirebon sebelum kemudian terbagi menjadi tiga Keraton yaitu Keraton Kasepuhan dengan Sultan Sepuh sebagai penguasanya, Lalu Keraton Kanoman dengan Sultan Anom-nya dan Keraton Kacirbonan.

Dari arah gerbang paling depan yang menghadap ke Alun Alun Keraton Kasepuhan, Langgar Agung berada di halaman kedua yang berada diatara gerbang pertama dan kedua (Regol Pengada), dua gerbang yang sama sama berbentuk paduraksa beratap genteng. Hanya sedikit perbedaan pada ornamen atap dan warna-nya.

Gerbang paduraksa kedua (Regol Pengada) berukuran 5 x 6,5m dibangun menggunakan batu dan daun pintunya dari kayu. merupakan gerbang masuk ke halaman keraton Kasepuhan. Dari gerbang peduraksa pertama Langgar Agung ada di sebelah kanan (sisi barat).

Sejarah Pembangunan Langgar Agung

Sejauh ini kami belum menemukan literatur yang secara jelas menyebutkan kapan dan oleh siapa Langgar ini dibangun. Hanya saja, sebagai sebuah kerajaan Islam, pembangunan komplek keraton biasanya berbarengan dengan pembangunan sebuah masjid atau mushola atau setidaknya pembangunan antara gedung keraton dan mushola / masjidnya tidak terpaut jauh.

Lannar Agung dari arah gerbang paduraksa kedua

Keraton Kasepuhan pada awalnya dibangun oleh Pangeran Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi II dengan nama Keraton Pakungwati atau Dalem Agung Pakungwati di tahun 1452. Nama tersebut dinisbatkan kepada putri tunggal beliau yang bernama Putri Pakungwati. Sebagai pusat pemerintahan Cirebon yang kala itu masih merupakan wilayah bawahan kerajaan Padjajaran.

Dikemudian hari putri Pakungwati dinikahkan oleh Pangeran Cakrabuana dengan keponakannya yang tak lain adalah Syarif Hidayatullah yang dikemudian hari menjadi Sultan Pertama di Kesultanan Cirebon. Keraton tersebut diperluas sekitar tahun 1479. Bangunan asli Keraton Pakungwati sendiri kini sudah tidak ada lagi.

Lokasinya kini ditandai dengan tiga bangunan petilasan, yakni petilasan Sunan Gunung Jati, Petilasan Pangeran Cakrabuana dan petilasan Walisongo. Ketiga petilasan tersebut dikelilingi dengan pagar tembok dari susunan bata merah dengan gerbang berpintu kayu berukir. Di dalam komplek petilasan ini terdapat sumur Kejayaan.

Langgar Agung dari arah gerbang paduraksa pertama

Sedangkan bangunan keraton yang kini berdiri dibangun setelah wafatnya Sunan Gunung Jati dan posisi beliau digantikan oleh cicitnya yang bernama Pangeran Emas Zaenal Arifin, bergelar Panembahan Pakungwati I. Pada tahun 1529 beliau membangun keraton baru di sebelah barat daya keraton lama. Kemungkinan besar Langgar Agung dibangun bersamaan dengan pembangunan tersebut.

Tradisi Mauludan

Sekali dalam setahun, Langgar Agung Keraton Kasepuhan menjadi pusat peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan setiap tahun di Keraton Kasepuhan. Tradisi Mauludan di kota Cirebon atau lebih dikenal dengan nama tradisi Panjang Jimat merupakan tradisi yang diselenggarakan oleh tiga Keraton di kota Cirebon, baik di Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman dan Keraton Kacirbonan.

::panjang jimat, di keraton Kasepuhan - Cirebon ::

Panjang Jimat merupakan serangkaian ritual panjang peringatan Maulid Nabi Muhammad S.A.W. yang dimulai dengan pembersihan benda benda pusaka keraton yang akan dipergunakan dalam prosesi Maulid Nabi, hingga ke acara puncaknya berupa iring iringan benda benda pusaka tersebut dari keraton Kasepuhan menuju ke Langgar Agung untuk pelaksanaan acara puncak peringatan Maulid Nabi yang dipimpin oleh imam Masjid Agung Sang Ciptarasa.

Sultan Kasepuhan Cirebon Salat Id Dua Kali

Selain tradisi Mauludan, yang tak kalah menarik tradisi di Langgar Agung ini adalah tatkala Sultan Sepuh, penguasa Keraton Kasepuhan melaksanakan Sholat Idul Fitri dan Idul Adha dua kali. Sholat Id pertama dilaksanakan di Langgar Agung ini bersama dengan seluruh kerabat keraton lalu kemudian dilanjutkan dengan Sholat Id kedua di Masjid Agung Sang Ciptarasa. Sultan dijemput oleh Imam Masjid ke keraton untuk kemudian berjalan kaki menuju ke Langgar Agung diiringi oleh para kerabat.

::: Suasana Idul Fitri di Langgar Agung Keraton Kasepuhan - Cirebon :::

Salah satu dari abdi dalem yang mengiringi keluarga Sultan membawa sebuah dupa yang menyala untuk menebarkan aroma wewangian sejak dari keraton hingga masuk ke dalam Langgar Agung. di dalam Langgar Agung Sultan melaksanakan sholat membaur dengan seluruh kerabat dan masyarakat dalam lingkungan keraton, tidak di dalam maksurah atau Krapyak seperti di Masjid Agung Sang Ciptarasa.

Tradisi unik lainnya di Langgar Agung ini adalah, khutbahnya disampaikan dalam bahasa Aeab, tradisi yang sama juga dilaksanakan di Masjid Agung Sang Ciptarasa. Khutbah berbahasa Arab ini sudah dilaksanakan sejak masa Sunan Gunung Jati dengan tujuan untuk memotivasi jemaah untuk belajar bahasa Arab.

:: dari gerbang paduraksa pertama, Langgar Agung berada di sebelah kanan halaman ke dua Keraton Kasepuhan, tampak di foto di atas tembok pagar Langgar Agung di sebelah kanan foto. Gerbang yang tampak adalah gerbang paduraksa kedua yang langsung menuju ke Keraton Kasepuhan :::

Selesai melaksanakan sholat Id di Langgar Agung ini, Sultan sepuh dan keluarga akan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar 100 meter menuju ke Masjid Agung Sang Ciptarasa untuk melaksanakan sholat Id bersama masyarakat umum di masjid Kesultanan tersebut.

Sepulang dari Masjid Agung Sang Ciptarasa, Sultan keluarga kembali ke keraton dengan berjalan kaki dan disambut dengan tetabuhan gamelan sekaten di pendopo keraton, disana Sultan akan singgah sejenak melepas lelah sembari menikmati irama gamelan sekaten yang hanya dimainkan dua kali dalam setahun yakni ketika Idul Fitri dan peringatan Maulid Nabi.

Arstitektural Langgar Agung

::: Gerbang merah ini adalah gerbang paduraksa pertama saat kita masuk ke kawasan Keraton Kasepuhan, Langgar Agung ada disebelah kanan dari gerbang ini atau ada disebelah kiri foto dengan temboknya yang terlihat sedikit ::: 

Bangunan Langgar Agung memiliki bangunan utama dengan ukuran 6 x 6 m. Teras 8 x 2, 5 m. Denah bangunannya berbentuk “T” terbalik Karena teras depan lebih besar dari bangunan utama. Bagian teras berdinding kayu setengah dari permukaan lantai, kemudian setengah bagian atas diberi terali kayu. Dinding bangunan utama merupakan dinding tembok. Mihrab berbentuk melengkung berukuran 5 x 3 x 3 m. Di dalam mihrab tersebut terdapat mimbar terbuat dari kayu berukuran 0,90x 0,70x2 m.

Atap Langgar Agung merupakan atap tumpang dua dengan menggunakan sirap. Konstruksi atap disangga 4 tiang utama. Langgar Agung ini memiliki halaman dengan ukuran 37 x 17 m. Langgar ini berfungsi sebagai tempat ibadah kerabat keraton. Bangunan Langgar Agung dilengkapi pula dengan Pos Bedug Somogiri. Bangunan yang menghadap ke timur ini berdenah bujursangkar berukuran 4 x 4 m yang di dalamnya terdapat bedug (tambur). Bangunan ini tanpa dinding dan atap berbentuk limas, penutup atap didukung 4 tiang utama dan 5 tiang pendukung.***

Artikel Terkait

Rabu, 22 Mei 2013

Masjid Merah Panjunan – Cirebon

TERTUA DI CIREBON ?. Konon Masjid Merah Panjunan dibangun lebih dulu sebelum Masjid Agung Sang Ciptarasa oleh Pangeran Panjunan yang merupakan putra penguasa Bagdad (Iraq). Beliau datang ke Cirebon bersama 40 orang yang kemudian menetap di kampung yang dikemudian hari disebut sebagai kampung Panjunan. Di kampung itu beliau mendirikan tajuk sebagai tempat beribadah bagi para pelaku bisnis yang datang dari berbagai bangsa di kawasan itu. Juga sebagai tempat pertemuan beliau dengan Sunan Gunung Jati.

Masjid Merah Panjunan merupakan salah satu masjid tua di kota Cirebon. Awalnya masjid ini bernama Al-Athyang yang artinya dikasihi Disebut masjid merah karena memang hampir keseluruhan bangunan masjid ini berbalut warna merah. Dan nama Panjunan pada nama masjid ini merujuk kepada nama Pangeran Panjunan pendiri masjid ini yang dikemudian hari nama yang sama juga menjadi nama desa tempat masjid ini berada.

Pangeran Panjunan bernama asli Maulana Abdul Rahman, nama Panjunan yang disandangnya merupakan gelaran atas profesi yang digelutinya sebagai pembuat Anjun atau Gerabah porselen. Profesi yang cukup lama ditekuni oleh keturunannya yang tinggal di desa Panjunan sampai ahirnya perlahan terkikis tinggal kenangan menjadi sebuah nama desa.

Lokasi dan Alamat Masjid Merah Panjunan

Masjid Merah Panjunan
Jl. Kolektoran (perempatan dengan Jl. Kenduran)
Kampung Panjunan, Desa Panjunan
Kecamatan Lemah Wungkuk, Kota Cirebon
Provinsi Jawa Barat      

 

Sejarah Masjid Merah Panjunan

Menurut sumber yang terpampang sebelum pintu masuk ke Masjid Merah Panjunan, Masjid Merah ini pertama kali dibangun oleh Pangeran Panjunan, salah seorang murid Sunan Gunung Jati pada tahun 1480 dalam bentuk surau kecil atau tajuk berukurn 150 m2 di dalam lingkungan perkampungan masyarakat keturunan Arab.

Nama asli dari Pangeran Panjunan adalah Maulana Abdul Rahman, pemimpin kelompok pendatang Arab dari Baghdad. Sang Pangeran dan keluarga mencari nafkah dari membuat keramik porselen. sehingga kampong tempat mereka tinggal diberi nama Panjunan, pembuat Anjun. Konon pembangunan masjid tersebut di-arsiteki oleh Pangeran Losari.

AKULTURASU BUDAYA. Digunakannya bentuk gerbang candi bentar bagi gerbang masjid Panjunan ini merupakan salah satu ciri berpadunya berbagai budaya di masjid tua satu ini. Selain itu, Budaya Jawa khsusunya Majapahit sangat kental terlihat pada penggunaan bentuk bangunannya yang berupa bangunan limasan.

Pembangunan Tajug atau Mushola sederhana tersebut sebagai tempat ibadah bagi para pedagang dari berbagai suku bangsa yang bertemu dan bertransaksi disana. Selain untuk beribadah, awalnya masjid ini juga menjadi tempat berbagi ilmu Wali Songo atau antara Wali Songo, terutama Sunan Gunung Jati, dengan Pangeran Panjunan. Gaya bangunannya sendiri merupakan perpaduan budaya dan agama sejak sebelum Islam, yaitu Hindu – Budha. Dan juga turut dipengaruhi oleh gaya Jawa dan Cina.

Pagar Kutaosod yang mengelilingi masjid ini dan terbuat dari susunan bata merah merupakan hasil pembangunan tahun 1949 oleh panembahan Ratu (Cicit Sunan Gunung Jati) berikut pembuatan pintu masuk di bangun sepasang candi bentar dan pintu panel Jati Berukir. Pada tahun 1978 masyarakat setempat membangun menara di halaman depan sebelah selatan sementara candi bentar dan pintu panel dibongkar. Renovasi terahir dilakukan oleh dinas kebudayaan dan pariwisata provinsi Jawa Barat yang melakukan penggantian atap sirap tahun 2001-2002.

MENARA YANG HILANG. foto bawah memperlihatkan Masjid Merah Panjunan dengan menaranya yang dibangun tahun 1978, namun belakangan menara ini lenyap. Sejauh ini kami belum menemukan keterangan tentang raib nya menara tersebut.

Hanya saja tidak jelas kapan bangunan menara di depan masjid ini dibongkar. Bentuk menara tersebut hanya dapat dinikmati di situs suara Cirebon terbitan 7 September 2012. Semula masjid ini dikelola oleh pihak Kesultanan Kasepuhan, tetapi selanjutnya diserahkan kepada DKM Panjunan. Berdasarkan Surat Keputusan (SK) Wali Kota Cirebon Nomor 19 Tahun 2001, Masjid Merah ditetapkan sebagai benda cagar budaya.

Arsitektural Masjid Merah Panjunan

Masjid Merah Panjunan termasuk bangunan ukuran kecil dengan jarak antara lantai dan atap yang rendah seperti rumah-rumah tua di Jawa. Bangunan utamanya berukuran 25 x 25 m memiliki halaman yang sangat sempit. Lantai keramik berwarna merah marun, Gerbang dan dinding bata merah sangat mencolok dan tak lazim sebagai bangunan masjid, batu bata sangat lumrah dipakai untuk membuat candi.

INTERIOR. Bagian dalam masjid Merah Panjunan ini memang di dominasi oleh warna merah pada tembok kelilingnya yang tidak menutup hingga ke atap. Pola yang serupa juga dapat ditemui di Masjid Agung Sang Ciptarasa di wilayah Kraton Kasepuhan.

Masjid Merah disokong 17 tiang penyangga yang melambangkan 17 rakaat dalam salat. Empat dari 17 tiang penyangga itu ada empat sokoguru yang merupakan penyangga utama sebagai simbol empat imam dalam hukum atau syariat Islam. Mereka adalah Imam Maliki, Imam Hambali, Imam Syafi'i, dan Imam Hanafi.

Ujung setiap tiang penyokong itu berbentuk bintang dengan delapan bunga. Hal itu membuktikan adanya pengaruh arsitektur Arab pada masjid itu. Bintang itu melambangkan delapan lafal selawat yang diajarkan Rasulullah.

KERAMIK CINA. Beberapa sumber menyatakan bahwa keramik keramik yang ada di Masjid Merah Panjunan ini merupakan keramik dari Cina yang merupakan hadiah dari kaisar Cina. Sedangkan beberapa keramik lainnya merupakan keramik dari kerajaan Belanda.

Hiasan piring keramik menempel pada dinding bagian dalam masjid baik bagian kiri, sisi kanan, maupun bagian depan. Konon, piring-piring keramik itu berasal dari Cina. Selain menandakan hubungan Kerajaan Cirebon dengan Cina pada masa lalu, itu menyimbolkan bahwa ajaran Islam tidak hanya berkembang di tanah air.

Meskipun bentuk dan tinggi pagar sama, hiasan pada dinding pagar ini beda motif. Dinding kanan pintu masuk Masjid Merah dihiasi motif batik, sedangkan dinding pagar kiri polos tanpa hiasan. Dinding itu memang sengaja dibangun demikian dan memiliki makna khusus.

PEMBAURAN YANG SEMPURNA. Sepeti halnya masjid Agung Sang Ciptarasa, di Masjid Merah Panjunan inipun watak pembauran dalam arsitekturalnya sangat terasa. Pembauran tradisi Islam, Jawa, Cina dan Eropa berbaur jadi satu menghasilkan bangunan masjid tua yang sangat menarik dan menjadi simbol keberhasilan Islam menyelaraskan tradisi dengan syar'i.

"Di luar orang boleh berbeda, tetapi ketika memasuki ke masjid, semua orang satu tujuan. Di dalam masjid, setiap orang harus berhati bersih dan punya satu tujuan yang sama untuk menghadap Allah,"  Filosofi itu pun mewakili perbedaan karakter Wali Songo (sembilan wali). Namun, mereka toh tetap bersatu, berkumpul, dan berdiskusi tentang ajaran Islam.

Dinding masjid masih dipertahankan agar tetap tampak warna asli, merah tanah liat. dinding pagar dan dinding masjid merah tanah liat masjid selalu dipertahankan karena dua alasan. Pertama, merah liat itu melambangkan keberanian Pangeran Panjunan serta Wali Songo untuk mengambil keputusan.

MAKAM SANG PANGERAN. Masjid Merah Panjunan ini juga menjadi tempat bermakamnya Pangeran Panjunan, maka lengkaplah sudah nama Panjunan sebagai nama Desa, nama profesi, yang juga menjadi gelar bagi Sang Pangeran.

Selain itu, merah liat sebagai ciri khas dari masjid tersebut, sehingga disebut Masjid Merah. Dari beranda masjid, ada satu pintu utama dengan ukuran kecil, hal itu mengingatkan agar orang yang masuk ke masjid menanggalkan kesombongnya dan dengan rendah hati menghadap Allah. Hal itu dipertegas dengan adanya tulisan kalimat Syahadat yang digantung sebelum pintu itu. Namun, tulisan itu baru menjadi tambahan sekitar 1980-an.

Meskipun masjid ini difungsikan hanya untuk tempat shalat sehari-hari, tidak dipakai untuk ibadah shalat Jumat. Namun pada saat bulan suci Ramadhan tiba, masjid ini banyak dikunjungi para peziarah. Selain itu, menu kopi arab dan makanan ringan khas Cirebon dan Arab menjadi suguhan wajib saat waktu berbuka tiba.***

Artikel Terkait


Selasa, 21 Mei 2013

Sepuluh Masjid Tertua di Indonesia (Bagian-2)

Sepuluh Masjid Tertua di Indonesia Jilid-2

Bila dalam posting sebelumnya di bagian -1 sudah di ulas lima dari sepuluh masjid tertua di Indonesia versi bujangmasjid masing masing adalah 1. Masjid Saka Tunggal, 2. MasMasjid Saka Tunggal, (2). Masjid Wapauwe, (3). Masjid Sunan Ampel, Surabaya, (4). Masjid Agung Demak dan (5). Masjid Agung Sang Ciptarasa. jid maka dalam posting berikut ini akan kita ulas lima masjid tua berikutnya.

Lima masjid tua berikut ini terdiri sangat menarik karena dua diantaranya merupakan masjid di luar pulau Jawa yakni dua masjid di pulau Sulawesi, tepatnya di provinsi Sulawesi Selatan. Lima masjid tersebut adalah (6). Masjid Menara Kudus , (7). Masjid Agung Banten, (8). Masjid Mantingan, (9). Masjid Tua Al-Hilal Katangka, dan (9). Masjid Jami’ Tua Palopo.

6. Masjid Menara Kudus, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah (1549)

Masjid Al-Aqso atau Masji Menara Kudus. Masjid tertua nomor 6 di Indonesia

Nama asli masjid ini sebenarnya adalah Masjid Al-Aqso, didirikan oleh Ja’far Shodiq atau Sunan Kudus pada tahun 956H atau bertepatan dengan tahun 1549M. Namun lebih dikenal oleh masyarakat luas sebagai Masjid Menara Kudus, Karena memang bangunan menaranya yang berupa sebuah bangunan candi itu yang menjadi ciri khas dari masjid tua satu ini. Di dalam komplek masjid ini juga terdapat Makam Sunan Kudus.

Sejarah Masjid Menara Kudus tak bisa dilepaskan dari sejarah Kota Kudusnya sendiri. Menurut (alm) Profesor Purbacaraka, seorang antropolog dari Universitas Udayana, Bali, nama kota Kudus berasal dari kata Al-Quds. Al-Quds adalah nama asli kota Jerusalem di Palestina tempat bedirinya Masjid Al-Aqso yang merupakan kiblat pertama umat Islam. Hal tersebut sejalan dengan pendapat para sejarawan yang mengatakan bahwa kota Kudus didirikan oleh para pelaut Arab Palestina, maka wajar bila kemudian masjid yang mereka bangun pun menggunakan nama Al-Aqso, untuk mengenang tanah kelahiran mereka.

Masjid Menara Kudus ini awalnya memang merupakan sebuah bangunan candi pada masa Hindu yang kemudian disesuiakan kegunaanya sebagai menara masjid. Dari bentuknya bangunan menaranya memiliki kemiripan dengan menara Kul Kul di Bali. Sedangkan ragam hiasnya memiliki kemiripan dengan candi candi di Jawa Timur seperti Candi Jago dan Candi Singosari. Kehadiran Menara Candi di komplek Masjid Al-Aqso di Kudus ini memberikan gambaran betapa baiknya akulturasi budaya yang dilakukan oleh Sunan Kudus saat menyebarkan Islam disana.

7.Masjid Agung Banten, Kota Serang, Provinsi Banten (1552)

Masjid Agung Banten, di kawasan Banten Lama, kota Serang propinsi Banten merupakan masjid tertua ke 7 di Indonesia.

Masjid Agung Banten dibangun pertama kali oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1552-1570), sultan pertama Kasultanan Banten yang juga putra pertama Sunan Gunung Jati, Sultan Cirebon. Masjid ini dikenali dari bentuk menaranya yang sangat mirip dengan bentuk sebuah bangunan mercusuar.

Masjid Agung Banten dirancang oleh 3 arsitek. Yang Pertama adalah Raden Sepat, Arsitek Majapahit yang sebelumnya telah berjasa merancang Masjid Agung Demak dan Masjid Agung Sang Ciptarasa Cirebon. Arsitek kedua adalah arsitek China bernama Cek Ban Su ambil yang  memberikan pengaruh kuat pada bentuk atap masjid bersusun 5 mirip layaknya pagoda China. Karena jasanya dalam membangun masjid itu Cek Ban Su memperoleh gelar Pangeran Adiguna.

Lalu arsitek ketiga adalah Hendrik Lucaz Cardeel, arsitek Belanda yang kabur dari Batavia menuju Banten di masa pemerintahan Sultan Haji tahun 1620, dalam status mualaf dia merancang menara masjid serta bangunan tiyamah di komplek Masjid Agung Banten. Karena jasanya tersebut, Cardeel kemudian mendapat gelar Pangeran Wiraguna. Menilik bentuk dan denah bangunannya menunjukkan bahwa Masjid Agung Banten tidak dibangun yang kini berdiri tidak dibangun sekaligus melainkan secara berkelanjutan sejak sultan pertama hingga ke masa pemerintahan Sultan Haji.

8. Masjid Mantingan, Jepara, Jawa Tengah (1559M)

Masjid Mantingan di Kabupaten Jepara provinsi Jawa Tengah, Masjid tertua ke 8 di Indonesia

Masjid Mantingan adalah salah satu dari 10 masjid tertua di Indonesia. Terletak di di Desa Mantingan, Kecamatan Tahunan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. 5 km kearah selatan dari pusat kota Jepara. Dibangun dengan lantai tinggi ditutup dengan ubin bikinan Tiongkok, undak-undakannya didatangkan dari Makao. Sedangkan bangunan atap hingga bubungan-nya bergaya Tiongkok. Dinding luar dan dalam dihiasi dengan piring tembikar bergambar biru, sedang dinding sebelah tempat imam dan khatib dihiasi dengan relief-relief persegi bergambar margasatwa, dan penari penari yang dipahat pada batu cadas kuning tua.

Masjid Mantingan didirikan pada tahun 1481 Saka atau tahun 1559 M, sesuai dengan pernyataan yang terdapat didalam masjid RUPA BRAHMANA WANASARI yang ditulis oleh Raden Toyib yang kemudian dikenal sebagai Sultan Hadiri, Adipati Jepara, yang juga adik Ipar dari Sultan Trenggono (Sultan Demak).

Raden Toyib berasal dari Aceh,  beiau merupakan utusan Sultan Aceh, setelah mempelajari agama Islam di Mekah lalu bersyiar di Cina, kemudian berlabuh di tanah Jawa, bermukim di Jepara dan menikah dengan Ratu Kalinyamat (Retno Kencono), saudara perempuan dari Sultan Trenggono Penguasa Kesultanan Demak Terahir. Dinobatkan sebagai Adipati Jepara dengan gelar Sultan Hadiri berkuasa pada periode 1536-1549 sampai beliau meninggal dan dimakamkan disebelah Masjid yang dia dirikan yaitu Masjid Mantingan. Kekuasaan pemerintahan kemudian dilanjutkan oleh Sultan Hadiri, Ratu Kaliyamat tahun 1549-1579.***

9. Masjid Tua Al-Hilal Katangka, Gowa, Sulawesi Selatan (1603)

Masjid Al-Hilal di desa Katangka, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Masjid tertua di Indonesia nomor delapan.

Nama resmi masjid ini adalah Masjid Al-Hilal, karena berada di desa Katangka maka disebut sebagai Masjid Al-Hilal Katangka, sebagian lagi masyarakat setempat menamainya dengan nama Masjid Agung Syeh Yusuf. Ulama Kharismatik yang merupakan pahlawan nasional di Indonesia dan juga pahlawan nasional di Afrika Selatan.

Masjid Tua Al-Hilal dibangun pada masa pemerintahan raja Gowa XIV bernama Aku Manga'ragi Daeng - Manrabbiakaraeng Lakiung (Sultan Alauddin I) tahun 1603, Sultan Alauddin adalah Raja Gowa pertama yang memeluk agama Islam. Sultan Alauddin adalah kakek dari I Mallombassi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Tumenanga ri Balla Pangkana atau yang dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke enam belas.

Arsitektur masjid Tua Al-Hilal Katangka ini telah menginspirasi gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo pada tahun 2009 untuk mendirikan masjid masjid dengan bentuk yang sama di 24 kabupaten/kota di Sulsel. Dimulai dengan pembangunan masjid di kecamatan Mandalle, Kabupaten Pangkep (Pangkajene kepulauan) Sulawesi Selatan

10. Masjid Jami’ Tua Palopo, Kota Palopo, Sulawesi Selatan (1604M)

Masjid Jami' Tua Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan. Masjid tertua ke sepuluh di Indonesia

Masjid Jami’ Tua Palopo merupakan masjid peninggalan Kerajaan Luwu berada di kota Palopo,  Sulawesi Selatan. Masjid ini didirikan oleh Raja Luwu tahun 1604 M. Di beri nama Tua, karena usianya yang sudah tua. Sedangkan nama Palopo diambil dari kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti, yaitu: pertama, penganan yang terbuat dari campuran nasi ketan dan air gula; kedua, memasukkan pasak dalam lubang tiang bangunan. Kedua makna ini memiliki relasi dengan proses pembangunan  Masjid Jami’ Tua Palopo ini.

Masjid ini merupakan masjid kerajaan yang didirikan ketika Kerajaan Luwu sedang berada dalam masa kejayaannya dibawah kekuasaan Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe. Ketika ia naik tahta menggantikan ayahnya tahun 1604 M, ia memindahkan ibukota kerajaan dari Patimang ke Ware, dengan alasan Ware berada di pantai dan lebih dekat dengan pelabuhan, sehingga aktifitas ekonomi bisa lebih mudah dilakukan. Sumber sejarah lain ada juga yang mengkaitkan perpindahan ibukota kerajaan ini dengan kepentingan untuk penyebaran Islam.

Hal ini bisa dilihat dari konstruksi kompleks ibukota kerajaan yang baru, di mana masjid dan istana dibangun berdekatan membentuk satu komplek kerajaan. Satu unsur lagi yang dibangun dalam kompleks kerajaan Luwu adalah lapangan luas yang terbuka (alun-alun). Struktur dan tata letak pusat pemerintahan yang seperti ini mirip dengan struktur dan tata letak kerajaan Islam di Jawa. Seiring dengan penamaan masjid ini dengan Masjid Palopo, daerah tersebut kemudian juga disebut sebagai daerah Palopo. Maka, sejak tahun 1604 M tersebut, daerah Ware ini berubah nama menjadi Palopo.

Kembali ke bagian-1

Senin, 20 Mei 2013

Sepuluh Masjid Tertua di Indonesia (Bagian-1)


Masjid tertua di Indonesia versi Bujangmasjid.blogspot.com bagian pertama. 1. Masjid Saka Tunggal, 2. Masjid  Wapauwe, 3. Masjid Sunan Ampel, 4. Masjid Agung Demak,. 5. Masjid Agung Sang Ciptarasa - Cirebon.

Masjid Agung Demak ternyata bukanlah masjid tertua di Indonesia. di tanah Jawa sudah berdiri sebuah masjid bahkan sebelum kerajaan Majapahit berdiri, juga tentu saja sebelum kehadiran wali sanga untuk menyebarkan Islam di tanah Jawa. Begitu banyak literatur dalam dan luar negeri yang terlanjur mencantumkan Masjid Agung Demak sebagai masjid tertua di Indonesia termasuk wikipedia.

dalam urutan pertama memang masjid di Tanah Jawa yakni Masjid Saka Tunggal di Kabupaten Banyumas, Jawa Timur, namun menjadi menarik karena di urutan kedua justru merupakan masjid di Kawasan Indonesia timur yakni Masjid Wapauwe yang ada di Provinsi Maluku. posting kali ini membeberkan sepuluh masjid tertua di Indonesia yang dibagi dalam dua bagian. berikut bagian pertama yang menampilkan masjid tertua pertama hingga ke lima.

1. Masjid Saka Tunggal Banyumas (1228M)

Masjid Tertua di Indonesia Versi Bujangmasjid

Masjid saka tunggal atau Masjid Saka Tunggal Baitussalam berada di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon Banyumas, Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah. Tepatnya berada di titik koordinat geografi 7°28'26.05"S 109° 3'20.32"E. disebut Masjid saka tunggal karena masjid ini hanya memiliki satu tiang penyangga tunggal. Saka tunggal yang berada di tengah bangunan utama masjid, saka dengan empat sayap ditengahnya yang akan nampak seperti sebuah totem, bagian bawah dari saka itu dilindungi dengan kaca guna melindungi bagian yang terdapat tulisan tahun pendirian masjid tersebut.

Masjid saka tunggalmenjadi satu satunya masjid di pulau Jawa yang dibangun jauh sebelum era Wali Sembilan (Wali Songo) yang hidup sekitar abad 15-16M. Sedangkan masjid ini didirikan tahun 1288 Masehi sebagaimana tertulis di prasasti yang terpahat di saka masjid itu. lebih tua dari kerajaan majapahit yang berdiri tahun 1294 Masehi. Diperkirakan masjid ini berdiri ketika masa kerajaan Singasari, 2 abad sebelum Wali Songo. Sekaligus menjadikan Masjid saka tunggal Baitussalam sebagai Masjid Tertua di Indonesia.

Sejarah Masjid saka tunggalsenantiasa terkait dengan Tokoh penyebar Islam di Cikakak, bernama Mbah Mustolih yang hidup dalam Kesultanan Mataram Kuno. Itu sebabnya, tidak heran bila unsur Kejawen masih cukup melekat. Dalam syiar Islam yang dilakukan, Mbah Mustolih memang menjadikan Cikakak sebagai "markas" dengan ditandai pembangunan masjid dengan tiang tunggal tersebut.  Beliau dimakamkan tak jauh dari Masjid saka tunggal.

2. Masjid Wapauwe, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku (1414)

Masjid Wapauwe, Masjid tertua ke-dua di Indonesia

Masjid Wapauwe berada di Desa Kaitetu, Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku, dibangun tahun 1414 Masehi. Hingga kini masih berdiri kokoh dan menjadi bukti sejarah Islam masa lampau dan masih digunakan oleh muslim setempat. Untuk mencapai desa Kaitetu dari pusat Kota Ambon kita bisa menggunakan transportasi darat dengan menempuh waktu satu jam perjalanan. Bertolak dari Kota Ambon ke arah timur menuju Desa Passo. Di simpang tiga Passo membelok ke arah kiri melintasi jembatan, menuju arah utara dan melewati pegunungan hijau dengan jalan berbelok serta menanjak.

Masjid Wapauwe mmasih dipertahankan arsitektur aslinya, berdiri di atas sebidang tanah yang oleh warga setempat diberi nama Teon Samaiha. Konstruksinya berdinding gaba-gaba (pelepah sagu yang kering) dan beratapkan daun rumbia. Bangunan induk Masjid Wapauwe hanya berukuran 10 x 10 meter, sedangkan bangunan tambahan yang merupakan serambi berukuran 6,35 x 4,75 meter.

Bangunannya berbentuk empat bujur sangkar. Bangunan asli pada saat pendiriannya tidak mempunyai serambi. Meskipun kecil dan sederhana, masjid ini mempunyai beberapa keunikan yang jarang dimiliki masjid lainnya, yaitu konstruksi bangunan induk dirancang tanpa memakai paku atau pasak kayu pada setiap sambungan kayu. Di masjid ini tersimpan dengan baik Mushaf Alquran yang konon termasuk tertua di Indonesia. Yang tertua adalah Mushaf Imam Muhammad Arikulapessy (imam pertama majid Wapauwe) yang selesai ditulis (tangan) pada tahun 1550 dan tanpa iluminasi (hiasan pinggir). Sedangkan Mushaf lainnya adalah Mushaf Nur Cahya yang selesai ditulis pada tahun 1590, dan juga tanpa iluminasi serta ditulis tangan pada kertas produk Eropa.

3. Masjid Sunan Ampel, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur (1421)

Masjid Sunan Ampel, masjid tertua ke tiga di Indonesia

Masjid Sunan Ampel merupakan masjid tertua ke tiga di Indonesia, didirikan oleh Raden Achmad Rachmatullah pada tahun 1421, di dalam wilayah kerajaan Majapahit. Masjid ini dibangun dengan arsitektur Jawa kuno, dengan nuansa Arab yang kental. Raden Achmad Rachmatullah yang lebih dikenal dengan Sunan Ampel wafat pada tahun 1481. Makamnya terletak di sebelah barat masjid. Hingga tahun 1905, Masjid Sunan Ampel adalah masjid terbesar kedua di Surabaya. dulunya masjid ini menjadi tempat berkumpulnya para ulama dan wali Allah untuk membahas penyebaran Islam di tanah Jawa.

Di komplek pemakaman Masjid Sunan Ampel juga terdapat makam Mbah Sonhaji atau Mbah Bolong dan juga makam Mbah Soleh, pembantu Sunan Ampel yang bertugas membersihkan Masjid Sunan Ampel. Keberadaan Kedua Makam tersebut tak terlepas dari cerita tutur dari masyarakat setempat.  Di kompleks tersebut terdapat juga makam seorang pahlawan nasional, KH. Mas Mansyur, kondisinya sangat bersahaja, setara dengan makam-makam keluarganya yang hanya ditandai sebuah batu nisan di atas tanah yang datar. Sepi dari peziarah. Di dekat makam Mbah Bolong (Mbah Sonhaji) terdapat 182 makam syuhada haji yang tewas dalam musibah jemaah haji Indonesia di Maskalea-Colombo, Sri Lanka pada 4 Desember 1974.

Kompleks makam dikelilingi tembok besar setinggi 2,5 meter. Makam Sunan Ampel bersama istri dan lima kerabatnya dipagari baja tahan karat setinggi 1,5 meter, melingkar seluas 64 meter persegi. Khusus makam Sunan Ampel dikelilingi pasir putih.

4. Masjid Agung Demak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah (1477)

Masjid Agung Demak, Masjid tertua ke empat

Masjid Agung Demak adalah masjid tertua ke empat di Indonesia. Terletak di desa Kauman, Demak, Jawa Tengah. Dipercaya sebagai tempat berkumpulnya Walisongo, untuk membahas penyebaran agama Islam di Tanah Jawa khususnya dan Indonesia pada umumnya. Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, Sultan pertama dari Kesultanan Demak, pada sekitar abad ke-15 Masehi. Di dalam lokasi kompleks Masjid Agung Demak, terdapat beberapa makam sultan Kesultanan Demak dan para abdinya.

Kisah tutur yang paling terkenal terkait pembangunan Masjid Agung Demak adalah pembuatan salah satu sokogurunya yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga dengan menggunakan tatal (serpihan kayu) jati yang kemudian dirangkainya menjadi satu menjadi sebatang sokoguru yang solid sama dengan sokoguru sokoguru lainnya yang disiapan oleh para sunan yang lain.

Masjid Agung Demak menjadi cikal bakal bangunan masjid di Nusantara yang menggunakan atap limas bersusun. Arsitektural Masjid Agung Demak ini kemudian ditiru dan menyebar ke seluruh Nusantara, tidak saja di Indonesia tapi juga hingga ke Negara Negara tetangga termasuk Malaysia, Thailand hingga Brunei Darussalam. Bebeberapa masjid Megah yang baru dibangun di berbagai daerah Indonesia turut mengadopsi Arsitektural masjid ini. Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila telah menjadikah bentuk Masjid Agung Demak ini sebagai odel bagi seribu lebih bangunan masjid yang dibangunnya diseluruh wilayah Nusantara.

5. Masjid Agung Sang Ciptarasa, Kota Cirebon, Provinsi Jawa Barat (1478)

Masjid Agung Sang Ciptarasa - Cirebon, Masjid tertua ke lima

Masjid Agung Sang Ciptarasa, Cirebon ini berada di wilayah territorial Keraton Kesepuhan Cirebon. Dibangun atas usulan dari Dewi Pakungwati, Istri pertama (permaisuri) Sunan Gunung Jati, selaku Sultan pertama Kesultanan Cirebon. Sunan Gunung Jati yang kemudian membangun masjid ini di tahun 1478 atau setahun setelah pembangunan Masjid Agung Demak dengan dukungan penuh dari para wali dan Raden Fatah, Sultan pertama Kesultanan Demak.

Bertindak sebagai Kontraktornya adalah Sunan Kalijaga, sedangkan arsiteknya adalah Raden Sepat yang sebelumnya juga merancang Masjid Agung Demak. Berbagai pihak menyebut masjid Agung Sang Ciptarasa ini sebagai pasangan Masjid Agung Demak, karena memang pada saat pembangunan Masjid Agung Demak sedang berlangsung, Sunan Gunung Jati memohon kepada Raden Fatah untuk membangun pasangan masjid tersebut di Cirebon.

Bangunan induk masjid ini berukuran 20x20 meter dengan atap limas berususun tiga sama persis seperti Masjid Agung Demak, hanya saja denah atap dan bangunannya tidak bujur sangkar tapi empat persegi panjang, konon bentuk tersebut mewakili sifat feminimnya, untuk membedakan dengan pasangannya di Demak yang berwatak Maskulin. Kini masjid ini sudah dilengkapi dengan Pendopo disekelilingnya hasil pembangunan tahun 1978 dimasa menteri pendidikan dan kebudayaan Syarif Thayeb. ***

Bersambung ke Bagian-2