Masjid Sultan Kasimuddin di Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara |
Provinsi
Kalimantan Utara (Kaltara) secara resmi disyahkan dalam sidang paripurna DRPRI
pada hari Kamis tanggal 25 Oktober 2012 yang lalu. Provinsi ke 34 yang baru
terbentuk ini terdiri dari lima
kabupaten dan satu kota, yakni Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten
Tana Tidung, Kabupaten Bulungan, dan Kota Tarakan. Tanjung Selor yang merupakan
ibukota kabupaten Bulungan ditetapkan sebagai ibukota Propinsi. Pengesahan
tersebut bersamaan dengan pengesahan pembentukan empat kabupaten baru masing
masing adalah Kabupaten Pangandaran, di
Jawa Barat, Kabupaten Manokwari Selatan, Kabupaten Pegunungan Arfak di Papua
Barat dan Kabupaten Pesisir Barat di Provinsi Lampung.
Pemekaran
Propinsi Kaltara dari propinsi induk, Kalimantan Timur ini diharapkan dapat
segera memacu pembangunan di kawasan perbatasan negara dengan Malaysia
mengingat Kaltara berbatasan darat dan laut langsung dengan Negara jiran
tersebut. Kabupaten Bulungan (dulunya disebut Bulongan) yang menjadi Ibukota
Propinsi baru ini, merupakan kelanjutan dari Kesultanan Bulungan yang pernah memiliki
sejarah gemilang hingga ke masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Di
Kabupaten Bulungan masih dapat ditemui satu satunya peninggalan sejarah yang
masih utuh hingga kini yakni Masjid Sultan Kasimuddin yang berada di Tanjung
Palas, tak seberapa jauh dari Tanjung Selor.
Lokasi
Masjid Sultan Kasimuddin
Masjid Sultan Kasimuddin
Desa Tanjung Palas Tengah, Kecamatan
Tanjung Palas
Kabupaten Bulungan, Propinsi
Kalimantan Utara
Indonesia
Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan
Berdasarkan
legenda yang dituturkan masyarakat setempat secara turun temurun, Bulungan,
berasal dari perkataan “Bulu Tengon” (Bahasa Bulungan), yang artinya bambu
betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah menjadi
“Bulungan”. Legenda menyebutkan bahwa dari sebuah bambu itulah terlahir seorang
calon pemimpin yang diberi nama Jauwiru. Dan dalam perjalanan sejarah keturunan,
lahirlah kesultanan Bulungan.
Meski
tak ada catatan tertulis, namun dapat diketahui bahwa masyarakat Bulungan
ketika itu sudah memiliki struktur kepimpinan adat yang bernafaskan Islam. Di
tahun 1555 – 1595 seorang kepala adat bernama Datu mencang memimpin masyarakat
Bulungan dengan gelar Ksatria Wira. Kemudian beliau digantikan oleh menantunya
yang berasal dari Filipina Selatan bernama Singa Laut dan berkuasa di kurun
waktu 1595 – 1631. Setelah itu kepemimpinan dilanjutkan oleh Wira Kelana lalu Wira
Digedung hingga tahun 1731. Tahun 1731 terbentuklah Kesultanan Bulungan dengan
Wira Amir sebagai Sultan Bulungan pertama Bergelar Sultan Amiril Mukminin
berkuasa hingga tahun 1777. Kepemimpinan kesultanan berlanjut secara turun
temurun.
Berikut ini adalah para Sultan, Wali Sultan dan Pemangku Kesultanan yang pernah berkuasa di Kesultanan Bulungan, Kalimantan Utara, mulai dari Sultan Pertama yakni Sultan Amiril Mukminin (1731-1777) hingga ke Sultan terahir, Sultan Djalaluddin (1931-1959).
Sultan ke-1 : Wira Digedung, Sultan Amiril Mukminin 1731 – 1777
Sultan ke-2 :
Aji Ali, Sultan Alimuddin 1777-1817
Sultan ke-3 : Aji Muhammad, Sultan Muhammad
Amiril Kaharuddin 1817-1861
Sultan ke-4 : Si Kiding, Sultan Muhammad
Djalaluddin 1861-1866
Sultan ke-5 : Aji Muhammad, Sultan Muhammad
Amiril Kaharuddin 1866-1873
Sultan ke-6 :
Datuk Alam, Khalifatul Alam Muhammad Adil 1873 – 1875
Sultan ke-7 :
Ali Kahar, Sultan Kaharuddin II 1875 – 1889
Sultan ke-8 :
Sultan Azimuddin 1889 – 1899
Wali Sultan :
Puteri Sibut (permaisuri Sultan
Azimudin) 1899 - 1901
Sultan ke-9 :
Datu Belembung, Sultan Maulana Muhammad Kasim Al-Din Atau Sultan Kasimuddin (1901
– 1925)
Pemangku
Kesultanan : Datuk Mansyur (1925 – 1930)
Sultan ke-10
: Sultan Muhammad Sulaiman (1930 – 1931)
Sultan ke-11
: Datuk Tiras, Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin (1931 – 1959)
Aji Muhammad atau Sultan
Muhammad Amiril Kaharuddin, dua kali menjabat sebagai Sultan Bulungan. Periode
pertama dijabatnya tahun 1817 hingga 1861. Tahun 1861 beliau mundur dan
mengangkat Putranya Si Kiding sebagai sultan bergelar Sultan Muhammad
Djalaluddin namun justru wafat mendahului beliau di tahun 1866. Itu sebabnya
kemudian beliau kembali naik tahta untuk kedua kalinya sebagai Sultan Bulungan
ke-5 hingga tahun 1873.
Sultan Kasimuddin |
Ketika
Sultan Bulungan ke-8, Sultan Azimudin wafat ditahun 1899, putra putra beliau
masih belia dan belum layak untuk menjadi Sultan. Maka Permaisuri beliau yang
juga puteri dari Sultan Kaharudin II, Puteri Sibut atau Pengian Kesuma yang
kemudian bertindak sebagai wali Sultan sampai tahun 1901 dibantu oleh perdana menteri
Datu Mansyur. Baru kemudian di tahun 1901 putra Sultan Azimudin yang bernama Datu
Belembung di angkat menjadi Sultan Bulungan ke 9 bergelar Sultan Maulana
Muhammad Kasim Al-Din Atau lebih dikenal dengan nama Sultan Kasimuddin.
Sultan
Kasimuddin (1901-1925) meninggal karena tertembak di tahun 1925. Sementara Putranya Ahmad
Sulaiman yang semestinya menjadi pewaris tahta waktu itu sedang mengikuti
pendidikan Holands Inlandsche School (HIS) di Samarinda dan Medan. Maka untuk
sementara waktu kekuasaan pemerintahan dikendalikan oleh Datu Mansyur hingga
tahun 1930 sebagai pejabat pemangku kesultanan. Sultan Ahmad Sulaiman baru naik tahta saat
kembali ke Bulungan setelah menyelesaikan pendidikannya. Namun masa jabatannya sangat singkat,
hanya Sembilan bulan karena beliau wafat secara mendadak.
Ketika
Sultan Bulungan ke-10, Sultan Muhammad Sulaiman (1930 – 1931) mangkat di tahun
1931 beliau digantikan oleh adiknya yang bernama Datuk Tiras bergelar Sultan
Maulana Muhammad Djalaluddin yang berkuasa sebagai Sultan Hingga tahun 1950. Di
masa pemerintahan beliau, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan dan Kesultanan
menetapkan meleburkan diri ke dalam NKRI. Di masa pemerintahan beliau juga
untuk pertama kali dikibarkan bendera merah putih di halaman Istana Kesultanan
Bulungan dalam upacara 17 Agustus 1949.
Tahun
1950 Kedudukan Kesultanan Bulungan Ditetapkan Sebagai Wilayah Swapraja melalui
Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Nomor : 186/Orb/92/14/1950 dan disahkan
dengan Undang-Undang Darurat RI Nomor 3 Tahun 1953 . Setahun kemudian, Melalui
Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Nomor : 186/Orb/92/14/1950 Kedudukan
Kesultanan Bulungan Ditetapkan Sebagai Wilayah Swapraja . Keputusan gubernur
ini disahkan dengan Undang-Undang Darurat RI Nomor 3 Tahun 1953.
Tahun
1955 wilayah Kesultanan Bulungan ditetapkan menjadi Daerah Istimewa sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1955, Sultan Maulana Djalaluddin
diangkat menjadi Kepala Daerah Bulungan Pertama sampai beliau mangkat 21
Desember 1958. Setahun setelah wafatnya Sultan Terahir Bulungan ini, di tahun 1959
melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 Status Daerah Istimewa Diubah Lagi
Menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Bulungan, dan Bupati pertamanya adalah Andi
Tjatjo Datuk Wiharja (1960 – 1963) yang tak lain adalah adik ipar dari Sultan
Maulana Djalaluddin . Sejak itu pula pusat pemerintahan dipindahkan dari
Tanjung Palas ke Tanjung Selor hingga sekarang ini.
Bersambung
ke bagian-2
-----------------------
Baca Juga Artikel Masjid di
Kalimantan Lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA