Halaman

Sabtu, 22 Desember 2012

Masjid Sultan Kasimuddin, Bulungan – Kaltara (Bagian-1)

Masjid Sultan Kasimuddin di Tanjung Palas, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara 

Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara) secara resmi disyahkan dalam sidang paripurna DRPRI pada hari Kamis tanggal 25 Oktober 2012 yang lalu. Provinsi ke 34 yang baru terbentuk ini terdiri dari  lima kabupaten dan satu kota, yakni Kabupaten Nunukan, Kabupaten Malinau, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Bulungan, dan Kota Tarakan. Tanjung Selor yang merupakan ibukota kabupaten Bulungan ditetapkan sebagai ibukota Propinsi. Pengesahan tersebut bersamaan dengan pengesahan pembentukan empat kabupaten baru masing masing adalah  Kabupaten Pangandaran, di Jawa Barat, Kabupaten Manokwari Selatan, Kabupaten Pegunungan Arfak di Papua Barat dan Kabupaten Pesisir Barat di Provinsi Lampung.

Pemekaran Propinsi Kaltara dari propinsi induk, Kalimantan Timur ini diharapkan dapat segera memacu pembangunan di kawasan perbatasan negara dengan Malaysia mengingat Kaltara berbatasan darat dan laut langsung dengan Negara jiran tersebut. Kabupaten Bulungan (dulunya disebut Bulongan) yang menjadi Ibukota Propinsi baru ini, merupakan kelanjutan dari Kesultanan Bulungan yang pernah memiliki sejarah gemilang hingga ke masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Di Kabupaten Bulungan masih dapat ditemui satu satunya peninggalan sejarah yang masih utuh hingga kini yakni Masjid Sultan Kasimuddin yang berada di Tanjung Palas, tak seberapa jauh dari Tanjung Selor.

Lokasi Masjid Sultan Kasimuddin

Masjid Sultan Kasimuddin
Desa Tanjung Palas Tengah, Kecamatan Tanjung Palas
Kabupaten Bulungan, Propinsi Kalimantan Utara
Indonesia



Sekilas Sejarah Kesultanan Bulungan

Berdasarkan legenda yang dituturkan masyarakat setempat secara turun temurun, Bulungan, berasal dari perkataan “Bulu Tengon” (Bahasa Bulungan), yang artinya bambu betulan. Karena adanya perubahan dialek bahasa Melayu maka berubah menjadi “Bulungan”. Legenda menyebutkan bahwa dari sebuah bambu itulah terlahir seorang calon pemimpin yang diberi nama Jauwiru. Dan dalam perjalanan sejarah keturunan, lahirlah kesultanan Bulungan.

Meski tak ada catatan tertulis, namun dapat diketahui bahwa masyarakat Bulungan ketika itu sudah memiliki struktur kepimpinan adat yang bernafaskan Islam. Di tahun 1555 – 1595 seorang kepala adat bernama Datu mencang memimpin masyarakat Bulungan dengan gelar Ksatria Wira. Kemudian beliau digantikan oleh menantunya yang berasal dari Filipina Selatan bernama Singa Laut dan berkuasa di kurun waktu 1595 – 1631. Setelah itu kepemimpinan dilanjutkan oleh Wira Kelana lalu Wira Digedung hingga tahun 1731. Tahun 1731 terbentuklah Kesultanan Bulungan dengan Wira Amir sebagai Sultan Bulungan pertama Bergelar Sultan Amiril Mukminin berkuasa hingga tahun 1777. Kepemimpinan kesultanan berlanjut secara turun temurun.  

Kota Tanjung Selor, Ibukota Kabupaten Bulungan sekaligus Ibukota bagi Provinsi Kalimantan Utara yang baru terbentuk. Tanjung Palas tempat Masjid Sultan Kasimudin berada diseberang sungai Kayan. dari Tanjung Selor harus menyeberang menggunakan jasa angkutan sungai menuju Tanjung Palas.

Berikut ini adalah para Sultan, Wali Sultan dan Pemangku Kesultanan yang pernah berkuasa di Kesultanan Bulungan, Kalimantan Utara, mulai dari Sultan Pertama yakni Sultan Amiril Mukminin (1731-1777) hingga ke Sultan terahir, Sultan Djalaluddin (1931-1959).

Sultan ke-1 : Wira Digedung, Sultan Amiril Mukminin 1731 – 1777
Sultan ke-2 : Aji Ali, Sultan Alimuddin 1777-1817
Sultan ke-3 : Aji Muhammad, Sultan Muhammad Amiril Kaharuddin 1817-1861
Sultan ke-4 : Si Kiding, Sultan Muhammad Djalaluddin 1861-1866
Sultan ke-5 : Aji Muhammad, Sultan Muhammad Amiril Kaharuddin 1866-1873
Sultan ke-6 : Datuk Alam, Khalifatul Alam Muhammad Adil 1873 – 1875
Sultan ke-7 : Ali Kahar, Sultan Kaharuddin II 1875 – 1889
Sultan ke-8 : Sultan Azimuddin  1889 – 1899
Wali Sultan : Puteri Sibut  (permaisuri Sultan Azimudin) 1899 - 1901
Sultan ke-9 : Datu Belembung, Sultan Maulana Muhammad Kasim Al-Din Atau Sultan Kasimuddin (1901 – 1925)
Pemangku Kesultanan : Datuk Mansyur (1925 – 1930)
Sultan ke-10 : Sultan Muhammad Sulaiman (1930 – 1931)
Sultan ke-11 : Datuk Tiras, Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin (1931 – 1959)

Aji Muhammad atau Sultan Muhammad Amiril Kaharuddin, dua kali menjabat sebagai Sultan Bulungan. Periode pertama dijabatnya tahun 1817 hingga 1861. Tahun 1861 beliau mundur dan mengangkat Putranya Si Kiding sebagai sultan bergelar Sultan Muhammad Djalaluddin namun justru wafat mendahului beliau di tahun 1866. Itu sebabnya kemudian beliau kembali naik tahta untuk kedua kalinya sebagai Sultan Bulungan ke-5 hingga tahun 1873.

Sultan Kasimuddin
Ketika Sultan Bulungan ke-8, Sultan Azimudin wafat ditahun 1899, putra putra beliau masih belia dan belum layak untuk menjadi Sultan. Maka Permaisuri beliau yang juga puteri dari Sultan Kaharudin II, Puteri Sibut atau Pengian Kesuma yang kemudian bertindak sebagai wali Sultan sampai tahun 1901 dibantu oleh perdana menteri Datu Mansyur. Baru kemudian di tahun 1901 putra Sultan Azimudin yang bernama Datu Belembung di angkat menjadi Sultan Bulungan ke 9 bergelar Sultan Maulana Muhammad Kasim Al-Din Atau lebih dikenal dengan nama Sultan Kasimuddin.

Sultan Kasimuddin (1901-1925) meninggal karena tertembak di tahun 1925. Sementara Putranya Ahmad Sulaiman yang semestinya menjadi pewaris tahta waktu itu sedang mengikuti pendidikan Holands Inlandsche School (HIS) di Samarinda dan Medan. Maka untuk sementara waktu kekuasaan pemerintahan dikendalikan oleh Datu Mansyur hingga tahun 1930 sebagai pejabat pemangku kesultanan. Sultan Ahmad Sulaiman baru naik tahta saat kembali ke Bulungan setelah menyelesaikan pendidikannya. Namun masa jabatannya sangat singkat, hanya Sembilan bulan karena beliau wafat secara mendadak.

Ketika Sultan Bulungan ke-10, Sultan Muhammad Sulaiman (1930 – 1931) mangkat di tahun 1931 beliau digantikan oleh adiknya yang bernama Datuk Tiras bergelar Sultan Maulana Muhammad Djalaluddin yang berkuasa sebagai Sultan Hingga tahun 1950. Di masa pemerintahan beliau, Indonesia memproklamirkan kemerdekaan dan Kesultanan menetapkan meleburkan diri ke dalam NKRI. Di masa pemerintahan beliau juga untuk pertama kali dikibarkan bendera merah putih di halaman Istana Kesultanan Bulungan dalam upacara 17 Agustus 1949.

foto lama yang mengabadikan Para Imam, Qadi dan tokoh tokoh Islam sedang bersama Sultan di Istana Sultan Bulungan. Bangunan istana Sultan Bulungan sendiri ludes terbakar dalam kerusuhan massa di awal awal kemerdekaan Republik Indonesia.

Tahun 1950 Kedudukan Kesultanan Bulungan Ditetapkan Sebagai Wilayah Swapraja melalui Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Nomor : 186/Orb/92/14/1950 dan disahkan dengan Undang-Undang Darurat RI Nomor 3 Tahun 1953 . Setahun kemudian, Melalui Surat Keputusan Gubernur Kalimantan Nomor : 186/Orb/92/14/1950 Kedudukan Kesultanan Bulungan Ditetapkan Sebagai Wilayah Swapraja . Keputusan gubernur ini disahkan dengan Undang-Undang Darurat RI Nomor 3 Tahun 1953.

Tahun 1955 wilayah Kesultanan Bulungan ditetapkan menjadi Daerah Istimewa sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1955, Sultan Maulana Djalaluddin diangkat menjadi Kepala Daerah Bulungan Pertama sampai beliau mangkat 21 Desember 1958. Setahun setelah wafatnya Sultan Terahir Bulungan ini, di tahun 1959 melalui Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 Status Daerah Istimewa Diubah Lagi Menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten Bulungan, dan Bupati pertamanya adalah Andi Tjatjo Datuk Wiharja (1960 – 1963) yang tak lain adalah adik ipar dari Sultan Maulana Djalaluddin . Sejak itu pula pusat pemerintahan dipindahkan dari Tanjung Palas ke Tanjung Selor hingga sekarang ini.

Bersambung ke bagian-2

-----------------------

Baca Juga Artikel Masjid di Kalimantan Lainnya


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA