Halaman

Minggu, 30 Desember 2012

Masjid Omar Makram, Saksi Bisu Reformasi Mesir

Patung diri Omar Makram menghadap ke Tahrir Square, sementara Masjid Omar Makram berada di latar belakang foto dengan menara tingginya itu.

Bila anda memperhatikan berita video ataupun berita foto terkait demonstrasi besar besaran rakyat Mesir menuntut pengunduran diri presiden Hosni Mubarak beberapa waktu lalu yang dipusatkan di lapangan Tahrir (Tahrir Square) di pusat kota Kairo, anda akan menemukan sebuah masjid lengkap dengan sebuah bangunan menara tinggi-nya tak jauh dari lokasi tersebut. Masjid tersebut bernama Masjid Omar Makram.

Meski bangunan masjid ini bukanlah sebuah bangunan masjid kuno namun masjid ini memiliki sejarah sendiri dalam proses reformasi Mesir. Selama terjadinya demonstrasi besar besaran rakyat Mesir di Lapangan Tahrir, masjid Omar Makram ini tidak saja menjadi sebagai tempat ibadah bagi ummat Islam namun mendadak menjadi bangunan multi fungsi termasuk di dalamnya sebagai rumah sakit lapangan untuk para demonstran.

Paramedis begitu sibuk menjalankan tugas mereka merawat dan mengobati para demonstran yan cidera selama demonstrasi. Masjid ini juga tak luput dari serbuan aparat kepolisian Mesir yang menghalau para demonstran, termasuk menjadi sasaran tembakan gas air mata untuk membubarkan demonstran.

Sebagian ruangan masjid ini dijadikan tempat menginap, istirahat, ruang perawatan Lebih dari 2000 demonstran terluka akibat bentrokan dengan polisi, hingga menjadi gudang logistik supply makanan dan obat obatan. Masjid ini juga menjadi tempat perlindungan para demonstan selama proses demonstrasi masa besar besaran yang terpusat di Lapangan Tahrir di depan masjid ini. sebuah saksi bisu atas sebuah tuntutan besar bagi sebuah reformasi di negeri yang menjadi rumah bagi sebuah peradaban kuno.

Lokasi Masjid Omar Makram
           
Masjid Omar Makram
Bab al-Louk, Tahrir square
Cairo, Egypt



Sejarah Pembangunan Masjid Omar Makram

Masjid Omar Makram dibangun untuk mengenang perjuangan Omar Makram atas jasanya menentang tentara pendudukan Prancis dibawah pimpinan Napoleon Bonaparte yang berusaha menjajah Mesir pada masa Mesir masih menjadi bagian dari wilayah Kekhalifahan Usmaniah yang berpusat di Istambul, Turki. Bedirinya masjid ini menjadikan nama sang pejuang tetap hidup dalam masyarakat Mesir.

Masjid Omar Pasha yang kini menjadi Ikon Lapangan Tahrir di pusat kota Kairo, dibangun oleh Raja Farouq di tahun 1948 yang tak lain dan tak bukan adalah keturunan dari Muhammad Ali Pasha, raja Mesir dari dinasti Muhammad Ali yang naik ke kursi kekuasaan atas perjuangan Almarhum Omar Makram.

Lautan manusia di Tahrir Square semasa demonstrasi massa menentang pemerintahan Hosni Mubarak, Masjid Omar Makram ada disebelah kiri foto. 

Tak hanya membangun masjid dengan nama Omar Makram, tokoh nasional Mesir ini juga dikenang dengan dibuatkan sebuah patung diri Omar Makram di tahun 2003 dalam ukuran besar menghadap ke lapangan Tahrir tak seberapa jauh dari Masjid Omar Makram. Dua Ikon Omar Makram ini menjadi salah satu objek foto menarik bagi siapa saja yang berkunjung ke Lapangan Tahrir.

Siapakah Omar Makram

Naqib al-Ashraf Sayyid ‘Umar bin Husayn Makram (1750 or 1755-1822) atau lebih dikenal dengan nama Omar Makram adalah seorang pemimpin revolusi nasinal Mesir melawan invasi  tentara Prancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte tahun 1798-1800, dimasa Mesir masih menjadi bagian dari wilayah ke-Khalifahan Usmaniah yang berpusat di kota Istambul, Turki.

Lukisan wajah Omar Makram
Beliau juga merupakan figur sentral yang berhasil mendapatkan dukungan relijius bagi pengakuan terhadap Muhammad Ali Pasha sebagai Raja Muda Mesir, sekaligus pendirian dinasti Muhammad Ali sebagai penguasa Mesir hingga tahun 1952 (dan berkuasa hingga tahun 1953). Namun nasib Omar Makram tak jauh berbeda dengan nasib King Maker lainnya, beliau justru dijatuhkan oleh Muhammad Ali Pasha yang telah diantarkannya ke kursi kekuasaan.

Omar Makram lahir di Asyut di kawasan Upper Egypt sekitar tahun 1750 atau tahun 1755. Beliau adalah lulusan dari Universitas Al-Azhar, beliau juga disebut sebut merupakan keturunan Rosulullah S.A.W. Di tahun 1793 beliau berhasil mendapatkan jabatan Naqib al-Ashraf, sebuah jabatan penting dimasa ke-Khalifahan Usmaniyah.

Sebuah jabatan administratif yang memegang posisi penting dalam urusan keagamaan dan jabatan sipil sebagai kepala lembaga keturunan Rosulullah. Beliau kemudian berbagi kewenangan dengan pemimpin Al-Azhar dan pemimpin para Sufi. Beliau juga dikenal sebagai tokoh penentang penerapan pajak tinggi bahkan jauh sebelum era kedatangan pasukan Prancis di Mesir.

Pahlawan Mesir Penentang Penjajahan

Tatkala ekspedisi Napoleon Bonaparte mendarat disekitar Alexandria tahun 1798, Omar Makram turut membantu pengornaisasian gerakan perlawanan terhadap pendudukan Prancis. Setelah Prancis berhasil dikalahkan oleh dinasti Mamluk di Imbaba, Kairo tak terkalahkan kecuali oleh milisi local yang dibentuk oleh Omar Makram bersama para pemuka agama lainnya.

Lapangan Tahrir dengan menara Masjid Omar Makram dalam suasana normal, lapangan ini memang lapangan terbesar di kota Kairo.

Beliau melepaskan jabatannya tatkala Kairo jatuh ke tangan Prancis dan mundur ke Bilbays, memimpin perlawanan di propinsi Sharqiyya. Beliau mundur hingga ke Gaza (kini di Palestina) kemudian ke Jaffa (juga di Palestina) sampai kemudian tahun 1798 beliau tertangkap oleh pasukan Prancis saat penyerbuan Prancis ke Palestina dan dipulangkan ke Mesir.

Omar Makram kembali ke Kairo paska kembalinya pasukan Napoleon Bonaparte ke Prancis, di tahun 1800 beliau memimpin sebuah organisasi perlawanan baru terhadap penjajahan Prancis terhadap Mesir.  Ketika Prancis meninggalkan Mesir Omar Makram sudah dikenal luas sebagai aktivis pergerakan yang memiliki kemampuan memobilisasi masa termasuk mengorganisir aksi boykot oleh para penjaga toko dan bentuk bentuk protes jalanan lainnya, membuat dirinya begitu berpengaruh sepanjang tahun tahun anarkis selama proses penarikan pasukan Prancis dari Mesir.

Pihak pendudukan Prancis beberapa kali berupaya melumpuhkan kekuasaan dinasti Mamluk, dan perjuangan untuk mengembalikan kekuasan Mamluk serta kekuasaan dinasti Umayyah yang berkali kali berupaya mengembalikan kekuasan Mereka di wilayah Mesir memicu perjuangan internal bagi Mesir selama bertahun tahun.

lapangan Tahir dan Masjid Omar Makram dari sudut yang sama dengan foto sebelumnya dalam suasana siang hari di kondisi normal.

The King Maker

Makram dan para ulama lainnya memainkan peran aktif selama masa ini. di tahun 1805 beliau dan pemimpin agama lainnya berupaya mendepak Raja Muda Usmaniyah, Khurshid Pasha dari tampuk kekuasaan di Mesir dan menggantikannya dengan pemimpin militer Albania yang juga seorang petualang sejati, Muhammad Ali Pasha. Perjuangan tersebut berhasil menaikkan Muhammad Ali Pasha ke tampuk kekuasaan dan mendirikan dinasti baru memimpin Mesir selama beberapa generasi hingga pertengahan abad 20.

Persekutuan antara Omar Makram dan Muhammad Ali Pasha terjalin selama beberapa tahun. Mereka juga memberikan dukungan kepada Muhammad Ali Pasha untuk menolak semua perintah dari para Khalifah Usmaniyah yang berpusat di Istambul mengakibatkan munculnya upaya untuk mengusirnya keluar dari Mesir, tanah yang direbutnya dari dinasti Mamluk. (dinasti Mamluk sendiri ahirnya berahir di tahun 1811.
 
Ketika Ekspedisi Inggris merebut Alexandria di tahun 1807 (Usmaniyah bersekutu dengan Prancis dalam perang Napoleon Bonaparte, sehingga Inggris teribat dalam perang Porte tahun 1807 -1809), Makram membantu mengorganisir perlawanan di Kairo sedangkan Muhammad ‘Ali Pasha berperang melawan pemberontakan dinasti Mamluk di Upper Egypt.

Masjid Omar Makram, seperti halnya rancangan masjid masjid lainnya di Mesir, Masjid Omar Makram juga dibangun dalam Arabia dengan sedikit sentuhan soviet. beberapa penulis menggambarkan masjid ini laksana sistem birokrasi mesir semasa masjid ini dibangun.

Nasib Ironis Sang Pahlawan dan King Maker

Di sisi lain Muhammad Ali Pasha sendiri berkali kali menggunakan Omar Makram dan lembaga keagamaan untuk melegalkan upayanya untuk menaikkan pajak dan upaya mengambil alih pajak lahan pertanian (iltizam) milik dinasti Mamluk. Upaya upaya Muhammad Ali Pasha untuk menjadikan dirinya sebagai sentral kekuasaan memicu perpecahan aliansi-nya dengan Omar Makram. Berkali kali Omar Makram memobilisasi massa di jalanan kota Kairo menentang kebijakan para tokoh politik negara.
 
Akibatnya beliau mulai dicurigai oleh Muhammad Ali Pasha dan koleganya, yang tadinya justru naik ke tampuk kekuasaan atas jasa Omar Makram sang King Maker. Puncaknya terjadi di tahun 1809, Omar Makram memimpin pemberontakan menentang Pajak namun justru membuatnya terpojok, beliau kehilangan semua jabatannya lalu diasingkan ke Damietta kemudian dipindahkan ke Tanta sampai beliau wafat ditahun 1822.
 
Nasib Omar Makram memang sangat ironis. Beliau adalah seorang pejuang yang menentang pendudukan Prancis atas negerinya, menjadikan beliau sebagai symbol bagi rakyat Mesir bagi perjuangan menentang penjajahan asing atas Mesir, semangat yang sama muncul ketika menentang penjajahan Inggris. Beliau yang memperjuangkan bedirinya dinasti Muhammad Ali berkuasa di Mesir namun Ironisnya justru beliau terjungkal oleh sang raja yang diperjuangkannya.
tembakan gas air mata dari aparat keamanan Mesir yang ditujukan untuk membubarkan massa demonstran di lapangan Tahrir tak urung turut menghajar Masjid Omar Makram yang memang berada di lokasi tersebut dan menjadi pusat perlindungan demonstran yang menjadi korban.

Lebih ironisnya lagi, Masjid Omar Pasha yang kini menjadi Ikon Lapangan Tahrir di pusat kota Kairo itu justru dibangun oleh Raja Farouq (1920-1965) yang tak lain dan tak bukan adalah keturunan dari Muhammad Ali Pasha, sang raja yang dulu menyingkirkannya sampai beliau wafat di pengasingan.
 
Dirayakan di Prancis, sepi di Mesir
 
Perayaan mengenang Omar Makram senantiasa diselenggarakan di Louvre, Prancis meskipun tak ada perayaan yang sama di Mesir. Dalam perayaan mengenang Omar Makram pemerintah Kota Louvre mengundang Mahmoud Makram yang merupakan cucu dari Omar Makram untuk menghadiri perayaan tersebut. Dalam satu kesempatan mahmoud Makram sempat berujar “saya senang dapat melihat sebuah perayaan mengenang sejarah dan pencapai kakek saya di Louvre, namun disaat yang sama saya juga sedih karena tidak adanya perayaan serupa yang diselenggarakan di Mesir”.
 
Dia melanjutkan “kami ini tidak saja sebagai anggota keluarga dari Omar Makram, namun juga merupakan keturunan dari Al-Mahdi, Sheikh Al-Azhar”. Keturunan Omar Makram merasa pemerintah Mesir kurang memberikan penghormatan kepada Omar Makram. Pihak keluarga sempat meminta pemerintah Mesir untuk merenovasi bekas kediaman Omar Makram, termasuk membangun museum untuk menyimpan dan menampilkan seluruh perjuangan dan catatan pencapaian beliau. .


rangkaian foto yang diambil dari berbagai sumber diatas meenggambarkan suasan di masjid Omar Makram selama demonstrasi besar besaran yang berpusat di lapangan Tahrir, pusat kota Kairo.

Makam Omar Makram sendiri hanya mendapatkan sedikit perhatian dari pemerintah, pihak kementerian kebudayaan Mesir berdalih bahwa makam Omar Makram tidak tercatat sebagai situs bersejarah karenanya tidak mendapatkan perhatian penuh dari pemerintah, meskipun begitu sebuah makam keluarga dalam ukuran kecil di daerah Azramk Dome masuk dalam dafta benda bersejarah. Akibatnya, pihak keluarga melakukan renovasi sendiri tanpa merasa perlu mendapatkan izin dari Kementrian kebudayaan.

Cucu Omar Makram mengakui bahwa pihak keluarga menerima dana bulanan dari dinas purbakala untuk biaya perawatan dan renovasi namun diserahkan sepenuhnya kepada pihak keluarga untuk pengelolaannya. Pihak keluarga bahkan melakukan publikasi sendiri untuk membukukan biografi Omar Makram.

Aktivitas Masjid Omar Makram

Dikondisi normal Masjid Omar Makram ini dibawah kendali kementrian Agama dan Wakaf. Selain sebagai tempat ibadah, pengelola masjid juga menjadi pusat pendidikan salah satunya adalah menyelenggarakan pendidikan komputer untuk umum dengan biaya murah.

dan ini kondisi Masjid Omar Makram dalam suasana normal.

Karena lokasinya yang berada di lokasi strategis menjadikan masjid ini begitu masyur sebagai tempat penyelenggaraan jenazah bagi tokoh tokoh politik, actor hingga tokoh ternama dan selebriti Mesir yang meninggal dunia, hingga ke proses pemakaman, meskipun biaya penyelenggaraan prosesi tersebut tidaklah murah, satu prosesi penyelenggaraan jenazah di masjid ini mencapai 4000-an Pound Mesir, dana tersebut nantinya dipakai oleh pengurus masjid bagi kepentingan amal.

Masjid Omar Makram juga menjadi lokasi akad nikah pavorit bagi keluarga kaya dan terpandang, mengingat lokasinya yang berada di lokasi paling begengsi di kota Kairo, menyelenggarakan pernikahan di masjid ini menjadi momen luar biasa bagi setiap pasangan pengantin dan keluarganya. Dua ruang hall berukuran besar di masjid ini yang dijadikan ruang resepsi.

Dalam kondisi normal jemaah masjid ini mencapai hingga 3000 jemaah perhari, maklum lokasinya memang berada di kawasan bisnis super sibuk di pusat kota Kairo, di kawasan ini berdiri perhotelan kelas atas termasuk kantor kantor pejabat tinggi pemerintahan Mesir. Namun di hari Jum’at jumlah jemaah tersebut melonjak berkali lipat.

Paska demonstrasi massa besar besaran yang melibatkan Masjid Omar Makram ini ke dalam catatan sejarah reformasi Mesir itu, tentunya dengan sendirinya akan semakin menaikkan rating masjid ini sebagai pilihan paling menarik bagi pasangan pasangan muda dari keluarga muslim kaya kota Kairo untuk melaksanakan upacara akad nikah mereka di masjid ini.***

Sabtu, 29 Desember 2012

Masjid Amru Bin Ash, Kairo – Mesir (Bagian 2)

Lautan manusia membanjiri Masjid Amru Bin Ash di malam hari selama bulan suci Ramadhan.

Sejarah Masjid Amru Bin Ash

Masjid Amru bin Ash di Kairo, Ibukota Mesir disebut sebut sebagai masjid tertua di Mesir dan di seluruh benua Afrika. Dibangun oleh Amru bin Ash pada tahun 641 Masehi bertepatan dengan tahun ke 21 Hijirah tak lama setelah penaklukan Mesir. Gubernur Amru bin Ash membuka Mesir dan membangun kota Fusthat sebagai ibu kota Islam pertama di Mesir pada 1 Muharram 20 H./8 November 641 M.

Selama proses pembangunan masjid ini setidaknya melibatkan enam puluh orang sahabat Rosulullah, mereka juga yang menentukan arah kiblat masjid ini. Diantara para sahabat yang turut serta dalam pembangunan awal masjid ini adalah Zubair bin Awam, alMiqdad, Ubadah Bin Shamat, Abu Darda, Abu Zar Al Gifari, Abu Bashrah, Mahmiyah bin Jaza’ Azzubaidi, dan Nabih bin Shawwab Al Bashra, ridhwanullahi alaihim dan lain lain.

Gerbang utama masjid Amru Bin Ash.

Denah bangunan masjidnya dibangun persegi panjang dengan ukuran panjang 28.9 meter dan lebar 17.4 meter. Pada mulanya dibangun menggunakan dinding batu bata, beralaskan batu kerikil dan beratapkan daun kurma, ditopang oleh pohon kurma sebagai tiangnya, bangunan utamanya dilengkapi dengan enam pintu akses.

Masjid Amru bin Al Ash diresmikan dengan melaksanakan shalat Juma’at pertama, pada 6 Muharram 21 H./ 17 Desember 642 M, masjid pertama di Mesir dan benua Afrika, menjadi bangunan masjid ke empat di dunia, setelah masjid Nabawi, masjid Bashrah dan masjid Kufah. Namun bangunan awal mesjid ini sudah tidak ada yang tersisa.

Renovasi dan Perluasan Masjid Amru Bin Ash

Foto tua masjid Amru Bin Ash ketika belum di renovasi.

Orang yang pertama merenovasi masjid Amru bin Al Ash adalah Maslamah bin Al-Anshori Mukhallad Al Anshari selaku Wali Mesir pada masa kekuasaan Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan di tahun ke 53 Hijriah (672/673M). Di masa itu bangunan asli masjid diperluas kemudian ditambahkan empat menara di masing masing penjuru bangunan masjid dengan tangga di sisi luarnya, sebagai tempat muazin mengumandangkan azan, setelah sebelumnya azan di lantunkan dari atap masjid.

Penambahan empat menara pada tiap sudut masjid ini merupakan perintah langsung dari Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan yang berkedudukan di Damaskus. Itu sebabnya beberapa sejarawan menyatakan bahwa penambahan empat menara tersebut terinspirasi dari Masjid Agung Damaskus yang sudah lebih dulu dibangun dengan empat menara. Sejak saat itu semua bangunan masjid di Mesir dilengkapi dengan menara.

Jemaah masjid Amru Bin Ash di Halaman tengah masjid. bangunan berkubah kuning itu adalah area tempat air minum bagi jemaah.

Kemudian diperluas lagi oleh Abdul Aziz bin Marwan (gubernur Mesir ketika itu) tahun 79H/698M dengan menambah luas ukuran masjid ini dua kali lipat. Di tahun 711 denah mihrab yang sebelumnya berbentuk datar kemudian dibangun setengah lingkaran. Di masa pemerintahan Khalifah Abdul Malik Bin Marwan masjid ini kembali diperbesar oleh Abdullah Malik bin Thahir tahun ke 827M, beliau menambahkan tujuh banjar pilar di dalam masjid ini, pilar paling depan dan belakang menempel ke tembok, penambahan tersebut dengan sendirinya menggandakan ukuran masjid ini. Sampai sekarang luasnya mesjid Amru Bin Ash tidak berubah dari perluasan Abdul Malik Bin Thahir,

Di abad ke 9 masehi masjid ini kembali direnovasi oleh Khalifah Al-Ma’mun dari Dinasti Abbasiyah. Beliau menambahkan area baru di sisi barat daya masjid, menambah luas keseluruhan masjid ini menjadi 120m x 112m. Pada masa kekuasaan Dinasti Fathimiyah Masjid Amru Bin Ash memiliki lima buah menara, satu tambahan menara dibangun di area gerbang utama namun menara ke lima ini kini sudah tidak ada lagi.

Sisi mihrab Masjid Amru Bin Ash.

Masih di masa dinasti Fathimiyah, Khalifah Al-Mustansir menambahkan ornamen dari perak pada ruang mihrab masjid namun kemudian dibongkar pada saat restorasi masjid di masa Sultan Salahudin Al-Ayubi. Pada tahun 1169M, Syawur, Menteri khalifah Al Adhid li Dinillah, khalifah terahir Dinasti Fathimiyah memerintahkan tentaranya untuk membumihanguskan kota Al Fushthath dan masjid Amru bin Al Ash, sehingga terbakar sampai 53 hari, demi mengelabui Amuri, raja Yarussalem yang bekerja sama dengan tentara perang salib, untuk menjajah Mesir.

Salahudin Al-Ayubi yang kemudian berhasil merebut kembali kota ini setelah berhasil mengalahkan pasukan Salib gabungan dari negara negara Eropa, beliau mulai membangun kembali kota Fustath dari kehancuran termasuk merestorasi Masjid Amru Bin Ash di tahun 568H/1172M sedangkan sumber lain menyebut angka tahun 1179M.

Di dalam Masjid Amru Bin Ash.

Burhan al-Din Ibrahim al-Mahalli pernah melakukan restorasi atas masjid ini dengan biayanya sendiri di abad ke 14 Masehi. Pernah juga direstorasi oleh Amir Salar setelah mengalami kerusakan akibat gempa di tahun 1303M, beliau yang menambahkan ornamen stako pada sisi luar bangunan mihrab, namun kini ornamen tersebut sudah tidak ada lagi.

Di abad ke 18 Masehi, Murad Bey dari Dinasti Mamluk dengan terpaksa menghancurkan masjid Amru Bin Ash karena kerusakan yang sudah teramat parah dan kemudian membangunnya kembali di tahun 1796-1800, sebelum kedatangan ekspedisi militer Napoleon Bonaparte dari Prancis ke Mesir. Murad Bey mengurangi jumlah baris pilar di dalam masjid dari tujuh deret pilar menjadi enam deret pilar dan meluruskan arah kiblatnya. Bangunan menara yang kini berdiri merupakan bangunan dari era Murad Bey.

Jejeran pilar pilar di dalam masjid ini menghasilkan lorong diantara masing masing deret masing masing pilar tersebut

Di tahun 1875 masjid ini kembali direnovasi oleh Sultan Muhammad Ali. Sedangkan di abad ke 20 masehi semasa kekuasaan Abbas Hilmi II masjid Amru Bin Ash kembali di restorasi. Bagian dari pintu gerbang utama di rekonstruksi pada tahun 1980. Masjid Amru Bin Ash terakhir kali direnovasi pada masa pemerintahan Presiden Husni Mubarak pada tahun 1998. Bagian paling tua dari masjid ini tersisa beberapa bagian pada sisi sepanjang tembok selantan masjid yang kemungkinan besar merupakan peningalan dari rekonstruksi tahun 827M.

Pusat Pendidikan Islam Pertama di Benua Afrika

Sebelum masjid Al Azhar dibangun, masjid Amru bin Al Ash menjadi pusat pendidikan Islam, para pengajarnya terdiri dari para shahabat Rasulullah saw. Di antaranya; Abdullah bin Amru bin Al Ash (sebagai inisiator dan pendiri), Abdullah bin Sa’ad bin Abi sarh Al Amiri, Azzubair bin Al Awwam, Al Miqdad bin Al Aswad, Ubbadah bin Ashshamit, Abdullah bin Umar bin Al Khaththab, Kharijah bin Huzafah Al Adawi, ridhwanullahi alaihim, dll.

Halaman tengah Masjid Amru Bin Ash di siang hari pada hari biasa dibiarkan terbuka tanpa hamparan karpet merah sebagai sajadah.

Demikian pula dengan Imam Syafi’I, pendiri mazhab Syafi’i, setelah datang ke Mesir, dia mengajar di masjid Amru bin Al Ash sampai meninggal di Mesir. Imam Syafi’I dilahirkan di Ashkelon, Gaza, Palestina, pada tahun 150 H / 767M  dan wafat serta dimakamkan di Fusthat, Mesir tahun 204H / 819M. Hingga hari ini Masjid Amru Bin Ash masih digungakan oleh para mahasiswa Universitas Al-Azhar untuk belajar dan menghafal Al-Qur’an.

Ulama Mesir yang terkenal, jebolan Masjid Amru bin Al Ash, di antaranya; Pangeran Abdul Aziz bin Marwan bin Al Hakam Al Umawi, Yazid bin Habib (Suwaid Al Azdi Abu Raja’ Al Misri), Abu Abdirrahman Abdillah bin Luhaiah Al Hadhrami, dan Allaist bin Saad bin Abdirrahman Al Fahmi.

Kisah Wanita Tua Yahudi dan Amru bin Ash

Suasana Iktikaf di masjid Amru Bin Ash

Sisi lain dari sejarah Masjid Amru Bin Ash adalah kisah tentang seorang wanita tua Yahudi yang mengadukan Amru bin Ash ke Khalifah Umar di Madinah. Sebuah kisah teladan yang begitu berharga. Kisah ini pernah menjadi topik ceramah kyai sejuta ummat (alm) Zainudin MZ. Disebutkan bahwa Gubernur Amru bin Ash berniat untuk membangun masjid besar di atas tanah yang cukup luas tak jauh dari kediaman resminya.

Hanya saja di atas lahan tersebut terdapat sebuah gubuk milik seorang Yahudi tua. Amru bin Ash sudah melakukan negosiasi langsung dengan-nya namun Yahudi tua tersebut menolah untuk menyerahkan tanah milik-nya, hal tersebut membuat Gubernur Amru bin Ash naik pitam dan memerintahkan pembongkaran paksa atas gubuk reot tersebut. Dalam keputus-asa-an menghadapi kesewenangan gubernurnya, Yahudi tua tersebut memutuskan untuk mengadu ke Khalifah Umar Bin Khattab di Madinah.

Selain nyaman untuk sholat, masjid ini juga nyaman untuk ngaso sejenak, beberapa dari jemaah bahkan meluangkan waktu sejenak untuk tidur siang di masjid ini.

Peristiwa setelah itu mengubah segalanya. Yahudi tua tersebut sama sekali tak menduga bahwa Khalifah yang ditemuinya adalah seorang yang sangat sederhana jauh dari kemewahan, lebih terheran heran lagi ketika setelah mengadukan masalahnya, khalifah Umar ternyata marah besar dan meminta-nya untuk mengambil sepotong tulang, lalu dengan ujung pedangnya Umar menorehkan garis lurus di potongan tulang tersebut dan meminta Yahudi tua tersebut memberikan tulang itu langsung ke Gubernur Amru bin Ash di Mesir.

Seketika setelah menerima potongan tulang dari Yahudi tua itu, Gubernur Amru bin Ash pucat pasi dan serta merta memerintahkan semua bawahannya untuk mengentikan pembangunan masjid di lahan Yahudi tua tersebut dan memerintahkan menghancurkan bangunan masjid yang sudah setengah jadi berdiri disana. Kontan saja tindakan itu membuat Yahudi tua itu terhenyak dalam keheran yang bertubi tubi sejak dia bertemu dengan Khalifah Umar bin Khattab di Madinah.

Seorang lelaki tua sedang serius membaca kitab Suci Al-Qur’an di Masjid Amru Bin Ash. 

Gubernur Amru bin Ash yang kemudian menjelaskan semuanya setelah meminta maaf atas kesewenang wenangnannya. Beliau menjelaskan bahwa tulang yang diserahkan Yahudi tua itu adalah perintah langsung dari Khalifah kepada dirinya selaku gubernur, untuk senantiasa bertindah adil, bertindak lurus baik dari kalangan atas sampai kalangan paling bawah seperti hurup alif yang digoreskan khalifah Umar di atas tulang tersebut, bilamana tak mampu menjalankan amanah dengan adil maka pedang khalifah Umar sendiri yang akan memenggal kepalanya. Itu sebabnya Gubernur Amru bin Ash langsung pucat pasi menerima peringatan langsung dari Khalifah tersebut.

Alih alih gembira dengan keputusan gubernurnya yang menghentikan pembangunan masjid di atas lahan miliknya, Yahudi tua tersebut malah meminta khalifah untuk menghentikan pembongkaran bangunan masjid yang sedang dibangun itu. Dia mengaku sangat kagum dengan kepemimpinan Khalifah Umar yang begitu adil dan sangat kagum dengan ajaran Islam dan karenanya dia ridho menyerahkan lahannya untuk dibangun masjid dan meminta Gubernur Amru bin Ash untuk membimbingnya masuk Islam. Subhanallah.

Aktivitas Masjid Amru Bin Ash

Ukiran halus menjadi penghias di lengkungan dalam di Masjid Amru Bin Ash.

Masjid Amr bin Ash atau Gami Amru begitu orang-orang Mesir biasa menyebutnya. Telah menjadi salah satu tujuan wisata utama di kota Kairo. Sebagai tempat wisata, areal masjid ini pun dijaga oleh mabahist. Memasuki pelataran masjid ini pengunjung disambut ramah oleh suara cericit burung yang terbang bebas di areal Masjid.

Burung-burung itu berloncatan di langit-langit mesjid, menukik tajam lalu terbang menerobos ventilasi yang ada di dinding Masjid dan telah menjadikan areal masjid ini sebagai habitatnya. Burung-burung tersebut bersarang di lampu-lampu gantung yang terletak disekeliling masjid. Mungkin karena tidak adanya hutan di Mesir, sehingga burung-burung itu pun memilih gedung-gedung tua untuk dijadikan tempat berhabitat.

dan ini adalah salah satu sudut masjid yang disediakan bangku panjang bagi jemaah yang membutuhkannya.

Sepanjang hari masjid ini tak pernah sepi dari pengunjung, baik yang datang untuk menuaikan sholat hingga yang sekedar berkunjung seperti yang dilakukan oleh para turis non muslim yang datang lalu pergi lagi, termasuk juga kunjungan dari anak anak sekolah yang dipandu oleh gurunya masing masing. Mahasiswa dari Universitas Al-Azhar pun masih banyak yang melanjutkan tradisi belajar di masjid ini. Karena memang masjid itu terletak tepat di keramaian, dan dekat dengan kampus

Masjid Amru Bin Al Ash, khususnya pada hari Jum’at selalu ramai dikunjungi jemaah untuk shalat Jum’at, dan lebih khusus lagi pada bulan puasa, tanggal 27 Ramadhan, orang Mesir baik dari dalam maupun dari luar kota Kairo, berlomba-lomba datang untuk shalat taraweh dan Khatamul Alquran yang dipimpin/diimami oleh Imam Syekh Muhammad Jibril.***

Kembali ke Bagian 1

----------

Baca Juga Artikel Masjid Masjid di Dunia Arab Lainnya


Masjid Amru Bin Ash, Kairo – Mesir (Bagian 1)

Suasana sholat tarawih di Masjid Amru Bin Ash, ketika jemaahnya membludak hingga ke luar areal masjid selama bulan suci Ramadhan,

Republik Arab Mesir, orang Melayu termasuk Indonesia mengenalnya dengan nama Mesir dari kata Bahasa Arab, ‘Misri’ sedangkan orang Eropa terbiasa menyebutnya Egypt, Negeri tua yang beribota di Kairo. Kairo sendiri merupakan sebuah kota tua yang seringkali dijuluki sebagai kota seribu menara saking banyaknya menara di kota tua satu ini. Kota yang menjadi salah satu tujuan pavorit mahasiswa Islam seluruh dunia untuk melanjutkan pendidikannya ke sana.

Sebagai kota seribu menara, Kairo memiliku begitu banyak masjid masjid megah, tua dan bersejarah. Satu dari sekian banyak masjid bersejarah di kota ini adalah Masjid Amru bin Ash. Masjid tua yang dinamai sesuai dengan nama pendirinya Amru bin Ash. Beliau adalah Sahabat Baginda Rosulullah S.A.W. Beliau juga adalah panglima perang Islam pembebas dan penakluk Mesir dari kekuasaan Kekaisaran Romawi. Atas jasanya beliau mendapatkan kedudukan sebagai Gubernur Mesir pertama dimasa Khalifah Umar Bin Khattab. Selama memertinah Amru Bin Ash sempat membangun beberapa masjid diantaranya adalah Masjid Amru bin Al Ash, masjid Atiq, masjid Tajul Jawami’ dan masjid Ahli Arrayah.


Masjid Amru Bin Ash ini seringkali disebut oleh sejarawan arab abad pertengahan sebagai 'Taj Al-Jawami' atau 'Mahkotanya Masjid'. Meskipun bangunan masjid yang kini berdiri bukanlah bangunan asli yang dulu pertama kali dibangun oleh Amru Bin Ash tahun 641-642M namun perjalanan sejarahnya lah yang menjadikan masjid ini tak ternilai. Catatan sejarah juga menyebutkan bahwa pembangunan masjid ini juga melibatkan Al-Muqawqis yang merupakan keponakan dari Wali Mesir di masa kekuasaan Romawi dan kemudian masuk Islam. Beliau turut serta dalam proses perancangan masjid ini.

Mesjid ini berada di wilayah Fusthath dibagian kota tua Kairo. Di lokasi ini dulunya pada masa penyerbuan pasukan Amru bin Ash, beliau mendirikan tenda komando, konon di seekor burung dara liar kemudian bersarang dan bertelur di atap tenda beliau. Paska penaklukan Mesir, Amru bin Ash mendapat arahan dari Khalifah Umar untuk mendirikan pusat pemerintahan baru tak jauh dari kota Alexandria.

Sisi depan Masjid Amru Bin Ash 

Dan pilihan Amru bin Ash adalah lokasi dimana tendanya pertama kali di didirikan, maka dimulailah pembangunan kota baru yang dinamai Misri Al- Fustat atau kota tenda di lokasi tersebut. Dikemudian hari di lokasi tempat tenda beliau yang atapnya dijadikan sarang oleh burung dara tersebut menjadi tempat berdirinya Masjid Amru bin Ash yang masih berdiri kokoh hingga kini. Kini di salah satu sudut masjid ini terdapat makam Abdullah, putra Amru bin Ash.

Arsitektural Masjid Amru Bin Ash

Seperti umumnya masjid-masid kuno lainnya di mesir, bangunan masjid Amr berdenah empat persegi panjang, Dilengkapi dengan halaman tengah yang dibiarkan terbuka tanpa atap tapi berlantai marmer. Ditengah halaman tengah ini berdiri sebuah bangunan kubah bertiang delapan tempat disediakannya air siap minum bagi jemaah, airnya segar dan dingin. Lokasi ini pernah diabadikan dalam adegan Film Ketika Cinta Bertasbih yang diangkat dari novel karya Habiburrahman El-Shirazy.

bagian depan Masjid Amru Bin Ash.

Secara keseluruhan bangunan masjid Amru Bin Ash ini merupakan bangunan besar berdinding tembok massif dengan atap datar seperti kebanyakan bangunan tradisional arabia lainnya. Jendela jendela masjid dibangun cukup tinggi dengan bukaan lebar. bagian tembok luar masjid ini yang begitu tinggi sekilas tampak seperti bangunan benteng. Masing masing jendelanya tidak dilengkapi daun pintu tapi ukiran kerrawang berpola simetris.

Masuk ke dalam masjid, berjejer pilar pilar batu pualam bergaya romawi menopang struktur atap masjid. masing masing pilar dihubungkan satu dengan yang lainnya dengan sebatang palang kayu dan bentuk lengkungan. Bentuk pilar yang memang serupa dengan pilar pilar Masjid Agung Damaskus di Syria ataupun Masjid Al-Aqso di Palestina. Ke arah manapun kita memandang di dalam masjid ini akan ditemukan pemandangan yang serupa.

Interior masjid Amru Bin Ash

Lampu lampu gantung antic ukuran kecil menghias bagian dalam masjid ini. sementara hamparan karpet merah berpola sajadah menutup seluruh permukaan lantai. Atapnya yang tinggi, jendela dengan bukaan lebar namun ditempatkan pada posisi yang cukup tinggi menghasilkan suasan yang sejuk dan tenang di dalam masjid ini meskipun ditengah panasnya cuaca di luar masjid.

Mihrabnya dibangun berdenah setengah lingkaran dengan ornament ukiran warna emas. Sedangkan mimbarnya sangat khas mihrab masjid masjid Mesir, berupa mimbar kayu yang cukup tinggi tanpa podium. Bila memandang ke atas, sisi langit langit masjid ini memang dibiarkan terbuka tanpa plafon, jejeran balok kayu tertata rapi di bawah atap. Di bagian dalam masjid ini juga ditempatkan beberapa bangku panjang yang disediakan khusus bagi jemaah yang tidak mampu duduk di lantai ataupun berdiri dengan baik.

Hal lain yang cukup menarik bagi jemaah yang pernah ke masjid ini adalah area tempat wudlu-nya. Tempat wudhlunya dibagi menjadi dua. Tempat pertama diperuntukkan bagi yang menggunakan sandal, sementara yang menggunakan sepatu bisa melepasnya dan tanpa alas kaki langsung mengambil wudlu di tempat yang disediakan.

Bersambung ke bagian-2

Gerbang utama Masjid Amru Bin Ash 
Fasad depan bangunan masjid Amru Bin Ash 

----------

Baca Juga Artikel Masjid Masjid di Dunia Arab Lainnya



Jumat, 28 Desember 2012

Masjid Arrahmah, Masjid Terapung kota Jeddah

Masjid terapung laut merah di kota Jeddah Saudi Arabia, dulunya bernama Masjid Fatimah, lalu diganti dengan nama Masjid Arrahmah. 

Masjid satu ini boleh jadi adalah masjid paling popular di kota Jeddah bagi para jemaah haji ataupun jemaah umroh, termasuk jemaah dari Indonesia. Nama ‘masjid terapung laut merah’ seolah telah melekat dalam daftar kunjungan yang disiapkan oleh para penyelenggara ibadah haji dan umroh di tanah air, walaupun sebenarnya tak ada keistimewaan apapun dalam kaitannya dengan ibadah haji ataupun umroh dengan masjid satu ini, tak ada kaintannya juga dengan sejarah Islam serta tak ada keistimewaan pahala sholat di masjid ini, kunjungan ke sini hanya sebatas wisata.

Awalnya masjid ini sempat diberi nama masjid Fatimah, dikemudian hari pengunjung ke masjid ini se-akan terpeleset lidah menyebut nama masjid ini menjadi Masjid Fatimah Az-Zahra, dan dikait kait kan dengan Nama putrid Rosulullah S.A.W tersebut, sampai kemudian pemerintah Saudi Arabia mengubah nama masjid ini menjadi Masjid Arrahmah hingga hari ini. penggantian nama tersebut memang disengaja, salah satu alasannya adalah untuk menghindari salah pengertian diantara para jemaah terkait dengan keberadaan masjid ini.

Masjid Arrahmah
Corniche Road, Al Shati, Jeddah 23613 Arab Saudi





Masjid Arrahmah ini berdiri di kawasan Jeddah Corniche atau Jeddah Kurnis, kawasan baru yang dikembangkan oleh otoritas setempat sebagai kawasan wisata disepanjang pantai laut merah. Laut merah-nya sendiri memang disebutkan dalam Al-Qur’an dalam kisah Nabi Musa A.S. yang dikejar oleh Fir’aun dan tentaranya kemudian atas izin Allah S.W.T beliau berhasil menyeberangi laut merah yang terbelah hingga selamat sampai ke Palestina bersama para pengikut setianya, sedangkan Fir’aun dan bala tentaranya tewas ditelah oleh laut merah.

Kota Jeddah sendiri sudah berdiri sejak sebelum Islam, namun titik awal perkembangan pesat kota ini terjadi pada masa pemerihan Khalifah Usman Bin Affan, Khalifah ke-tiga dari jajaran Khulafaur Rasyidin. Di tahun ke 26 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 647M. Beliau yang pertama kali menjadikan kota Jeddah sebagai kota pelabuhan laut internasional bagi jemaah haji yang yang datang dari seluruh penjuru dunia, menjadikan Jeddah sebagai gerbang utama bagi para calhaj untuk menuju ke Mekah dan Madinah karenanya kota Jeddah juga mendapatkan julukan sebagai “pintu gerbang dua tanah haram”.

Masjid Arrahmah dari udara

Kota Jeddah juga sangat terkenal sebagai tempat peristirahatan terahir ibu semua manusia, Siti Hawa, Istri dari Nabi Adam A.S. karenanya Jeddah sendiri seringkali diartikan sebagai ‘nenek’ dalam kaitannya dengan sejarah tersebut. Makam Bunda Hawa berada di kawasan pemakaman kuno di pusat kota Jeddah. Makam ini dikenal sebagai Moqbara Umna Hawwa (makamnya bunda Hawa). Meskipun begitu banyak aturan yang harus dipatuhi saat berziarah ke makam ini, diantaranya adalah dilarang membawa kamera, video dan alat perekam lainnya dan wanita dilarang masuk ke areal pemakaman tersebut.

Seperti halnya kota metropolitan lainnya di bagian dunia yang lain, kota Jeddah juga senantiasa bersolek, kawasan kurnis kota Jeddah tempat masjid terapung ini berada merupakan salah satu kawasan yang di tata begitu indah dan sangata menawan. Wajar bila kemudian kota Jeddah pun mendapat julukan sebagai “pengantin perempuannya laut merah”, dan mengingat kota ini begitu ramai sejak masa ke khalifahan, kota Jeddah pun mendapat julukan sebagai "Kota di tengah Pasar".

Kawasan Kurnis Kota Jeddah

Satu lagi foto masjid Arrahmah dari udara, Masjid Arrahmah di kurnis kota Jeddah. satu dari beberapa masjid terapung yang ada di kawasan yang sama. 

Pemerintah Saudi Arabia menyulap kawasan pantai kota Jeddah yang menghadap ke Laut Merah menjadi sebuah kawasan kota baru yang terkenal dengan sebutan Jeddah cornice. Kata Kurnis atau Corniche berasal dari bahasa Prancis route à corniche yang bermakna ruas jalanan ditepian terjal.  Namun kemudian kata kurnis itu sendiri bergeser makna menjadi sebuah kawasan terbuka yang luas di tepian badan air. Ada banyak tempat seperti ini yang terkenal diantaranya adalah Corniche of beirut di Libanon, corniche of Alexandria di Mesir, dan tentu saja adalah Corniche of Jeddah ini.

Proyek pengembangan kawasan kurnis kota Jeddah ini berhasil menyabet penghargaan ‘Big Project Middle East Award” di bulan Desember 2012 yang diselenggarakan oleh Big Project Middle East Magazine, yang memberikan penghargaan bagi perusahaan ataupun individu yang telah berkontribusi bagi pembangunan dan industry yang berkelanjutan di negara negara teluk.

Bila anda berharap menemukan masjid yang benar benar terapung di atas laut merah ketika akan berkunjung kemari, pastinya anda akan kecewa. Karena memang bangunan masjid ini tidaklah benar benar mengapung di atas air, melainkan dibangun diatas tiang pancang yang ditancapkan ke laut. kesan pandangan mata dari arah seberangnya lah yang menampilkan pemandangan seakan akan masjid ini mengapung di atas air (doc. pribadi).

Masjid Ar-Rahmah ini bukanlah satu satunya masjid yang ada di kawasan Kurnis kota Jeddah. Tapi ada beberapa masjid lainnya yang berukuran lebih kecil dibangun di sepenjang pantai tersebut sebagai fasilitas keagamaan bagi muslim mana saja yang sedang berada di kawasan tersebut. Diantara masjid masjid tersebut adalah Island Mosque atau Masjid Pulau, Masjid Ruwais dan masjid Kurnis yang semuanya berhasil mendapatkan penghargaan dari Aga Khan Award of Architecture.

Masjid Terapung Kota Jeddah

Meskipun begitu banyak ulasan terkait masjid terapung kota Jeddah yang satu ini. namun sangat sedikit informasi yang menjelaskan lebih detil tentang sejarah pembangunannya. Berbagai sumber tulisan yang ada di dunia maya menyebutkan bahwa masjid ini dibangun oleh seorang janda kaya kota Jeddah, namun sama sekali tak menyebut siapa namanya, kapan dibangunnya dan berapa biaya yang dihabiskan untuk proyek pembangunannya. Namun satu hal yang pasti bahwa pembangunan masjid ini telah menjadi inspirasi banyak negara untuk membangun masjid serupa.

Mihrab bergaya mughal dengan denah setengah lingkaran. (doc. pribadi).

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa ‘masjid terapung’ yang dibangun. Diantaranya adalah Masjid Munawaroh di Ternate, Masjid Terapung Kota Palu, dan Masjid Terapung Kota Makasar. belum lagi yang masih dalam tahap pembangunan seperti Masjid terapung Al-Alam di Teluk Kendari, Sulawesi Tenggara dan Masjid Terapung Banten (MTB) yang baru saja dicanangkan oleh pemerintah provinsi Banten. Satu decade belakangan ini pembangunan masjid terapung seakan menjadi trend baru di berbagai negara Islam.

Meskipun sebenarnya semua masjid yang disebut sebagai masjid terapung tersebut mulai dari Masjid Hasan II di Maroko, masjid masjid terapung kota Jeddah termasuk Masjid Arrahmah ini, masjid masjid masjid terapung di Malaysia (barat dan timur) hingga ke masjid Al-Munawwaroh di Ternate, Masjid terapung kota Palu hingga Makasar, tak satupun yang benar benar mengapung di atas air. Namun sebuah masjid yang dibangun di atas landasan yang di tancapkan ke dasar laut tempatnya berdiri atau sebagian landasannya berada di dalam air laut.

Panorama Masjid Arrahmah

Nama Masjid Terapung kota Jeddah

Masjid Terapung kota Jeddah yang kita ulas ini pada awalnya diberi nama “Masjid Fatimah”. Fatimah yang dimaksud adalah nama Ibunda dari pembangun masjid ini, tak kaitannya dengan Fatimah Az-Zahra putrid Nabi dan tak ada kaitannya dengan sejarah Islam ataupun sejarah Saudi Arabia. Namun dikemudian hari masyarakat luas mengait ngaitkan nama tersebut dengan ‘Fatimah Az-Zahra” putri Rosulullah S.A.W. Keberadaan masjid ini pun seakan akan ada kaitannya dengan putri nabi dan sejarah Islam.

Untuk mencegah salah penafsiran yang berkepanjangan, ditambah dengan kenyataan bahwa masjid ini telah menjadi salah satu kunjungan pavorit jemaah dari Asia (termasuk Indonesia) serta terutama dari Iran, serta untuk meluruskan informasi, maka pada bulan Desember tahun 2010 lalu pemerintah kota Jeddah mengubah nama masjid ini dari “Masjid Fatimah” menjadi “Masjid Arrahmah”.

Seringnya jemaah Asia (terutama yang paling banyak dari Indonesia) melaksanakan sholat berjamaah ganda di dalam masjid ini, sampai sampai pengurus masjid memasang larang melakukan sholat berjamaah ganda di dalam masjid ini. 

Jemaah Sholat Ganda di Masjid Arrahmah

Boleh jadi masjid ini satu satunya masjid di dunia yang pengurusnya sampai sampai memasang larangan sholat berjamaah lebih dari satu kelompok, menggunakan pengumuman permanen yang dipasang di dalam masjid. mungkin karena jemaah haji dan umroh yang datang ke Saudi Arabia datang dalam kelompok kelompok sesuai dengan agen perjalanannya sehingga masing masing mereka melaksanakan sholat berjamaah di dalam masjid dalam masing masing kelompok dan enggan bergabung dengan jemaah yang sudah ada dan sedang berlangsung di dalam masjid. Padahal hal tersebut tidak diperbolehkan. Semestinya jika didalam masjid tersebut telah ada group sholat berjammah maka anda tinggal mengikuti jammaah tersebut, jika tertinggal rakaatnya tinggal (masbuk) tinggal melanjutkan sejumlah rakaat yang telah tertinggal.

Daya Tarik Masjid Arrahmah

Masjid berukuran sekitar 20 x 30 meter ini memang cukup menarik untuk dikunjungi. Bagian dalam masjid dihias dengan banyak tulisan kaligrafi. Bukan hanya Masjid Terapung yang bisa dinikmati, air Laut Merah pun menjadi objek favorit jemaah. Bangunan masjid yang menggabungkan arsitektur modern dan seni bangunan Islam kuno. Memiliki ruang sholat yang luas dengan dekorasi sangat indah, dilengkapi peralatan berteknologi terbaru terutama dalam hal sound system. Sementara  selama musim dingin,  disediakan keran-keran air hangat.

Interior masjid Arrahmah ini memang cukup menawan, cahaya alami matahari masuk ke dalam ruang utama dengan lembut melalui celah diantara kubah utama dan atapnya. Bukaan jendela yang lebar, penyejuk udara, karpet lembut dan suasana yang nyaman

Dekorasi interior yang fantastik, gaya arsitektur dan pencahayaan atap yang sempurna, memberikan kenyamanan  tersendiri bagi pengunjung Masjid Terapung Jeddah. Saat subuh, masjid terlihat mengagumkan,  dimana sinar matahari yang masih sangat redup menjadi latar bagi masjid dengan lampu-lampu yang terlihat berkilauan. Sementara, posisinya yang tepat di pantai Laut Merah membuat atmosfir Masjid Terapung terasa menyenangkan di malam hari.***

------------------

Baca Juga Artikel Masjid Masjid di Dunia Arab Lainnya