Arsitektural
Masjid Laweyan
Bentuk
arsitek masjid yang mirip seperti Kelenteng Jawa, juga menjadi ciri khas Masjid
Laweyan yang berbeda dengan bentuk arsitek masjid pada umumnya. Juga ada kentongan
besar yang usianya ratusan tahun, tapi jarang dibunyikan, karena digantikan
dengan bedug. Sisa bangunan yang usianya tua, adalah dua belas tiang utama
masjid dari kayu jati. Terdapat tiga lorong jalur masuk di bagian depan masjid.
Tiga lorong itu menandakan tiga jalan menuju kehidupan yang bijak yakni Islam,
Iman dan Ihsan.
Wujud
akulturasi budaya sangat terlihat pada arsitektur bangunannya beserta ornamen
yang menghiasinya. Letak masjid berada di atas bahu jalan merupakan salah satu
ciri dari pura Hindu. Pengaruh Hindu terlihat dari posisi masjid yang lebih
tinggi dibandingkan bangunan di sekitarnya. Saat ini, sejumlah ornamen Hindu
memang tak lagi menghiasi masjid. Tetapi, ornamen Hindu seperti hiasan ukiran
batu masih menghiasi makam kuno yang ada di kompleks masjid.
Tata
ruang Masjid Laweyan merupakan tipologi masjid Jawa pada umumnya. Ruang dibagi
menjadi tiga, yakni ruang induk (utama) seluas 162 meter persegi dan serambi
yang dibagi menjadi serambi kanan dan serambi kiri. Pengaruh Kerajaan Surakarta
terlihat dari berubahnya bentuk masjid menyerupai bangunan Jawa yang terdiri
atas pendopo atau bangunan utama dan serambi. Ada dua serambi, yakni kanan dan
kiri. Serambi kanan menjadi kempat khusus putri atau pewastren, sedangkan
serambi kiri merupakan perluasan untuk tempat shalat jamaah.
Ciri
arsitektur Jawa ditemukan pula pada bentuk atap masjid, dalam arsitektur Jawa,
bentuk atap menggunakan tajuk atau bersusun. Atap Masjid Laweyan terdiri atas
dua bagian yang bersusun. Dinding masjid Laweyan terbuat dari susunan batu bata
dan semen. Penggunaan batu bata sebagai bahan dinding, baru digunakan masyarakat
sekitar tahun 1800. Sebelum dibangun seperti sekarang, bahan-bahan bangunan
masjid, sebagian menggunakan kayu. Bukti bahwa dinding awal Masjid Laweyan
adalah kayu, ditunjukkan dengan adanya rumah pelindung makam kuno terbuat dari
kayu. Cungkup (rumah) di makam kuno yang terbuat dari kayu semua membuktikan
bahwa Masjid Laweyan semula berbahan kayu.
Di
makam ini terdapat tumbuhan langka pohon nagasari yang berusia lebih dari 500
tahun yang merupakan perwujudan penjagaan makam oleh naga yang paling unggul.
Selain itu pada gerbang makam terdapat simbolisme perlindungan dari Batari
Durga. Keberadaan makam direnovasi oleh Paku Buwono X bersamaan dengan renovasi
Keraton Kasunanan. Sebuah bangunan semacam pendapa yang diangkat dari pindahan
Keraton Kartasura.
Kompleks
Masjid Laweyan menjadi satu dengan makam kerabat Keraton Pajang, Kartasura dan
Kasunanan Surakarta. Pada makam terdapat pintu gerbang samping yang khusus
dibuat untuk digunakan oleh Sunan Paku Buwono X untuk ziarah ke makam dan hanya
digunakan 1 kali saja karena 1 tahun setelah kunjungan itu beliau wafat.
Beberapa orang yang dimakamkan di tempat itu di antaranya adalah : Kyai Ageng Henis, Susuhunan Paku Buwono
II yang memindahkan Keraton Kartasura ke Desa Sala hingga menjadi Keraton
Kasunanan Surakarta. Konon Paku Buwono II ingin dimakamkan dekat dengan Kyai
Ageng Henis dan bertujuan untuk menjaga Keraton Kasunanan Surakarta dari
serangan musuh.
Lalu
ada makam dari Permaisuri Paku Buwono V,
Pangeran Widjil I Kadilangu sebagai
Pujangga Dalem Paku Buwono II & Paku Buwono III yang memprakarsai pindahnya
Keraton dari Kartasura ke Surakarta, Nyai
Ageng Pati, Nyai Pandanaran, Prabuwinoto anak bungsu dari Paku Buwono
IX, Dalang Keraton Kasunanan Surakarta
yang menurut legenda pernah diundang oleh Nyi Roro Kidul untuk mendalang di
Laut Selatan dan Kyai Ageng Proboyekso,
yang menurut legenda merupakan Jin Laut Utara yang bersama pasukan jin ikut
membantu menjaga keamanan Kerajaan Kasunanan Surakarta.
Mata air Sunan Kalijaga
Salah
satu peninggalan unik di Masjid Laweyan yang sering menjadi sasaran pengunjung
adalah mata air sumur yang berada di sekitar kompleks masjid. Konon sumur
tersebut muncul dari injakan kaki Sunan Kalijaga. Hingga saat ini airnya tidak
pernah kering meskipun pada musim kemarau. Oleh sebab itu, banyak pengunjung
yang memanfaatkan air tersebut untuk pengobatan.
Kepengurusan
Masjid Laweyan
Meski
Masjid Laweyan merupakan peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta, saat ini
pemeliharaannya justru lebih didominasi masyarakat sekitar yang rata-rata
sebagai pengusaha batik. Ritual tradisi budaya keraton juga jarang digelar di
Masjid Laweyan. Bila semasa pemerintahan Kesultanan Pajang, masjid ini menjadi
pusat pembelajaran. Saat ini hanya menjadi tempat ibadah biasa, namun demikian pengunjung
dan peneliti dari luar daerah tetap terus berdatangan.
Kembali
ke Bagian
1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA