Di
Kartasura pernah berdiri keraton kesultanan Mataram lengkap dengan berbagai
fasilitas pendukungnya termasuk sebuah bangunan masjid milik keraton yang
diberi nama Masjid Hastana Karaton Kartasura. Komplek Karaton Kartasura
Hadiningrat ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Mataram Pakubuwono X yang
memindahkan pusat pemerintahan kesultanan Mataram dari Plered, Kotagede,
Yogyakarta ke Keraton baru di Kartasura. Keseluruhan komplek keraton tersebut
dikelilingi oleh benteng tebal dua lapis.
Bangunan
Keraton Kartasura nya sendiri kini sudah tak bersisa, di bekas terataknya kini
dibangun sebuah prasasti peringatan mengenang bahwa ditempat tersebut pernah
berdiri sebuah keraton kerajaan Mataram. Kebesaran komplek keraton ini kini
berubah menjadi komplek pemakaman keluarga keraton Kasunanan Surakarta. Namun
bangunan masjid yang dibangun oleh Paku Buwono X masih kokoh berdiri hingga
hari ini dan masih berfungsi dengan baik melayani masyarakat muslim di sekitar
lokasinya berdiri.
Lokasi
dan Alamat Masjid Hastana Karaton Kartasura
Masjid Hastana Karaton Kartasura
Desa
Siti Hinggil, Kelurahan Kartasura, Kecamatan Kartasura
Kabupaten
Sukoharjo, Propinsi Jawa Tengah
Peninggalan
PB X yang Menyejukkan Jiwa
Masjid
Hastana Karaton Kartasura berada di dalam benteng Keraton Kartasura Hadiningrat
di desa Sitihinggil, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, propinsi Jawa
Tengah. Nama masjid ini terukir indah di gerbang masjid yang sangat khas.
Bangunan masjid ini menjadi satu satunya bangunan yang masih utuh dari
keseluruhan bekas komplek keraton Mataram Kartasura Hadiningrat.
Pembangunan
masjid yang kini berdiri justru dilakukan setelah komplek keraton ini tidak
lagi berfungsi sebagai keraton Kesultanan Mataram, bahkan jauh setelah seluruh
aktivitas pemerintahan kerajaan dipindahkan ke Surakarta. Masjid yang dibangun
pada tahun 1826 oleh Pakubiwono X ini ini sampai sekarang masih dipergunakan
oleh umat muslim di sekitarnya dan dipercaya dapat memberikan kesejukan dan
ketenangan jiwa setelah shalat di sini.
Gerbang Masjid Hastana ini bersebelahan dengan gerbang Hastana Karaton Kartasura. |
Arsitektural Masjid Hastana Karaton Kartasura
Sejak
pertama kal dibangun pada tahun 1826. Sebagian besar bangunan masjid masih asli
dari pertama kali dibangun, seperti pintu, jendela, tiang penyangga, mimbar dan
juga bedug masih asli. Hanya bagian teras dan beberapa peralatan elektronik
yang beberapa kali dilakukan penggantian dengan yang baru. Pihak takmir masjid
maupun warga sekitar mengaku tidak berani merubah ataupun merenovasi bangunan
utama karena dilarang oleh pihak Keraton Surakarta. Namun demikian takmir
masjid telah menambahkan bangunan serambi untuk menampung jamaah yang semakin
banyak.
Di atas pintu masuk dan jendela masih nampak
ciri khas keraton surakarta dengan ukiran kayu berwarna biru dan merah dengan
ornamen bunga kantil. Di tengah ukiran terdapat lambang mahkota yang
bertuliskan aksara jawa yang bisa diartikan angka 1826. Sedangkan di sisi kanan
bangunan masih terdapat sebuah bedug dan kentongan yang masih asli sejak
ratusan tahun meskipun dalam beberapa tahun terakhir ini tidak pernah lagi
dipakai.
Seperti Masjid Tradisional Jawa Lainnya Masjid Hastana juga beratap joglo dengan empat sokoguru di tengah masjid. |
Meskipun
sebagian besar bangunan sudah berumur ratusan tahun, namun masjid ini masih
berdiri kokoh dan masih digunakan warga sekitar untuk keperluan beribadah.
Seperti pada bulan puasa seperti ini, pihak takmir masjid mengaku saat shalat
tarawih selalu dipenuhi jamaah. Namun pada siang hari tidak banyak yang
melakukan shalat di masjid ini. Karena banyaknya jamaah yang ingin beribadah di
masjid ini, pihak takmir masjid memasang beberapa peralatan elektronik tambahan
seperti perangkat penyejuk ruangan.
Sejarah Masjid Hastana Karaton Kartasura
Keraton
Kartasura didirikan oleh Sunan Amangkurat II pada September 1680. Sunan
Amangkurat II adalah raja pengganti Sunan Amangkurat I, Raja Mataram di Keraton
Plered, Kotagede, Yogyakarta yang melarikan diri dan meninggal di Tegal ketika
terjadi serangan Trunajaya dari Sampang - Madura pada tahun 1677. Setelah Sunan
Amangkurat II menjabat sebagai raja, beliau tidak mau menempati kraton di
Plered karena menurut kepercayaan Jawa, Kerajaan yang sudah diduduki musuh
berarti telah ternoda.
Sunan
Amangkurat II kemudian memerintahkan kepada Senopati Urawan untuk membuat
Keraton baru di kawasan Pajang. Perintah ini dituruti dan akhirnya Senopati
Urawan dibantu Nerang Kusuma dan rakyat berhasil mendirikan Keraton di sebelah
barat Pajang yakni Wonokerto. Amangkurat II beserta para pengikutnya lalu
menempati Keraton Baru itu yang diberi nama Kraton kartasura Hadiningrat.
Buku
Babad Tanah jawi menggambarkan komplek keraton ini sangat kokoh. Bentengnya
saja dibuat dua lapis, yakni Baluwarti di bagian terluar dan Sri Manganti pada
bagian dalam.Di sekeliling Benteng Baluwarti terdapat parit lebar berair dan
tanaman semak berduri sebagai alat pertahanan.
Sunan
Amangkurat II juga yang mengganti namanya dari
Wonokerto menjadi Kartasura. Sekaligus memindahkan ibu kota Negara Mataram ke
tempat ini. Lebih kurang 23 tahun lamanya Sunan Amangkurat II bertakhta di
keraton ini. Se-peninggalnya, pemerintahan diteruskan putranya, Pangeran
Adipati Anom (Amangkurat III).
Pada
tahun 1741 terjadilah pemberontakan Cina yang berakibat fatal bagi Kartasura.
Pemberontakan kali ini dipimpin oleh RM.Garendhi yang bergelar Sunan Kuning
(Sunan Amangkurat III) sewaktu menjadi raja. Amangkurat III bernasib justru lebih tragis. Beliau
hanya memerintah kurang lebih selama 2 tahun (1703–1705) karena terusir oleh
pangeran Puger (adiknya sendiri) yang kemudian menjadi raja dan bergelar Sinuhun
Pakubuwana I. Amangkurat III sampai kemudian ditangkap belanda dan
dibuang ke Sri Lanka sampai wafat disana.
Selanjutnya
pada masa pemerintahan Sinuhun Pakubuwana II (1726–1749), Keraton Kartasura
dipindahkan ke Solo tepatnya pada tanggal 17 Februari 1745 Kraton baru di Solo
itu diberi nama Keraton Surakarta Hadiningrat. Keraton Kartasura tak lagi
ditempati dan kawasan istana tersebut dijadikan sebagai komplek pemakaman
keluarga kerajaan. masyarakat umum menyebut kawasan bekas istana tersebut
sebagai kawasan petilasan. Para peziarah silih berganti datang ke tempat ini
untuk berziarah.
Pada
jaman Keraton Kasunanan Surakarta dipimpin oleh raja Paku Buwono Sepuluh,
dibagun sebuah masjid di petilasan Keraton Kartasura tersebut. Masjid yang
diberi nama Hastana ini dibangun untuk keperluan beribadah warga Kartasura dan
juga kerabat istana yang masih sering mengunjungi petilasan tersebut. Masjid
yang dibangun pada tahun 1826 ini sampai sekarang masih dipergunakan oleh umat
muslim di sekitarnya dan dipercaya dapat memberikan kesejukan dan ketenangan
jiwa setelah shalat di sini.
Komplek Keraton Kartasura Saat ini
Salah satu sudut benteng Kraton Kartasura |
Tak
ada lagi bangunan istana megah di sana. Satu-satunya yang tersisa di lahan
seluas 2 hektare di Kelurahan Kartasura, Kecamatan Kartasura, Kabupaten
Sukoharjo, Jawa Tengah, itu hanyalah Benteng Sri Manganti. Kendati relatif
masih utuh, kondisi tembok batu bata setinggi 3 meter dengan tebal setengah
meter itu memprihatinkan. Tanaman merambat dan lumut merayapi badannya.
Beberapa bagian dinding bahkan ambrol termakan usia dan diterjang akar liar. Dulunya,
Keraton Kartasura dibangun sangat megah.
benteng
Baluwarti sudah hancur, hanya sekitar 100 meter yang masih berdiri, selebihnya
telah menjelma jadi permukiman warga.Di dalam benteng Sri Manganti terdapat
bangunan utama keraton, masjid agung, gedong obat tempat menyimpan mesiu, dan
sejumlah bangunan pendukung lain. Di sisi utara benteng terdapat alun-alun dan
taman kerajaan yang kini dikenal dengan nama Gunung Kunci.
Sejak
wafatnya Pakubuwono X praktis tempat ini nyaris tak terawat lagi meski abdi
dalem dari keraton Surakarta masih bertugas disini sebagai juru kunci namun
karena terbatasnya pendanaan baik dari keraton maupun dari pemerintah Jawa
Tengah membuat kawasan bekas keraton ini se akan akan meranan. Sejak 2005 pihak
Keraton Surakarta tidak lagi mengizinkan ada aktivitas ziarah malam Jumat ke
tempat ini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA