Halaman

Sabtu, 08 September 2012

Masjid Agung Mataram Kotagede, Yogyakarta

Masjid Agung Mataram Kotagede.

Kotagede di Yogyakarta menyimpan sejarah masa lalu yang tak ternilai, khususnya bagi Kesultanan Ngayokyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan bagi sejarah perkembangan Islam di tanah Jawa dan Indonesia pada umumnya. Di Kota tua ini pernah berdiri Kesultanan Mataram (Kerajaan Mataram Islam), menggantikan kerajaan Mataram Hindu yang sebelumnya juga berdiri dan berpusat di lokasi yang sama.
 
Era kejayaan Kesultanan Mataram (Kerajaan Mataram Islam) memang sudah berlalu ber-abad yang lalu. Kerajaan Islam terbesar Nusantara tersebut kemudian terpecah menjadi Kesultanan Ngayokyakarta Hadiningrat dan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, namun peninggalan masa ke emasan nya masih dapat kita temui saat ini, Termasuk Masjid Agung Mataram Kotagede, menjadi saksi bisu kejayaan masa lalu sebuah kerajaan yang pernah berjaya dan menguasai hampir seluruh tanah Jawa, dan jejak kemashurannya bertebaran hingga ke ibukota Negara, Jakarta.

Masjid yang merupakan salah satu komponen asli Kotagede ini berdiri di selatan kawasan Pasar Kotagede sekarang, tepatnya di kelurahan Jagalan, kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Bangunan masjidnya sendiri tidaklah semegah masjid masjid modern, bahkan bila dibandingkan dengan Masjid Agung  Yogyakarta pun masih kalah megah. Namun masjid ini jauh labih tua dibandingkan dengan masjid Agung Yogyakarta dan masjid masjid tua lainnya di Yogyakarta.

Lokasi Masjid Agung Mataram Kotagede

Masjid Agung Mataram Kotagede
Kelurahan Jagalan, kecamatan Banguntapan
Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Indonesia


Keunikan yang sangat menyolok dari arsitektural Masjid Agung Mataram Kotagede ini terletak pada perpaduan dua unsur budaya dari dua latar belakang agama yang berbeda, kemudian diramu dengan apik ke dalam satu kesatuan bangunan masjid. Pengaruh budaya Hindu masih sangat kental pada bangunan masjid ini. nuansa itu dapat langsung ditemui saat berkunjung kesana dari tampilan gerbang yang mengadopsi gerbang gerbang bangunan pura hingga bentuk bangunan utama nya yang menggunakan atap berundak.

Hal lain yang sangat menarik dari masjid masjid tua tanah jawa adalah mastaka di puncak atap masjid yang tidak di hias dengan bulan sabit ataupun lafaz Allah melainkan sebuah gada berukuran besar dihias dengan ornamen seperti daun simbar. Gada besar itu melambangkan hurup alif ataupun angka 1 yang menyimbolkan ke-Esa-an Allah Subhanahuwata’ala.

Megunjungi masjid bersejarah seperti Masjid Agung Kotagede ini, tak lengkap rasanya bila kita tidak menilik sejenak jauh kebelakang tidak saja tentang sejarah masjid nya sendiri tapi juga sejarah kerajaan dan masyarakat tempat nya berdiri, karena seperti kita semua ketahui bahwa bangunan masjid tak lepas dari peran ummat dan Ulama dan Umaro di tempatnya berdiri. Berikut sejarah singkat sejarah Kesultanan Mataram di rangkum dari berbagai sumber.

Mengenal Sejarah Kesultanan Mataram

Hingga tahun 1952 Kotagede dan Imogiri merupakan exclave kasunanan Surakarta di dalam wilayah Yogyakarta, sampai kemudian dilebur ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta bersama dengan wilayah Pakualaman dan exclave Ngawen milik Mangkunegaran.

Kotagede tempat berdirinya Masjid Agung Kotagede, memang sudah tak lagi menjadi ibukota sebuah kerajaan, tapi saksi bisu serangkaian sejarah besar. Pada abad ke-8, Kotagede menjadi Ibukota Kerajaan Mataram Hindu dibawah kekuasan dinasti wangsa Sanjaya, Wangsa Syailendra hingga Wangsa Isyana yang menguasai seluruh Pulau Jawa, kerajaan ini memiliki kemakmuran dan peradaban yang luar biasa, jejak kebesarannya masih dapat kita nikmati hingga detik ini diantaranya adalah candi Prambanan dan candi Borobudur.
 
Berabad lamanya waktu berlalu kerajaan di tanah Jawa pun patah tumbuh silih berganti. Di penghujung kejayaan Majapahit, Kesultanan Demak berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di tanah Jawa. Ketika kekuasaan Kesultanan Demak berahir, tahta Kesultanan Demak kemudian dilanjutkan oleh Jaka Tingkir alias Mas Karebet alias Sultan Hadiwijaya yang mendirikan Kesultanan Pajang paska keruntuhan Kesultanan Demak akibat pemberontakan Arya Penangsang tahun 1546.

Penebahan Senopati
Penumpasan Arya Penangsang dilakukan oleh Ki Ageng Pemanahan dibantu oleh putranya, Danang Sutawijaya atas perintah Jaka Tingkir. Atas jasanya tersebut beliau mendapatkan hadiah sebidang tanah hutan yang luas di Mentaok di tahun 1556, sebuah kawasan hutan yang tak lain adalah bekas pusat pemerintahan kerajaan Mataram Hindu. Di Kawasan hutan tersebut Ki Ageng Pemanahan bersama keluarga dan pengikutnya mendirikan sebuah desa kecil dengan status sebagai tanah perdikan swatantra dibawah kekuasaan Kesultanan Pajang.
 
Desa kecil yang dibuka oleh Ki Ageng Pemanahan ditahun 1556 mulai makmur. Tahun 1577 beliau memindahkan pusat pemerintahannya ke Pasargede dan membangun istana disana hingga beliau wafat tahun 1584M, beliau digantikan oleh putranya, Danang Sutawijaya. Di bawah kepemimpinan Sutawijaya desa itu tumbuh menjadi kota yang semakin ramai dan makmur, hingga disebut sebagai Kotagede (kota besar).
 
Setelah Sultan Hadiwijaya wafat, terjadi perebutan takhta di Kesultanan Pajang. Putra mahkota, Pangeran Benawa disingkirkan oleh Arya Pangiri. Pangeran Benawa lalu meminta bantuan Sutawijaya karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai tidak adil dan merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri berhasil ditaklukkan namun nyawanya diampuni oleh Sutawijaya.

Lukisan wajah Sultan Agung 
di Perangko terbitan tahun 2006
Pangeran Benawa lalu menawarkan tahta Pajang kepada Sutawijaya namun ditolak dengan halus. Setahun kemudian Pangeran Benawa wafat dan sempat berwasiat agar Pajang dipimpin oleh Sutawijaya. Tahun 1588M Sutawijaya memindahkan pusat pemerintahan ke Kotagede mendirikan Kesultanan Mataram dan dilantik menjadi raja pertama di Kesultanan Mataram melanjutkan tahta Kesultanan Pajang.
 
Setelah dilantik menjadi raja, Sutawijaya bergelar Panebahan Senapati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Beliau sengaja tidak memakai gelar Sultan untuk menghormati mendiang Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Panebahan Senapati memperluas wilayah kekuasaan Mataram hingga ke ujung timur Pulau Jawa. Beliau wafat tahun 1601 dan kekuasannya diteruskan oleh putra nya, Mas Jolang  bergelar Prabu Hanyokrowati yang pemerintahannya tak berlangsung lama.
 
Tahta kesultanan diteruskan oleh Mas Wuryah bergelar Adipati Martoputro. Beliau adalah putra keempat Prabu Hanyokrowati, namun merupakan putra tunggal dari istri pertamanya. Adipati Martoputro hanya berkuasa sebentar saja, bahkan ada yang menyebutnya hanya berkuasa satu hari. Namun sumber lain menyebutkan beliau menderita sakit jiwa hingga tahta kesultanan berpindah ke Raden Mas Rangsang yang merupakan putra sulung Prabu Hanyokrowati dari istri kedua.
 
Raden Mas Rangsang alias Raden Mas Jatmika bergelar Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo atau lebih dikenal dengan nama Sultan Agung, raja terbesar dalam sejarah Kesultanan Mataram. Pada masa pemerintahan Sultan Agung, Kesultanan Mataram mengalami masa keemasan. menguasai hampir seluruh Pulau Jawa (kecuali Banten dan Batavia).

Bersambung ke Bagian 2

4 komentar:

  1. makasih :) artikel nya sangat bermanfaat :)

    BalasHapus
  2. Blog yang menarik, kunjungi balik blogku ya ! Ki Ageng Mangir tidak perlu diperangi malah kalau bisa dirangkul, Patih Mondorokolah yang mengusulkan kepada Panembahan Senopati agar Ki Ageng Mangir ditarik kedalam barisan kekuatan (Aliansi) Mataram Mangir, , sebagai murid Sunan Kalijaga langsung, sangat mustahil kalau beliau mengawinkan cucu tercintanya dengan seorang non Muslim yang terjadi adalah proses dakwah Mataram melalui kesenian di wilayah Mangir, oleh karena itu Ki Ageng Mangir Wonoboyo III adalah menantu syah dari Panembahan Senopati, pengislamanya adalah proses panjang yang disetujui dan direstui sepenuhnya oleh Panembahan Senopati dan berakhir dengan pernikahan antara Roro Pembayun dengan Ki Ageng Mangir.Adalah sangat aneh mendeskripsikan singgasana dengan sebuah batu tempat shalat, tidaklah mungkin singgasana Panembahan Senopati dari batu pipih hitam setinggi 40 Cm . Sebagai seorang raja, tidaklah layak mengingkari janjinya menerima Mangir sebagai menantu dihadapan pisowanan agung (kecuali orang lain yang menuliskan kisah palsunya) , Pembunuhan Ki Ageng Mangir pastilah dilakukan oleh orang lain (diduga Raden Ronggo, putra Panembahan Senopati yang memang kontroversial keberadaannya) pembunuhan dilakukan saat Ki Ageng Mangir sedang shalat diatas watu Gilang,ini menandakan hubungan Ki Ageng Mangir yang sangat dekat dengan Panembahan Senopati, pembunuhan Ki Ageng Mangir oleh Raden Ronggo dilakukan dengan watu gatheng yang dihantamkan pada tengkuk Ki Ageng Mangir ketika beliau sedang sujud. oleh karena itu penulis setuju bahwa Ki Ageng Mangir meninggal akibat pecahnya tengkorak Ki Ageng Mangir. pembaca akan setuju dengan penulis bahwa sangat besar kemungkinan Ki Ageng Mangir terbunuh saat sedang shalat.
    Raden Ronggo membunuh Ki Ageng Mangir karena dipengaruhi oleh para adipati yang sedang melakukan perlawanan kepada Panembahan Senopati, dengan cara dipanas panasi bahwa Ki Ageng Mangir jauh lebih sakti dari Raden Ronggo di Mataram,Berita pembunuhan Ki Ageng Mangir oleh Panembahan Senopati di singgasananya adalah sangat tendensius dan mengaburkan kisah sebenarnya yaitu kisah Pengislaman Ki Ageng Mangir oleh Roro Pembayun dibantu Patih Mondoroko atau ki Juru Mertani, Inilah alasan mengapa para orientalis Belanda termasuk HJ De Graff membiarkan cerita sejarah ini berkembang, kemungkinan besar dengan pertimbangan bahwa asumsi Panembahan Senopati membunuh Ki Ageng Mangir adalah bukti kepengecutan dan kebengisan Panembahan Senopati sangatlah sesuai dengan politik "divide et empera" alias politik adu domba Penjajah Belanda disaat itu ,
    Akhirnya atas perintah Panembahan Senopati raden Ronggo terbunuh secara misterius, diduga Raden Ronggo terbunuh oleh tombak kyai Baru Klinting milik Mangir oleh salah satu kerabat Mangir yaitu Patih Rojoniti diluar benteng kraton Kotagedhe. Tampaknya para kerabat Mangir memahami sebab sebab kematian pemimpinnya itu sehingga tidak timbul gejolak di wilayah Mangir juga mereka sudah diberi kesempatan membalas kematian Ki Ageng Mangir pada pembunuhnya.Sementara situs sejarah peninggalan Mangir berupa arca dan candi hindu yang menunjukkan ki Ageng Mangir adalah seseorang yang sebelumnya menganut agama Hindu, justru memperjelas bahwa akhirnya Ki Ageng Mangir mengikuti jejak putra - putri Brawijaya lainnya yaitu masuk Islam.Sementara Roro Pembayun sebagai pahlawan Mataram diungsikan ke tanah Pati tempat kakeknya Ki Ageng Penjawi untuk mengobati luka hati akibat pembunuhan Ki Ageng Mangir suaminya, selanjutnya roro Pembayun melahirkan Bagus Wonoboyo yang ketika besar diasuh oleh pangeran Benawa putra Jaka Tingkir di Kendal Jawa tengah. Jadi kerabat Mataram masih selalu melindungi keberadaan Pembayun dan putranya itu, bahkan Pembayun dan Bagus Wonoboyo masih bertempur di Palagan Jepara 1618 bersama Tumenggung Bahurekso (tokoh kesayangan Sultan Agung), palagan gerilya Pangeran Jayakarta melawan JP Coen di Batavia yang berbasis di Kali Cikeas/ kali Sunter Tapos Depok 1620 dan terakhir palagan akbar Benteng Batavia VOC 1628 - 1629 .kunjungi http://pahlawan-kali-sunter.blogspot.com/

    BalasHapus
  3. Menarik, kunjungi blogku juga ya!!

    http://panyutro.blogspot.com/2013/01/ki-ageng-mangir-jejak-cucunya-di.html

    Raden Panji Wanayasa (dimakamkan di Tepi Danau Jatijajar Tapos Depok Jawabarat) , Pejuang bangsa di palagan Batavia VOC 1625 - 1629 dalam ekspedisi Kaladuta Sultan Agung. Dilanjutkan dengan Palagan Cikeas Kali Sunter 1682 dalam perang Sultan Ageng Tirtayasa. Telik sandi unggulan Mataram didalam benteng Batavia menyamar sebagai perawat kereta kuda. Putra Bagus Wonoboyo dan Nyimas Linggarjati ini adalah cucu langsung dari Ki Ageng Mangir Roro Pembayun, berarti juga cicit dari Panembahan Senopati, berjuang untuk kerajaan Mataram Plered , dibawah raja Sultan Agung Hanyokrokusumo yang tak lain tak bukan adalah sama sama cicit Panembahan Senopati. Putra Panji Wanayasa adalah Lie Suntek alias Santri Bethot yang menjadi salah satu penasehat khusus kerajaan Banten. Panji Wanayasa beristrikan seorang Cina Batavia, yang kelak menjadi pejuang membantu Mas Garendi di pembrontakan Cina. Salahsatu kakaknya adalah Nyai Dewi Sekar Rinonce istri dari Tumenggung Maduseno yang punya nama lain Kertiwongso yang pernah menjabat sebagai adipati Mataram di Jepara, Maduseno inilah pembawa kepala JP Coen ke Mataram yang disamarkan dalam bungkusan yang dibawa oleh anaknya yang baru berumur lima tahun bernama Bodronolo, pada waktu itu Nyai Dewi sekar Rinonce ibunya masih berada di Bumi Tapos Depok, Kemungkinan besar sang ibu tak pernah pergi ke Mataram sebab di Kampung Sindang Karsa Cilangkap RW 08 terdapat kompleks makam misterius Mak Uyut Cerewet , tak ada bangunan nisan dalam seluruh kompleks karena memang tak ada yang berani membangun dalam kompleks makam itu, tersebutlah nama Nyimas Dewi Sekar Rinonce dalam makam tersebut sebagai pemilik makam tertua di kompleks makam misterius yang tampak selalu bersih dan teduh, seakan akan ada orang yang selalu menyapu makam setiap saat.

    BalasHapus
  4. Assalamu'alaikum Wr Wb.
    Kami dari Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur. Bermaksud mengadakan study tour ke beberapa daerah di Yogyakarta. Rencana pelaksanaan hari Jum'at, 19 April 2013, yang kami tanyakan apa ada tempat parkir untuk 4 Bus besar? Kalau semisal tidak ada, apa memungkinkan dan boleh parkir di jalan perkampungan yang menuju lokasi Masjid? Kami mohon info dan konfirmasi selengkap-lengkapnya dan secepatnya, terimaksh, ttd selaku ketua panitia Adib 0856 3358631.

    BalasHapus

Dilarang berkomentar berbau SARA