Halaman

Jumat, 10 Agustus 2012

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, Banda Aceh

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, Banda Aceh. Salah satu masjid yang selamat dari terjangan tsunami tahun 2004 lalu meski lokasinya berada di kawasan pantai. Sebuah peristiwa langka yang tak terpecahkan hingga kini, bagaimana masjid dari bahan batu bata tanpa tulang beton ini bisa bertahan dari dasyatnya terjangan tsunami sementara seluruh bangunan disekitarnya tak bersisa rata dengan tanah. 

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue merupakan salah satu masjid bersejarah di kota Banda Aceh selain Masjid Raya Baiturrahman. Sama seperti Masjid Baiturrahman, Masjid Baiturrahim pun telah menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Aceh sejak masa kesultanan, penjajahan Belanda, Jepang, hingga era kemerdekaan dengan segala pahit manisnya sejarah. Bencara Tsunami 26 Desember 2004 mengangkat masjid Baiturrahim ke media pemberitaan dalam dan luar negeri ketika hantaman air tsunami berlalu menyisakan bekas yang luar biasa mengerikan, seluruh kota luluh lantak kecuali bangunan masjid Baiturrahim.

Selembar foto yang menunjukkan masjid ini berdiri sendirian ditengah kawasan Ulee Lehue yang luluh lantak telah menyita perhatian begitu banyak kalangan, dari yang menduga itu sebagai foto editan, hoak sampai bahkan ada yang penuh penasaran mengunjungi langsung lokasi masjid ini beberapa hari paska bencana hanya demi membuktikan kebenaran kabar tersebut. Sejarah telah mencatat bahwa Masjid Baiturrahim Ulee Lheue merupakan salah satu masjid di Aceh yang selamat dari terjangan tsunami meskipun seluruh bangunan disekitarnya hancur tak bersisa.

dua wajah ::: foto bawah adalah kondiri masjid Baiturrahim paska bencana tsunami berdiri sendirian ditengah tengah puing kawasan Ulee Lheue. Dan foto atas kondisi masjid setelah dibersihkan dari puing puing dan dalam proses perbaikan.

Lokasi Masjid Baiturrahim

Masjid Baiturrahim berdiri di Kawasan wisata pantai Cermin Ulee Lheue, sebuah kawasan pantai yang sangat indah dan penuh dengan kenangan sejarah. Ketika Belanda melakukan ekspedisi pertama ke Aceh pada tahun 1873 dilakukan melalui Pantai Cermin (Pante Ceureumen) ini, Untuk kelancaran operasi militer di Aceh, Belanda membangun dermaga di Ulee Lheue sebagai pintu gerbang ke Aceh pada tahun 1874 dan selesai pembangunannya pada tahun 1875. Untuk menghubungkan Ulee Lheue ke Banda Aceh dibangun jalan kereta api dengan stasiunnya di sekitar depan Mesjid Raya Baiturrahman sekarang.

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue
Kawasan objek wisata Pantai Cermin Ulee Lheue
Kecamatan Meuraksa, Banda Aceh
Propinsi Nangroe Aceh Darussalam
Indonesia



Sejarah Masjid Baiturrahim Ulee Lheue

Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, sudah berdiri sejak masa kesultanan Aceh di abad ke-17. Masa itu masjid tersebut bernama Masjid Jami’ Ulee Lheu (masjid Jami’ Ole Le) dibangun diatas tanah wakaf keluarga besar Teungku Hamzah. Pada 1873 ketika Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh dibakar Belanda, semua jamaah masjid terpaksa melakukan salat Jumat di Masjid Jami Ulee Lheue. Dan sejak saat itu namanya menjadi Masjid Baiturrahim.

Sejak berdirinya hingga sekarang masjid ini sudah mengalami beberapa kali renovasi. Awalnya masjid dibangun dengan konstruksi seutuhnya terbuat dari kayu, dengan bentuk sederhana dan letaknya berada di samping lokasi masjid yang sekarang. Karena terbuat dari kayu, bangunan masjid tidak bertahan lama karena lapuk sehingga harus dirobohkan.

foto udara kawasan Ulee Lheue pra dan paska tsunami, Masjid Baiturrahim adalah bangunan beratap hijau di bagian 'bawah tengah' foto atas, dan paska tsunami menyisakan masjid ini satu satunya bangunan yang masih utuh di kawasan itu seperti terlihat pada foto bawah.

Pada 1922 dimasa pemerintahan kolonial Hindia Belanda masjid Baiturrahim dibangun dengan material permanen dengan gaya arsitektur Eropa. berkaligrafi ejaan Arab Jawo. Masjid ini tidak menggunakan material besi atau tulang penyangga melainkan hanya susunan batu bata dan semen saja. Masjid ini dibangun secara swadaya oleh masyarakat Meuraxa, pada waktu itu dipimpin oleh Teuku Teungoh Meuraxa sekitar tahun 1923/1926 Masehi. Almarhum Teuku Teungoh ini pula salah seorang yang kini konon memiliki tanah warisan di Pulo Batee, Kecamatan Peukan Bada, Aceh Besar.

Program swadaya dengan azas gotong-royong sangat terlihat pada masyarakat Meuraxa pada waktu itu untuk mengumpulkan dana, bagi sebagian besar kaum adam yang berprofesi sebagai nelayan, setiap pulang dari melaut hasil penjualannya disisihkan untuk masjid begitu juga dengan ibu-ibu mengumpulkan beras sedikit demi sedikit dalam eumpang (karung beras) sebanyak satu mok (satu kaleng susu), dimana akhir bulan diserahkan kepada panitia pembangunan masjid.

Metamorfosis Masjid Baiturrahim Ulee Lheue, Banda Aceh

Awalnya masjid ini berdiri pada akhir tahun 1923 tanpa memiliki kubah seperti pada umumnya, melainkan hanya ada sebuah puncak masjid yang berbentuk persegi empat. Masjid ini pun hanya bisa menampung jamaah sekitar 400-500 orang. Konon cerita dari mulut ke mulut, jenis kayu untuk plafon dan dinding terluar di lantai dua menara mesjid ini, didatangkan dari berbagai daerah di Aceh seperti Meulaboh, Singkil, dan Tapaktuan. Pada tahun 1930, selasar depan terpaksa diubah karena bentuknya menyerupai bangunan gereja. Di tahun 1981, masjid Baiturrahim mendapat bantuan dari Kerajaan Arab Saudi, sehingga dilakukanlah perluasan ke samping kiri dan kanan untuk dapat menampung jamaah sampai 1.500 orang.

Dua Babak Bencana

Pada tahun 1983 Banda Aceh diguncang gempa dahsyat dan meruntuhkan kubah masjid Baiturrahim. Setelah itu masyarakat membangun kembali masjid namun tidak lagi memasang kubah, hanya atap biasa. Sepuluh tahun kemudian, tahun 1993 dilakukanlah renovasi besar-besaran terhadap bangunan masjid, hanya dengan menyisakan bangunan asli di bagian depan paska gempa tahun 1983. Selebihnya 60 persen merupakan bangunan baru yang disambungkan ke bangunan asli. Sampai sekarang bangunan asli masjid masih terlihat kokoh di bagian depannya keseluruhan proses renovasi itu selesai tahun 1997.

Masjid Baiturrahim setelah mengalami serangkaian restorasi dan penambahan fasilitas pendukung termasuk bangunan menara tunggalnya yang merupakan sumbangan dari Sultan Brunai Darussalam (foto dari acehkita.com)

Pada 26 Desember 2004, gempa bumi yang disusul terjangan tsunami meratakan seluruh bangunan di sekitar masjid dan satu-satunya bangunan yang tersisa dan selamat adalah Masjid Baiturrahim. Kondisi masjid yang terbuat dari batu bata tersebut hanya rusak sekitar dua puluh persen saja. seperti pecahnya kaca jendela serta robohnya dinding dikarena dihantam oleh mobil yang terbawa arus.

Pada saat tsunami, di masjid ini ada sembilan orang yang selamat. Bahkan, ada bayi dalam gendongan orangtuanya. Mereka mampu naik hingga ke kubahnya. Merekalah yang melihat langsung dahsyatnya tsunami pada saat itu. Kini masjid dengan balutan warna putih plus arsitektur menarik dan jendela hijau di bibir pantai Ulee Lheue ini semakin cantik, apalagi hadirnya sebuah menara kecil disampingnya. 

Masjid Baiturrahim saat ini (foto dari atjehpost.com)

Banyak wisatawan yang menyempatkan diri untuk berkunjung ke sini walaupun sekedar mengabadikan foto, tercatat Sultan Bolkiah dari Brunei Darussalam, Bill Clinton yang juga mantan presiden AS serta presiden SBY sendiri sudah berkunjung kesini.

Masjid yang saat ini bisa menampung sekitar 1.500 jemaah itu, pada 2005 mendapat bantuan dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh/Nias berupa penambahan kubah seperti saat dibangun pada masa Belanda. Di sebelah kanan berdiri kokoh menara yang menjulang tinggi. Ini merupakan bangunan bantuan dari Sultan Hassanal Bolkiah, Brunei Darussalam, pasca tsunami 26 Desember 2004.***

kini masjid Baiturrahim menjadi salah satu objek wisata ruhani di Ulee Lheue, di papan nama masjid ini tertera dengan jelas amaran untuk mengenakan busana muslim/muslimah saat memasuki area masjid.
interior Masjid Baiturrahim.
Masjid Baiturrahim seutuhnya.
kembali ke bentuk aslinya, dan dilengkapi dengan menara.)
Masjid Baiturrahim di temaramnya lampu lampu kawasan Ulee Lheue
Senja yang memerah di Ulee Lheue dengan Masjid Baiturrahim di latar belakang.


1 komentar:

Dilarang berkomentar berbau SARA