Masjid Al-Wustho, Pura Mangkunegaran, Surakarta |
Masjid Al-Wustho merupakan salah satu dari tiga masjid tua
dan bersejarah di kota Surakarta, bersama dengan Masjid Darusallam, dan Masjid
Agung Surakarta. Pembangunan Masjid Al-Wustho diprakarsai oleh Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Arya Mangkunagara-I (1725-1795) di Praja Mangkunagaran sebagai
masjid kerajaan bagi Pura Mangkunagaran dalam menjalankan fungsinya sebagai
panotogomo. Lokasi masjid ini sebelumnya berada di wilayah Kauman, Pasar Legi,
namun pada masa Adipati Mangkunagara-II dipindah ke wilayah Banjarsari dengan
pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat kepada Pura Mangkunagaran.
Sebagai masjid kerajaan pada awalnya masjid ini hanya
diperuntukkan khusus bagi keluarga kerajaan Pura Mangkunagaran dalam
menjalankan ibadahnya. Namun kemudian dalam perkembangannya masjid ini terbuka
untuk umum. Nama Al-Wustho pada masjid ini baru eksis sejak tahun 1949, Bopo
Penghulu Pura Mangkunagaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi yang memberikan
nama tersebut. Meski dibangun dalam bentuk arsitektural khas Jawa dengan reka
bentuk masjid Agung Demak, Dalam sejarahnya pembangunan masjid ini sempat
melibatkan seorang arsitek dari Prancis.
Lokasi
dan Alamat Masjid Al-Wustho
Masjid Al-Wustho Mangkunegaran Solo
Jl
RA Kartini 3 RT 003/09, Ketelan, Banjarsari
Solo
57132 Jawa Tengah
Posisi
masjid al-Wustho berada di sebelah barat
kompleks istana/Pura Mangkunegaran Surakarta yang dipisahkan dengan
jalan R.A. Kartini, di sisi utaranya
bersebelah dengan Sekolah Dasar Muhammadiyah 1 Surakarta, sedangkan di sebelah
barat masjid merupakan pemukiman penduduk yang cukup padat. Cukup berjalan kaki
sekitar 100 meter menuju lokasi masjid ini dari Pura Mangkunegaran.
Arsitektural Masjid Al-Wustho
Dari
bentuk arsitektur bangunan, hampir sama dengan bentuk bangunan masjid-masjid
Jawa lainnya seperti masjid agung Demak, masjid Agung Keraton Yogyakarta, yang
mengambil bentuk gaya arsitektur rumah Jawa dengan atap bangunan teras
berbentuk limasan dan atap tumpang untuk bagian atap ruang utama, yang bersusun
tiga. Bangunan tersebut mengandung makna filosofis Iman, Islam dan Ikhsan. Yang
membedakannya dengan masjid lain adalah adanya markis atau kuncung yaitu
semacam pintu utama menuju teras dengan tiga akses pintu masuk, yaitu di sisi
kanan atau utara, sisi depan atau timur dan kiri atau selatan, yang pada
masing-masing atasnya dihiasi dengan kaligrafi.
Kompleks
masjid Al Wustho Mangkunegaran terdiri dari bangunan utama serta bangunan
bangunan pendukungnya. Di sebelah selatan terdapat bangunan sekolah Taman
Kanak-Kanak Aisyiah Bustanul Athfal yang berhubungan langsung dengan bangunan
rumah tinggal keluarga ta’mir atau pengurus masjid. Di sebelah utara terdapat
fasilitas Unit Kesehatan Masjid dan tempat tinggal Ta’mir masjid.
Senja di masjid Al-Wustho |
Ornamen
menarik di masjid Al-Wustho ini berupa nukilan ayat ayat suci Al-Qur'an maupun
hadist yang menghiasi beberapa bagian masjid. selain di gapura pertama dan
kedua, kaligrafi arab tersebut juga dapat disaksisakan pada pintu pintu masjid,
jendela, 4 sokoguru masjid dan 12 soko rowo masjid, markis/kuncungan, soko dan
Maligin. Tiap tiap tiang di dalam masjid tersebut dihias dengan kaligrafi. Salah
satu nukilan hadist nya berbunyi "siapa yang membangun masjid ini untuk
Allah, maka Allah kan mendirikan sebuah rumah untuknya di surga kelak".
Aan
Jaelani, dan kawan kawan, peneliti dari Puslitbang Lektur dan Khazanah
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang melakukan
penelitian terhadap inskripsi di Masjid Al-Wustho menemukan bahwa Inskripsi
pada masjid Al Wustho berjumlah sekitar 41 buah yang terdiri atas 2 isnkripsi
pada gapura (luar dan dalam), 3 inskripsi pada markis/kuncungan (depan, sisi
kanan dan sisi kiri), 10 inskripsi pada jendela teras, 9 inskripsi pada pintu,
16 inskripsi pada soko guru di dalam ruang sholat, ditambah 1 inskripsi pada
mihrab yang merupakan replica inskripsi pada gapura luar.
Bagian Bagian Masjid Al-Wustho
Luas
kompleks masjid Al-Wustho sekitar 4.200 meter persegi dengan batas pagar tembok
keliling sebagian besar di muka berbentuk lengkung. Bagian belakang setinggi 3
m, bagian depan dengan bentuk lengkung setinggi 3 m. Gapura depan dihiasi
dengan relief tulisan Arab. Bangunan utama masjid terdiri dari ; Serambi, Ruang Shalat Utama, Pawastren dan Maligin. Sedangkan di halaman
masjid juga berdiri Tembok Keliling Halaman, Pintu Gerbang utama, Pintu Gerbang Timur, Pintu Gerbang Utara, Markis, Kantor Pengurus Masjid dan Menara.
Detil Masjid Al-Wustho Mangkunegaran |
Serambi
Masjid
Serambi
merupakan ruangan depan masjid dengan saka sebanyak 18 yang melambangkan
umur Raden Mas
Said (Mangkunagara
I) ketika keluar dari Keraton Kasunan Surakarta untuk dinobatkan sebagai
Adipati Mangkunagaran. Di bagian timur laut serambi terdapat bedug yang
bernama Kanjeng Kyai Danaswara dan kentongan. Ruangan Serambi berukuran 22 m, X 11 m.
Ruang
Shalat Utama
Ruang
Salat Utama: merupakan ruang dalam dengan 4 soko guru dan 12 soko rowo (penyangga
pembantu) yang berhias huruf kaligrafi Alquran. Ruang utama untuk shalat
berukuran 24 m X 22 m, Mimbar ukiran
untuk berkhotbah diletakkan di dekat mihrab mimbar dengan ukiran khas
mataraman. Di bagian depan kaki mimbar yang menghadap ke timur dulunya ada figur
dua ekor singa yang bagian kepalanya sudah hilang karena dipotong secara
sengaja dengan gergaji. Hal ini dilakukan karena alasan agama yang melarang
adanya patung di dalam masjid dan karena adanya keberatan dari beberapa orang
jamaah. Sedangkan di pojok ruangan sebelah tenggara dibuat sebuah ruangan untuk
menyimpan alat-alat pengeras suara yang dipakai setiap akan mulai shalat
rawatib, dan shalat Jum’at.
Pawastren
Pawastren
merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk tempat salat khusus wanita.
Dahulu sebelum dibangun pawastren tambahan, ada sekat sebagai pemisah tempat
shalat untuk wanita. Pawastren ini berukuran 10 m X 7 m. Di dalam ruangan
pawastren, ada sebuah ruang gudang serta fasilitas kolah untuk berwudlu wanita
dibangun di sebelah timur pawastren.
Interior Masjid Al-Wustho |
Maligin
Bangunan
Maligin dibangun atas prakarsa Adipati Mangkunagara V (berkuasa 1881-1896), digunakan untuk
melaksanakan khitanan bagi putra kerabat Mangkunagaran. Sejak pemerintahan Mangkunagara VII (1885-1944), Maligin diperkenankan
untuk digunakan oleh Muhammadiyah sebagai tempat khitanan masyarakat umum. Terpisah
sedikit dengan pawastren, ada bangunan kecil bundar. Anak yang akan dikhitan di
syahadad dulu di serambi masjid.
Tembok Keliling Halaman
Sebagai
pembatas antara masjid dengan daerah sekitarnya dibuat tembok yang mengelilingi
masjid. Adapun ukuran tembok keliling adalah 260 m, dengan perincian sisi timur
60 m, sisi barat 69 m, sisi utara 70 m, sisi selatan 70 m. Pagar tembok di
sebelah barat/belakang, dibuat rata sedangkan di bagian depan/sisi timur dan
sisi selatan serta sisi utara, sebagian dibangun dengan hiasan lengkung. Gapura
depan bagian luar dan dalamnya dihiasi dengan relief Arab.
Gapura / Pintu
Gerbang
Gerbang
atau Gapura, gapura berasal dari kata Ghafara yang artinya ampunan Gapura
halaman masjid ini dibuat tahun 1917-1918, dengan dinding berhiaskan relief
kaligrafi huruf Arab. Ada dua buah pintu gerbang utama, sebelah depan dan
sebelah utara dibuat dari jeruji besi. Pintu
Gerbang Timur dengan bentuk lengkungan tinggi dengan hiasan tulisan Arab yang
berbunyi: “Al-Islamu ya’lu wala yu’la ‘alaih” serta “Asyhadu alla ilaaha
illallah, wa asyhadu anna muhammadar rasuulullah”. Sedang di bagian belakang
juga diberi relief Arab. Dan Pintu Gerbang Utara, disediakan untuk masuk masjid
bagi orang kampung sekitar masjid sebagai jalan pintas, dengan ukuran lebar 2 m
dan tinggi 3 m.
Renovasi Masjid Al-Wustho |
Menara
Menara
masjid Al-Wustho dibangun tahun 1926 pada
masa Mangkunagara
VII (1885-1944),
Digunakan untuk menyuarakan adzan,
pada saat itu dibutuhkan 3-4 orang muadzin untuk adzan bersama-sama dalam
menara ke 4 arah yang berbeda. Bangunan menara ini berdiri di depan Kantor
Pengurus Masjid dengan tinggi 25 m dan
bergaris tengah 2 m.
Markis
Markis
adalah berada di sebelah depan bangunan serambi, merupakan bangunan tambahan
dengan ukuran 5 m X 5m. Markis/Kuncungan
berbentuk bujur sangkar dengan lengkungan tembok menyerupai kubah atau
gunungan, tempat ini adalah akses utama menuju masjid, dan merupakan batas
akhir bagi kalangan non muslim yang
tidak diperkenankan masuk lebih dalam ke
masjid. Bagian depan dan kiri kanan dihias dengan relief Arab yang banyak
mengandung makna.
Kantor
Pengurus Masjid
Kantor
penguru masjid Al-Wustho berada di sebelah utara masjid dengan ukuran 9m X 6m.
Di kantor ini ditempatkan perpustakaan
masjid Al-Wustho.
Suasana sholat Idul Fitri di Masjid Al-Wustho |
Sejarah Masjid Al-Wustho
pembangunan
masjid alwustho merupakan perwujudan dari fungsi pura mangkunegaran sebagai
panotogomo yaitu pemerintahan yang tidak hanya berfungsi secara politik
melainkan juga berfungsi melaksanakan syiar agama. sebelumnya, masjid
Mangkunegaran terletak di wilayah kauman, Pasar legi. karena dirasa jauh dari
istana, maka masjid tersebut dipindah oleh KGPAA Mangkunegara-II ke dekat
istana pura Mangkunegaran. sebagai masjid resmi pura mengkunegaran, maka
pengelolaan masjid ini dilakukan oleh para abdi dalem pura. pada awalnya masjid
ini merupakan tempat ibadah khusus bagi keluarga pura namun pada perkembangan
selanjutnya masyarakat umum juga diperkenankan untuk beribadah atau sekedar
menikmati keunikan arsitekturnya.
Pendirian
Masjid Mangkunagaran diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunagara-I (1725-1795)
di Praja
Mangkunagaran sebagai
masjid kerajaan dalam menjalan fungsinya sebagai panotogomo atau piƱata
agama di dalam lingkup wilayah praja Mangkunegaran. Ketika pertama kali
dibangun lokasi masjid ini berada di wilayah Kauman,
Pasar-Legi, namun
pada masa Adipati Mangkunagara-II (berkuasa 1796-1835) dipindah ke
lokasinya sekarang ini di wilayah Banjarsari dengan pertimbangan letak masjid yang
strategis dan dekat kepada Pura
Mangkunagaran.
Pemugaran
besar-besaran atas Masjid Mangkunagaran terjadi pada tahun 1878 dan selesai
tahun 1918 saat pemerintahan Adipati Mangkunagara VII (1885-1944), pada saat itu beliau meminta
seorang arsitek Ir. Herman Thomas untuk mendesain bentuk masjid ini. itu
sebabnya meski secar keseluruhan masjid ini dirancang dalam arsitektural Jawa
namun sentuhan gaya Eropa sangat terasa. Pada tahun 1949 Bopo Penghulu Pura
Mangkunagaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi ditahun memberikan nama Masjid
Al-Wustho pada masjid Pura Mangkunegaran ini.
suasana ramainya jemaah di masjid ini bakda sholat Idul Fitri |
Pengelolaan Masjid al-Wustho
Pengelolaan
masjid sejak pertama berdiri dipercayakan kepada para pengurus yang diangkat
menjadi Abdi dalem Istana Mangkunegaran, sejak zaman penjajahan Belanda beralih
ke penjajahan Jepang berjalan sebagaimana mestinya sebagai Masjid Keraton. Dengan
diproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, membawa perubahan-perubahan pula
terhadap status masjid. Pengelolaannya diserahkan kepada kementerian Agama
dengan suratnya nomor: Pem.50/2/7 tertanggal 12 April 1952, dan putusan Menteri
Dalam Negeri nomor: E/23/6/7 tertanggal 14 September 1948.
Dalam
keputusan Menteri Agama tahun 1962 disebutkan, bahwa Masjid Al Wustho
Mangkunegaran adalah masjid yang diurus dan dipelihara Departemen Agama dengan
mengikutsertakan eksponen-eksponen masyarakat. Sebagai pelaksanaan Keputusan
Menteri Agama tersebut maka biaya-biaya pengeluaran dibebankan pada anggaran
Departemen Agama. Akan tetapi dengan surat Dit. Ura. Islam tanggal 20 Desember
1974 nomor: 117/BKMP/1974, bantuan rutin dari Departemen Agama khusus untuk
empat masjid di Kotamadya Surakarta dihentikan sejak tahun 1972/1973.
Hal
itu tidak saja berlaku bagi masjid Al-Wustho tetapi juga pada empat masjid yang
ada di (Kotamadya) Surakarta. Sejak saat itu pengurus harus mencari sendiri
dana untuk biaya operasional masjid Al-Wustho tanpa bantuan dari Departemen
Agama, Untuk mencukupi kebutuhan masjid, pengurus harus mencari dana sendiri
dengan sekuat tenaga, sementara itu dana diperoleh dari: Kotak amal jama’ah
yang dibuka di masjid tiap-tiap sehabis shalat Jum’at, dan dana infaq,
shadaqah, dan bantuan-bantuan dari masyarakat secara insidentil. Meskipun
pengangkatan pengurusnya disahkan melalui surat keputusan yang dikeluarkan oleh
lembaga pemerintah tersebut. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA