Masjid
Agung Surakarta atau Masjid Agung Solo, pada masa lalu merupakan Masjid Agung
Negara Keraton Surakarta Hadiningrat, segala keperluan masjid disediakan oleh
kerajaan dan masjid juga dipergunakan untuk upacara keagamaan yang
diselenggarakan kerajaan. Semua pegawai pada Masjid Agung merupakan abdi dalem
Keraton, dengan gelar dari keraton misalnya Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu
Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin.
Masjid
Agung dibangun oleh Sunan Paku Buwono III tahun 1763M atau 1689 tahun Jawa dan
selesai pada tahun 1768. Masjid Agung merupakan kompleks bangunan seluas 19.180
meter persegi yang dipisahkan dari lingkungan sekitar dengan tembok pagar
keliling setinggi 3,25 meter. Bangunan Masjid Agung Surakarta secara
keseluruhan berupa bangunan tajug yang beratap tumpang tiga dan berpuncak
mustaka.
Lokasi dan Alamat Masjid Agung Surakarta
Masjid
Agung Surakarta yang terletak di sebelah barat Alun-Alun Utara Keraton Kasunanan Surakarta bersebelahan dengan Pasar Klewer
Surakarta.
Sejarah Masjid Agung Surakarta
Masjid
Agung Surakarta merupakan elemen yang tidak dapat dipisahkan begitu saja dari
proses perkembangan sejarah Islam di Jawa umumnya dan Keratorn Surakarta
Hadiningrat khususnya. Karena seperti kita ketahui bahwa menurut tradisi Islam
suatu pusat pemerintahan harus memiliki unsur-unsur antara lain Keraton sebagai
pusat pemerintahan dan tempat tinggal raja, Masjid sebagai tempat ibadah utama
dan berkumpulnya mukmin, Alun-alun sebagai tempat rakyat bertemu dengan rajanya
dan Pasar sebagai tempat kegiatan ekonomi.
Masjid
Agung Surakarta merupakan salah satu unsur yang masih tegak dan secara fisik
masih dapat dilihat hingga kini. Berdiri megah di sebelah barat alun alun
Surakarta bersebelahan dengan pasar Klewer, Masjid Agung Surakarta mulai
didirikan oleh Raja Surakarta Paku Buwono III (PB III) pada tahun 1785 M bertepatan
dengan 1689 tahun Jawa. Namun menurut Basit Adnan (1996:12) dan Eko Budihardjo
(1989:63) masjid ini didirikan pada tahun 1757 dengan acuan bentuk masjid
Demak, tepat 12 tahun setelah peristiwa dipindahnya Keraton Kasunanan Surakarta
dari Kartasura ke wilayah desa Sala pada masa pemerintahan Sri Susuhunan
Pakubuwana III. (Keraton Surakarta didirikan pada tahun 1745)
Konon
disebutkan bahwa kubah (mustoko) Masjid itu pada zaman dulu dilapisi dengan
emas murni seberat 7,5 kilogram terdiri dari 192 keping uang ringgit emas.
Pemasangan lapisan kubah Masjid itu diprakarsai oleh Sri Susuhunan Paku Buwono
VII tahun 1878M atau 1786 tahun Jawa dengan condro sangkolo “Rasa Ngesti Muji
ing Allah”.
Gerbang Utama Masjid Agung Surakarta |
Namun
kubah emas itu sekarang sudah tidak ada lagi, lapisan emas murni itu tidak
diketahui secara pasti keberadaannya. Konon, kubah berlapis emas itu juga
pernah disambar petir sehingga porak poranda. Sebagian reruntuhannya diambil
orang, lainnya, sebagian lagi tak diketahui dimana rimbanya.
Masjid
Agung Surakarta pernah mengalami pemugaran. Pemugaran pertama kali dilaksanakan
oleh PB IV, kemudian dilakukan penyempurnaan oleh PB VII. Pada tanggal 21
Agustus 1856, dibangun serambi yang maksudnya untuk pertemuan dan pengajian maupun
untuk melakukan peringatan hari-hari besar Islam. Selain itu, PB X juga
mengadakan perbaikan berupa pembuatan menara untuk adzan, memperbaiki gapuro
depan dan tempat wudhu. Gapura masjid ini tadinya berbentuk limasan khas Jawa,
namun dibangun ulang oleh PB X dengan gaya
Persia seperti saat ini.
Biaya
dalam membangun menara masjid mencapai 100.000 gulden pada tahun 1929 lalu.
Tinggi menaranya sekitar 30 meter terbuat dari beton tulang. Untuk penguat
pondasinya dipancangkan batang-batang kayu cemara.Pada masa lalu, sebelum
dipasangi pengeras suara, muazin mengundangkan adzan langsung dari atas menara
tersebut.
Tradisi Sekaten
Di
Masjid Agung Surakarta terdapat dua bangsal untuk menyimpan gamelan yang
dimainkan setiap Sekaten, atau perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW, terutama
pada tanggal 5 sampai 12 Maulud. Setiap kali Sekaten, masyarakat akan
berbondong-bondong ke masjid. Mendengar gamelan Sekaten dimainkan, terutama
zaman dulu, ibarat kegiatan wajib. Apalagi, gamelan itu hanya dimainkan setahun
sekali. Masjid ini juga menjadi pusat penyebaran agama Islam di Surakarta.
Bahkan, Sekaten merupakan bagian dari kegiatan penyebaran agama lewat laku
budaya di Surakarta.
Sejarah
Mudik di Masjid Agung Surakarta
Masjid
dan alun-alun Surakarta ini juga punya sejarah besar berkenaan dengan tradisi
mudik. Konon, dulu, Mangkunegoro I atau Pangeran Sambernyawa yang bergerilya
melawan Belanda, selalu pulang pada saat Idul Fitri untuk shalat Ied di
alun-alun Keraton Surakarta. Setelah itu dia akan sungkem meminta maaf kepada
orang tuanya.
Ciri khas masjid Agung Surakarta |
Kebiasaan
Pangeran Sambernyawa itu kemudian ditiru masyarakat lain yang mengembara,
bahkan kemudian menjadi tradisi hingga kini. Meski begitu, tradisi mudik, kata
almarhum budayawan Umar Kayam, sudah mentradisi di masyarakat petani sejak
zaman Majapahit. Hanya saja, tradisi itu meluntur dan tak terlalu besar,
kemudian menjadi tradisi besar lagi pada masa Pangeran Sambernyawa.
Arsitektural
Masjid Agung Surakarta
Bentuk
bangunan Masjid Agung Surakarta itu memang menyerupai Masjid Agung Demak.
Dengan atap berbentuk atap limasan bersusun. Di dalam ruang sholat utama
berdiri kokoh empat soko guru dan 12 saka rawa. Arsitekturnya mengandung
filsafat Islam. Atap-atap masjidnya sarat dengan makna. Atap pertama (bagian
terbawah) yang lebar, mengandung makna bahwa dalam hidup ini kita harus dapat ngayomi
(melindungi) umat menjalankan perintah agamanya.
Atap
kedua yang agak sempit bermakna bahwa perlindungan terhadap umat pilihan yang
JUMLAHNYA SEDIKIT, artinya sudah menuju jalan kesempurnaan. Sedangkan atap
ketiga yang teratas melambangkan ilmu hakekat, yaitu gambaran bagi umat yang
paling atas tingkatannya yaitu KEKASIH ALLAH atau “mukhibbin”. Mereka ini orang
yang benar-benar “muttaqien” menjauhi larangan dan menjalankan segala perintah
Allah SWT.
Secara
keseluruhan Masjid Agung Surakarta ini terdiri dari beberapa bagian yaitu : Serambi yang mempunyai semacam lorong yang menjorok ke depan
(tratag rambat) yang bagian depannya membentuk kuncung. Pawestren,
(tempat salat untuk wanita) dan Balai Musyawarah, Tempat berwudhu, Pagongan, terdapat di
kiri kanan pintu masuk masjid, bentuk dan ukuran bangunan sama yaitu berbentuk
pendapa yang digunakan untuk tempat gamelan ketika upacara Sekaten (Upacara
Peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW).
Istal dan garasi kereta
untuk raja ketika Salat Jumat dan Gerebeg, diperkirakan dibangun bersamaan
dengan dibangunnya Masjid Agung Surakarta. Gedung PGA Negeri,
didirikan oleh Susuhunan Paku Buwono X (1914) dan menjadi milik kraton. Menara Adzan, mempunyai corak arsitektur menara Kutab Minar
di India. Didirikan pada tahun 1928. Gedang Selirang,
merupakan bangunan yang dipergunakan untuk para abdi dalem yang mengurusi
masjid Agung.
Pagar tinggi
dibangun mengelilingi masjid ini dengan pintu gerbang di depan dan dua pintu
samping kanan dan kiri dibangun pada masa Sunan Paku Buwono VIII tahun 1858.
Bangunan masjid dibuat secara berurut dengan elevasi (pembedaan tinggi) lantai
dan keluasannya yaitu : teras, serambi, ruang utama. Secara umum bentuk yang
muncul adalah wujud arsitektur Jawa. Ruang utama berdenah persegi empat dengan
sisi yang hampir sama dengan 4 (empat ) soko guru berbentuk silinder dilengkapi
12 penanggap. Blandar dibuat secar polos dengan hiasan saton pada plafonnya.
Di
sayap kiri dari ruang utama terdapat pawestren yang dipisah
atau disekat dengan dinding permanen dari batu bata. Sedangkan di sayap kanan
terdapat ruang untuk aktifitas keagamaan yang lain. Pada ruang serambi,
teradapat 40 buah tiang dengan hiasan tradisional putri mirong, dan kaligrafi.
Sedangkan di teras bawah terdapat 20 tiang batu bata yang dibuat dengan bentuk
doric dan kearah depan disambung dengan tratag rambat yang berbentuk kuncung.
Akses hubungan dari masing-masing ruang disediakan tangga antara serambi bawah
dan serambi utama.
Sedangkan
dari serambi utama ke ruang sholat utama terdapat 7 buah pintu. Motif floral
diterapkan pada 3 pintu utama di tengah, 2 bermotif flora dan sisanya 2 pintu
dibuat polos. Secara keseluruhan finishing ruang didominasi dengan warna biru
laut yang diterapkan pada bagian-bagian yang terbuat dari kayu. Seluruh pilar dan
bahan bangunan masjid ini menggunakan kayu jati yang sudah sangat tua dari
hutan Donoloyo (Alas Donoloyo).
Ubin
hias di Masjid Agung Surakarta
Masjid
Agung Surakarta ini dihias dengan cukup indah menggunakan berbadai ragam ubin
hias, jika dihitung, terdapat 20 jenis ragam hias pada bahan ubin yang
digunakan baik di bagian luar dan bagian dalam. Untuk di bagian luar hingga
kini masih terpelihara dengan baik, sedangkan yang bagian dalam sudah
digantikan dengan marmer putih dan disisakan beberapa lembar saja di bagian sudut
tenggara ruang sholat utama. Sebenarnya jenis ragam hias itu juga terdapat di
bangunan-bangunan di dalam keraton atau rumah-rumah saudagar kaya di sekitar
keraton hingga Laweyan. Namun untuk disatukan dalam upaya memperindah
ruang-ruang di masjid, hanya pada masjid inilah kita temukan.
Gapura
Masjid Agung Solo
Bangunan
gapura ini pada awalnya berbentuk limasan, kemudian pada masa pemerintahan Sri
Susuhunan Paku Buwana X diganti dengan bangunan berbentuk arsitektur Persia.
Gapura Gapura masjid Agung Surakarta selesai dibangun pada tanggal 6 Mulud 1831
tahun Je atau 1901 Masehi. Pembangunan gapura ini menghabiskan dana 100.000
gulden. Berukuran panjang ± 25 meter, tinggi ± 10 meter, dengan ketebalan ± 2
meter. Posisinya membujur dari utara ke selatan sejajar dengan tampak depan
masjid.
Gapura
ini menjadi akses utama ke area masjid selain 2 (dua) gapura di sisi selatan
yang merupakan akses dari pasar Klewer dan sisi utara yang merupakan akses dari
kampung Kauman. Gapura ini dihubungkan dengan gapura di sisi utara dan selatan
dengan pagar dinding batu bata setinggi 2,5 meter. Gapura ini juga berfungsi
membatasi area halaman masjid dengan area luar, dimana dapat dilihat dari
adanya 3 (tiga ) akses pintu yang dilengkapi dengan daun pintu berupa teralis
besi.
Fisik
bangunan dibuat dari batu bata yang kokoh dengan finishing cat tembok warna
krem tidak bertekstur. Di atas pintu utama terdapat relief simbol Kraton
Kasunanan Surakarta yang terbuat dari besi, sedangkan di atas dua pintu samping
terdapat kaligrafi bertuliskan do’a masuk dan keluar dari masjid. Pada bagian
atas terdapat jam dinding dengan dikelilingi relief bintang. Sedangkan pada
tiap pilar, puncaknya dibuat dengan bentuk kuluk (topi) dan buah keben
terbalik.
Jam Istiwa’ (Jam Matahari) di Masjid Agung Surakarta
Jam
istiwa' atau jam Matahari dulunya digunakan sebagai penunjuk waktu sholat
berdasarkan bayangan sinar matahari. Jam Istiwa’ Masjid Agung Surakarta berada di
bagian kiri halaman Masjid Agung atau di depan kantor tata usaha masjid.
Kondisi jam yang berusia hampir seratus tahun ini cukup terawat. Dipasang di
atas tembok kokoh dan ditutup dengan kaca bening terbuka sehingga setiap saat
bisa dilihat oleh siapapun. Jam matahari ini dibuat tahun 1926, pada masa
pemerintahan Susuhunan Paku Buwono X, bertepatan dengan ulang tahun raja ke 64 tahun.
Kitab
Kuno Masjid Agung Surakarta
Masjid
Agung Surakarta ini juga memiliki koleksi berharga berupa 67 kitab kuno yang
sudah berumur ratusan tahun yang membutuhkan perhatian lebih untuk
mengkonservasinya dari kerusakan. Di antara koleksi kitab kuno itu yang
bernilai tinggi. Antara lain, Al Quran yang ditulis tangan yang dibuat sekitar
tahun 1800-an, kitab berisi kumpulan hadis, dan kitab Ihya Ulumuddin yang
menggunakan huruf Arab gundul. Kitab-kitab kuno tersebut saat ini disimpan dalm
dalam sebuah lemari kaca yang ditempatkan di ruang perpustakaan masjid.
Ustad Ahmad Al Habsyi menyampaikan tausiah dalam tabligh akbar di Masjid Agung, Solo, Senin (15/8/2011).Kegiatan tersebut diikuti seribuan peserta. |
Beberapa
pihak juga telah menawarkan untuk membeli naskah-naskah kuno tersebut, termasuk
di antaranya warga negara Malaysia yang pernah menawar untuk membelinya dan
dibawa kenegara Malaysia. Tetapi, tawaran tersebut ditolak oleh pengelola
Masjid Agung karena menilai naskah kuno tersebut merupakan koleksi yang sangat
berharga dan tidak boleh keluar dari Indonesia.
Pengelolaan
Masjid Agung Surakarta
Sebagai
bagaian dari aset kerajaan, masjid ini pada awalnya dikelola khusus oleh
pejabat kraton yang bergelar KRTP (Kanjeng Raden Tumenggung Pengulu Tafsiranom
) yang diangkat oleh Raja dan secara struktural berada di bawahnya. Semua
pengelolaan masjid termasuk diantaranya gaji pengelola ditanggung oleh raja.
Hal demikian terjadi karena sebagai wujud dari keberadaan raja yang juga
bergelar Sayidin Panatagama Kalifatullah atau Kalifatullah Pengatur Bidang
Keagamaan (Basit Adnan, 1996:5).
Sampai
saat masa pemerintahan diambil alih oleh pemerintah RI di masa kemerdekaan,
masjid ini masih dikelola oleh KRTP Tafsiranom hingga generasi KRTP Tafsiranom
VI. Baru kemudian sejak tanggal 3 Juli 1962 oleh Menteri Agama ketika itu K.H.
Syaifuddin Zuhri diserahkan pengelolaannya kepada umat Islam sendiri dan
pemerintah hanya sebagai pengawas. Meskipun demikian Keraton Surakarta masih
memiliki pengaruh cukup besar di masjid ini, termasuk dalam pengangkatan Imam
yang ditunjuk langsung oleh Raja sebagaimana dengan penunjukan salah satu imam
masjid agung Solo KRT Tafsir Anom H. Muhammad Dasuki, tahun 1986 silam yang
ditunjuk langsung oleh mendiang Sinuwun PB XII. Gelar KRT Tafsir Anom merupakan
gelar kehormatan yang diberikan langsung oleh mendiang PB XII sebagai gelar
kehormatan kepada beliau selaku imam Masjid Agung Solo sekaligus Imam Masjid
Keraton.
Renovasi
Sejak
tahun 2010 lalu Masjid Agung Surakarta ini sudah ditemukan mengalami kerusakan
di bagian atap dan tiang penyangga, dan harus segera diperbaiki. Dinas Tata
Ruang Kota Surakarta mengucurkan anggaran perbaikan awal sebesar Rp 1 miliar, dan
bantuan dari pemerintah provinsi dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Pengurus
Masjid Agung Surakarta sudah melakukan perbaikan sebagian atap, kayu penyangga
atap, tiang, struktur papan di bawah atap, dan saluran air di bawah atap.
Memang belum mencakup semua. Karena menyesuaikan anggaran yang ada,
Masjid
Agung terakhir kali direnovasi pada 2005-2006. Saat itu memperbaiki bangunan
induk, yang menghabiskan anggaran Rp 4,53 miliar. Renovasi yang dilakukan tahun
2010 adalah tahap kedua. Proses konservasi serambi Masjid Agung Surakarta tahap
I selesai dilaksanakan pada bulan September 2010. konservasi serambi Masjid
Agung Surakarta tahap I meliputi perbaikan tiang dan atap bagian barat. Proyek
dengan kontrak senilai Rp 778.129.000 dari dana hibah APBD Kota Solo ini mulai
dikerjakan pada awal Juli 2010.
Selain
mengalami kerusakan di bagian atap, 40 pilar penyangga (saka rawa) bangunan
serambi Masjid Agung Surakarta juga sempat mengalami pelapukan dan bahkan ada
yang sudah anjlok sampai beberapa sentimeter. Sebagai langkah antisipasi,
pegurus masjid sempat memasang tiang tambahan dari besi pada delapan pilar
penyangga di serambi masjid tersebut.
Kiblat Masjid Agung Solo
Arah kiblat Masjid Agung
Surakarta ini
telah mengalami pergeseran sejak tahun 2010 lalu, setelah dilakukan pengukuran
secara akurat dan mengikuti fatwa dari Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang menyatakan arah kiblat seharusnya mengarah ke barat laut bukan barat
seperti yang terjadi sebelumnya. Sebelumnya arah kiblat masjid ini pernah dilakukan
pengukuran dan telah disertifikasi namun sertifikat tersebut hilang ketika terjadi banjir akhir 2008.
Grebeg
Besar Keraton Surakarta
Grebeg
besar adalah upacara tradisional untuk memperingati Ibadah Haji (Idul Adha).
Acara ini berlangsung di depan Masjid Agung Solo. Puncak perayaan ditandai saat
Hajad Dalem Gunungan dibawa dalam prosesi dari Keraton Surakarta menuju Masjid
Agung.***
foto yg ada keterangan "Awalnya Masjid Agung Surakarta ini dibangun tanpa menara seperti foto kiri bawah. Menara tunggal yang kini berdiri anggun disamping masjid dibangun belakangan oleh raja berikutnya." itu salah, foto yg lama itu foto masjid Kauman Yogya, perbedaan dari model depan atap kuncungannya, juga mustakanya.
BalasHapusalhamdulillah, terimakasih atas masukannya. sudah di perjelas keterangan fotonya. matursuwun.
Hapus