Halaman

Senin, 20 Agustus 2012

Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo, Jawa Tengah

Masjid Agung Darul Muttaqin Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah.

Di sebelah barat alun alun kota Purworejo, Kabupaten Purworejo, propinsi Jawa Tengah berdiri sebuah Masjid Agung yang sangat terkenal sebagai Masjid Agung yang memiliki beduk terbesar di dunia. Keberadaan beduk ini telah menjadi daya pikat tersendiri bagi wisatawan yang datang ke Purworejo. Sebuah beduk berukuran super besar terbuat dari kayu jati utuh yang dilobangi di bagian tengahnya dan beduk ini telah berusia sama tua-nya dengan masjid tempatnya berada.

Masjid Agung Darul Muttaqin dibangun pada masa pemerintahan bupati Purworejo pertama, Kanjeng Adipati Arya Cokronegoro I pada tahun 1834M, empat tahun setelah usai perang Diponegoro (1825-1830). Salah satu masjid tua di tanah Jawa yang masih berdiri kokoh dalam bentuk aslinya hingga hari ini dan menjadi kebanggaan muslim Purworejo.

Lokasi dan Alamat Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo

Masjid Agung Darul Muttaqin
Jalan Mayjend Sutoyo, Kelurahan Sindurjan
Kecamatan Purworejo Purworejo
Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah
Indonesia


Masjid Agung atau Masjid Darul Muttaqim berdiri di atas tanah seluas 8.825 meter persegi. Bangunan utama 21 X 21 meter, sayap kiri kanan 6 X 21 meter, serambi 25 X 21 meter.  Masjid Agung Darul Muttaqin dibangun dengan arsitektur Jawa berbentuk Tanjung Lawakan Lambang Teplok (mirip Masjid Agung yang terdapat pada Kraton Solo),  Atap Masjid Agung tumpang tiga. Tumpang tiga. Atap pertama disebut sebagai panilih yang mengandung arti syariah. Atap kedua disebut penangkup yang mengandung makna thoriqoh. Atap ketiga, brunjung yang maknanya hakekat. Sedang mahkota masjid mengandung arti ma’rifat.

Di dalam masjid terdapat papan dengan tulisan Jawa dan Arab. Arti tulisan tersebut jika dibaca : “RAA Cokronagoro Ping I Mas Pateh Cokrojoyo Purworejo : 1762”. Tulisan tersebut dapat dibaca oleh setiap orang yang masuk ke dalam masjid melalui serambi depan. Bangunan induk sudah menggunakan atap genteng pres. Di atas atap terdapat mustaka yang terbuat dari perunggu dengan hiasan daun kandhaka hutan.

Masjid Agung Darul Muttaqien dibangun dengan arsitektur Jawa berbentuk Tanjung Lawakan Lambang Teplok (mirip Masjid Agung Kraton Solo). Tiang utama masjid dibuat dari kayu Jati Bang (bercabang 5) yang sudah berumur ratusan tahun dan berdiameter lebih dari 200 cm, serta tinggi mencapai puluhan meter.

Masing-masing bagian bawah atap tumpang terdapat boven panil kaca es yang berfungsi sebagai pencahayaan. Atap ditopang oleh empat soko guru dan 12 soko rowo persegi yang dihubungkan dengan balok gantung rangkap dari kayu Jati Bang (hanya bercabang 5) dengan umur ratusan tahun. Soko guru di cat warna hijau dengan hiasan gometris lis kuning dan berdiri di atas umpak. Keempat  umpak mempunyai ukuran yang berbeda. Soko rowo terbuat dari batu bata dan bagian bawah dilapisi keramik warna hijau.

Sejarah Masjid Agung Darul Muttaqin Kabupaten Purworejo

Masjid Agung Darul Muttaqin Kabupaten Purworejo menempati tanah wakaf keluarga Cokronegaran seluas 8.825 meter persegi. Paska Perang Diponegoro (1825 – 1830), Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu mengangkat pemimpin dari kalangan pribumi untuk memerintah wilayah Tanah Bagelen (Purworejo sekarang). Sebagai Bupati pertama kemudian diangkat Kanjeng Raden Adipati Arya Cokronagoro I dan jabatan pepatih (pembantu Bupati) dipercayakan kepada Raden Cokrojoyo.

Perbedaan paling menyolok antara bangunan lama dan bangunan baru Masjid Agung Kabupaten Purworejo ini adalah bangunan menara betonnya itu. tradisi asli masjid Jawa dan masjid tradisional Indonesia tidak dilengkapi dengan menara, bangunan menara di masjid ini dibangun belakangan.

Pada masa pemerintahan Bupati Cokronegoro I ini mulai dibangun beberapa gedung pusat pemerintahan yang berpusat disekitar alun alun Purworejo seluas 6 hektar, terutama untuk memperlancar kegiatan-kegiatan pemerintahan. Di sebelah utara alun-alun didirikan Gedung Kabupaten beserta Pendopo Agengnya untuk tempat bersidang. Gedung yang terdiri dari dua buah bangunan ini disebut paseban, yaitu tempat para abdi Kabupaten, Lurah dan rakyat menunggu panggilan menghadap ke Kabupaten. Bupati Cokronegoro I juga memerintahkan pembangunan Masjid Agung Kabupaten Purworejo sebagai tempat beribadah. Berdasarkan Prasasti yang ditempelkan di atas pintu utamanya, Masjid Agung Darul Muttaqin selesai di bangun pada hari Ahad tanggal 2 bulan Besar Tahun Alip 1762 Jawa atau bertepatan dengan tanggal 16 April 1834 Masehi.

Ada beberapa alasan mengapa letak bangunan masjid ini berada di kota Purworejo. Salah satu alasannya bahwa Kota Purworejo terletak di daerah yang dikelilingi oleh perbukitan, yaitu bukit Menoreh di sebelah timur, bukit Geger Menjangan di sebelah utara, dan Gunung Pupur di sebelah Barat. Alasan lainnya bahwa Kota Purworejo berada diantara dua aliran sungai, yaitu Kali Bogowonto dan Kali Jali dengan latar belakang Gunung Sumbing.

Fitur utama interior masjid masjid kita yang tidak dimiliki masjid masjid di negara lain adalah sokoguru d itengah masjid yang kadang juga dilengkapi dengan soko rowo (tiang tambahan). Di Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo ini sokoguru nya dibuat dari batang jati utuh bercabang lima yang sudah berumur ratusan tahun dan masih utuh dan kokoh hingga kini meski sudah berumur lebih dari se abad.

Dalam ilmu kalang (Kawruh Kalang) yaitu ilmu kejawen yang mempelajari pengetahuan masalah perencanaan dan pembuatan bangunan jawa, letak tanah pada keadaan demikian disebut "Tanah Sungsang Buwana" atau "Kawula Katubing Kala". Orang-orang Tanah Bagelen ketika itu percaya bahwa apabila sebuah bangunan didirikan pada letak Tanah Sungsang Buwana, maka orang-orang yang mendiami atau menggunakannya akan disegani dan dicintai oleh banyak orang atau menjadi kepercayaan para pembesar.

Masjid Agung dengan Bedug Terbesar di Dunia

Bedug awalnya bukanlah tradisi Islam, aksesoris masjid satu ini merupakan warisan dari kebudayaan Indonesia sebelum Islam yang kemudian di adopsi kedalam budaya Islam Melayu karena faktor fungsional serta adat istiadat yang sudah berurat berakar dalam masyarakat kita waktu itu hingga menjadi budaya Islam melayu yang tak terpisahkan dari bangunan masjid seantero muslim di tanah Melayu lintas negara.

Mimbar di Masjid Agung Darul Muttaqin ini cukup unik dengan ukiran khas Jawa namun dalam bentuknya yang sangat khas. Mihrabnya tak terlalu besar, sementara imam tidak menempati mihrab dalam sholat harian, tapi di tempat yang telah disediakan sedikit di depan mihrab sejajar denga mimbar.

Di Masjid Agung Darrul Muttaqin Purworejo ini memiliki koleksi yang tak biasa berupa sebuah beduk yang disebut sebut sebagai beduk dengan ukuran terbesar di dunia. Beduk tersebut bernama beduk Pandawa atau Pendowo atau Beduk Kyai Bagelen. Tak hanya memiliki ukuran sebagai beduk terbesar di dunia, namun beduk ini juga memiliki sebuah perjalanan sejarah yang cukup panjang. Beduk Pendowo dibuat tahun 1762 tahun Jawa bertepatan dengan tahun 1834M bersamaan dengan pembangunan masjid Agung Darul Muttaqin. Tabung beduknya dibuat dari bahan kayu jati termasuk 120 paku keling pada sisi depan dan 98 paku keling sisi belakang juga terbuat dari bahan kayu jati.

Beduk Pandawa bergaris tengah 194cm atau hampir dua meter pada sisi depan sedangkan pada sisi belakang bergaris tengah 180 cm. bila bahan tabung dibuat dari kayu jati sepanjang 292cm, kulit yang dipakainya sendiri menggunakan kulit banteng. Kulit beduk ini bergaris tengah 220cm. kulit beduk pada bagian belakang sempat mengalami kerusakan ditahun 1936 dan kemudian diganti pada tanggal 3 Mei 1936 dengan bahan kulit sapi benggala. Kulit bagian belakang ini tercatat sudah tiga kali mengalami penggantian karena kerusakan yang di alaminya.

Bedug Bagelen atau Beduk Pandowo/Pandawa ::: inilah daya tarik utama para wisatawan di Masjid Agung Darul Muttaqin Kabupaten Purworejo, sebuah beduk super besar dengan panjang lebih dari dua meter. kulit bagian depannya dari kulit banteng, kulit bagian belakangnya dari kulit sapi Benggala. Di dalam beduk dilengkapi dengan sebuah gong untuk menambah nyaring bunyi beduk.

Pembuatan beduk dengan ukuran super besar ini ditangai oleh Wedana Desa Bragolan, Raden Tumenggung Prawironegoro yang merupakan adik dari Bupati Cokronegoro I, bersama dengan Raden Patih Cokrojoyo (pepatih/pembantu Bupati) atas perintah langsung dari Bupati Cokronegoro I. Tabung Beduk dibuat dari pangkal pohon Jati dari Dukuh (Dusun) Pendowo, Desa Bragolan, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo yang telah berusia ratusan tahun dengan ukuran besar dan bercabang lima. Dalam ilmu kejawen, pohon jati besar bercabang lima yang disebut Pendowo mengandung sifat perkasa dan berwibawa. Pangkal pohon jati itu yang kemudian dilobangi bagian tengahnya dari ujung ke ujung dan menjadi tabung bagi beduk Pendowo. Kawasan tempat pohon jati yang digunakan untuk bedug Bagelen tersebut kini sudah berubah menjadi kompleks Puskesmas “Jati” / Puskesmas Bragolan.

Pembuatan beduk ini dilakuan langsung di Dukuh (Dusun) Pendowo yang berjarak sekitar 9 kilometer dari kota Purworejo dengan kondisi jalan saat itu sangat sukar untuk dilalui. Untuk mengatasi persoalan itu, atas usul Raden Tumenggung Prawironegoro, kemudian Bupati Cokronegoro I mengangkat Kyai Haji Muhammad Irsyad yang menjabat sebagai Kaum (Lebai/Naib) di desa Solotiyang, Kecamatan Loano untuk mengepalai proyek pemindahan Bedug Kyai Bagelan. Atas kepemimpinan sang Kyai, beduk tersebut diangkat secara beramai-ramai diiringi bunyi gamelan lengkap dengan penari tayub yang telah menanti di setiap pos perhentian.

Bedug Bagelen memang cukup besar, bahkan mampu dimasuki oleh orang dewasa (takmir masjid) yang sedang memperbaiki kulit bagian belakang beduk ini sekaligus memeriksa kondisi gong di dalam beduk ini.

Kini, Beduk kyai Bagelen diletakkan di sebelah dalam serambi Masjid. Bila ingin mendengar suaranya, datanglah pada saat Ashar, Maghrib, Isya, Subuh dan menjelang shalat Jum'at ke Masjid Agung Darul Muttaqin Kabupaten Purworejo. Di samping itu, pada setiap saat menjelang sholat Sunat Idul Fitri dan Idul Adha, acara-acara atau peristiwa-peristiwa keagamaan Islam dan memperingati detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Bedug Kyai bagelen ini selalu ditabuh untuk memberi tanda dan penghormatan.

Kiblat Masjid Agung Purworejo Meleset

Berdasarkan hasil penghitungan detil oleh Tim Hisab Rukyat dan Sertifikasi Arah Kiblat Provinsi Jawa Tengah, arah kiblat Masjid Agung yang selama ini digunakan untuk sholat meleset tiga derajat. Secara detil, kiblat yang ada terlalu condong ke utara 19 menit, 4,01 detik. Penghitungan dilakukan sekitar pukul 14.00 tanggal 25 Agustus 2009 di halaman dan serambi masjid. Wakil Ketua Tim Hisab Rukhiyat dan Sertifikasi Arah Kiblat Provinsi Jateng Slamet Hambali menjelaskan, posisi arah kiblat yang berlaku di Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo sebelumnya pada arah Barat ke Utara 28 derajat, lima menit, 47,73 detik. Seharusnya arah kiblat sedikit ke selatan tiga derajat, 19 menit, 4,01 detik dari arah kiblat yang ada.

Penghitungan secara detil dengan metode astronomi menggabungkan cara menghitung arah kiblat, posisi matahari, dan pemanfaatan GPS (Global Position System) untuk menentukan bujur lintang yang akurat, disimpulkan, arah kiblat yang sebenarnya dari titik barat ke utara 24 derajat, 46 menit, 47,777 detik.  Ketua Taqmir Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo Najib Safrudin mengungkapkan, arah kiblat terakhir kali dihitung pada Juni 2009 Setelah dihitung kembali oleh Tim Hisab Rukhiyat dan Sertifikasi Arah Kiblat Provinsi Jateng dan diketahui meleset, secepatnya arah kiblat diperbaiki. Dengan mengganti garis-garis cat yang sudah ada.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA