Masjid Agung Darul Muttaqin Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. |
Di
sebelah barat alun alun kota Purworejo, Kabupaten Purworejo, propinsi Jawa
Tengah berdiri sebuah Masjid Agung yang sangat terkenal sebagai Masjid Agung
yang memiliki beduk terbesar di dunia. Keberadaan beduk ini telah menjadi daya
pikat tersendiri bagi wisatawan yang datang ke Purworejo. Sebuah beduk
berukuran super besar terbuat dari kayu jati utuh yang dilobangi di bagian
tengahnya dan beduk ini telah berusia sama tua-nya dengan masjid tempatnya berada.
Masjid
Agung Darul Muttaqin dibangun pada masa pemerintahan bupati Purworejo pertama,
Kanjeng Adipati Arya Cokronegoro I pada tahun 1834M, empat tahun setelah usai
perang Diponegoro (1825-1830). Salah satu masjid tua di tanah Jawa yang masih
berdiri kokoh dalam bentuk aslinya hingga hari ini dan menjadi kebanggaan
muslim Purworejo.
Lokasi
dan Alamat Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo
Masjid Agung Darul Muttaqin
Jalan
Mayjend Sutoyo, Kelurahan Sindurjan
Kecamatan
Purworejo Purworejo
Kabupaten Purworejo, Propinsi Jawa Tengah
Indonesia
Masjid
Agung atau Masjid Darul Muttaqim berdiri di atas tanah seluas 8.825 meter
persegi. Bangunan utama 21 X 21 meter, sayap kiri kanan 6 X 21 meter, serambi
25 X 21 meter. Masjid Agung Darul
Muttaqin dibangun dengan arsitektur Jawa berbentuk Tanjung Lawakan Lambang
Teplok (mirip Masjid Agung yang terdapat pada Kraton Solo), Atap Masjid Agung tumpang tiga. Tumpang tiga. Atap
pertama disebut sebagai panilih yang mengandung arti syariah. Atap kedua
disebut penangkup yang mengandung makna thoriqoh. Atap ketiga, brunjung yang
maknanya hakekat. Sedang mahkota masjid mengandung arti ma’rifat.
Di
dalam masjid terdapat papan dengan tulisan Jawa dan Arab. Arti tulisan tersebut
jika dibaca : “RAA Cokronagoro Ping I Mas Pateh Cokrojoyo Purworejo : 1762”.
Tulisan tersebut dapat dibaca oleh setiap orang yang masuk ke dalam masjid
melalui serambi depan. Bangunan induk sudah menggunakan atap genteng pres. Di
atas atap terdapat mustaka yang terbuat dari perunggu dengan hiasan daun
kandhaka hutan.
Masing-masing
bagian bawah atap tumpang terdapat boven panil kaca es yang berfungsi sebagai
pencahayaan. Atap ditopang oleh empat soko guru dan 12 soko rowo persegi yang
dihubungkan dengan balok gantung rangkap dari kayu Jati Bang (hanya bercabang
5) dengan umur ratusan tahun. Soko guru di cat warna hijau dengan hiasan
gometris lis kuning dan berdiri di atas umpak. Keempat umpak mempunyai ukuran yang berbeda. Soko
rowo terbuat dari batu bata dan bagian bawah dilapisi keramik warna hijau.
Sejarah
Masjid Agung Darul Muttaqin Kabupaten Purworejo
Masjid
Agung Darul Muttaqin Kabupaten Purworejo menempati tanah wakaf keluarga
Cokronegaran seluas 8.825 meter persegi. Paska Perang Diponegoro (1825 – 1830),
Pemerintah Hindia Belanda merasa perlu mengangkat pemimpin dari kalangan
pribumi untuk memerintah wilayah Tanah Bagelen (Purworejo sekarang). Sebagai
Bupati pertama kemudian diangkat Kanjeng Raden Adipati
Arya Cokronagoro I dan jabatan pepatih (pembantu Bupati) dipercayakan
kepada Raden Cokrojoyo.
Pada
masa pemerintahan Bupati Cokronegoro I ini mulai dibangun beberapa gedung pusat
pemerintahan yang berpusat disekitar alun alun Purworejo seluas 6 hektar, terutama
untuk memperlancar kegiatan-kegiatan pemerintahan. Di sebelah utara alun-alun
didirikan Gedung Kabupaten beserta Pendopo Agengnya untuk tempat bersidang.
Gedung yang terdiri dari dua buah bangunan ini disebut paseban, yaitu tempat
para abdi Kabupaten, Lurah dan rakyat menunggu panggilan menghadap ke
Kabupaten. Bupati Cokronegoro I juga memerintahkan pembangunan Masjid Agung
Kabupaten Purworejo sebagai tempat beribadah. Berdasarkan Prasasti yang
ditempelkan di atas pintu utamanya, Masjid Agung Darul Muttaqin selesai di
bangun pada hari Ahad tanggal 2 bulan Besar Tahun Alip 1762 Jawa atau
bertepatan dengan tanggal 16 April 1834 Masehi.
Ada
beberapa alasan mengapa letak bangunan masjid ini berada di kota Purworejo.
Salah satu alasannya bahwa Kota Purworejo terletak di daerah yang dikelilingi
oleh perbukitan, yaitu bukit Menoreh di sebelah timur, bukit Geger Menjangan di
sebelah utara, dan Gunung Pupur di sebelah Barat. Alasan lainnya bahwa Kota
Purworejo berada diantara dua aliran sungai, yaitu Kali Bogowonto dan Kali Jali
dengan latar belakang Gunung Sumbing.
Dalam
ilmu kalang (Kawruh Kalang) yaitu ilmu kejawen yang mempelajari pengetahuan
masalah perencanaan dan pembuatan bangunan jawa, letak tanah pada keadaan
demikian disebut "Tanah Sungsang Buwana" atau "Kawula Katubing
Kala". Orang-orang Tanah Bagelen ketika itu percaya bahwa apabila sebuah
bangunan didirikan pada letak Tanah Sungsang Buwana, maka orang-orang yang
mendiami atau menggunakannya akan disegani dan dicintai oleh banyak orang atau
menjadi kepercayaan para pembesar.
Masjid
Agung dengan Bedug Terbesar di Dunia
Bedug
awalnya bukanlah tradisi Islam, aksesoris masjid satu ini merupakan warisan
dari kebudayaan Indonesia sebelum Islam yang kemudian di adopsi kedalam budaya
Islam Melayu karena faktor fungsional serta adat istiadat yang sudah berurat
berakar dalam masyarakat kita waktu itu hingga menjadi budaya Islam melayu yang
tak terpisahkan dari bangunan masjid seantero muslim di tanah Melayu lintas
negara.
Di
Masjid Agung Darrul Muttaqin Purworejo ini memiliki koleksi yang tak biasa
berupa sebuah beduk yang disebut sebut sebagai beduk dengan ukuran terbesar di
dunia. Beduk tersebut bernama beduk Pandawa atau Pendowo atau Beduk Kyai
Bagelen. Tak hanya memiliki ukuran sebagai beduk terbesar di dunia, namun beduk
ini juga memiliki sebuah perjalanan sejarah yang cukup panjang. Beduk Pendowo
dibuat tahun 1762 tahun Jawa bertepatan dengan tahun 1834M bersamaan dengan
pembangunan masjid Agung Darul Muttaqin. Tabung beduknya dibuat dari bahan kayu
jati termasuk 120 paku keling pada sisi depan dan 98 paku keling sisi belakang
juga terbuat dari bahan kayu jati.
Beduk
Pandawa bergaris tengah 194cm atau hampir dua meter pada sisi depan sedangkan
pada sisi belakang bergaris tengah 180 cm. bila bahan tabung dibuat dari kayu
jati sepanjang 292cm, kulit yang dipakainya sendiri menggunakan kulit banteng.
Kulit beduk ini bergaris tengah 220cm. kulit beduk pada bagian belakang sempat
mengalami kerusakan ditahun 1936 dan kemudian diganti pada tanggal 3 Mei 1936 dengan
bahan kulit sapi benggala. Kulit bagian belakang ini tercatat sudah tiga kali
mengalami penggantian karena kerusakan yang di alaminya.
Pembuatan
beduk dengan ukuran super besar ini ditangai oleh Wedana Desa Bragolan, Raden Tumenggung
Prawironegoro yang merupakan adik dari Bupati Cokronegoro I, bersama dengan
Raden Patih Cokrojoyo (pepatih/pembantu Bupati) atas perintah langsung dari
Bupati Cokronegoro I. Tabung Beduk dibuat dari pangkal pohon Jati dari Dukuh (Dusun)
Pendowo, Desa Bragolan, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo yang telah
berusia ratusan tahun dengan ukuran besar dan bercabang lima. Dalam ilmu
kejawen, pohon jati besar bercabang lima yang disebut Pendowo mengandung sifat
perkasa dan berwibawa. Pangkal pohon jati itu yang kemudian dilobangi bagian
tengahnya dari ujung ke ujung dan menjadi tabung bagi beduk Pendowo. Kawasan
tempat pohon jati yang digunakan untuk bedug Bagelen tersebut kini sudah
berubah menjadi kompleks Puskesmas “Jati” / Puskesmas Bragolan.
Pembuatan
beduk ini dilakuan langsung di Dukuh (Dusun) Pendowo yang berjarak sekitar 9
kilometer dari kota Purworejo dengan kondisi jalan saat itu sangat sukar untuk
dilalui. Untuk mengatasi persoalan itu, atas usul Raden Tumenggung
Prawironegoro, kemudian Bupati Cokronegoro I mengangkat Kyai Haji Muhammad
Irsyad yang menjabat sebagai Kaum (Lebai/Naib) di desa Solotiyang, Kecamatan
Loano untuk mengepalai proyek pemindahan Bedug Kyai Bagelan. Atas kepemimpinan
sang Kyai, beduk tersebut diangkat secara beramai-ramai diiringi bunyi gamelan
lengkap dengan penari tayub yang telah menanti di setiap pos perhentian.
Bedug Bagelen memang cukup besar, bahkan mampu dimasuki oleh orang dewasa (takmir masjid) yang sedang memperbaiki kulit bagian belakang beduk ini sekaligus memeriksa kondisi gong di dalam beduk ini. |
Kini,
Beduk kyai Bagelen diletakkan di sebelah dalam serambi Masjid. Bila ingin
mendengar suaranya, datanglah pada saat Ashar, Maghrib, Isya, Subuh dan
menjelang shalat Jum'at ke Masjid Agung Darul Muttaqin Kabupaten Purworejo. Di
samping itu, pada setiap saat menjelang sholat Sunat Idul Fitri dan Idul Adha,
acara-acara atau peristiwa-peristiwa keagamaan Islam dan memperingati
detik-detik Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Bedug Kyai bagelen ini
selalu ditabuh untuk memberi tanda dan penghormatan.
Kiblat
Masjid Agung Purworejo Meleset
Berdasarkan
hasil penghitungan detil oleh Tim Hisab Rukyat dan Sertifikasi Arah Kiblat
Provinsi Jawa Tengah, arah kiblat Masjid Agung yang selama ini digunakan untuk
sholat meleset tiga derajat. Secara detil, kiblat yang ada terlalu condong ke
utara 19 menit, 4,01 detik. Penghitungan dilakukan sekitar pukul 14.00 tanggal 25
Agustus 2009 di halaman dan serambi masjid. Wakil Ketua Tim Hisab Rukhiyat dan
Sertifikasi Arah Kiblat Provinsi Jateng Slamet Hambali menjelaskan, posisi arah
kiblat yang berlaku di Masjid Agung Darul Muttaqin Purworejo sebelumnya pada
arah Barat ke Utara 28 derajat, lima menit, 47,73 detik. Seharusnya arah kiblat
sedikit ke selatan tiga derajat, 19 menit, 4,01 detik dari arah kiblat yang
ada.
Penghitungan
secara detil dengan metode astronomi menggabungkan cara menghitung arah kiblat,
posisi matahari, dan pemanfaatan GPS (Global Position System) untuk menentukan
bujur lintang yang akurat, disimpulkan, arah kiblat yang sebenarnya dari titik
barat ke utara 24 derajat, 46 menit, 47,777 detik. Ketua Taqmir Masjid Agung Darul Muttaqin
Purworejo Najib Safrudin mengungkapkan, arah kiblat terakhir kali dihitung pada
Juni 2009 Setelah dihitung kembali oleh Tim Hisab Rukhiyat dan Sertifikasi Arah
Kiblat Provinsi Jateng dan diketahui meleset, secepatnya arah kiblat
diperbaiki. Dengan mengganti garis-garis cat yang sudah ada.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA