Halaman

Kamis, 10 Mei 2012

Masjid Jami’ Muntok, Masjid Tertua di Pulau Bangka


Masjid Jami' Muntok, Tertua di Pulau Bangka.)

Bila berkunjung ke Pulau Bangka di propinsi Bangka-Belitung, sempatkan berkunjung ke kota Muntok ibukota kabupaten Bangka Barat. Di kota ini keukuranan beragama tidak sekedar basa basi atau retorika politik, tapi telah berwujud nyata dalam kehidupan sehari hari sejak lebih dari seratus tahun lalu. Adalah Masjid Jami’ Muntok menjadi salah satu bukti nyata wujud kerukunan hidup beragama di pulau timah ini. Masjid Jami’ Muntok dibangun bersebelahan dengan Kelenteng Kung Fuk Min di Kampung Tanjung, Kecamatan Muntok, tidak jauh dari pelabuhan lama kota Muntok. Masjid Jami’ Muntok disebut sebut sebagai masjid tertua di Pulau Bangka dan masih eksis hingga kini.

Bangunan Masjid Jami Muntok ini berdiri sejak tahun 1879M, atas inisiatif Tumenggung Kartanegara II (Abang M. Ali) sebagai wakil Kesultanan Palembang, dibantu tokoh dan masyarakat setempat termasuk tokoh masyarakat Thionghoa kaya yang sudah masuk Islam dan Mayor Chung A Thiam. Masjid ini berdiri di atas lahan wakaf dari dari Tumenggung Arifin dan H. Muhammad Nur seluas 7.500 M2. Dan lokasinya persis bersebelahan dengan Kelenteng Kung Fuk Min. kedua bangunan bersejarah ini kini dirawat dan masih menjalakan fungsinya dengan baik.

Alamat dan Lokasi Masjid Jami’ Muntok

Masjid Jami’ Muntok
Jl. Imam Bonjol No. 1 Kampung Tanjung,
Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat
Propinsi Bangka-Belitung – Indonesia


Masjid Jami Muntok dan Kelenteng Kung Fuk Min di Kampung Tanjung, Kecamatan Muntok ini lokasinya tidakk seberapa jauh dari pelabuhan lama Kota Muntok. Kota Muntok sendiri dapat di capai dari kota Palembang dengan kapal cepat dengan waktu tempuh sekitar 2 jam, melewati sungai musi lalu menyeberangi selat Bangka. Atau 2 jam berkendaraan darat dari Kota pangkal Pinang, ibukota propinsi Bangka-Blitung.

Sejarah Masjid Jami’ Muntok

Sekitar tahun 1724-1725 M, Sultan Mahmud Badaruddin I memerintahkan kepada istrinya Mas Ayu Ratu dan para petinggi Kesultanan untuk berangkat dan melihat serta memastikan lokasi yang yang akan dipilih untuk tempat tinggal keluarga dari Siantan. Setelah itu Sultan pun memerintahkan kepada Wan Akub serta keluarga dari Siantan untuk mendirikan tempat tinggal di daerah tersebut.

simbol kerukunan bergama, masjid Jami’ Muntok bersebelahan dengan kelenteng.

Pada perkembangan berikutnya, setelah terbentuk komunitas kecil di daerah itu, maka disebutlah daerah itu dengan nama “Muntok” , sedangkan Tanjung yang pertama kali dilihat dan ditunjuk oleh Mas Ayu Ratu diberi nama Tanjung Kelihatan yang selanjutnya lazim disebut “Tanjung Kelian”. Kemudian diangkatlah Wan Akub sebagai Kepala Pemerintahan di daerah yang baru dibuka itu. Atas perintah Sultan, maka untuk tahap pertama dibangun 7 (tujuh) Bubung Rumah di daerah tersebut (Muntok). Setelah pembangunannya selesai, Wan Akub diangkat menjadi Kepala Urusan Penambangan Timah yang berkedudukan di Muntok dengan gelar Datuk Rangga Setia Agama.

Setelah Sultan Mahmud Badaruddin I wafat (tahun 1756), maka Kesultanan Palembang digantikan oleh Ahmad Najamuddin, sedangkan keadaan di Muntok pada saat itu juga sedang berkabung karena Menteri Rangga dan Wan Muhammad juga wafat. Menyikapi keadaan yang demikian, maka Sultan Palembang yang baru (Ahmad Najamuddin) mengangkat petugas kerajaan setingkat Tumenggung untuk menjadi Kepala Pemerintahan di Muntok sekaligus menjadi kepala pemerintahan Pulau Bangka. Pada waktu itu yang diangkat menjadi tumenggung adalah Abang Pahang yaitu salah seorang keturunan Wan Abdul Hayat yang selanjutnya oleh Sultan Palembang diberi gelar Tumenggung Dita Menggala (Tumenggung I Muntok).

tampak depan Masjid Jami' Muntok menjelang magrib tiba.

Pada Masa Penjajahan Belanda untuk kepentingan sistem navigasi pelayaran yang memasuki perairan Selat Bangka, pada tahun 1862 Belanda membangun sebuah mercusuar di Tanjung Kelian, dengan mempekerjakan arsitek Inggris. Pada saat Belanda menduduki Muntok, maka perkembangan Muntok sebagai Pusat kota tampak begitu jelas, terutama ditandai dengan berdirinya beberapa bangunan penting.

Diantaranya adalah; Eks Kantor Penambangan Timah Bangka di Muntok Pada Masa Penjajahan Belanda BTW (Banka Tin Winning) yang dibangun pada tahun 1915, Eks Rumah Residen Belanda Untuk Pulau Bangka Di Muntok Yang Dibangun Pada Tahun 1850 an, Seiring dengan makin ramainya aktivitas di pelabuhan Muntok dengan arus pendatang yang hilir mudik atau pulang pergi, maka pada tahun 1860 Belanda mendirikan satu fasilitas lagi berupa dermaga atau jembatan panjang ke arah laut yang disebut Ujung Brug. Layaknya sebuah dermaga pada umumnya, jembatan Ujung Brug pun dimaksudkan untuk menaikkan dan menurunkan penumpang di Muntok sekaligus juga dimaksudkan agar memudahkan kapal-kapal besar Belanda untuk merapat di Muntok.

Masjid Jami Muntok dari arah klenteng-
Kuang Fuk miay 
Serta dibangunnya Masjid Jami’ Muntok pada tahun 1879M (19 Muharam 1300H) yang kini menjadi kebanggaan ummat Islam pada masa itu hingga masa sekarang. Masjid Jami itu merupakan masjid tertua di Pulau Bangka. Pembangunan masjid tersebut dilakukan pada masa pemerintahan H. Abang Muhammad Ali dengan Gelar Tumenggung Karta Negara II dengan dibantu oleh tokoh masyarakat Muntok pada saat itu yaitu H. Nuh dan H. Yakub termasuk orang-orang Cina Kaya yang sebagian telah masuk Islam dan Mayor Chung A Thiam.

Masjid Jami’ Muntok ini dibangun disebelah kelengteng Kuang Fuk Miay yang sudah berdiri 83 tahun lebih dulu sebelum Masjid dibangun, Kelenteng Kuang Fuk Miay dibangun oleh orang-orang Cina dari suku Kuantang dan Fu kien yan telah lama menetap di Muntok sejak 1820. Kelenteng ini merupakan kelenteng Cina pertama di mentok dari Mayor A Tiom. Kompleks Kelenteng terdiri dari 3 buah bangunan dengan bangunan utama berada di tengah. Bangunan utama memiliki atap berbentuk pelana (saddleback-roof). Komponen lain dari bangunan adalah gapura utama, pagar keliling, halaman, pagoda dan arca Singa. Kelenteng ini pernah direnovasi pada Februari 1977.

lampion lampion menghias kelenteng Kuang Fuk Miay disebelah Masjid Jami Muntok.

Dalam buku Sejarah Masjid Jamik Muntok yang ditulis Raden Affan, tokoh masyarakat di Muntok, disebutkan, masjid yang usianya lebih dari satu abad itu dibangun secara bergotong royong. Demi mendirikan masjid, penduduk Muntok dan sekitarnya bekerja sukarela tanpa diupah. Dana untuk membangun masjid dikumpulkan bersama. Para hartawan di Muntok menyumbang uang atau bahan bangunan untuk keperluan masjid. Mereka mendatangkan ahli bangunan dari berbagai daerah di Bangka dan Belitung, juga memesan bahan baku berkualitas dari Jakarta, seperti genteng, batu bata, batu marmer, dan batu pualam.

Pendirian rumah ibadah pada masa itu tidak hanya melibatkan masyarakat Melayu yang beragama Islam. Zhong A Tiam, seorang mayor China yang bertugas mengurus warga China perantauan di Muntok, ikut memperkokoh bangunan masjid. Dengan harta pribadinya, sang mayor menyumbang empat tiang utama penyokong bangunan masjid. Tiang itu terbuat dari kayu bulin yang konon lebih kuat daripada kayu jati. Meski A Tiam beragama Konghucu, ia ikut membantu lancarnya pelaksanaan ibadah di masjid. Untuk keperluan beribadah pada malam hari, sang mayor menyuruh orang untuk mengantarkan minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar penerangan di masjid yang selesai dibangun dalam kurun waktu dua tahun itu, yaitu pada tahun 1887.

dilindungi Undang undang, Masjid Jami Muntok kini masuk dalam daftar bangunan cagar budaya yang harus dilindungi 

Keberadaan Masjid Jami ini juga sangat berperan dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia lebih-lebih dalam periode mempertahankan kemerdekaan Inodonesia. Versi cerita sesepuh masjid banyak terdapat bekas senjata yang dipakai oleh pejuang untuk melawan penjajah. Para pejuangan kemerdekaan seperti Bung Karno dan Bung Hatta sering datang ke Masjid Jami Muntok yang sejak dulu dikenal sebagai bangunan termegah di Muntok dan membaur dengan masyarakat Muntok.

Arsitektural Masjid Jami Muntok

Masjid Jami Muntok dibangun menyerupai masjid Sultan di Palembang, karena memang Pulau Bangka dan Belitung kala itu masuk dalam wilayah kekuasaan kesultanan Palembang. Di era kemerdekaan pun dua pulau penghasil timah ini masuk ke dalam wilayah propinsi Sumatera Selatan yang berpusat di kota Palembang, sebelum kemudian menjadi propinsi mandiri terpisah dari propinsi Sumatera Selatan.

Mimbar dan Mihrab di Masjid Jami Muntok
Masjid dengan atap limas ganda seperti kebanyakan masjid masjid tanah air lainnya. Pembeda utama bentuk atap masjid tradisional Jawa dengan masjid tradisional Palembang dapat di lihat pada bentuk ujung atapnya yang tidak rata. Masjid masjid dengan sentuhan Palembang dibuat sedikit melengkung dan di bagian ujung atapnya ditambahkan ornamen ornamen kecil yang di adopsi dari bentuk ujung atap bangunan kelenteng. Masjid Jami’ Muntok yang dibangun disebelah kelenteng ini akan benar benar tampak seperti bagian dari Kelenteng disebelahnya seandainya saja warna yang digunakan juga warna merah seperti kelenteng disebelahnya.

Pengaruh budaya eropa terlihat pada penggunaan pilar pilar beton bundar pada masjid ini. ada 6 buah pilar beton bundar di bagian depan masjid terlihat langsung dari luar. Dan 4 pilar beton bundar lainnya berada di dalam masjid. Masjid Jami’ Muntok dilengkapi dengan 5 pintu masuk  berukuran 76x220cm kesemuanya dibuat dari kayu bulian (kayu ulin) serta jendela jendela besar sebanyak 17 buah 120 x 220 cm. Sama seperti masjid sultan di Palembang, masjid Jami’ Muntok inipun lantainya dibangun jauh lebih tinggi dibandingkan dengan permukaan tanah disekitarnya. Dan sederet anak tangga dibangun di sisi kiri dan kanan serambi depannya.

Interior Masjid Jami' Muntok - Bangka Barat
Angka angka jumlah dari pilar, pintu dan jendela masjid ini memilki makna masing masing masing. Enam pilar beton di serambi masjid menyimbolkan enam rukun iman, sementara 4 sokoguru di dalam masjid melambangkan empat khulafaur rasyidin, sahabat utama Rosulullah dan empat mazhab Islam : Mazhab Syafi’I, Hanafi, Hambali dan Maliki. Lima pintu masjid melambangkan lima rukun Islam sedangkan 17 jendela melambangkan 17 rekaat waktu sholat wajib sehari semalam.

Perluasan Masjid dan Pembangunan Sarana Pendukung

Masjid Jami’ muntok kini dilengkapi dengan pesantren dengan nama Pesantren Al-Jami’I Muntok atau Ma’had Al-Islamiyah Al-Jami’i Muntok yang dikelola oleh yayasan Al-Jami’i Bangka Barat. Struktur yayasan ini terdiri dari Pembina dengan ketua nya Andi Hamzah dan M. Sholeh Assegaf, S.Ag sebagai Anggota. Lalu ada pengawas dengan ketua Imam Ar-Rozi Zulkafriadi dan anggota Samsuddin Al-Mustawwa. Dan pengurus harian diketuai oleh Fahmi Azwari, wakil ketua Hamdi Bamazzruk, sekretaris Isriyanto, Bendahara : Suhendra, Amd, dan anggota anggota.

Masjid Jami' Muntok tak jauh dari terminal lama kota
Muntok - Bangka Barat 
Program perluasan masjid ini, dilaksanakan oleh kepengurusan Masjid Jaami’ masa bakti 2007 – 2010 melanjutkan program kerja dari pengurus periode sebelumnya. Proses perluasan lahan masjid Jami Muntok ini diaksanakan dengan membebaskan lahan disekitar masjid untuk kemudian dibangun gedung pesantren serta lahan pekarangan masjid yang memadai. Tercatat lahan lahan yang dibebaskan antara lain. rumah Ami Lood (Salim Ahmad) (posisi sebelah kiri depan masjid), Lahan kantor KUD Muntok (posisi depan masjid), Petak Toko di samping KUD Muntok (posisi sebelah depan masjid) dan rumah ibu Erlita (posisi sebelah kiri belakang masjid).

Dalam program tersebut juga dilaksanakan proses revitalisasi halaman masjid Jami termasuk landscaping dan revitalisasi bangunan utama masjid Jami’ Mentok ke Bentuk aslinya demi menjaga warisan sejarah dan pembangunan madrasah sdan ruangan serba guna berikut fasiltas fasiltas pendukung lainnya. Semua proyek tersebut di perkirakan menghabiskan dana sebesar Rp. 3.3 Milyar Rupiah.

Foto Foto Masjid Jami Muntok

Proyek pembangunan Pesantren Al-Jami'i 
Keceriaan santri santri Al-Jami'i Masjid Jami' Muntok 
Masjid Jami Muntok 

6 komentar:

  1. sedikit mau bertanya, penyebutan yg benar masjid jami muntok atau mentok ya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Muntok lh.. kan sejak thn 2004,, sdh di tetapkan bahwa namanya Muntok..

      Hapus
  2. sama saja mas... kota solo atau sala ?

    BalasHapus
  3. Adalah aib budaya, menukar nama Mentok menjadi Muntok.
    Sejak dilahirkan bernama MENTOK, bermarwah sebagai jatidiri Negeri Melayu Madani... Masyarakatnya dari dulu sampai sekarang masih tetap menyebut nama negerinya ini MENTOK...Jelas tertulis dalam manuskrip Tumenggung Kerta Negara beraksara Jawi /Arab Melayu.
    Pada thn 1816 Belanda resmi menjajah Bangka. Untuk kepentingan administratif, Belanda menulisnya dengan Muntok, tapi dilafalkan /diucapkan tetap M(e)ntok...seperti halnya Bandung ditulis Bandoeng.
    Jadi tidak ada kata Muntok itu dalam bahasa Indonesia...Muntok itu produk penjajah Belanda... Setelah merdeka, kembali menjadi MENTOK dan telah ditegaskan dalam UU No. 5/2003, tetcatat dlm Lembaran Negara RI.
    Perda Muntok adalah cacat hukum dan mengganti MENTOK menjadi MUNTOK adalah MENGADA-ADA, serta mengangkangi sejarah budaya negeri yg beradab, cikal bakal peradaban negeri Melayu Mentok Madani...
    Sekali lagi, Muntok itu negeri imajiner dan Muntok adalah produk Penjajah Belanda yg salah kaprah penggunaannya !
    Generasi milenial wajib mengerti sejarah diri negerinya.
    Sekarang, mari kita pilih pemimpin yg mengerti dan nalar sejarah, menghapus Perda Muntok kembali menjadi MENTOK kembali.
    # MENTOK atau MUNTOK bukan pilih yang mana atau bukan voting, tapi MENTOK "YES" dan MUNTOK "NO"...

    BalasHapus

Dilarang berkomentar berbau SARA