Tertua di Kota Jambi. Masjid Jami' Ikhsaniyah kota Jambi pertama kali dibangun tahun 1880
|
Masjid al-Ikhsaniyah atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama
Masjid Batu adalah Masjid tertua di kota Jambi, Provinsi Jambi. Masjid ini
terletak di seberang Kota Jambi yang dibelah sungai Batanghari, tepatnya Masjid
ini berada di Jalan KH. Ibrahim, RT 05 Kelurahan Olak Kemang, Kecamatan Danau
Teluk Kota Jambi. Bangunan masjid ini telah mengalami perluasan oleh pemerintah Belanda semasa penjajahan dengan mempertahankan ciri ciri khas utamanya demi menjaga nilai historis-nya.
Lokasi Masjid Jami’
Al-Ikhsaniyah Jambi
Masjid Jami’ Al-Ikhsaniyah
Jalan KH. Ibrahim, RT 05
Kelurahan Olak Kemang, Kecamatan Danau Teluk
Kota Jambi, Propinsi Jambi
Indonesia
Masuknya Islam Ke
Jambi
Berdasarkan penuturan tokoh ulama Jambi, penyebaran Islam di Jambi
diawali kedatangan rombongan kapal dari Kesultanan
Turki untuk
menyebarkan agama Islam yang dipimpin Ahmad Ilyas (sumber lain menyebut namanya
Ahmad Salim atau Ahmad Barus atau Barus II). Kapalnya terdampar di Pulau
Berhalo pada 1120 H. Oleh rakyat Jambi, Ahmad Ilyas
diberi gelar Datuk Paduka Berhalo. Karena keberhasilan beliau menyebarkan Islam di
wilayah Jambi dimulai dari Pulau berhala. Konon beliaulah yang menghancurkan
berhala berhala sembahan di pulau berhala.
Ahmad Ilyas lalu menikah dengan Putri Selaras Pinang Masak, Putri bangsawan
kerajaan Minangkabau yang berkuasa di Jambi, sebuah pernikahan politik yang
kemudian memasukkan beliau ke dalam keluarga bangsawan. Tahun 1138, Ahmad Ilyas mendatangkan
ulama dari Hadramaut keturunan Ahlul Bait Rasulullah, Sayyid Husin bin Ahmad
bin Abdurahman. Kedatangan
beliau
disambut hangat oleh rakyat Jambi. Dari sanalah kemudian lahir kerajaan Islam di Jambi sampai
ahirnya menjadi kesultanan, hingga ke Sultan Jambi terahir Sultan
Thaha Syaifuddin yang menghabiskan masa kekuasaannya menentang
penjajahan Belanda di wilayah Jambi hingga ahir hayatnya.
Sejarah Masjid Jami’ Al-Ikhsaniyah Jambi
Masjid ini didirikan pada tahun 1880 oleh Sayyid Idrus
bin Hasan Al-Jufri. Sayyid Idrus, seorang tokoh penyebar Islam di Jambi dengan
gelar Pangeran Wiro Kusumo, beliau merupakan seorang ulama keturunan Yaman. Masjid Batu ini didirikan
Sayyid Idrus untuk memenuhi fungsi tempat ibadah bagi masyarakat seberang kota
Jambi. Masyarakat kota Jambi waktu itu yang sudah fanatik keislamannya
memanfaatkannya sebagai tempat ibadah dan kegiatan sosial lainnya.
Habib Idrus bin Hasan Al Jufri wafat tahun
1902 dan dimakamkan di depan masjid Ikhsaniyah yang didirikannya. Kini sekali
dalam setahun keluarga besar beliau menyelenggarakan peringatan wafatnya Habib Idrus bin Hasan Al Jufri yang
dipusatkan di masjid ini. peringatan tersebut di agendakan sekali dalam
setahun, oleh pihak keluarga dan masyarakat muslim Sekoja (seberang kota Jambi)
sebagai bentuk penghormatan atas jasa jasa beliau. Peringatan tersebut setiap tahun turut juga dihadiri
oleh tokoh agama,
alim ulama, cendikiawan, gubernur dan undangan lainnya.
Makam Sayid Idrus di depan Masjid Ikhsaniyah
|
Mengenal Habib Idrus bin Hasan Al Jufri (Said Idrus)
Tanggal pasti kelahiran Said Idrus ini tidak
diketahui, satu satunya informasi dari dokumen Belanda yang menyebutkan bahwa
pada tahun 1879, Said
Idrus berumur lebih dari 40 tahun. Bisa dikatakan bahwa beliau dilahirkan di
Jambi sebelum tahun 1839 dari seorang ayah asli Arab. Masih berdasarkan dokumen
Belanda, disebutkan bahwa Said Idrus wafat di tahun 1905 meskipun di makam
beliau dicantumkan angka 1902 sebagai tahun kematian-nya.
Said Idrus merupakan salah satu keluarga Al-Jufri di Jambi yang
berasal dari golongan Said (sayyid). Dan merupakan satu dari sembilan keluarga
terhormat dan terpandang dari keluarga ahlul bait (keluarga Rosulullah), karena
silsilah keluarga beliau dapat ditelusuri hingga ke Nabi Muhammas S.A.W dari
garis Putri dan menantu Baginda Rosullullah. Keluarga Al-Jufri di jambi turut
memainkan peran mereka dalam perpolitikan disana sejak tahun 1812. Keluarga
Al-Jufri yang datang ke Nusantara kemudian menikah dengan putri dari kalangan
bangsawan karena memang wanita Arab tidak turut serta bermigrasi ke Nusantara.
Papan Nama Masjid Ikhsaniyah, sangat tua
|
Kelauarga Arab memainkan peran penting sebagai
mediator antara penguasa lokal dengan penguasa penjajahan Belanda. Selain itu juga
menjadi juru bicara antara keluarga Al-Jufri terhadap keraton Jambi dan
Penguasa penjajahan Belanda. Said Idrus memegang peran unik tersebut direntang
waktu 1860 hingga wafatnya di tahun 1902 atau 1905. Said Idrus menikah dengan
Putri Sultan Nazaruddin dan mendapatkan gelar Pangeran Wiro Kusumo langsung
dari Sultan.
Gelar Pangeran ini juga memberi kekuasaan kepada said
Idrus untuk menjadi “pepati
dalam” di keraton Jambi yang mengambil peran Sultan pada saat Sultan tidak
ditempat. Menurut dokumen Belanda, pangeran Wiro Kusumo memainkan peran yang
sangat penting ini di tahun 1858-81 ketika Sultan Nazaruddin lebih banyak
memilih mengasingkan diri ke tempat yang jauh dari keraton untuk menjaga jarak
dengan penguasa penjajah Belanda di Jambi. Mungkin itu sebabnya beberapa
penulis bahkan sempat menyebut pangeran Wiro Kusumo sebagai Sultan Jambi. Bisa
di maklumi, karena Pangeran Wiro Kusomo memang memiliki pengaruh yang begitu
besar di keraton Jambi, selain sebagai menantu dari Sultan Nazaruddin beliau
juga merupakan besan dari Sultan Thaha Syaifuddin, Sultan Jambi Terahir yang
tak lain juga merupakan ipar-nya sendiri.
Ciri khas Masjid Jami’
Al-Ikhsaniyah Jambi
Bangunan dalam Masjid dipenuhi dengan hiasan kaligrafi
berbagai rupa. Mimbar asli berdiri anggun di sisi kanan mihrab. Sementara beduk
peninggalan terdahulu berada di bagian belakang ruang salat. Ciri mencolok dari
Mesjid ini adalah banyaknya jendela. Jendela-jendela yang dipasang berpasangan
itu mengelilingi Mesjid. Hanya tembok mihrab yang tak berjendela.
Mimbar dan Mihrab Masjid Ikhsaniyah
|
Hingga kini, kebisaaan dan adat istiadat yang dilakukan Pangeran Wiro Kusumo semasa hidup masih dilakukan keturunan dan pengikutnya. Salah satunya adalah menyantap makan dalam tempeh (wadah besar) ramai-ramai. Tradisi seperti itu memang merupakan salah satu tradisi para ulama yang berasal dari Yaman yang kemudian berkembang di tanah air. Tadisi yang sama dapat juga dijumpai di masjid masjid tua lainnya di tanah air seperti di Masjid Sultan Palembang ataupun Masjid Al-Hawi di Condet – Jakarta.
Tradisi Sumpah di Masjid Jami’
Al-Ikhsaniyah Jambi
Sekitar tahun 60-an, Masjid Ikhsaniyah merupakan tempat
orang menyelesaikan sengketa. Jika ada orang berselisih perihal kepemilikan
tanah, tuduhan mencuri, dan lain sebagainya orang akan membawa perkara itu ke
Mesjid dan mengambil sumpah dengan disaksikan para pendudk dan pemuka agama.
Masjid ini diyakini memiliki keramat tersendiri karena
jika ada yang berani bersumpah palsu di dalamnya, maka dia akan mengalami bala
atau hal lainnya. Karenanyalah, pada masa itu Mesjid Batu amat masyhur dan tak
ada seorang pun yang berani mengambil risiko bersumpah palsu di dalamnya.
Banyak orang-orang yang berdusta yang awalnya berani bersumpah di dalamnya.
Namun, setelah sampai mereka tak berani dan mengakui perbuatannya. Jika ada
yang bersalah dan tak mengakui perbuatannya sampai diambil sumpahnya, orang itu
akan menggelepar tak sadarkan diri. Dan jika ia sudah sadar biasanya orang yang
bersalah itu akan mengakui perbuatannya.
Mimbar Masjid Ikhsaniyah
|
Namun sayang, tradisi itu sudah hilang sama sekali. Tak
ada lagi orang yang menjadikan Mesjid itu sebagai sarana mempertemukan
kebenaran dan mencari keadilan. Tradisi sumpah itu mulai terlupakan, hanya
kalangan tua saja yang mengetahui kisah tersebut.
Dipugar Belanda
Di tahun-tahun awal abad ke-20, perkembangan Islam di
Jambi maju pesat. Hal ini seiring dengan majunya pendidikan keislaman di Jambi
yang ditandai dengan berdirinya empat pesantren utama, yaitu Pesantren Nurul
Iman, Pesantren Saadatuddarein, Pesantren Jauharein, dan Pesantren Nurul Islam.
Keadaan ini membuat kesadaran keislaman penduduk semakin mengkristal dan
menjadikan kawasan seberang kota Jambi banyak didatangi orang dari berbagai
daerah untuk belajar.
Keadaan ini tentu saja berpengaruh bagi Masjid Batu.
Makin lama jamaah Masjid itu semakin penuh hingga akhirnya tak lagi mampu
menampung jamaah yang terus membludak, terlebih pada Salat Jumat. Maka
tokoh-tokoh masyarakat lalu menggelar musyawarah dan bermufakat untuk memperbaharui
Mesjid. Disepakati dana pembangunan Mesjid dikumpulkan dari sedekah dan infaq
masyarakat sampai akhirnya terkumpul dana yang cukup untuk memugar Mesjid pad tahun 1935.
Beduk tua di masjid Al-Ikhsaniyah) |
Karena berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda. para
tokoh masyarakat meminta izin kepada Belanda. lalu masuklah permohonan
pemugaran Mesjid ke pemerintah Belanda yang ada di Jambi dengan menceritakan
latar belakang dan sejarah berdirinya Mesjid.
Tahulah Belanda bahwa Masjid Batu tersebut merupakan
peninggalan Sayyid Idrus yang merupakan salah seorang sultan Jambi yang
bergelar Pangeran Wiro Kusumo. Karena menganggap bahwa Mesjid tersebut bernilai
sejarah sebagai Mesjid sultan, tahun 1937 pihak kolonial mengambil alih
pembangunan Mesjid. Dana pun turun dari pihak kolonial dan pembangunan
sepenuhnya berada dalam pengendalian Belanda. Padahal awalnya para tokoh
masyarakat hanya perlu izin karena dana sudah tersedia. Jadilah dana dari
masyarakat itu tidak terpakai yang akhirnya digunakan untuk membuat pagar
mengelilingi Masjid.
Update Desember 2016
Berdasarkan image dari google street view yang direkam pada bulan Agustus tahun 2015, bentuk masjid Batu Al-Ikhsaniyah ini sudah kembali berubah. Bentuk Ekteriornya mengalami perubahan disana sini membuatnya lebih tampak sebagai bangunan masjid modern. Perubahan paling signifikan pada bagian atapnya, kubah dengan bentuk atap limasnya yang merupakan salah satu ciri khas masjid masjid tua Nusantara, sudah tidak ada lagi berganti dengan kubah parabola dari beton. Perubahan signifikan lainnya tampak pada bangunan makam Sayid Idrus yang kini dibuat terbuka.***
Update Desember 2016
Agustus 2015 |
Berdasarkan image dari google street view yang direkam pada bulan Agustus tahun 2015, bentuk masjid Batu Al-Ikhsaniyah ini sudah kembali berubah. Bentuk Ekteriornya mengalami perubahan disana sini membuatnya lebih tampak sebagai bangunan masjid modern. Perubahan paling signifikan pada bagian atapnya, kubah dengan bentuk atap limasnya yang merupakan salah satu ciri khas masjid masjid tua Nusantara, sudah tidak ada lagi berganti dengan kubah parabola dari beton. Perubahan signifikan lainnya tampak pada bangunan makam Sayid Idrus yang kini dibuat terbuka.***
izin share ke halaman fb ......
BalasHapusok
HapusAssalamualaikum. U narasumber yang dimuliakan allloh.sdh sampai generasi kah kturunan sayyid idrus hasan aljufri skrang ini? Makasih ya infonya.wassalamualaikum
BalasHapusAda yg tahu nasab Sayyid idrus bin hassam aljufri.
BalasHapusDapatkan semua informasi terbaru tentang kejahatan, olahraga, indonesia hanya di malasi.co.id
BalasHapusLowongan kerja jambi
Berita jambi