Masjid
Raya Sulaimaniyah, Masjid Kesultanan Serdang, dibangun oleh Sultan Sulaiman |
Wilayah
Kesultanan Serdang awalnya merupakan bagian dari kesultanan Melayu Deli yang
berpusat di kota Medan, proses suksesi yang tak berjalan lancar di keraton
kesultanan Deli sebagai akibat terjadinya perebutan tahta, berujung kepada
pecah kesultanan Deli dan berdirinya Kesultanan Serdang terpisah dari
Kesultanan Deli. Peninggalan kesultanan serdang masih dapat dinikmati hingga
kini berupa Masjid Raya Sulaimaniiyah di Perbaungan, Serdang Bedagai, Sumatera
Utara.
Masjid
Raya Sulaimaniyah didirikan oleh Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah pada tahun
1894 seiring dengan dipindahkannya ibukota kesultanan Serdang dari Rantau
Panjang (sekarang berada di Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang) ke
Istana kota Galuh Perbaungan (dulu Serdang). Nama masjid ini sendiri
dinisbatkan kepada Sultan Sulaiman, yang membangunnya. Selain di Kota Galuh
Perbaungan, Sultan Sulaiman juga membangun masjid dengan nama yang sama di
Pantai Cermin pada tahun 1901 dan sama sama masih eksis hingga kini.
Lokasi Masjid Raya Sulaimaniyah
Masjid Raya Sulaimaniyah
Desa
Kota Galuh, Kecamatan Perbaungan
Kabupaten
Serdang Bedagai – Sumatera Utara
Indonesia
Setiap
orang yang melintas dari arah Medan menuju Tebing Tinggi atau sebaliknya, akan
melewati mesjid ini. Setiap harinya, masjid ini menjadi tempat persinggahan
musafir yang ingin melaksanakan sholat sambil berwisata rohani untuk melihat
dari dekat mesjid peninggalan Sultan Serdang ini. Bahkan setiap sholat Jumat,
masjid ini nyaris tidak bisa menampung jamaah yang hampir melewati teras
masjid.
Sekilas Sejarah Kesultanan Serdang
Sejarah Awal Berdirinya Kesultanan Serdang
Seperti
disebutkan di awal tulisan ini bahwa kesultanan Serdang pada awalnya merupakan
bagian dari Kesultanan Deli. Sejarah kesultanan Deli bermula ketika Tuanku Sri
Paduka Gocah Pahlawan diangkat sebagai wakil kesultanan Aceh di wilayah Aru
(Sumatera Timur) di tahun 1632 setelah beliau berhasil menaklukkan daerah
tersebut atas perintah Sultan Iskandar Muda.
Tuanku
Sri Paduka Gocah Pahlawan wafat di tahun 1641 M, kekuasaan atas wilayah Deli
diberikan kepada putranya, Tuanku Panglima Perunggit (1614-1700 M) bergelar
sebagai Panglima Deli karena beliaulah yang memproklamirkan kemerdekaan Deli
atas Aceh di tahun 1669. Ketika Tuanku Panglima Perunggit wafat beliau
digantikan oleh putranya Tuanku Panglima Paderap hingga tahun 1720M.
Lokasi Serdang Bedagai di provinsi Sumatera Utara |
Masalah
terjadi ketika Panglima Paderap wafat, ke-empat putranya berseteru berebut tahta
kerajaan. Perang saudara tak terhindarkan diperparah lagi dengan mulai
berpengaruh nya kerajaan Siak Sri Indrapura. Panglima Paderap dikaruniai empat
orang putra yaitu [1]. Tuanku Jalaludin bergelar Kejuruan Metar, berasal dari
turunan bangsawan Mabar, Percut, dan Tanjung Mulia. [2] Tuanku Panglima Pasutan,
berasal dari keturunan bangsawan Deli dan Bedagai. [3] Tuanku Tawar (Arifin)
Kejeruan Santun, berasal dari keturunan bangsawan Denao dan Serbajadi, dan [4]
Tuanku Umar Johan Alamsyah Gelar Kejeruan Junjongan, berasal dari keturunan
bangsawan Serdang dan Sei Tuan yang merupakan putra Panglima Paderap dari
permaisuri.
Berdasarkan
konstitusi kerajaan, semestinya Tuanku Umar Johan Alamsyah bergelar Kejeruan
Junjongan yang merupakan Putra Tuanku Panglima Paderap dari permaisuri, yang
berhak menggantikan ayahnya sebagai raja, namun ketika ayahandanya wafat,
beliau masih dibawah umur, dan Tuanku Panglima Pasutan berambisi jadi raja.
Perang saudara tak terelakkan berbuntut pada kekalahan Tuanku Umar Johan
Alamsyah. Tuanku Panglima Pasutan naik tahta menjadi raja Deli ke 4
Sultan Sulaiman Syariful
Alam Syah
|
Berdirinya Kesultanan Serdang Tahun 1723
Tuanku
Umar Johan Alamsyah yang menelan kekalahan, bersama ibundanya Tuanku Puan
Sampali [permaisuri mendiang Tuanku Paderap], terpaksa menyingkir dan mengungsi
hingga kemudian mendirikan Kampung Besar (Serdang), Atas perlakuan terhadap
Tuanku Umar Johan tersebut maka dua orang besar di Deli, yaitu Raja Urung
Sunggal dan Raja Urung Senembah serta bersama dengan seorang Raja Urung Batak
Timur yang menghuni wilayah Serdang bagian Hulu di Tanjong Merawa dan juga
seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), merajakan Tuanku Umar Johan sebagai
Raja Serdang yang pertama tahun 1723.
Sedangkan
kakak dari Tuanku Umar yang lain, yakni Tuanku Tawar (Arifin) bergelar Kejuruan
Santun, yang membuka negeri di Denai dan meluas sampai ke Serbajadi, kemudian menggabungkan
diri dengan Kesultanan Serdang di masa pemerintahan Sultan Serdang yang
pertama. Tuanku Umar Johan, memiliki tiga orang putra, yakni [1] Tuanku Malim,
[2] Tuanku Ainan Johan Alamsyah, dan [3] Tuanku Sabjana atau yang sering
dikenal sebagai Pangeran Kampung Kelambir.
Tuanku
Umar Johan (1723-1767) mangkat di tahun 1767 dan digantikan oleh putra keduanya
Tuanku Ainan Johan Alamsyah (1767-1817). Karena putra pertamanya menolak untuk jadi
raja. Sultan Ainan Johan Alamsyah beristrikan Tuanku Puan Sri Alam dari
Kerajaan Perbaungan yang kemudian bergabung dengan Kesultanan Serdang.
Masjid
Raya Sulaimaniyah
|
Putra
pertama Sultan Ainan Johan Alamsyah, Tuanku Zainal Abidin, terbunuh ketika
berperang di Langkat. Maka dari itu, ditunjuklah Tuanku Sultan Thaf Sinar
Basarshah, putra kedua dari Sultan Ainan Johan Alamsyah, sebagai penerus tahta
Kesultanan Serdang. Sultan Thaf Sinar Baharshah yang kemudian dianugerahi nama
kebesaran sebagai Sultan Besar Serdang memerintah selama periode 1817-1850 M.
Pada
masa pemerintahan Sultan Thaf Sinar Baharshah ini Kesultanan Serdang mengalami
era kejayaan dengan menjadi kerajaan yang makmur dan sentosa karena
perdagangannya. Nama kesultanan Serdang begitu besar dan dikenal negeri-negeri
lain sampai ke Semenanjung Tanah Melayu. Banyak kerajaan-kerajaan lain, seperti
Padang, Bedagai, dan Senembah, yang meminta bantuan militer dari Kesultanan
Serdang.
Sebagai
pengganti dari Sultan Thaf Sinar Baharshah adalah putranya yang tertua, yaitu
Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah (1819-1880). Kepemimpinan Sultan
Basyaruddin Syaiful Alamsyah mendapat legitimasi dari Sultan Aceh, Ibrahim
Mansyur Syah, berupa pengakuan Mahor Cap Sembilan.
Masjid Raya Sulaimaniyah |
Pada
tahun 1854 Aceh mengirimkan ekspedisi perang 200 perahu perang untuk menghukum Deli
dan Langkat, Serdang berdiri di pihak Aceh. Dalam menjalankan pemerintahannya
Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah didampingi oleh orang-orang besar, wazir,
serta raja-raja taklukkan. Zaman pemerintahan Sultan Basyaruddin Syaiful
Alamsyah memang diwarnai banyak peperangan, baik yang datang dari dalam maupun dari
luar. Selain berkonflik dengan Deli dalam persoalan perluasan wilayah, Serdang
juga menghadapi gangguan dari penjajah Belanda yang datang ke Serdang pada
1862. Namun, hegemoni Belanda yang terlalu kuat menyebabkan Serdang kemudian
harus takluk dan mendapat pengakuan dari Belanda seperti yang tercantum dalam
Acte van Erkenning tertanggal 16 Agustus 1862.
Ketika
Sultan Basyaruddin Syaiful Alamsyah wafat pada 7 Muharram 1279 Hijriah atau
pada bulan Desember 1880, sang putra mahkota, Sulaiman Syariful Alamsyah, masih
sangat muda sehingga roda pemerintahan Kesultanan Serdang untuk sementara
diserahkan kepada Tengku Raja Muda Mustafa (paman Sulaiman Syariful Alamsyah)
sebagai wali sampai Sulaiman Syariful Alamsyah siap untuk memimpin
pemerintahan. Pengakuan resmi dari pemerintah kolonial Belanda atas penobatan
raja baru di Serdang ini baru diberikan melalui Acte van Verband tanggal 29
Januari 1887.
Pada
era kepemimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah ini, pertikaian Serdang
dengan Deli semakin memanas kendati beberapa solusi telah dilakukan untuk
meminimalisir konflik, termasuk melalui hubungan perkawinan dan kekerabatan.
Masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah berlangsung cukup lama yakni
dari era masa ketika kolonialisme Belanda berkuasa (1866) hingga
pascakemerdekaan Republik Indonesia (1946).
Masjid Raya Sulaimaniyah |
Kesultanan Serdang Bergabung Denan NKRI
3
Maret 1946, terjadi “Revolusi Sosial” di wilayah Sumatera Timur oleh orang
orang komunis, mereka menuduh Raja-raja dan kaum bangsawan Sumatera sebagai
pengkhianat karena dulu mengabdi kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Selama revolusi sosisal tersebut terjadi penangkapan terhadap raja-raja yang
ada di Tanah Karo oleh orang-orang komunis. Seperti terjadi di Simalungun di
mana raja-raja ditangkap, beberapa orang di antaranya dibunuh, dan istana
mereka dijarah.
Di
Langkat, Sultan ditahan dan beberapa bangsawan tewas, termasuk sastrawan Tengku
Amir Hamzah. Sementara di Asahan, Sultan Saibun berhasil meloloskan diri dan
berlindung di markas tentara Jepang yang kemudian menyerahkannya kepada pihak
Tentara Republik Indonesia (TRI) di Siantar. Demikian juga di wilayah Batubara
dan Labuhan Batu, raja-raja dibunuh, termasuk para bangsawan utama, dan harta
benda mereka dirampok.
Di
wilayah kesultanan Serdang keadaan sedikit berbeda. Berkat dukungan positif
dari Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah terhadap kaum pergerakan dan perasaan
anti Belanda yang telah dikenal umum sejak zaman kolonial Belanda serta
sokongan penuh Kesultanan Serdang atas berdirinya negara Republik Indonesia
sejak tahun 1945, maka tidak terjadi aksi penangkapan ataupun pembunuhan
terhadap keluarga kesultanan.
Masjid Raya Sulaimaniyah |
Sultan
Sulaiman Syariful Alamsyah tidak menyandarkan diri kepada pasukan Sekutu karena
banyak kerabat dan para bangsawan Serdang yang dianjurkan menempati posisi di
dalam struktur angkatan bersenjata Republik, partai-partai politik yang
berhaluan Islam dan nasionalis. ketika terjadi “Revolusi Sosial” 3 Maret 1946,
diadakanlah perundingan antara Kapten Tengku Nurdin (Komandan Batalion III TRI
di Medan) dengan Tengku Mahkota Serdang dan para tokoh adat Kesultanan Serdang.
Dari perundingan itu kemudian diambil keputusan bahwa Kesultanan Serdang
menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada TRI yang bertindak mewakili
pemerintah Republik Indonesia.
Keesokan
harinya, tanggal 4 Maret 1946, diutus Jaksa Tengku Mahmuddin dan Panitera
Tengku Dhaifah atas nama Kesultanan Serdang untuk secara resmi menyerahkan
administrasi pemerintahan kepada pihak TRI atas nama pemerintah Republik
Indonesia yang dipersatukan oleh Komite Nasional Indonesia wilayah Serdang dan
sejumlah wakil organisasi masyarakat serta organisasi politik lainnya di kantor
Kerapatan di Perbaungan. Dan Serah terima berjalan pada 4 Maret 1946 ke segenap
pelosok wilayah Serdang. Atas jasa jasanya Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah
dianugerahi Bintang Mahaputra Adi Pradana dari pemerintah RI. Sedangkan wilayah
kesultanan Serdang kemudian digabungkan ke dalam wilayah Kabupaten Deli Serdang yang dikemudian
hari dimekarkan lagi menjadi Kabupaten
Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Begadai.
struktur atap Masjid Raya -
Sulaimaniyah
|
Sejarah Masjid Raya Sulaimaniyah
Masjid
Raya Sulaimaniyah merupakan salah satu bukti eksistensi Kesultanan Serdang di
masa lalu. Dahulu kala, lokasi masjid ini berada tidak jauh dari Istana
Kesultanan Serdang, Istana Darul Arif. Namun Pada tahun 1865 istana tersebut
dibakar Belanda bersama Masjid Raya Rantau Panjang, sebagai akibat kemarahan
Belanda karena di dua tempat tersebut dijadikan markas para pejuang kemerdekaan
Indonesia atas seizing Sultan yang memang mendukung pergerakan tersebut.
Sebagaimana
dijelaskan dalam prasasti pembangunan masjid di tembok Masjid Raya Sulaimaniyah,
dijelaskan bahwa masjid ini didirikan oleh Sultan Syariful Alamsyah pada tahun
1894 seiring dengan dipindahkannya ibukota kesultanan dari Rantau Panjang ke
Istana kota Galuh Perbaungan. Tahun 1901, Masjid Raya Sulaimaniyah dibangun
secara permanen.
Dari
catatan sejarah yang tertulis itu, dapat juga diketahui bahwa Masjid Raya
Sulaimaniyah telah mengalami beberapa renovasi, yaitu tahun 1964, 1967, dan
tahun 2004 (selesai tahun 2005). Beberapa renovasi tersebut atas bantuan mantan
Presiden RI Megawati Soekarnoputri, Gubernur Sumatera Utara (alm) Rizal Nurdin
dan Sekjen Departemen Kesehatan RI Dr. Safii Ahmad MPH.
Arsitektural Masjid Raya Sulaimaniyah
Bangunan
Masjid Raya Sulaimaniyah ini tidak terlalu menonjol, mirip dengan
bangunan-bangunan khas melayu lainnya. Sepintas lalu masjid ini terkesan
biasa-biasa saja bahkan tak tampak seperti sebuah masjid. Namun masjid ini
memiliki keunikan tersendiri. Sepintas tidak seperti bangunan masjid, melainkan
seperti kantor pemerintahan dengan corak khas adat budaya melayu dengan figura
berwarna kuning dengan atap berwarna hijau. Sedangkan bangunan menara dibangun
terpisah dari masjid dan memang dibangun belakangan.
Makam
Sultan Sulaiman di komplek Masjid Raya Sulaimaniyah
|
Yang
menjadi cirri khas adalah pada bangun atapnya yang dibuat berundak undak,
keseluruhan atap masjid ini hingga bersusun empat dihitung dari atap tertinggi
hingga atap pada terasnya. Atap beranda masjid pun dibuat bersusun dua. Ataup
bangunan utama masjid ini dibangun begitu tinggi dibandingkan atap lainnya
seakan akan juga berfungsi sebagai menara. Bila atap masjid masjid tua
Indonesia lainnya kebanyakan berdenah segi empat bujur sangkar, atap masjid
Raya Sulaimaniyah justru berbentuk persegi panjang sama dengan denah masjidnya.
Di
dalam masjid terdapat empat pilar beton berukuran besar sebagai penyanggah
bangunan dengan 1 lampu hias berada di tengah-tengah bundaran langit masjid
dikelilingi kaligrafi dari ayat-ayat alquran tentang sholat. Kesan dan nafas
melayu sangat kental terlihat dari mimbarnya yang berwarna kuning dengan 4 anak
tangga berlapis karpet hijau serta di atas mimbar terdapat kubah yang atasnya
juga menggunakan lambang bulan sabit dan bintang. Teras masjid yang sudah
berlantai keramik ini ditopang dengan tiang-tiang berukuran kecil serta puluhan
lampu kecil dan besar yang mengelilingi teras samping kiri dan belakang serta
dilengkapi dengan toilet dan tempat berwudhu.
Sebagai
masjid kesultanan Masjid Raya Sulaimaniyah menjadi masjid utama bagi semua
kegiatan kesultanan termasuk tempat penyelenggaraan sholat jenazah bagi Sultan
dan keluarganya. Halaman masjid ini juga menjadi tempat pemakaman sultan
Serdang Sulaiman Syariful Alamsyah dan keluarganya yang terletak tepat di depan
masjid yang telah di pagar serta pejabat-pejabat penting kesultanan.
Petinggi
kesultanan Serdang terahir yang disemayamkan di Masjid ini adalah jenazah
Alamarhum Tengku Lukman Sinar Basarsyah II, Pemangku Adat Kesultan Serdang, sejarawan
Melayu yang juga menjabat Ketua Forum Komunikasi Antaradat Sumut. Beliau wafat di
Malaysia, hari Kamis pukul 19.50 waktu Malaysia. Setelah menjalani perawatan di
Rumah Sakit Sime Darby Medical Center, Subang Jaya, Malaysia.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA