Masjid Raya Al Mashun Kota Medan. |
Masjid Raya Al Mashun atau Masjid Raya Medan atau
kadang juga disebut Masjid Raya Deli, merupakan salah satu dari dua masjid yang
pernah menjadi Masjid resmi kesultanan Deli pada masa jayanya. Masjid Raya Al
Mashun juga merupakan masjid tertua ke tiga di kota Medan setelah Masjid Al Osmani di Labuan Deli
yang juga merupakan masjid kesultanan Deli yang pertama dan Masjid
Lama Gang Bengkok di Jalan Masjid Kesawan.
Al-Mashun
yang berarti ‘dipelihara’, sesuai namanya hingga kini masih terpelihara dan
terawat dengan baik. Tidak heran, karena masjid ini di masa silam merupakan
Masjid Negara pada masa jayanya Kesultanan Melayu Deli, lokasinya
berdiri hanya terpaut sekitar 200 meter dari Istana Maimun yang merupakan
Istana kesultanan Deli. Pembangunan
Masjid Raya Al Mashun dimulai
pada tahun 1906, dan selesai pada tahun 1909. Secara keseluruhan biaya
pembangunan masjid ditanggung sendiri oleh Sultan Maamun Al-Rasyid Perkasa
Alamsjah, menghabiskan
dana sebesar satu juta gulden Belanda.
Lokasi Masjid Raya Al Mashun Medan
Lokasi Masjid Raya Al Mashun Medan
Sisi timurMasjid Raya Al Mashun menghadap ke Jalan Sisingamangaraja sedangkan sisi utaranya menghadap ke Jalan Masjid Raya. Letaknya yang demikian membuat beberapa orang menulis alamat masjid ini berada di Jl. Sisingamangaraja yang lain nya menuliskannya berada di Jl. Masjid Raya. Namun yang pasti Masjid Raya Al Mashun ini berada di pusat kota Medan, tak jauh dari Istana Maimun yang sama sama peninggalan Kesultanan Melayu Deli.
Sejarah Singkat Kota Medan
Kota medan yang kini
menjadi ibukota propinsi Sumatera Utara, pada mulanya adalah sebuah kampung bernama Kampung Medan Putri yang didirikan oleh Guru Patimpus putra Karo
bermarga Sembiring Pelawi pada 1 Juli 1590. Dalam bahasa
Karo, kata "Guru" berarti "Tabib" atau "Orang
Pintar", kata "Pa" adalah sebutan
untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang, lalu kata "Timpus"
berarti bundelan, bungkus atau balut. Guru Patimpus bermakna
seorang Tabib yang memiliki kebiasaan membungkus sesuatu dalam kain yang
diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya. Sebagai
penghormatan kepada beliau Pemerintah Kota Medan membangun Monumen Guru Patimpus di sekitar
Balai Kota Medan. Dan tanggal 1 Juli setiap tahun diperihati sebagai hari jadi
kota Medan.
Karena
letaknya yang
berada di Tanah Deli, Kampung Medan
juga sering dikenal sebagai Medan Deli.
Lokasi asli Kampung Medan adalah sebuah tempat di mana Sungai Deli bertemu dengan Sungai
Babura. Terdapat
berbagai kerancuan dari berbagai sumber literatur mengenai asal-usul kata
"Medan" itu sendiri. Dari
catatan penulis-penulis Portugis dii
awal abad ke-16, Kata
Medan berasal dari nama "Medina", sumber lainnya menyatakan Medan
berasal dari bahasa India "Meiden".
Yang lebih kacau
lagi ada sebagian masyarakat menyatakan Medan merupakan tempat atau area
bertemunya berbagai suku sehingga disebut sebagai medan pertemuan. Adapula yang
mengatakan ketika saudagar Arab yang melihat tanah Medan mengatakan Median yang berarti datar atau rata dan
memang pada kenyataannya Medan memiliki kontur tanah yang rata mulai dari
pantai Belawan hingga daerah Pancur Batu. Dalam
Kamus Karo-Indonesia yang ditulis Darwin Prinst SH: 2002, Kata
"Medan" berarti "menjadi sehat" ataupun "lebih
baik". Hal ini memang berdasarkan pada kenyataan Guru Patimpus adalah
seorang tabib yang memiliki keahlian dalam pengobatan tradisional Karo pada
masanya.
Medan pertama kali
ditempati suku Karo. Hanya setelah penguasa Aceh, Sultan Iskandar Muda, mengirimkan panglimanya, Gocah Pahlawan Bergelar Laksamana
Khoja Bintan untuk menjadi wakil Kerajaan Aceh di Tanah Deli, barulah
Kerajaan Deli mulai berkembang. Perkembangan ini ikut mendorong pertumbuhan
penduduk maupun kebudayaan. Di masa pemerintahan Sultan Deli kedua, Tuanku Panglima Parunggit (1669-1698),
terjadi perang kavaleri dan sejak itu Medan menjadi pembayar upeti kepada
Sultan Deli. Kesultanan Deli ini pula yang meninggalkan warisan sejarah termasuk dua
masjid kesultanan di dua tempat berbeda di kota Medan, yakni Masjid Al Osmani di Labuhan Deli
dan Masjid Raya Almashun di pusat kota Medan.
Sekilas Sejarah Kesultanan Melayu Deli
Kesultanan Melayu
Deli pertama kali didirikan oleh Muhammad Dalik pada tahun 1653 (versi lain
menyebut tahun 1630), sebagai negeri bawahan Kesultanan Aceh. Muhammad Dalik
adalah seorang pemuka yang menjadi laksamana di Kesultanan Aceh dikenal juga dengan
nama Gocah Pahlawan bergelar Laksamana Khuja Bintan atau Laksamana Kuda Bintan. Beliau adalah keturunan dari Amir Muhammad Badar
ud-din Khan, seorang bangsawan dari Delhi, India yang menikahi Putri Chandra
Dewi, putri Sultan Samudra Pasai. Dia dipercaya Sultan Aceh untuk menjadi wakil
bekas wilayah Kerajaan Haru yang berpusat di daerah sungai Lalang-Percut.
Masjid Raya Al Mashun Kota Medan. |
Dalik meninggal pada tahun 1653, putranya Tuanku Panglima Perunggit mengambil alih kekuasaan menjadi Sultan Deli Ke 2, dan pada tahun 1669 mengumumkan memisahkan kerajaannya dari Aceh. Setelah Mangkatnya Sultan Deli ke-3 Tuanku Panglima Padrab Muhammad Fadli, sempat terjadi perebutan kekuasaan antara putra putranya dan menjadi awal berdirinya kesultanan Serdang.
Berdirinya Masjid Raya Al Mashun Medan
Di tahun 1728 Tuanku Panglima Pasutan memindahkan pusat kerajaan dari
Padang Datar, ke Kampung Alai [Labuhan
Deli] Tercatat enam Sultan Deli yang pernah bertahta di Istana Kerajaan Melayu Deli di Labuhan Deli, sejak dari
Sultan Deli ke 4 hingga Sultan Deli ke-9. Masjid Al Osmani yang
merupakan masjid Kesultanan bagi Kesultanan Deli dibangun sejak masa
pemerintahan Sultan Osman Perkasa Alam (Sultan ke-8) masih berdiri kokoh hingga
kini menjadi saksi sejarah kesultanan Melayu Deli.
Sultan
Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam (Sultan Deli ke-9) kemudian memindahkan kembali ibukota kerajaan ke daerah Padang Datar [pusat kota
medan]. Pemindahan kembali ibukota kerajaan terebut dilakukan setelah Kerajaan Melayu di
Labuhan Deli dikuasai Belanda, ketika Sultan Mahmud Perkasa Alam [sultan Deli
ke-8) terpaksa
memberikan sebagian daerahnya menjadi tanah konsesi kepada penjajah Belanda pada tahun 1863 untuk ditanami tembakau Deli.
Sultan Al Rasyid di abadikan dalam sebuah perangko tahun emisi 2006 |
Di ibukota pemerintahan baru ini Kesultanan Deli berkembang pesat, setelah Deli
lepas sama sekali dari Kesultanan Aceh dan Kesultanan Siak Sri Indrapura pada
1861. Meski masih dalam bayang-bayang
pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sultan Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam kemudian membangun Istana Maimun pada 26
Agustus 1888 dan selesai 18 Mei 1891.
Sultan
Ma’mum Al Rasyid Perkasa Alam memulai pembangunan Masjid Raya Al Mashun pada
tanggal 21
Agustus 1906 (1 Rajab 1324 H).
Keseluruhan
pembangunan rampung
pada tanggal 10
September 1909 (25 Sya‘ban 1329 H) sekaligus digunakan ditandai
dengan pelaksanaan sholat Jum’at pertama di masjid ini. keseluruhan
pembangunannya menghabiskan dana sebesar satu juta Gulden. Sultan memang sengaja membangun
mesjid kerajaan ini dengan megah, karena menurut prinsipnya hal itu lebih utama
ketimbang kemegahan istananya sendiri, Istana Maimun. Pendanaan
pembangunan masjid ini ditanggung sendiri oleh Sultan, namun konon Tjong A Fie,
tokoh kota medan dari etnis Thionghoa yang sejaman dengan Sultan Ma’mun Al
Rasyd turut berkontribusi mendanai pembangunan masjid ini.
Pada awalnya Masjid Raya Al Mashun di rancang oleh
Arsitek Belanda Van Erp yang juga merancang istana Maimun, namun kemudian
proses-nya dikerjakan oleh JA
Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia
Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah. Sebagian bahan bangunan diimpor antara
lain: marmer untuk dekorasi diimpor dari Italia, Jerman dan kaca patri dari Cina dan lampu
gantung langsung dari Prancis. Mesjid Raya sedikit berbeda dengan masjid pada umumnya karana tidak
banyak kaligrafi sini namun banyak terdapat ukiran bunga dan tanaman yang
keseluruhanya di cat.
Arsitektural Masjid Raya Al Mashun
JA Tingdeman, sang
arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa dan
Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang
bagian dalam yang unik tidak seperti masjid masjid kebanyakan. Di ke empat
penjuru masjid masing masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna
hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing masing
beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan
lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.
Bangunan masjidnya
terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang
utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi
berhadapan lebih kecil, terdapat ‘beranda’ serambi kecil yang menempel dan
menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari
kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan art nouveau
periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam. Seluruh ornamentasi di
dalam mesjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan
yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing
beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya
tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat
utama.
Gang-gang ini punya
deretan jendela-jendela tak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang
berdiri di atas balok. Baik beranda dan jendela-jendela lengkung itu
mengingatkan disain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan.
Sedangkan kubah mesjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah
bersegi delapan. Kubah utama dikitari empat kubah lain di atas masing-masing
beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada
Mesjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid,
terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk
menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer
dengan atap kubah runcing. Gerbang
mesjid ini berbentuk
bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara mesjid berhias paduan antara
Mesir, Iran dan Arab.
Masjid Raya Al Mashun Kota Medan. |
Pengelolaan Masjid Raya Al Mashun
Secara
tradisi turun temurun keluarga Sultan sangat berperan dalam pengelolaan masjid
ini. Sejak era kemerdekaan, pemerintah kota Medan mengambil andil dalam
perawatan dan pengelolaan masjid. Pengurus masjid sangat ketat menjaga masjid
ini termasuk menjaga keaslian bangunan dengan tidak sembarangan melakukan
perbaikan apalagi perombakan mengingat material yang dipakai untuk membangun
masjid ini memang dari bahan bahan pilihan yang kini tidak mudah untuk
didapatkan.
Sebagai
bangunan tua, Pemkot Medan dan Pengelola Masjid Raya Al Mashun memberikan
penangangan khusus terhadap masjid ini. Di sebuah papan yang berada dipintu
gerbang masuk kompleks masjid misalnya, para pengunjung hendak memasuki masjid
di”warning” agar tidak melakukan tujuh hal, yaitu dilarang masuk bagi segala
jenis kendaraan, dilarang memakai alas kaki, dilarang berjualan di dalam
kompleks, dilarang bermain segala jenis olahraga, dilarang meludah di atas
lantai, dilarang membuang sampah sembarangan, dan dilarang merokok. Bagi yang
melakukan ketujuh larangan tersebut, akan dituntut melanggar pasal 406 ayat 1
KUHP, dengan ancaman 2 tahun dan 8 bulan penjara.
Interior Masjid Raya Al Mashun. |
Aktivitas Masjid Raya Al Mashun
Pada
bulan Ramadhan, suasana di Masjid Raya ini menjadi jauh lebih semarak dibanding
hari-hari biasa. Kegiatan ibadah tidak hanya berlangsung siang hari, melainkan
juga malam hari hingga menjelang waktu sahur. Siang disisi dengan
kegiatan muzakarah, diskusi tentang hukum sya’ri Islam, ceramah Ramadhan, dan
berbagai kegiatan pengkajian Islam lainnya.
Pada malam hari kegiatannya berupa shalat Tarawih dan Tadarrus Al-Qur’an hingga larut malam hingga sampai dini hari saat sahur tiba. Selain itu, untuk menghidupkan suasana di komplek masjid, pengurus juga menyiapkan makanan bukaan setiap sore dari sumbangan para dermawan dan masyarakat sekitar masjid. Makanan berbuka yang disiapkan hingga 300 - 500 orang tersebut khusus bagi anak-anak yatim, gelandangan, dan kaum musafir yang jauh dari rumahnya saat waktu berbuka tiba. Hidangan khas di masjid ini adalah sajian bubur pedas khas masjid Raya Al Mashun.***
Pada malam hari kegiatannya berupa shalat Tarawih dan Tadarrus Al-Qur’an hingga larut malam hingga sampai dini hari saat sahur tiba. Selain itu, untuk menghidupkan suasana di komplek masjid, pengurus juga menyiapkan makanan bukaan setiap sore dari sumbangan para dermawan dan masyarakat sekitar masjid. Makanan berbuka yang disiapkan hingga 300 - 500 orang tersebut khusus bagi anak-anak yatim, gelandangan, dan kaum musafir yang jauh dari rumahnya saat waktu berbuka tiba. Hidangan khas di masjid ini adalah sajian bubur pedas khas masjid Raya Al Mashun.***
Makasih sudah membantu saya mencari refrensi. Semoga Bermanfaat.
BalasHapus