Di wilayah Kwitang, Jakarta Pusat, diantara jalanannya yang
sempit, ada dua lokasi yang menjadi salah satu pengukir sejarah perkembangan
Islam di Jakarta dan tanah air secara keseluruhan sejak dari era Jakarta masih
bernama Batavia semasa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang hingga era Jakarta
di masa kemerdekaan. Dua lokasi tersebut adalah Majelis Ta’lim Kwitang sekaligus
Islamic Center Indonesia dan Masjid Jami’ Al-Riyadh yang keduanya tak bisa
dilepaskan dari Habib Ali Alhabsyi Bin Habib Abdurrahman Alhabsyi atau lebih
dikenal oleh masyarakat luas sebagai Habib Kwitang.
Majelis Ta’lim Kwitang dipercaya sebagai majelis Ta’lim
tertua di Indonesia dan masih aktif dengan ribuan jemaah, yang tidak saja
menjadi motor penggerak syiar Islam tapi juga menjadi motor penggerak
pergerakan kemerdekaan di tanah air. Begitu banyak tokoh pergerakan kemerdekaan
nasional yang lahir maupun bersinggungan langsung dengan majelis ini hingga
para pimpinan negara sejak dari Proklamator Kemerdekaan, Bung Karno sampai ke presiden
Republik Indonesia saat ini, Susilo Bambang Yudhoyono pun memberikan perhatian
besar kepada Majelis ilmu yang begitu melegenda ini. Masjid Jami Al-Riyadh
menjadi salah satu warisan dari Habib Kwitang yang senantiasa dipadati jamaah, masjid
yang menjadi tempat peristirahatan terahir Habib Kwitang.
Masjid Jami' Al-Riyadh di Jalan Kembang IV Kwitang. |
Alamat dan Lokasi Masjid Al-Riyadh Kwitang
Jl. Kembang VI
RT 001 RW 02 Kwitang, Senen
Jakarta Pusat
10420, DKI Jakarta - Indonesia
Telp : (021) 31905369
Koordinat : 6°11'0"S
106°50'17"E
Sekilas Sejarah Kwitang
Kwitang di Jakarta memiliki dua konotasi, pertama nama kampung sekaligus nama kelurahan yang ada di Jakarta Pusat. Nama ini berasal dari nama orang Cina yang kaya raya bernama Kwik Tang Kiam. Kwik Tang seorang tuan tanah yang kaya dan hampir semua tanah yang terdapat di daerah tersebut adalah miliknya. Kwik Tang merniliki seorang anak tunggal yang mempunyai sifat yang tidak baik, dia suka berjudi dan mabok. Setelah Kwik Tang meninggal semua tanah milik bapaknya ini habis terjual dan banyak yang dibeli oleh saudagar keturunan Arab. Sehingga sampai sekarang daerah ini disebut Kwitang dan banyak keturunan Arab yang tinggal di kampung Kwitang.
Dan
kedua, aliran baru dalam silat perpaduan antara silat Betawi dan Silat Cina
(kuntao). Hal ini merupakan hasil proses akulturasi antara silat Betawi dengan
Kuntao Cina. Di Kampung Kwitang, Jakarta Pusat, setidaknya sampai tahun 1960-an
dikenal sebagai salah satu gudang jago pencak silat di Ibukota. Di antara
belasan jagoan terdapat H Muhammad Djaelani, yang lebih dikenal dengan sebutan Mad Djaelani. Ilmu silatnya, Mustika Kwitang, kini diwariskan
pada cucunya, sekaligus muridnya, H Zakaria. Ialah yang
mengembangkan warisan budaya, hingga jumlah muridnya mencapai puluhan ribu, dan
tersebar bukan hanya di seluruh Indonesia, tapi juga di manca negara.
Sejarah Masjid Al-Riyadh Kwitang
Masjid Al Riyadh ditahun 1947. |
Masjid
ini didirikan oleh Ali Al Habsyi Sekitar tahun 1356H/1938M. Di tempat inilah
Habib Ali bersama
murid-muridnya dan penduduk setempat mendirikan sebuah majelis taklim di rumah
pribadinya. Tempat tersebut lantas ia beri nama Baitul Makmur.
Beberapa tahun berjalan majelis itu diberi nama Unwanul Falakh.
Sekitar tahun
1950, bangunan tempat majelis tersebut resmi diberi nama Masjid Al Riyadh.
Namun masyarakat sekitar lebih mengenalnya dengan nama Masjid Kwitang.
Sedangkan Ali Al Habsyi dikenal
masyarakat sebagai Habib
Ali Alhabsji seorang tokoh
ulama Betawi yang begitu berpengaruh di zamannya.
Sampai
tahun 1960-an, Habib Ali selalu mengajar di masjid ini. Ia kemudian membangun Islamic Centre Indonesia di kediamannya, kira-kira 300 meter
dari masjid. Masjid ini pada tahun 1963 pernah diresmikan Bung Karno.
Oleh proklamator kemerdekaan Indonesia ini, masjid itu diberi nama Baitul Ummah atau kekuatan umat. Tapi kemudian diganti lagi
dengan nama semula.
Pada
masa perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, selain digunakan untuk syiar
agama Islam, masjid ini dipakai untuk tempat pertemuan tokoh-tokoh pergerakan
kemerdekaan Indonesia. Ini tidak mengagetkan karena Ali Al Hasyi adalah
salah satu penasehat dan orang kepercayaan Presiden Soekarno. Beliau bagian dari tentara Hisbullah.
Suara Jakarta, pelopornya Beliau. Tanpa persetujuannya rakyat sulit bergerak.
Potret Sayid Ali Al Habsi, atau lebih dikenal dengan panggilan Habib Ali Kwitang. Foto dipublikasi tahun 1938 |
Mengenal Habib Ali Kwitang
Habib ‘Ali bin ‘Abdur Rahman bin ‘Abdullah bin Muhammad al-Habsyi. Atau lebih
dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang, Lahir
di Kwitang, Jakarta, pada 20 Jamadil Awwal 1286H / 20 April 1870M. Ayahanda
beliau adalah Habib ‘Abdur Rahman al-Habsyi seorang ulama
dan da’i
yang hidup zuhud, sedangkan ibunda beliau
adalah seorang
wanita sholehah bernama Nyai Hajjah Salmah puteri
seorang ulama Betawi dari Kampung Melayu, Jatinegara, Jakarta Timur.
Kakeknya, Habib Abdullah bin Muhammad
Al-Habsyi, dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat. Dia menikah di
Semarang. Dalam pelayaran kembali ke Pontianak, ia wafat, karena kapalnya
karam. Adapun Habib Muhammad Al-Habsyi, kakek buyut Habib
Ali Kwitang, datang dari Hadramaut lalu bermukim di Pontianak dan mendirikan
Kesultanan Hasyimiah dengan para sultan dari klan Algadri.
Habib ‘Abdur Rahman
meninggal dunia sewaktu Habib ‘Ali masih kecil. Sebelum wafat, Habib ‘Abdur
Rahman berwasiat agar anaknya Habib ‘Ali belajar ke Hadhramaut untuk mendalami ilmunya
dengan para ulama di sana. Dua tahun setelah sang ayah wafat, Habib Ali Kwitang
yang saat itu masih berusia 11 tahun, berangkat belajar ke Hadramaut. – sesuai
wasiat ayahandanya. Tempat pertama yang dituju adalah Habib Abdurrahman bin
Alwi Alaydrus. Selama 4 tahun, Habib Ali Kwitang tinggal di sana,
lalu pada tahun 1303 H/1886 M ia pulang ke Betawi.
Pulang
dari Hadramaut, ia belajar kepada Habib Utsman bin Yahya (mufti
Batavia, yang juga pernah mengajar di Masjid Jami
Annawier – Pekojan), Habib Husein bin Muhsin Alatas
(Kramat, Bogor), Habib Alwi bin Abdurrahman Al-Masyhur, Habib Umar bin Idrus
Alaydrus, Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Aththas (Pekalongan), Habib
Ahmad bin Muhammad Al-Muhdhor (Bondowoso).
Pada
tahun 1356H/1938M ia membangun masjid di Kwitang yang dinamakan masjid
Ar-Riyadh. Ia mengusahakan pada kawan-kawan dari keluarga Al-Kaf agar
mewakafkan tanah masjid itu, sampai ia menulis surat kepada Sayyid Abubakar bin Ali bin Abubakar Shahabuddin agar
berangkat ke Hadramaut untuk berbicara dengan mereka. Setelah Sayyid Abubakar
bernegosiasi, akhirnya masjid itu diwakafkan, sehingga tanah itu sampai
sekarang tercatat sebagai wakaf pada pemerintah Hindia Belanda. Ukuran tanah masjid itu adalah seribu
meter persegi. Habib Ali Habsyi juga membangun madrasah yang dinamakan unwanul Falah di samping masjid tersebut yang tanahnya
sekitar 1500 meter persegi dan membayar sewa tanah sebesar 25 rupiah setiap
bulan.
Habib
Ali menunaikan haji 3 kali. Pertama tahun 1311 H/1894 M di masa Syarif Aun,
kedua tahun 1343 H/1925 M di masa Syarif Husein, dan ketiga tahun 1354 H/1936 M
di masa Ibnu Saud dan pergi ke Madinah 2 kali. Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi wafat 23 Oktober 1968
dalam usia 102 tahun. Ketika itu, TVRI menjadi satu-satunya stasiun televisi
yang menyiarkan berita duka cita. Ribuan orang berbondong-bondong melakukan
takziah ke kediamannya di Kwitang, Jakarta Pusat, yang sekaligus menjadi
majelis taklim tempat ia mengajar.
Sejumlah
menteri dan pejabat tinggi negara berdatangan memberikan penghormatan terakhir.
Sejumlah murid almarhum dari seluruh Jawa, bahkan seluruh Indonesia dan luar
negeri, juga datang bertakziah. Sebelum jenazah di makamkan di Masjid
Ar-Riyadh, yang dipimpinnya sejak ia muda, Habib Salim bin Jindan,
yang sering berdakwah bersama almarhum, membaiat Habib Muhammad, putra
almarhum, sebagai penerusnya. Ia berpesan agar meneruskan perjuangan almarhum
dan memegang teguh akidah Alawiyin.
Ada
kisah menarik sebelum almarhum wafat. Suatu hari, ia minta tiga orang kiai
kondang asal Jakarta maju ke hadapannya. Mereka adalah K.H. Abdullah Syafi’i,
K.H. Thahir Rohili, dan K.H. Fathullah Harun. Habib Ali
mempersaudarakan mereka dengan putranya, Habib
Muhammad. Dalam peristiwa mengharukan yang disaksikan ribuan jemaah itu, Habib
Ali berharap, keempat ulama yang dipersaudarakan itu terus mengumandangkan
dakwah Islam.
Presiden SBY bersama Fauzi Bowo (gubernur DKI Jakarta) saat berziarah ke makam Habib Ali Kwitang setelah hadir di masjelis taklim kwitang dan Islamic Center Indonesia - Kwitang. |
Harapan
Habib Ali menjadi kenyataan. Habib Muhammad meneruskan tugas ayahandanya
memimpin majelis taklim Kwitang selama 26 tahun. K.H. Abdullah Syafi’i, sejak 1971 hingga 1985,
memimpin Majelis Taklim Asy-Syafi’iyah,
dan K.H. Thahir Rohili memimpin Majelis Taklim Ath-Thahiriyah. Sedangkan K.H. Fathullah Harun
belakangan menjadi ulama terkenal di Malaysia. Ketiga majelis taklim tersebut
menjadikan kitab An-Nasaih ad-Diniyyah, karya Habib Abdullah Alhadad, seorang
sufi dari Hadramaut, penyusun Ratib Hadad, sebagai pegangan. Sebab, kitab itu
juga menjadi rujukan Habib Ali Kwitang.
Arsitektural Masjid Al-Riyadh Kwitang
Masjid
Kwitang itu terdiri dari dua lantai dengan sebuah menara besar di sisi kanan
bagian depan masjid. Lantai
pertama masjid tesebut biasanya digunakan untuk shalat berjamaah seperti biasa,
dan saat Ramadhan seperti saat ini, ruangan tersebut juga masih muat menampung
jamaah shalat terawih. Sementara lantai kedua, khusus digunakan untuk shalat
Ied. Sedangkan dalam kesehariannya di lantai dua ini
menjadi tempat penyelenggaraan pendidikan Madrasah yang dikelola oleh Masjid
Jami Al-Riyadh.
Tiang tiang
besar segi empat mendominasi bangunan masjid tua ini. lokasnya yang berada di
tengah pemukiman padat penduduk membuat masjid ini tak memiliki halaman luas
layaknya sebuah masjid besar. Pintu utama masjid ini hanya beberapa meter dari
jalan raya di depannya. Letaknya yang demikian bahkan sedikit menyulitkan untuk
mengambil gambar masjid ini utuh dalam satu frame.
Dibagian dalam
masjid terasa lega dengan atap sisi mihrab yang cukup tinggi. Lantai dua masjid
berbentuk mezanin dengan menyisakan ruang kosong disisi mihrab. Mihrab masjid
ini tidak dipakai sebagai tempat imam karena lokasi sajadah imam berada di
depan mihrab bukan di dalam ruang mihrab. Sementara mimbar khatib dibuat dari
kayu berukir, bukan sebagai sebuah podium tapi benar benar sebuah mimbar dimana
khatib berdiri di puncak tangga tertinggi. Mimbar seperti ini memang lazim
digunakan di negara negara timur tengah dan kebanyakan masjid masjid di
Indonesia.
Makam Habib Kwitang
Ada aturan
ketat saat berziarah ke makam Habib Kwitang di dalam komplek masjid ini.
ditulis dengan jelas disana pesan dari Almarhum Habib Kwitang semasa hidupnya
bagi siapa saja yang akan menziarahi makamnya : Wasiat Habib Ali Alhabsy ini
dipegang teguh oleh putra beliau K.H.S. Muhammad Bin Ali Alhabsyi semada
hidupnya, wasiat tersebut adalah :
- Jangan taruh tromol (kotak amal) makna nya dilarang memberikan / meletakkan uang dimakamnya
- Jangan taruh kemenyan, membawa / menaruh air, di area / di atas makam. Maknanya : almarhum tidak ingin dikultuskan / disucikan, apabila umat islam melakukan kekeliruan dalam berziarah ini, maka almarhum ikut pula menanggung dosanya.
- Kalau ingin memberikan hadiah bacaan Fatihah / Yasin, maknanya almarhum masih mengharapkan bantuan ummat, agar almarhum mendapat ampunan Alloh SWT.
Aktivitas Masjid Al-Riyadh Kwitang
Pada
masa kemerdekaan sampai era reformasi saat ini, masjid bersejarah ini tetap
berdiri kokoh. Selain digunakan untuk berdakwah dan menjalankan ibadah
sehari-hari, oleh pengurus dan pengelola, masjid ini dijadikan tempat belajar
secara formal. Sebuah sekolah dasar Islam bernama Madrasah Diniyyah Al
Riyadh didirikan sekitar tahun 1975. Melalui lembaga pendidikan ini,
masyarakat lebih mudah mengenalkan Islam pada putra-putrinya.
Secara
umum, kegiatan-kegiatan keagamaan masjid selama Ramadhan hampir sama dengan
masjid-masjid yang lain yaitu ceramah keagamaan, terawih, buka puasa bersama,
pesantren kilat dan lain-lain. Namun, tradisi khusus yang masih dijaga sampai
saat ini adalah setiap malam 25 Ramadhan selalu diadakan Khotmil Qur'an
atau khataman Al Qur'an di dalam shalat terawih. Setiap momen tersebut, banyak jamaah
dari luar Jakarta, bahkan seluruh Indonesia berdatangan. Ada yang juga dari Surabaya, Blitar,
Kalimantan. Acara diadakan dari pukul 21.00 WIB sampai dengan 23.00 WIB.
Masjid
Al Riyadh ini sendiri memiliki keunikan yang dapat membedakan dengan
masjid-masjid yang lain. Di dalam masjid terdapat makam sang pendiri, Habib Ali Al Habsyi, beserta putranya, Habib Muhammad bin Al Habsyi dan istri putranya. Keberadaan
makam mereka menjadi daya tarik bagi sebagian umat Islam untuk berziarah. Ini salah satu bentuk karamah beliau
(Habib Ali). Sudah wafat tetapi dapat memberikan berkah bagi masyarakat
sekitar. Dengan banyaknya peziarah, puluhan bahkan ratusan orang bisa berdagang
disini.
Foto Foto Masjid Ar-Riyadh
Kwitang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA