Halaman

Selasa, 03 April 2012

Masjid Jami’ Al-Anwar, Angke - Jakarta

Masjid Jami Al-Anwar Angke, salah satu masjid tua di jakarta yang dibangun oleh muslim Thionghoa pada masa Batavia.

Kata angke Angke! “Ang” berasal dari bahasa Cina yang berarti “merah”, sedangkan “ke” dari kata “bangke” (bangkai) penamaan itu terkait dengan memerahnya kali Angke akibat genangan darah muslim Thionghoa yang dibantai Belanda. Namun begitu, Kata angke menurut sejarawan Perancis Denys Lombard berasal dari kata Tionghoa yang berarti Riviere qui deborde yakni kali yang (suka) banjir. Di Jakarta Barat terdapat sebuah kali yang dinamakan Kali Angke yang dulunya memang sering banjir.

Mungkin karena letaknya berada di dekat kali yang sering banjir tersebut, maka masjid yang memiliki nama resmi Masjid jami’ Al-Anwar ini lebih populer di masyarakat dengan nama Masjid Angke. Konon karena sering kebanjiran sehingga ketinggian lantai ruang shalat dinaikkan lima anak tangga dari lantai ruang luarnya. Masjid Angke dibangun pada 2 April 1761M oleh seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim dari Tartar bernama Ny. Tan Nio yang bersuamikan orang Banten

Lokasi Masjid Jami Al-Anwar Angke

Masjid Jami Al-Anwar Angke
Jl. Pangeran Tubagus Angke (dulu Bacherachtsgracht)
Gg. Masjid No.1. RT 01/RW 05, Kampung Rawa Bebek
Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora
Jakarta Barat, DKI Jakarta 14440, Indonesia


               
Akses menuju Masjid Jami Al-Anwar Angke
Metromini B80 Kalideres – Grogol
Mikrolet M10 Tanah Abang – Kota/Jembatan Lima
Mikrolet M43 Grogol – Kota/ST. Kawan

Sejarah Masjid Jami Al-Anwar Angke Angke

Sejarah pendirian masjid ini berkaitan erat dengan peristiwa di zaman Jenderal Adrian Valckenier (1737-1741), beberapa kali terjadi ketegangan antara VOC dengan rakyat dan orang Tionghoa. Ketegangan memuncak pada tahun 1740 ketika orang-orang Tionghoa bersenjata menyusup dan menyerang Batavia. Karena kejadian ini, sang jenderal sangat marah dan memerintahkan pembunuhan massal terhadap orang-orang Tionghoa. Peristiwa ini diketahui Pemerintah Belanda, sang jenderal dimintai pertanggungjawaban dan dianggap sebagai gubernur jenderal tercela. Akibatnya, ia kemudian dipenjarakan Pemerintah Belanda pada tahun 1741. Dan tak lama kemudian sang jenderal pun akhirnya mati di penjara.

Masjid Al-Anwar Angke tahun 1920-an

Sewaktu terjadi pembunuhan massal itu, sebagian orang Tionghoa yang sempat bersembunyi dilindungi oleh orang-orang Islam dari Banten, dan hidup bersama hingga tahun 1751. Mereka inilah yang kemudian mendirikan Masjid Angke pada tahun 1761 sebagai tempat beribadah dan markas para pejuang menentang penjajah Belanda. Masjid konon juga sering dipakai sebagai tempat perundingan para pejuang dari Banten dan Cirebon.


Berdasarkan sumber Oud Batavia karya Dr F Dehan, masjid didirikan pada hari Kamis, tanggal 26 Sya’ban 1174 H yang bertepatan dengan tanggal 2 April 1761 M oleh seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim dari Tartar bernama Ny. Tan Nio yang bersuamikan orang Banten, dan masih ada hubungannya dengan Ong Tin Nio, istri Syarif Hidayatullah. Arsitek pembangunan masjid ini adalah Syaikh Liong Tan, dengan dukungan dana dari Ny. Tan Nio. Makam Syaikh Liong Tan, arsitek Masjid Jami Angke, yang berada di bagian belakang Masjid Jami Angke.

Menurut sejarawan Heuken dalam bukunya Historical Sights of Jakarta, kampung di sekitar Masjid Angke dulu disebut Kampung Goesti yang dihuni orang Bali di bawah pimpinan Kapten Goesti Ketut Badudu. Kampung tersebut didirikan tahun 1709. Banyak orang Bali tinggal di Batavia, sebagian dijual oleh raja mereka sebagai budak, yang lain masuk dinas militer karena begitu mahir menggunakan tombak, dan kelompok lain lagi datang dengan sukarela untuk bercocok padi. Selama puluhan tahun orang-orang Bali menjadi kelompok terbesar kedua dari antara penduduk Batavia (A Heuken SJ, 1997:166).

Interior Masjid Al-Anwar Angke, sangat khas dengan berbagai sentuhan budaya

Selain orang-orang Bali, kampung sekitar masjid dulunya juga banyak dihuni masyarakat Banten dan etnis Tionghoa. Mereka pernah tinggal bersama di sini sejak peristiwa pembunuhan massal masyarakat keturunan Tionghoa oleh Belanda. Bahkan jika kita berkunjung ke tempat tersebut saat ini, akan kita lihat masih banyak warga etnis Tionghoa yang tinggal di perkampungan tersebut.

Arsitektural Masjid Jami Al-Anwar Angke

Dikelilingi pagar tembok dan pagar besi untuk sisi timur. Halaman masjid seluas ±500 m persegi. Bangunannya merupakan perpaduan bentuk arsitektur yaitu gaya Jawa (terdapat pada tajuk), gaya limas pada karpus, dan gaya Eropa pada bagian pintu dan jendela. Ruang utamanya berdenah empat persegi, di dalamnya terdapat tiang, mihrab dan mimbar. Atapnya berupa atap tumpang bersusun dua berbentuk limasan.

Bangunan tambahannya berupa bangunan tempat sholat, tempat wudhu, ruang perpustakaan, dan ruang untuk belajar mengaji. Pada sisi utara bagian depan terdapat ruangan yang berfungsi sebagai sekretariat dan ruang perpustakaan. Di sebelah kiri (sisi selatan) agak ke depan dibuat ruangan yang berfungsi sebagai tempat anak-anak belajar mengaji. Di kompleks masjid ini terdapat makam yang terbagi atas tiga kelompok, dua kelompok terdapat di dalam kompleks sedang satu kelompok di seberang (depan) masjid.

Interior masjid Angke dari sudut yang berbeda

Yang menarik dari penampilan masjid ini adalah langgam arsitekturnya yang merupakan perpaduan antara Jawa, Tionghoa dan Eropa. Langgam arsitektur Jawa dapat ditelusuri dari denah bangunan persegi, bentuk atap tumpang, dan sistem struktur saka guru. Bagaimanapun bentuk bangunan bujur sangkar dan atap tumpang seperti itu dengan jelas menunjukkan bentuk masjid tradisional Jawa. Termasuk sistem konstruksi empat saka guru di tengah ruang shalat yang menopang atap yang meskipun tidak menggunakan material kayu tetapi material beton/bata pada kolomnya, tetapi tetap memperlihatkan kesamaannya dengan sistem konstruksi masjid-masjid tradisional di Jawa.

Langgam Tionghoa dapat dilihat pada detail konstruksi pada skur atap bangunan yang mengingatkan pada skur bangunan Tionghoa atau klenteng. Skur kayu bertumpuk seperti ini memang merupakan pengaruh budaya Tionghoa yang juga banyak ditemukan di pantai utara Jawa antara abad ke-14 dan ke-18. Sedangkan bentuk dan detail pada ujung-ujung atap bangunan juga memperlihatkan langgam Tionghoa, meski ada yang berpendapat bahwa hal ini merupakan pengaruh seni bangunan Bali yakni punggel.

Sedangkan langgam Eropa dapat diamati terutama pada bukaan-bukaan seperti pintu, jendela dan lubang angin. Pintu-pintu di sini dicirikan dengan ukuran yang tinggi dan besar dan berdaun pintu ganda. Sedangkan jendelanya juga besar dan lebar-lebar, namun jeruji kayu ulir sebagai pengisi jendela seperti itu lebih menampakkan kemiripan dengan jendela khas rumah tradisional Betawi dan umum dipakai pada masjid-masjid kuno di Jakarta yang dibangun pada sekitar abad ke-18.

Mimbar dan atap masjid angke, dua hal yang sangat unik dari masjid ini.

Masjid yang berbentuk bangunan tunggal dan kini menempati lahan seluas kurang lebih 500 m2 ini memiliki banyak elemen menarik. Elemen masjid yang paling unik yang dijumpai pada masjid ini adalah elemen Mimbar. Sebuah tempat khutbah berbentuk ceruk yang mirip seni sculpture tersebut menjadi aksen penting di dalam ruang shalat. Hiasan pada kiri dan kanan cerukan ini sangat serasi dengan tangga-tangga melingkar dari material marmer berwarna merah yang menuju ke kursi mimbar. Pola hiasan ini kembali diulang pada pengapit setiap pintu masuk terutama pada pintu utama (timur), yang diberi bingkai ukiran kayu. Bentuk mimbar memang sangat unik yang jarang dijumpai pada masjid-masjid lainnya di Jawa.

Selain itu, elemen ragam hias juga menjadi daya tarik tersendiri pada masjid yang pernah diperbaiki beberapa kali namun tetap menunjukkan ciri khasnya ini. Beberapa ragam hias yang menarik di antaranya adalah detail ukiran kayu corak floral natural dan kaligrafi pada kusen atau pintu utama, anak-anak tangga pintu masuk utama yang terbuat dari batu-batu candi berwarna merah, hiasan pada kanan dan kiri cerukan mimbar, dan hiasan pipit gantil pada setiap ujung atap bangunan masjid. Yang disebut terakhir ini sekilas nampak seperti ornamen “emprit gantil” pada konstruksi rumah-rumah tinggal di Jawa namun jika dilihat detailnya dengan jelas memperlihatkan sentuhan langgam Tionghoa.

Arsitektur Unik

Dari segi penggunaan ruang, masjid juga memiliki keunikan yakni sudah terdapatnya semacam mezanin yang memanfaatkan ruang di bawah atap tumpukan. Mezanin yang bisa dicapai dari anak tangga di sebelah timur salah satu kolom saka guru ini konon dulunya dipakai untuk mengumandangkan adzan, itikaf dan tempat pertemuan-pertemuan penting. Mezanin seperti ini juga terdapat di Masjid Al-Mansyur di Jalan Sawah Lio Jakarta Barat yang telah berdiri sejak tahun 1717.

Makam Pangeran Syarif Hamid Al Kadri berada di bawah sebuah cungkup, ditutupi kelambu berwarna kuning di bagian luar atas, dan berwarna kuning keemasan di bagian bawahnya. beliau merupakan Ayah dari Sultan Syarif Abd. Rachman Al Kadri, adalah pendiri Kota Pontianak

Di dekat masjid terdapat makam putra Sultan Pontianak Pangeran Hamid Al-Qadri yang dibuang ke Batavia pada masa Pemerintahan Hindia Belanda karena mengadakan pemberontakan pada sekitar tahun 1800-an. Makamnya terbuat dari batu pualam dan terdapat tulisan yang menyebutkan usia sultan yakni meninggal dunia dalam usia 64 tahun 35 hari. Ia meninggal pada tahun 1854. Namun nisan yang konon tertua adalah nisan Ny Chen, seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim, dan kini disimpan di samping masjid.

Pemugaran Masjid Jami Al-Anwar Angke

Masjid Angke beberapa kali mengalami pemugaran: tahun 1969-1970 Gubernur DKI Jakarta memugar beberapa bagian yang meliputi: lantai dalam, pengurugan halaman dengan plesteran, kaso-kaso bagian atap susun, dan langit-langit (plafon). Tahun 1973: tempat wudhu, tempat bedug, dan pintu masuk; Tahun 1974: pemberian cungkup makam Sultan Syekh Hamid Algadri; Tahun 1985-1987 dilakukan pemugaran dengan cara rehabilitasi dan konservasi. Secara organisasi masjid ini dimiliki dan dikelola Yayasan Pengurus Masjid Jami Al-Anwar.

Bangunan Cagar Budaya

Walaupun berukuran kecil—15 x 15 m2 berdiri di atas lahan 200 m2—masjid ini adalah salah satu masjid bersejarah yang dilindungi oleh UU Monumen (Monumen Ordonantie Stbl) Nomor 238 tahun 1931, juga diperkuat oleh SK Gubernur KDKI Jakarta tanggal 10 Januari 1972.

Foto Foto Masjid Al-Anwar, Angke

Gapura di pintu utama Masjid Angke, sangat kental dengan sentuhan Thionghoa
Langit langit di bawah atap utama


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Dilarang berkomentar berbau SARA