Masjid Jami Al-Anwar Angke, salah satu masjid tua di jakarta yang dibangun oleh muslim Thionghoa pada masa Batavia. |
Kata angke Angke! “Ang”
berasal dari bahasa Cina yang berarti “merah”, sedangkan “ke” dari kata “bangke”
(bangkai) penamaan itu terkait dengan memerahnya kali Angke akibat genangan darah
muslim Thionghoa yang dibantai Belanda. Namun begitu, Kata angke menurut sejarawan Perancis Denys Lombard berasal dari
kata Tionghoa yang berarti Riviere
qui deborde yakni kali yang (suka) banjir. Di Jakarta Barat terdapat
sebuah kali yang dinamakan Kali Angke yang dulunya memang sering banjir.
Mungkin karena letaknya berada di dekat kali yang sering
banjir tersebut, maka masjid yang memiliki nama resmi Masjid jami’ Al-Anwar
ini lebih populer di masyarakat dengan nama Masjid Angke. Konon karena
sering kebanjiran sehingga ketinggian lantai ruang shalat dinaikkan lima anak
tangga dari lantai ruang luarnya. Masjid Angke dibangun pada 2 April 1761M oleh seorang wanita keturunan
Tionghoa Muslim dari Tartar bernama Ny. Tan Nio yang bersuamikan orang Banten
Lokasi Masjid Jami Al-Anwar Angke
Masjid Jami Al-Anwar Angke
Jl. Pangeran Tubagus Angke (dulu
Bacherachtsgracht)
Gg.
Masjid No.1. RT 01/RW
05, Kampung Rawa Bebek
Kelurahan
Angke, Kecamatan Tambora
Jakarta Barat, DKI Jakarta 14440, Indonesia
Akses menuju Masjid Jami Al-Anwar Angke
Metromini B80 Kalideres – Grogol
Mikrolet M10 Tanah Abang – Kota/Jembatan Lima
Mikrolet M43 Grogol – Kota/ST. Kawan
Sejarah
Masjid Jami Al-Anwar Angke Angke
Sejarah pendirian masjid ini berkaitan erat dengan
peristiwa di zaman Jenderal Adrian
Valckenier (1737-1741), beberapa kali terjadi ketegangan antara VOC
dengan rakyat dan orang Tionghoa. Ketegangan memuncak pada tahun 1740 ketika
orang-orang Tionghoa bersenjata menyusup dan menyerang Batavia. Karena kejadian
ini, sang jenderal sangat marah dan memerintahkan pembunuhan
massal terhadap orang-orang
Tionghoa. Peristiwa
ini diketahui Pemerintah Belanda, sang
jenderal dimintai pertanggungjawaban dan dianggap sebagai gubernur jenderal
tercela. Akibatnya, ia kemudian dipenjarakan Pemerintah Belanda pada tahun
1741. Dan tak lama kemudian sang jenderal pun akhirnya mati di
penjara.
Sewaktu terjadi pembunuhan massal itu, sebagian orang Tionghoa yang sempat bersembunyi dilindungi oleh orang-orang Islam dari Banten, dan hidup bersama hingga tahun 1751. Mereka inilah yang kemudian mendirikan Masjid Angke pada tahun 1761 sebagai tempat beribadah dan markas para pejuang menentang penjajah Belanda. Masjid konon juga sering dipakai sebagai tempat perundingan para pejuang dari Banten dan Cirebon.
Berdasarkan sumber Oud Batavia karya Dr F Dehan, masjid didirikan pada hari Kamis, tanggal 26 Sya’ban 1174 H yang bertepatan dengan tanggal 2 April 1761 M oleh seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim dari Tartar bernama Ny. Tan Nio yang bersuamikan orang Banten, dan masih ada hubungannya dengan Ong Tin Nio, istri Syarif Hidayatullah. Arsitek pembangunan masjid ini adalah Syaikh Liong Tan, dengan dukungan dana dari Ny. Tan Nio. Makam Syaikh Liong Tan, arsitek Masjid Jami Angke, yang berada di bagian belakang Masjid Jami Angke.
Masjid Al-Anwar Angke tahun 1920-an |
Sewaktu terjadi pembunuhan massal itu, sebagian orang Tionghoa yang sempat bersembunyi dilindungi oleh orang-orang Islam dari Banten, dan hidup bersama hingga tahun 1751. Mereka inilah yang kemudian mendirikan Masjid Angke pada tahun 1761 sebagai tempat beribadah dan markas para pejuang menentang penjajah Belanda. Masjid konon juga sering dipakai sebagai tempat perundingan para pejuang dari Banten dan Cirebon.
Berdasarkan sumber Oud Batavia karya Dr F Dehan, masjid didirikan pada hari Kamis, tanggal 26 Sya’ban 1174 H yang bertepatan dengan tanggal 2 April 1761 M oleh seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim dari Tartar bernama Ny. Tan Nio yang bersuamikan orang Banten, dan masih ada hubungannya dengan Ong Tin Nio, istri Syarif Hidayatullah. Arsitek pembangunan masjid ini adalah Syaikh Liong Tan, dengan dukungan dana dari Ny. Tan Nio. Makam Syaikh Liong Tan, arsitek Masjid Jami Angke, yang berada di bagian belakang Masjid Jami Angke.
Menurut sejarawan Heuken dalam bukunya Historical Sights of Jakarta, kampung di sekitar Masjid Angke
dulu disebut Kampung Goesti
yang dihuni orang Bali di bawah pimpinan Kapten Goesti Ketut Badudu. Kampung tersebut didirikan tahun
1709. Banyak orang Bali tinggal di Batavia, sebagian dijual oleh raja mereka
sebagai budak, yang lain masuk dinas militer karena begitu mahir menggunakan
tombak, dan kelompok lain lagi datang dengan sukarela untuk bercocok padi.
Selama puluhan tahun orang-orang Bali menjadi kelompok terbesar kedua dari
antara penduduk Batavia (A Heuken SJ, 1997:166).
Interior Masjid Al-Anwar Angke, sangat khas dengan berbagai sentuhan budaya |
Selain orang-orang Bali, kampung sekitar masjid dulunya
juga banyak dihuni masyarakat Banten dan etnis Tionghoa. Mereka pernah tinggal
bersama di sini sejak peristiwa pembunuhan massal masyarakat keturunan Tionghoa
oleh Belanda. Bahkan jika kita berkunjung ke tempat tersebut saat ini, akan
kita lihat masih banyak warga etnis Tionghoa yang tinggal di perkampungan
tersebut.
Arsitektural
Masjid Jami Al-Anwar Angke
Dikelilingi pagar tembok dan pagar besi untuk sisi timur.
Halaman masjid seluas ±500 m persegi. Bangunannya merupakan perpaduan bentuk
arsitektur yaitu gaya Jawa (terdapat pada tajuk), gaya limas pada karpus, dan
gaya Eropa pada bagian pintu dan jendela. Ruang utamanya berdenah empat
persegi, di dalamnya terdapat tiang, mihrab dan mimbar. Atapnya berupa atap
tumpang bersusun dua berbentuk limasan.
Bangunan tambahannya berupa bangunan tempat sholat,
tempat wudhu, ruang perpustakaan, dan ruang untuk belajar mengaji. Pada sisi
utara bagian depan terdapat ruangan yang berfungsi sebagai sekretariat dan
ruang perpustakaan. Di sebelah kiri (sisi selatan) agak ke depan dibuat ruangan
yang berfungsi sebagai tempat anak-anak belajar mengaji. Di kompleks masjid ini
terdapat makam yang terbagi atas tiga kelompok, dua kelompok terdapat di dalam
kompleks sedang satu kelompok di seberang (depan) masjid.
Interior masjid Angke dari sudut yang berbeda |
Yang menarik dari penampilan masjid ini adalah langgam
arsitekturnya yang merupakan perpaduan antara Jawa, Tionghoa dan Eropa. Langgam
arsitektur Jawa dapat ditelusuri dari denah bangunan persegi, bentuk atap
tumpang, dan sistem struktur saka guru. Bagaimanapun bentuk bangunan bujur
sangkar dan atap tumpang seperti itu dengan jelas menunjukkan bentuk masjid
tradisional Jawa. Termasuk sistem konstruksi empat saka guru di tengah ruang
shalat yang menopang atap yang meskipun tidak menggunakan material kayu tetapi
material beton/bata pada kolomnya, tetapi tetap memperlihatkan kesamaannya
dengan sistem konstruksi masjid-masjid tradisional di Jawa.
Langgam Tionghoa dapat dilihat pada detail konstruksi
pada skur atap bangunan yang mengingatkan pada skur bangunan Tionghoa atau
klenteng. Skur kayu bertumpuk seperti ini memang merupakan pengaruh budaya
Tionghoa yang juga banyak ditemukan di pantai utara Jawa antara abad ke-14 dan
ke-18. Sedangkan bentuk dan detail pada ujung-ujung atap bangunan juga
memperlihatkan langgam Tionghoa, meski ada yang berpendapat bahwa hal ini
merupakan pengaruh seni bangunan Bali yakni punggel.
Sedangkan langgam Eropa dapat diamati terutama pada
bukaan-bukaan seperti pintu, jendela dan lubang angin. Pintu-pintu di sini
dicirikan dengan ukuran yang tinggi dan besar dan berdaun pintu ganda.
Sedangkan jendelanya juga besar dan lebar-lebar, namun jeruji kayu ulir sebagai
pengisi jendela seperti itu lebih menampakkan kemiripan dengan jendela khas
rumah tradisional Betawi dan umum dipakai pada masjid-masjid kuno di Jakarta
yang dibangun pada sekitar abad ke-18.
Mimbar dan atap masjid angke, dua hal yang sangat unik dari masjid ini. |
Masjid yang berbentuk bangunan tunggal dan kini menempati
lahan seluas kurang lebih 500 m2 ini memiliki banyak elemen menarik. Elemen
masjid yang paling unik yang dijumpai pada masjid ini adalah elemen Mimbar.
Sebuah tempat khutbah berbentuk ceruk yang mirip seni sculpture tersebut
menjadi aksen penting di dalam ruang shalat. Hiasan pada kiri dan kanan cerukan
ini sangat serasi dengan tangga-tangga melingkar dari material marmer berwarna
merah yang menuju ke kursi mimbar. Pola hiasan ini kembali diulang pada
pengapit setiap pintu masuk terutama pada pintu utama (timur), yang diberi
bingkai ukiran kayu. Bentuk mimbar memang sangat unik yang jarang dijumpai pada
masjid-masjid lainnya di Jawa.
Selain itu, elemen ragam hias juga menjadi daya tarik
tersendiri pada masjid yang pernah diperbaiki beberapa kali namun tetap
menunjukkan ciri khasnya ini. Beberapa ragam hias yang menarik di antaranya
adalah detail ukiran kayu corak floral natural dan kaligrafi pada kusen atau
pintu utama, anak-anak tangga pintu masuk utama yang terbuat dari batu-batu
candi berwarna merah, hiasan pada kanan dan kiri cerukan mimbar, dan hiasan
pipit gantil pada setiap ujung atap bangunan masjid. Yang disebut terakhir ini
sekilas nampak seperti ornamen “emprit gantil” pada konstruksi rumah-rumah
tinggal di Jawa namun jika dilihat detailnya dengan jelas memperlihatkan
sentuhan langgam Tionghoa.
Arsitektur Unik
Dari segi penggunaan ruang, masjid juga memiliki keunikan
yakni sudah terdapatnya semacam mezanin yang memanfaatkan ruang di bawah atap
tumpukan. Mezanin yang bisa dicapai dari anak tangga di sebelah timur salah
satu kolom saka guru ini konon dulunya dipakai untuk mengumandangkan adzan,
itikaf dan tempat pertemuan-pertemuan penting. Mezanin seperti ini juga
terdapat di Masjid Al-Mansyur di Jalan Sawah Lio Jakarta
Barat yang telah berdiri sejak tahun 1717.
Di dekat masjid terdapat makam putra Sultan Pontianak Pangeran Hamid Al-Qadri yang
dibuang ke Batavia pada masa Pemerintahan Hindia Belanda karena mengadakan
pemberontakan pada sekitar tahun 1800-an. Makamnya terbuat dari batu pualam dan
terdapat tulisan yang menyebutkan usia sultan yakni meninggal dunia dalam usia
64 tahun 35 hari. Ia meninggal pada tahun 1854. Namun nisan yang konon tertua
adalah nisan Ny Chen,
seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim, dan kini disimpan di samping masjid.
Pemugaran
Masjid Jami Al-Anwar Angke
Masjid Angke beberapa kali mengalami pemugaran: tahun
1969-1970 Gubernur DKI Jakarta memugar beberapa bagian yang meliputi: lantai
dalam, pengurugan halaman dengan plesteran, kaso-kaso bagian atap susun, dan
langit-langit (plafon). Tahun 1973: tempat wudhu, tempat bedug, dan pintu
masuk; Tahun 1974: pemberian cungkup makam Sultan Syekh Hamid Algadri; Tahun 1985-1987
dilakukan pemugaran dengan cara rehabilitasi dan konservasi. Secara organisasi
masjid ini dimiliki dan dikelola Yayasan Pengurus Masjid Jami Al-Anwar.
Bangunan
Cagar Budaya
Walaupun berukuran kecil—15 x 15 m2 berdiri di atas lahan
200 m2—masjid ini adalah salah satu masjid bersejarah yang dilindungi oleh UU
Monumen (Monumen Ordonantie Stbl) Nomor 238 tahun 1931, juga diperkuat oleh SK
Gubernur KDKI Jakarta tanggal 10 Januari 1972.
Foto
Foto Masjid Al-Anwar, Angke
Gapura di pintu utama Masjid Angke, sangat kental dengan sentuhan Thionghoa |
Langit langit di bawah atap utama |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA