Masjid An-Nawier salah satu masjid tertua di Jakarta yang berada di kawasan Pekojan. |
Pekojan, tempat Masjid ini berada, bersama tetangganya Glodok merupakan kampung tua di Jakarta yang dibangun pada abad ke 18. Sampai tahun 1950-an keturunan Arab merupakan mayoritas penduduk Pekojan. Sebelum dihuni etnis Arab yang datang dari Hadramaut (propinsi di Republik Yaman), Pekojan lebih dulu bermukim orang Benggali dari India. Kata Pekojan sendiri berasal dari kata “Koja” sebutan untuk muslim India yang datang dari Bengali.
Meskipun keturunan arab kini minoritas di Pekojan tapi sejumlah mushola dan masjid yang mereka dirikan ratusan tahun lalu masih terlihat di kampung ini. Salah satunya adalah Masjid Jami' Annawier yang dididirkan tahun 1760, atau lebih dikenal dengan sebutan Masjid Pekojan. Dibagian belakang masjid ini terdapat makam Syarifah Fatimah yang menyumbangkan lahan untuk membangun masjid tersebut dan makam tokoh tokoh Islam lainnya. Masjid ini pada abad ke 18 diperluas oleh Sayid Abdullah Bin Hussein Alaydrus seorang muslim tuan tanah kaya raya yang namanya di abadikan menjadi jalan Alaydrus di tempat ia tinggal di Batavia.
Meskipun keturunan arab kini minoritas di Pekojan tapi sejumlah mushola dan masjid yang mereka dirikan ratusan tahun lalu masih terlihat di kampung ini. Salah satunya adalah Masjid Jami' Annawier yang dididirkan tahun 1760, atau lebih dikenal dengan sebutan Masjid Pekojan. Dibagian belakang masjid ini terdapat makam Syarifah Fatimah yang menyumbangkan lahan untuk membangun masjid tersebut dan makam tokoh tokoh Islam lainnya. Masjid ini pada abad ke 18 diperluas oleh Sayid Abdullah Bin Hussein Alaydrus seorang muslim tuan tanah kaya raya yang namanya di abadikan menjadi jalan Alaydrus di tempat ia tinggal di Batavia.
Di masjid inilah tempat Habibb Usman Bin Yahya, mufti Islam di Batavia mengajar. Habib kelahiran Pekojan 1238H dikenal produktif menulis buku buku agama. Diantara 50 buku karangannya masih digunakan di pengajian pengajian. Salah satu muridnya yang terkenal adalah Habib Ali Alhabsyi atau lebih dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang, yang kurang lebih seabad lalu mendirikan majelis taklim Kwitang.
Lokasi Masjid An-Nawier
Lokasi Masjid An-Nawier
Masjid Annawier
Jalan Pekojan Raya No. 71 Gg. II
Kelurahan Pekojan, Kecamatan Tambora
Jakarta
Barat 11240 - INDONESIA
Sejarah Masjid An-Nawier
Nama
An-Nawier yang menjadi nama Masjid ini memiliki
makna “cahaya”, Bisa jadi para
pendirinya dulu berharap agar masjid yang berada ditengah perkampungan Pekojan ini diharapkan bisa memberi cahaya bagi umat Islam di tanah air. Masjid tua dan bersejarah ini kini masuk dalam daftar
bangunan bersejarah yang dilindungi dengan pengesahan berupa SK. Mendikbud R.I. No.
0128/M/1988
Berdasarkan catatan sejarah yang ada di Masjid Jami’ Annawier,
disebutkan bahwa Masjid Jami’ Annawier pertama kali berdiri tahun 1760M
bertepatan dengan tahun 1180H berupa sebuah surau kecil yang diketuai oleh Daeng Usman Bin Rohaeli sampai tahun 1825M. Kemudian diteruskan
oleh Komandan Dahlan tahun 1825-1860M. Daeng Ustman, adalah salah seorang pedagang yang menggunakan
sungai Pekojan sebagai jalur transportasi dagangnya. Kemudian beliau
berinisiatif mendirikan masjid, sehingga dibangunlah masjid ini.
Menara masjid
Jami’ Annawier yang khas
mirip sebuah mercusuar.)
|
Salah satu sumber menyebutkan bahwa Komandan Dahlan adalah
seorang utusan Kesultanan Banten yang membantu Fatahillah menyerang Belanda di
daerah Sunda Kelapa. Dari kebiasaannya menggunakan ikat kepala dari kain tenun
Banten yang disebut Koja lahir nama PeKOJAn. Hal tersebut sepertinya memang
masih perlu digali lebih lanjut, mengingat Kesultanan Banten justru baru
berdiri setelah Fatahillah memimpin pasukan gabungan dari Cirebon dan Demak
berhasil menghancurkan Belanda di Sunda Kelapa atas perintah dari Raden Fatah (Sultan Demak) & Sunan Gunung Jati
(Sultan Cirebon).
Makam Komandan Dahlan kini bisa dilihat di sebelah utara masjid
yang dikelilingi batu pahatan besar. Di sekitar masjid pun ada beberapa
makam-makam tua para ulama besar Kampung Pekojan. Konon Masjid Jami Pekojan ini
dahulunya menjadi induk dari masjid-masjid sekitar Batavia.
Tahun 1897M Syarifah Kecil atau Syarifah Fatimah binti Husein Al Idrus mewakafkan tanah miliknya untuk keperluan pembangunan
Masjid. Dan pada tahun 1926 masjid ini diperluas dan diperindah oleh Sayid Abdullah bin Husein
Alaydrus, beliau merupakan seorang
muslim kaya raya yang namanya
diabadikan menjadi nama Jalan Alaydrus di Jl Gajah Mada, Jakarta Pusat. Semasa
hidupnya ia ikut menyelundupkan senjata untuk para pejuang Aceh saat melawan
Belanda.
Mimbar tua di
masjid Jami’ Annawier,
hadiah dari Sultan Pontianak
|
Pengurusan Masjid ini berlanjut oleh beliau hingga tahun 1943 bersama
Syech Abdurrahman bin Muhammad Baktsir, Sayid Alwi Bin Abdullah Alaydrus, H.
Abdul Mu’thi bin H. Musyaffa’, Sayid Hasym bin Abdullah Alaydrus, H. Muhammad
Tosim, Sayid Muhammad bin Achmad Alaydrus.
Pada periode tahun 1945-1967 kepengurusan masjid dipegang oleh H. Saleh
Bajere, A. Somad Bachtiar, Muhana Bin Idan, H. Usman (Banjar), H. Abdul Karim
dan Sa’iyan. Periode tahun 1967-1974 dipegang oleh H. Roji’un, Abdurrahman
AlJufrie dan Mahmud Samandi. Periode tahun 1974-2000 dipegang oleh Sayid
Abdurrahman Bin Idrus Al-Jufrie dan H. Mahmud Samandi. Sedangkan kepengurusan
sejak tahun 2001 hingga saat ini dipegang oleh H. Torik Saleh, Ahmad Hasan,
Abdul Azi Ahmad dan H. Solihin.
Sumber lain menyebutkan bahwa pada saat
terjadi perang Dipenogoro pada tahun 1825-1830, seorang ulama bernama Habib Ustman Bin
Yahya, bersama KH Nawawi, memperbaiki
dan memerluas masjid, dari 400 meter
persegi, sampai 800 meter persegi. Selain
membangun dan memperluas masjid, Usman dan Nawawi kemudian memperbaiki arah kiblat masjid ini yang terjadi sedikit menjadi
menyerong bukanlah
lurus seperti bentuk bangunan gedung masjid atau
sejajar dengan pilar yang terdapat di dalam gedung.
Mesjid
An Nawier ini merupakan salah satu
masjid tempat mengajar Habib Usman Bin Yahya, pengarang sekitar 50
buku (kitab kuning) berbahasa Melayu Arab gundul. Ia pernah diangkat sebagai
mufti Betawi pada 1862 (1279 H). Salah seorang muridnya adalah Habib Ali
Alhabsji (meninggal 1968) yang mendirikan Majelis Taklim Kwitang serta Masjid Arriyadh di Kwitang.
Elaborasi Sejarah
Masjid An-Nawier & PeKOJAn
Penyerangan Sunda Kelapa oleh Fatahillah berahir gemilang pada tanggal
22 Juni tahun 1527, sementara Komandan Dahlan meneruskan pembangunan masjid
An-Nawier pada tahun 1825-1860, terpaut waktu setidaknya 298 tahun diantara
kedua peristiwa tersebut. Pembangunan masjid An-Nawier sendiri baru dimulai
tahun 1760 atau terpaut sekitar 233 tahun setelah kemenangan Fatahillah atas
Sunda Kelapa. Sepertinya pendapat yang mengatakan bahwa Komandan Dahlan adalah
seorang utusan Kesultanan banten yang membantu Fatahillah menyerang Belanda di
Sunda Kelapa adalah sangat lemah.
Interior Masjid An-Nawier |
Ditambah lagi fakta sejarah bahwa Fatahillah berhadapan dengan Portugis
di Sunda Kelapa, bukan berhadapan dengan Belanda. Fatahillah wafat pada usia 99
tahun di sekitar tahun 1570, atau kira kira 43 tahun setelah kemenangannya di
Sunda Kelapa dan mendirikan Jayakarta, beliau dimakamkan di Astana Gunung Jati
bersebelahan dengan sahabat sekaligus mertuanya, Sunan Gunung Jati. Maknanya
bahwa Fatahillah telah wafat sekitar 190 tahun sebelum Masjid An-Nawier mulai
dibangun Daeng
Usman Bin Rohaeli sampai tahun 1825M, baru kemudian pembangunannya
diteruskan oleh Komandan Dahlan.
Dari rangkaian sejarah tersebut menunjukkan bahwa Komandan Dahlan
bukanlah utusan Fatahillah. Bisa jadi beliau memang berasal dari Kesultanan
Banten yang memang tidak pernah mengakui kekuasaan Belanda atas Jayakarta
(Batavia). Sejarah juga mencatat bagaimana orang orang Islam Banten memberikan
perlindungan kepada orang Tionghoa yang melarikan diri dari pembunuhan Massal
oleh pasukan VOC Belanda tahun 1740 atas perintah Jenderal
Adrian Valckenier
(1737-1741) sampai kemudian bersama sama mendirikan Masjid Jami Al-Anwar Angke di tahun 1761.
Hal menarik lainnya tentang sejarah Pekojan, Fatahillah dan Benten.
Disebutkan bahwa nama Pekojan berasal dari kata KHOJA yang merupakan nama kain
ikat kepada orang orang Banten. Sejarah tutur tersebut sangat jelas menunjukkan
bahwa kawasan tersebut di masa penjajahan Belanda memang banyak orang orang
muslim Banten yang beraktivitas disana. Dan lebih menarik lagi bahwa Fatahillah
dikenal dengan banyak nama salah satunya adalah Laksamana KHOJA Hasan.
Tahun pembangunan masjid ini tertulis dengan jelas di atas pintu masuk Masjid (foto atas), kubahnya berbentuk bundar (lihat foto segoro, serta bgaian terasju. |
Nama beliau lainnya adalah Tubagus Pasai, Wong Agung Pasai, Fadhilah
Khan, bahkan ada juga yang menyebut beliau sebagai Sunan Gunung Jati II karena
memang pernah menggantikan sementara waktu kedudukan Sunan Gunung Jati Sebagai
Sultan Cirebon, serta karena faktor kedekatan beliau secara pribadi dengan
Sunan Gunung Jati. Saking dekatnya bahkan kadangkala terjadi salah kaprah
dengan menyebut beliau sebagai tokoh yang sama dengan Sunan Gunung Jati,
padahal diantara keduanya adalah dua tokoh yang berbeda. Tentunya menjadi
menarik untuk merunut lebih jauh lagi.
Arsitektural Masjid An-Nawier
Masjid An-Nawier
mempunyai arsitektur indah dan khas. Kekhasan terlihat dari perpaduan gaya
Timur Tengah, Cina, Eropa, dan Jawa. Tidak terdapatnya kubah merupakan bentuk
pengaruh masjid di Timur Tengah, tepatnya Hadramaut (Yaman Selatan). Kita dapat
menyaksikan ornamen khas Cina menempel di pintu-pintu masjid dan bentuk
konstruksi daun jendela beraksen Jawa. Sangat
menarik karena pembangunan masjid ini melibatkan kontraktor China dan Moor di
Batavia.
Memasuki ruang utama, terlihat jelas pada tiang penyangga
berbentuk silinder bercat putih khas Eropa. Dalam ruang utama berbentuk huruf L
tersebut berdiri kokoh 33 pilar besar. Jumlah pilar sesuai jumlah dzikir yang
biasa dibaca umat Islam setelah selesai shalat. Sebelum diperluas,
masjid di pinggir kali Angke itu hanya memiliki 11 tiang. Jika dilihat dari
dalam, masjid tua di perkampungan padat penduduk tersebut berbentuk huruf L.
Yang diperluas itu bagian belakang dan samping untuk disesuaikan dengan bentuk
tanah.
Pilar pilar besar di dalam masjid An-Nawier |
Bagian depan ruang utama terdapat dua mimbar tempat berkotbah. Salah satunya hadiah dari Sultan Pontianak pada abad 18 Masehi. Di dinding dekat mimbar terdapat tulisan Arab dengan arti: “Inilah mimbar tempat menyampaikan penerangan-penerangan agama dan nasihat yang benar”.
Luas bangunannya sekitar 1.983 meter persegi berdiri
di atas areal tanah seluas 2.520 m2, dan dapat menampung
sekitar 2.000 jamaah. Hingga saat ini, Masjid An-Nawier merupakan masjid
terbesar di Jakarta Barat. Karena terkenal paling besar dan tua di daerah
Pekojan, maka masjid ini juga dikenal dengan sebutan Masjid Pekojan. Masjid mempunyai menara mirip mercusuar dengan tinggi 17
meter, berdiri kokoh di bagian luar. Konon, pada masa perjuangan kemerdekaan,
menara ini sering dijadikan tempat bersembunyi para pejuang dari kejaran
tentara penjajah.
Secara umum, hampir semua bangunan masjid mempunyai jumlah sesuai perhitungan
dalam ibadah umat Islam. Misalnya, tiang di ruang serambi masjid berjumlah 17,
melambangkan jumlah rakaat dalam shalat. Lima pintu dari arah barat ke timur melambangkan rukun
Islam, sedangkan enam jendela pada bagian selatan melambangkan rukun Iman.
Secara keseluruhan, masjid ini ditopang oleh 99 pilar, melambangkan jumlah
asmaul husna (nama-nama baik) kepunyaan Allah SWT.***
سُبْحَانَ اللّه indonesia
BalasHapus