Masjid Jami' Al-Ma'mur Cikini, masjid tua Jakarta yang masih berdiri dalam bentuk aslinya. |
Di tepi Kali Ciliwung, membelakangi Rumah
Sakit PGI Cikini, Jakarta, Berdiri
kokoh melewati waktu lebih dari 150 tahun, sebuah masjid tua yang sarat dengan
sejarah. Namanya Masjid Jami' Cikini Al-Ma'mur, namun lebih dikenal dengan nama Masjid Cikini.
Masjid itu merupakan salah satu masjid tertua di Jakarta, di bangun diatas tanah milik pelukis ternama Raden Saleh dalam tahun 1860. Masjid tua yang menyimpan kisah perjuangan panjang
kaum muslimin mempertahankan hak atas masjid ini.
Sederet tokoh
tokoh pahlawan Nasional pernah menorehkan nama mereka dalam sejarah
mempertahankan masjid ini sejak era penjajahan Belanda hingga ke masa
kemerdekaan sampai ahirnya Masjid Al Ma’mur Cikini ahirnya benar benar kembali
ke pangkuan ummat Islam hingga hari ini. Tak hanya sejarah mempertahankannya
tapi sejarah pembangunannya pun tak lepas dari kegigihan dan tekad muslim
Batavia dalam masjid ini, sejarah mencatat warga muslim setempat bahkan rela
mengumpulkan beras demi mendanai pembangunan masjid ini.
Lokasi dan Alamat Masjid Al Ma’mur Cikini
Jl. Raden Saleh Raya RT.3/RW.3, Cikini, Menteng,
Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10330
Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10330
Siapakah Raden Saleh
Beliau adalah
seorang pelukis
ternama, bernama lengkap Raden Saleh Syarif Bustaman. Lahir di Terbaya dekat Semarang
sekitar tahun 1814 dari keluarga aristokrat keturunan Arab. Ia mendapat
beasiswa untuk belajar di negeri Belanda tahun 1829, di sana berkenalan dengan
kalangan ningrat dari banyak istana di Eropa, khususnya dengan Grojbherzog von
Sachsen-Corburg-Gotha. Raden Saleh menerima
gelar ksatria Belanda, Austria dan Prusia. Dialah pelukis Indonesia yang paling
berbakat dan berhasil pada abad ke 19. Sekembalinya di Jawa dari Eropa pada
tahun 1851, ia menetap di Batavia, di sebuah rumah bergaya gotik yang dirancang
sendiri dan dibangun di daerah Cikini. Ia banyak melukis dalam gaya romantis
dengan komposisi dramatis. Banyak lukisannya diterima ke dalam aneka koleksi
kerajaan maupun pribadi di Eropa, khususnya di berbagai Museum di Amsterdam.
Lukisannya yang terkenal antara lain: Penangkapan Pangeran Diponegoro (1857)
dan Berburu Banteng (1851) yang disimpan di Puri Bhakti (kompleks Istana).
Raden Saleh
|
Raden Saleh adalah pelukis Jawa pertama yang
secara sistematis menggunakan cat minyak dan mengambil teknik-teknik Barat:
realisme pada potret, pencarian gerak, perspektif dan komposisi berbentuk
piramid dan sebagainya. Kini ia dikenal sebagai
"bapak" ilmu seni lukis Indonesia. Sebagian masyarakat seni rupa
(ahli sejarah, kritikus, praktisi, pecinta seni) menyebut bahwa seni lukis
Indonesia modern diawali sejak Raden Saleh (1807-1880),
yang berkiprah pada pertiga abad ke-19. Sebagai cicit Sayid Abdullah Bustam
dan putra Sayid Husein bin Yahya, Raden Saleh
selama di Maxem, Jerman mendirikan sebuah mushola bertuliskan basmalah dalam
bahasa Jerman dan Jawa. Sementara di dekat kediamannya di Cikini ia juga
membangun sebuah surau (1860). Setelah beberapa kali tergusur surau tersebutlah
yang kini menjadi masjid
Cikini Al-Ma’mur. Dari garis keturunannya Raden Saleh merupakan
saudara sepupu dari Habib
‘Ali bin ‘Abdur Rahman bin ‘Abdullah bin Muhammad al-Habsyi
Atau lebih dikenal dengan nama Habib Ali Kwitang, Ulama
kondang dan berpengaruh di Batavia, pendiri majelis taklim Kwitang, Masjid
Ar-Riyadh Kwitang dan Islamic Center Indonesia di Kwitang.
Sebagai
penyayang binatang, Raden Saleh mendirikan kebon binatang pertama di Cikini,
yang masih merupakan bagian dari tanah kediamannya. Kebon Binatang ini pada
masa gubernur Ali Sadikin akhir 1960-an dipindahkan ke Ragunan,
Jakarta Selatan. Kediamannya di Cikini terbentang dari TIM, dua bioskop (Garden
Hall dan Podium), kolam renang Cikini, hingga SMP I Cikini, yang dulunya
merupakan pintu gerbang untuk masuk ke kediamannya. Ketika pindah ke Bogor,
pelukis ini menjual rumah beserta tanahnya pada Sayid Abdullah bin
Alwi Alatas, pemilik gedung Museum Tekstil di Jatipetamburan,
Jakarta Pusat. Kemudian rumah dan tanah yang luas itu dijual pada Koningen Emma Ziekerhuis (Yayasan Ratu Belanda Emma), dengan
harga 100 ribu gulden. Mengetahui
rumah dan tanah akan dijadikan rumah sakit, Abdullah Alatas memotong harga
penjualan jadi 50 ribu gulden. Ketika Indonesia merdeka, yayasan ini
menyerahkannya kepada RS PGI Cikini.
Ketika
terjadi kerusuhan di Bekasi pada 1869 oleh kelompok Islam, Raden Saleh dituduh
turut mendalanginya. Kediamannya digeledah, setelah dikepung 50 serdadu
bersenjata lengkap. Pelukis ini meninggal di Bogor tahun 1880 dan dimakamkan di
Jl. Bondongan (kini Jl Pahlawan). Bersebelahan dengan makam istrinya RA Danurejo, putri dari Keraton Kesultanan Mataram.
Sejarah Masjid Jami’ Cikini Alma’mur
Surau Raden Saleh
Sejarah Masjid
Cikini dimulai pada tahun 1860,
Raden Saleh dan masyarakat sekitar membangun sebuah surau
disamping kediamannya (kini
menjadi asrama perawat RS Cikini). Akibat kedekatan pelukis kondang ini dengan umat Islam
setelah ia menikah kembali dengan wanita keturunan Kraton Yogyakarta ia dituduh
terlibat dalam kerusuhan di Tambun (Kabupaten Bekasi). Kerusuhan tersebut digerakkan
kelompok Islam yang menentang pemerintah kolonial Belanda. Meskipun tuduhan itu
tidak terbukti, tapi Belanda tetap mengenakan tahanan rumah kepadanya.
Berdasarkan
data yang dikeluarkan Yayasan Masjid Al Ma'mur, sesudah Raden Saleh
meninggal dunia (1906), tanah itu dimiliki Sayed Abdullah bin Alwi Alatas,
yang pemilikannya diperkuat oleh Keputusan Pengadilan Negeri No 694 tanggal 25
Juni 1906, sebagai suatu kelanjutan dari Keputusan Pengadilan Negeri No 145 tanggal 7 Juli 1905.
Tanah itu dibeli melalui sebuah
pelelangan. Tanah yang sangat luas ini kemudian oleh Sayed Abdullah Bin
Alwi Alatas, salah satu tokoh gerakan Pan Islam
dijual kepada 'Koningen Emma Stichingi' (Yayasan Ratu Emma -
yang bernaung di bawah
Pemerintah Kolonial Belanda)
dengan harga 100 ribu
gulden. Tapi karena yayasan ini ingin membangun rumah sakit, harganya dikurangi
menjadi 50 ribu gulden dengan penegasan bahwa masjid (surau) yang ada di sana
tidak boleh dibongkar.
Selamat dari Penggusuran Oleh
Pemerintah Belanda
Perjanjian jual beli
antara Sayed Abdullah Bin
Alwi Alatas dengan
'Koningen Emma Stichingi' diingkari pemerintah kolonial
Belanda. Masjid yang dibangun Raden Saleh digusur dan
dipindahkan ke pinggir kali Ciliwung.
Akibatnya, tempat ibadah ini kerap kebanjiran. Tahun 1890 tercatat sebagai
tahun ketika masjid itu dipindahkan secara gotong-royong dengan diusung
beramai-ramai oleh masyarakat sekitar. Tanah yang dipilih sebagai lokasi baru
adalah tanah milik Sayid Ismail Salam bin Alwi Alatas yang lain di
lokasi masjid sekarang.
Kala itu masjid masih berbahan
bambu. Pada tahun
1925, 'Koningen Emma Stichingi' yang masih saja merasa gerah dengan keberadaan masjid
yang beberapa ratus meter saja jaraknya dari tempat mereka, dengan dukungan pemerintah kolonial
Belanda, meminta agar masjid yang sudah dirasakan sebagai milik umat Islam
Cikini harus dipindahkan (digusur) ketempat lain. Dengan alasan, di tempat
masjid itu berada akan dibangun gereja.
Niat untuk memindahkan masjid ini
menimbulkan reaksi yang keras bukan saja dari masyarakat di Betawi, tapi juga
umat Islam di Pulau Jawa. Umat Islam merasa tertusuk hatinya, dengan perintah
pembongkaran rumah Allah ini. Sebagai rasa setiakawan, maka kala itu mereka melakukan
perlawanan. Tidak tanggung-tanggung, perlawanan ini dipelopori oleh sejumlah
tokoh Islam, HOS Tjokroaminoto, KH Mas Mansyur,
H Agus Salim, dan Abikoesno Tjokrosoeyoso.
Mereka adalah tokoh-tokoh Syarikat Islam (SI), yang kala itu merupakan
satu-satunya ormas Islam yang kemudian menjadi PSII. Inilah sebabnya pada
gapura masjid terdapat lambang SI hingga saat ini.
Pemugaran Tahun 1926
Gencarnya
reaksi menentang dari umat Islam ternyata menciutkan nyali Belanda. Sekiranya
Belanda tetap ngotot niscaya terjadi pertumpahan darah. Sesudah pertentangan
mereda, pada 1926 masjid Al Ma'mur dipugar oleh ummat Islam. Pemugaran ini
dimotori oleh tokoh umat Islam diatas, sebagai manifestasi perlawanan umat
Islam terhadap tindakan pemerintah kolonial, diketuai oleh H Agus Salim. Masyarakat muslim bergotong royong membangun masjid
dengan mengandalkan sumbangan segenggam beras, Beras yang dikumpulkan itu dijual ke pasar dan hasilnya
dibelikan bahan bangunan untuk membangun masjid ini. keseluruhan proses
pembangunan itu selesai tahun 1935.
Perjuangan 27 Tahun
Pada
1960-an, saat demokrasi terpimpin, situasi politik di tanah air memanas. Saat
itu umat Islam (menjelang G30S/PKI), sibuk menghadapi move-move politik. Dalam
situasi demikian, tanpa sepengetahuan umat Islam/pengurus masjid tanah masjid diambil/diakui oleh Dewan Geredja-geredja
Indonesia menjadi miliknya dengan cara mensertifikatkan tanah masjid tersebut
di atas namanya. Saat itu yang menjadi Menteri Agraria adalah Hermanses SH dan Perdana Menteri Dr. J Leimena.
Tahun 1964, ketenangan beribadah kaum
muslimin di sekitar Masjid Al Makmur diganggu oleh Kementrian Agraria RI yang
menerbitkan SK hak milik berupa sertifikat tanah atasnama Dewan Gereja
Indonesia (DGI). Dalam
sertifikat itu disebutkan bahwa tanah di sekitar masjid ::: termasuk tanah yang di atasnya
dibangun masjid itu :::
diklaim milik DGI. Padahal di tahun yang sama, Masjid Al Makmur telah berbadan
hukum berbentuk Yayasan Masjid Al Makmur bernomor akta notaris 13, tertanggal 8
Juli 1964 dengan notaris Adasiah Harahap. Badan pendirinya, disebutkan adalah Sukaryo Mustafa seorang pedagang yang bertempat tinggal di
jalan Cisadane, serta Kamil
Cokroaminoto (keturunan
HOS Cokroaminoto), lalu H. Abdul Karim Naiman,
seorang pegawai negeri (sekarang
anaknya ::: H. Sabihun Naiman::: menjadi ketua pengurus Masjid Al
Makmur).
Aksi
penyerobotan itu rupanya (lagi-lagi) dirancang oleh pihak Koningen Emma Stichting, yang mensertifikatkan tanah itu atasnama
DGI secara diam-diam. Sertifikat itu didaftarkan kepada Kementrian
Agraria---yang ketika itu dirangkap oleh PM J.Leimena yang juga
sekaligus Direktur RS Cikini, dan dinyatkan secara sah milik DGI. Sampai tahun
1970-1975, pihak rumah sakit tetap bersikeras menyatakan bahwa tanah masjid
adalah bagian dari kompleks rumah sakit.
Interior Masjid Jami' Cikini. |
Pada tahun 1987 saat perundingan segi
tiga antara gubernur, DGI dan pengurus masjid, pihak RS DGI Cikini menyatakan
kesediaannya untuk menyerahkan tanah tersebut. Namun pengurus masjid
menegaskan, ''Kami tidak ada sangkut pautnya dengan DGI. Kami meminta agar
tanah kami dikembalikan.'' Upaya upaya
perundingan turut dibantu oleh Walikota
Jak-Pus Abdul Munir di tahun 1989 hingga tahun 1990.
27
tahun lamanya perjuangan mengembalikan hak kaum muslimin atas tanah
masjid Cikini dan ahirnya, pada
hari Jumat 24 Mei 1991, Gubernur DKI Jakarta Wiyogo Admodarminto
atas nama pemerintah RI dihadapan jamaah Masjid Cikini mengumumkan sertifikat tanah atas nama
DGI yang mencakup tanah masjid Al-Ma'mur telah dicabut. Tanah masjid telah
dikembalikan kepada umat Islam dengan sertifikat tersendiri atas nama Yayasan Masjid Al Ma'mur yang diketuai oleh Mayjen (purn) HM Joesoef Singedekane, mantan gubernur Jambi.
Pada
1993, setelah berbulan-bulan berusaha mendapatkan IMB untuk
merenovasi/membangun masjid dan sekolah/madrasahnya, maka pada 4 Maret 1993
izin IMB keluar. Dan dimulailah membangun sekolah berlantai dua untuk
menggantikan sekolah yang lama. Kini, di samping masjid Cikini ini berdiri
cukup megah perguruan Islam. Mulai dari tingkat Taman Kanak-kanak (TK) sampai
SLTA. Masyarakat sekitar Cikini merasa bangga akan keberadaan masjid ini,
karena ia merupakan lambang perjuangan umat Islam menghadapi kolonialisme
Belanda.
Masjid Jami’ Cikini Al-Ma’mur Saat ini
Saat ini
masjid Cikini memiliki dua bangunan utama, bangunan pertama merupakan bangunan
masjid asli yang dibangun dimasa penjajahan Belanda, kemudian pengurus masjid
Cikini membangun duplikat masjid lama tepat dibelahnya dengan arsitektur
bangunan yang lebih modern dan lebih luas. Bangunan baru ini tidak difungsikan
setiap hari, pusat kegiatan tetap di bangunan asli, sedangkan di bangunan baru
difungsikan untuk kegiatan tertentu termasuk sholat Jum’at, dua sholat hari
raya maupun kegiatan keagamaan lainnya. Di samping Masjid Cikini juga berdiri
gedung sekolah Islam milik Masjid CIkini yang terdiri dari TK Islam, Madrasah
Ibtidaiyah, SMP Islam, Madrasah Diniyah hingga sekolah menengah kejuruan bisnis
manajemen.***
mualaf.com – masjid alma’mur cikini jakarta
kompas.com via indowebster - bangun masjid al-ma'mur dari beras
wildanielearning.blogspot.com – masjid al-ma’mur cikini
salimalt.multiply.com - masjid-masjid bersejarah" masjid al-makmur (1840)
Jakarta.go.id – raden saleh
kompas.com via indowebster - bangun masjid al-ma'mur dari beras
wildanielearning.blogspot.com – masjid al-ma’mur cikini
salimalt.multiply.com - masjid-masjid bersejarah" masjid al-makmur (1840)
Jakarta.go.id – raden saleh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA