Masjid Cut Meutia berlatar belakang gedung gedung pencakar langit kota Jakarta. |
Masjid Cut Meutia di Kawasan Menteng Jakarta Pusat ini memang tidak tampak seperti bangunan masjid pada umumnya. Karena memang awalnya bukanlah dibangun untuk keperluan sebuah masjid. Menengok jauh ke belakang tentang sejarah perjalanan masjid Cut Meutia, akan sedikit membuat kita terperangah betapa gedung ini awalnya adalah kantor arsitek dan Jenderal Belanda yang sedang membangun kawasan Elit Nieuw Gondangdia bagi orang orang kaya Belanda di Batavia.
Bangunan
Masjid Cut Meutia merupakan bangunan alih fungsi dari gedung Bouwploeg warisan
kolonial Belanda di kawasan Gondangdia yang kemudian di-alih-fungsikan menjadi
sebuah masjid tanpa mengubah bentuk aslinya melalui Surat Keputusan Gubernur DKI
Jakarta. Proses Peralihan tersebut bukanlah perkara mudah dan memakan waktu
cukup lama sampai ahirnya resmi menjadi Masjid Cut Meutia hingga hari ini.
Lokasi dan Akses ke Masjid Cut Meutia
Masjid Cut Meutia
Jl. Cut
Meutia No.1,
Jakarta Pusat
DKI Jakarta – Indonesia
Untuk
mencapai masjid ini cukup mudah. Dapat menggunakan kendaraan pribadi ataupun
angkutan umum. Dengan angkutan umum dapat menaiki bus kopaja P20 lalu turun di
stasiun kereta Gondangdia dan masjid ini berada di depannya. Jika dari Kampung
Melayu dapat naik kopaja yang jurusan Tanah Abang (P502) lalu turun di
perempatan cikini (depan kantor pos lama) lalu jalan kaki menyusuri jalan Cut Meutia.
Sejarah Masjid Cut Meutia
Gedung De Bouwploeg
Pada awalnya Masjid Cut Meutia adalah gedung kantor biro arsitek (sekaligus
pengembang) N.V. (Naamloze Vennootschap,
atau Perseroan terbatas) De Bouwploeg, perusahaan
yang dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1879 untuk membangun
perumahan (pemukiman) bagi masyarakat Belanda di Batavia kelas menengah atas di
kawasan Menteng. Lahan untuk membangun perumahan dibeli oleh Kotapraja dan
kemudian dijual kepada orang-orang Belanda. De
Bouwploeg artinya "Kelompok Membangun", Kegiatannya adalah memberikan
jasa kepada orang-orang Belanda dari kalangan atas yang bermaksud memiliki
rumah mewah, khusus di Menteng dan Gondangdia dengan nama Nieuw Gondangdia
(kini terkenal dengan kawasan Menteng).
Perusahaan
Belanda itu mempelopori pembangunan pemukiman yang tertata dengan mengadaptasi
konsep kota taman karya Ebenezer Howard.
Perusahaan tersebut dikepalai oleh seorang arsitek Belanda bernama Pieter Adriaan Jacobus Moojen (1879 - 1955). Dari gedung
inilah dirancang
kawasan pemukiman Menteng yang terbentang dari Jl. Gondangdia sampai JI.
Diponegoro (Oranjelaan) dan JI. Imam Bonjol (Nassaulaan). Perusahaan yang
dipimpin oleh P.A.J. Moojen ini, pailit pada tahun 1925 dan membuat gedung ini
tidak dipergunakan kembali sebagai kantor biro arsitek.
Alih Fungsi Gedung De Boeploeg
Sebelum
di-aluh-fungsikan
sebagai mesjid sebagaimana sekarang, bangunan ini pernah digunakan sebagai
kantor pos, kantor Jawatan Kereta Api Belanda dan kantor Kempetai Angkatan Laut
Jepang (1942 - 1945). Di Era Kemerdekaan, pada tahun 1959 sampai 1960, bangunan tersebut pernah
dijadikan kantor Wali
kota Jakarta Pusat, lalu beralih fungsi menjadi kantor PAM, kantor Dinas Urusan Perumahan
Jakarta, hingga menjadi
Kantor Urusan Agama (1964
- 1970).
Pernah juga
menjadi kantor MPRS di
zaman A.H. Nasution. Ketika MPRS pindah ke daerah Senayan
(sekarang Gedung MPR-DPR) gedung tersebut diwakafkan kepada anggkatan 66 untuk digunakan
sebagai tempat beribadah. Eksponen angkatan 66 seperti Akbar Tanjung dan Fahmi Idris yang kemudian mendirikan Yayasan Masjid Al-Jihad
dan mempungsikan bangunan ini sebagai Masjid meski belum bernama Masjid
Cut Meutia.
Perubahan
fungsi gedung ini menjadi masjid tak lepas dari peran A.H. Nasution. Berawal dari pemikiran warga yang ingin
memiliki masjid di kawasan itu. Mereka mendatangi Jenderal A.H. Nasution
sebagai Ketua MPRS dan meminta Gedung Bouwploeg
bisa dialih fungsikan jadi sebuah masjid. Permintaan itu disetujui oleh Wakil
Gubernur Dr. Soewondo, dan jadilah masjid dengan nama
Masjid Cut Meutia, karena terletak di Jl. Cut Meutia dan hingga
kini dikelola oleh
Yayasan Masjid Cut Meutia. Tekanan dari berbagai pihak termasuk dari Gubernur Ali Sadikin ahirnya keluar
surat keputusan nomor Gubernur
DKI Jakarta Nomor 5184
tanggal 18 Agustus 1987
menetapkan-nya sebagai
masjid tingkat provinsi dan mengganti namanya menjadi Masjid Cut Meutia, di
masa Gubernur DKI di jabat oleh Wiyogo Atmodarminto.
Jendral Abdul Haris Nasution (biasa dipanggil Pak Nas) |
Lika liku Politik di Masjid Cut Meutia
Di masa Presiden Suharto berkuasa masjid Cut Meutia sempat menjadi
masjid sorotan oleh aparat pemerintah rezim berkuasa. Di masjid inilah ditandatanganinya
Petisi 50, sebuah protes beberapa kalangan yang tidak setuju
dengan kebijakan Presiden Soeharto waktu itu. Pada kurun
tahun 1980-an,
Pemerintahan Orde Baru dibawah kepemimpinan Pak Harto memaksakan ideologi negara harus
Pancasila sebagai asas tunggal.
Ini yang kemudian mendapat kritik dari para anggota Petisi 50,
salah satunya termasuk A.H. Nasution.
Karenanya, sempat terjadi perselisihan antara A.H. Nasution dan Soeharto dan berimbas pada Masjid Cut Meutia.
Masjid Cut Meutia
sempat mengalami tekanan
bagi para pengurus Masjid sehingga pergerakan apa pun bahkan khotbah-khotbah
para imam pun diawasi secara militer oleh Kopkmbtib, yang saat itu dikepalai
oleh Jendral Sudomo. Dikirimkan intel-intel untuk mengawasi para khotib yang
berprinsip ingin menggerakkan Islam secara kaffah. Setelah selesai ceramah
dibawa ke kantor Kodim, kemudian diinterograsi dan ditekan secara psikologis.
14
Juni 1991 Masjid Cut Meutia menjadi perhentian pertama kali dari
rombongan haji presiden Soeharto dan istrinya, Tien Soeharto
beserta keluarga yang mendarat
di Bandara Halim Perdana Kusumah. Sekitar pukul 11 siang, mereka tiba ke Masjid
Cut Meutia, untuk melakukan sujud syukur. Mengingat
Masjid Cut Meutia adalah masjid terdekat dengan kawasan Cendana – Menteng,
tempat kediaman Keluarga Pak Harto.
Di masjid ini
juga Jenderal (Purnawirawan) A.H. Nasution pernah mengumpulkan
para imam masjid dan jemaah untuk mendoakan kesehatan Soeharto ketika beliau
mulai terpuruk dari panggung kekuasaan dan mulai jatuh sakit. Semasa hidupnya
masjid ini menjadi tempat pavorit-nya Pak Nas untuk beri’tikaf hingga ahir
hayatnya. Perselisihan dua Jenderal Besar itu berawal dari masjid ini dan di
masjid ini juga semuanya kemudian pudar dan berahir.
Renovasi dan Perbaikan Masjid Cut
Meutia
Masjid
Cut Meutia dibawah dinas museum dan sejarah karena sejak tahun 1961 resmi
menjadi gedung yang dilindungi menjadi gedung sebagai cagar budaya.
Peruntukannya dapat berubah, namun bentuknya bangunan tidak boleh diubah hanya
boleh direnovasi.
Pada tahun 1984 , dilakukan renovasi
besar-besaran. Untuk memberikan kesan luas, sebagian anak tangga dipotong dan
dipindahkan keluar. Selain
itu arah kiblat dimiringkan 15
derajat
ke arah kanan. Perombakan juga terjadi pada mihrab (tempat imam) dan mimbar. Keduanya dibuat 15 meter
menjorok ke depan.
Mihrab terpisah
dari tempat mimbar. Genteng yang semula sirap diganti menjadi genting beglazur.
Lantai pun dipasangi marmer.
Semula
Masjid Cut Meutia tidak mempunyai halaman ataupun tempat parkir. Namun atas
usaha Edi Marzuki Nala Praya,
Wakil Gubernur DKI Jakarta, kala itu, taman yang berada di depan Masjid Cut Meutia
yang semula milik dinas pertaman, dibagi menjadi sehingga Masjid Cut Meutia pun
mempunyai halaman.
Lokasinya yang berada dikawasan elite menteng, tak heran masjid ini seringkali disebut oleh masyarakat sebagai masjidnya para pejabat. |
Masjid para pejabat
Letaknya
yang berada di kawasan elit, membuat banyak pejabat yang menjadi jamaah pada
masjid tersebut. Herry mengatakan, pejabat-pejabat biasanya akan berkumpul saat
shalat Jumat. Pak
Boediono (wakil presiden)
rutin melakukan shalat jumat di sini. Selain Boediono, para Duta Besar dari negara tetangga dan
panglima-panglima TNI juga kerap beribadah di Masjid tersebut.
Keunikan Masjid Cut Meutia
Perubahan
fungsi gedung de Bouwploeg menjadi sebuah masjid menyebabkan penyesuaian
terhadap ruangan dan bagian bangunan, diantaranya ruangan untuk kepengurusan
masjid serta bagian bangunan seperti pintu, jendela, lantai, dan atap bangunan.
Selain itu, terdapat penambahan bangunan seperti tempat wudhu, koperasi, aula
dan pos keamanan.
Karenanya Masjid ini memiliki keunikan
tersendiri dan kemungkinan tidak terdapat di masjid-masjid lainnya. Salah satu
keunikannya, mihrab dari masjid ini diletakkan di samping kiri dari saf salat
(tidak di tengah seperti lazimnya). Selain itu posisi safnya juga terletak
miring terhadap bangunan masjidnya sendiri karena bangunan masjid tidak tepat
mengarah kiblat.
Gedung Masjid
Cut Meutia ini dibangun (sebagai gedung de Boeploeg) tahun 1879 dengan gaya
arsitektur Art Nouveau ini berlantai dua dengan bagian atas menara berbentuk
persegi empat. Pada tiap sisinya mempunyai tiga buah jendela kaca yang menjadi
ciri khasnya.
Di masjid ini
dulunya terdapat sebuah sirene
yang berada di atas gedung yang berfungsi bila ada bahaya. Berat sirene kurang
lebih 3 ton dan suaranya akan terdengar sampai ke daerah Gunung Sahari. Pada
saat pemugaran tahun 1986/1987, sirene itu dihilangkan karena dikhawatirkan
membahayakan masjid ini.
Untuk
membuat bangunan ini tampak benar-benar seperti masjid maka masjid cut mutia
ini dibuat kaligrafi disekeliling dinding di bangunan dalamnya,
kaligrafi-kaligrafi ini dibuat dengan oleh M. Yusuf pada tahun 1985 yang diterbangkan
langsung dari brunei darussalam, M. Yusuf
juga seorang pelukis kaligrafi di istana Nurul Iman
Milik Sultan Brunai,
Sultan Hanasal Bolkiah di
kota Bandar Sri Begawam, Brunai Darussalam.
Didalam
masjid ini juga terdapat tempat itikaf Jendral Abdul Haris Nasution (biasa dipanggil Pak Nas), sejak pada
masa Pak Nas memperjuangkan masjid Cut meutia hingga menjelang akhir hayatnya,
sampai sekarang tempat itikaf ini sering digunakan oleh masyarakat luas ataupun
pengikut beliau.
Tempat I’tikaf
ini terbuat dari kayu jati yang dipesan langsung ke Jepara oleh sahabat Pak Nas yaitu Bapak Newton Rassat pada tahun 1990. Disekeliling kayu ini dihias
dengan ukiran ayat-ayat
al-quran.
Aktivitas Masjid Cut Meutia
Masjid
Cut Meutia juga sering mengadakan kegiatan sosial keagamaan, apalagi selama
bulan Ramadhan. Tiap tahun menyelenggarakan kegiatan
bhakti sosial dan santunan kepada anak yatim piatu dan anak anak
panti asuhan. Semua acara
yang didaulat di mesjid ini biasanya diselenggarakan sendiri oleh Pengurus
Masjid atau Remaja Mesjid yang lebih dikenal dengan sebutan RICMA.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA