|
Masjid Shirothal Mustaqim, Masjid Tertua di Samarinda - Kaltim |
Kota Samarinda ibukota propinsi Kalimantan Timur, salah satu
kota kaya minyak bumi dengan kemajuan yang cukup pesat. Di kota ini berdiri
megah Stadion Utama Palaran yang hingga kini masih tercatat sebagai stadion
sepakbola termewah di tanah air. Kota ini juga memiliki Islamic Center
Samarinda yang menjadi salah satu Islamic Center termegah dan terbesar di
kawasan Asia Tenggara.
Kota Samarinda dibelah oleh sungai Mahakam yang merupakan
sungai terbesar di propinsi Kalimantan Timur. Dulunya kota Samarinda hanya
terdiri dari 3 kecamatan yang namanya disandarkan pada letak kecamatan
kecamatan tersebut terhadap sungai Mahakam, masing masing adalah Samarinda Ulu, Samarinda Ilir dan
Samarinda Seberang. Saat ini kedua sisi kota Samarinda dihubungkan dengan dua
jembatan yang sudah berfungsi yaitu Jembatan Mahakam (Mahkota I) dan Jembatan
Mahakam Ulu, ditambah satu lagi jembatan yang sedang dalam proyek pengerjaan
adalah jembatan Mahkota II yang nantinya akan menghubungkan kecamatan Sambutan
dan Palaran.
|
Masjid Shirothal Mustaqim |
Di Samarinda Seberang ada sebuah kampung yang bernama
“Kampung Mesjid”. Kata “Mesjid” pada nama kampung ini memang merujuk pada
sebuah masjid yang sudah berdiri ditengah kampung tersebut sejak abad ke 19.
Masjid tersebut merupakan masjid tertua di kota Samarinda dibangun pada tahun
1881 dengan nama Masjid Jami’ dan sejak tahun 1960 namanya berganti menjadi
Masjid Shirothal Mustaqim.
Lokasi Masjid Shirothal Mustaqim - Samarinda
Masjid Shirotal Mustaqim terletak di Jalan Pangeran
Bendahara, Kelurahan Masjid, Kecamatan Samarinda Seberang, Kota Samarinda,
propinsi Kalimantan Timur. Untuk mencapainya dari pusat kota Samarinda, harus
menyeberangi sungai Mahakam melalui Jembatan Mahakam.
Sejarah Masjid Shirothal Mustaqim Samarinda
Kota Samarinda dipercayai didirikan oleh orang Bugis
dari Kerajaan Gowa setelah Kerajaan Gowa dikalahkan oleh Belanda sekitar abad
16. Sebagian pejuang Bugis yang menentang Belanda memilih untuk berhijrah ke
daerah yang dikuasai oleh Kerajaan Kutai kala itu. Kedatangan mereka ini
disambut baik oleh Raja Kutai yang ditunjukkan dengan pemberian lokasi
pemukiman di sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah yang baik
untuk usaha Pertanian, Perikanan dan Perdagangan.
Dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus
membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama didalam menghadapi musuh.
Orang-orang Bugis Wajo mulai menetap di lokasi tersebut pada bulan Januari
1668. Lama kelamaan kawasan ini berkembang dan dikenal dengan sebutan Samarinda, yang berasal dari kata “sama
rendah” yang dimaksudkan untuk menunjukkan persamaan hak dan kedudukan
masyarakatnya.
Sekitar tahun 1880, datang seorang pedagang muslim dari
Pontianak, Kalimantan Barat bernama Said Abdurachman bin Assegaf ke Kerajaan
Kutai untuk berdagang sembari menyiarkan Agama Islam, ia memilih kawasan
Samarinda Seberang sebagai tempat tinggalnya. Hal itu ditanggapi dengan baik
oleh Sultan Kutai Aji Muhammad Sulaiman. Melihat ketekunan dan ketaatan Said
Abdurachman dalam menjalaankan syariat agama Islam, sultan mengizinkan Said
Abdurachman tinggal di kawasan Samarinda Seberang dan memberinya gelar sebagai
Pengeran Bendahara.
|
Masjid Shirothal Mustaqim
|
Sebagai tokoh masyarakat, Said Abdurachman mengemban tugas
dan tanggungjawab yang besar. Berawal dari keprihatianannya terhadap kondisi
masyarakat kala itu yang masih suka berjudi (disiang hari judi sabung ayam,
malam hari judi dadu) dan memyembah berhala, beliau tergerak hati untuk
membangun sebuah masjid yang lokasinya di pusat kegiatan tersebut dengan
harapan dapat menghentikan kegiatan maksiat dan sesat tersebut.
Pembangunan masjid ini dimulai pada tahun 1881M dengan
pemancangan 4 tiang utama (soko guru). Ke em[at soko guru tersebut merupakan
sumbangan dari tokoh adat kala itu, 1 tiang utama dari Kapitan Jaya didatangkan
dari loa Haur (Gunung Lipan), 1 tiang utama dari Pengeran Bendahara didatangkan
dari Gunung Dondang, Samboja, 1 tiang utama dari Petta Loloncang di datangkan
dari Gunung Salo Tireng (Sungai Tiram) dan 1 tiang utama lainnya dari
didatangkan dari Suangai Karang. Pemancangan empat sokoguru ini memiliki cerita
sendiri yang melegenda hingga kini ditengah masyarakat Samarinda.
|
Interior Masjid Shirothal Mustaqim. |
Pembangunan masjid ini memakan waktu cukup lama untuk
menyelesaikannya sampai sepuluh tahun. Pada tanggal 27 Rajab 1311 Hijriyah
(1891M), pembangunan masjid akhirnya rampung dan diresmikan oleh Sultan Kutai
Aji Muhammad Sulaiman yang sekaligus di daulat menjadi imam sholat untuk
pertama kalinya yang diselenggarakan di Masjid Shirothal Mustaqim.
Kawasan
tempat masjid ini berada pun kemudian berubah total menjadi kawasan yang
relijius bahkan kampung letak masjid ini berada kemudian dikenal dengan nama
Kampung Mesjid, sedangkan ruas jalan di depan masjid ini dinamai dengan nama
Jalan Pangeran Bendahara yang merupakan gelar dari Said Abdurachman bin
Assegaf, sebagai bentuk penghargaan atas jasa jasanya.
Semaraknya syiar Islam di Masjid Shirothal Mustaqim ini
telah menarik perhatian seorang Saudagar kaya Belanda yang bernama Henry Dasen
untuk memeluk Islam pada tahun 1901. Setelah ber-Islam beliau turut
menyumbangkan hartanya untuk masjid dengan mendanai pembangunan sebuah menara
tempat muazin mengumandangkan azan di masjid ini. Menara ini juga masih berdiri
kokoh hingga kini.
|
Interior Masjid Shirothal Mustaqim |
Masjid ini kini menjadi salah satu tempat wisata religi
pavorit di kota Samarinda. Ramai dikunjungi oleh berbagai kalangan. Bahkan
menurut penuturan pengurus masjid Shirothal Mustaqim, Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) pernah menyempatkan diri singgah ke masjid ini untuk Salat
Subuh bersama dengan warga Samarinda Seberang dalam sebuah lawatannya ke
Samarinda.
Di bulan September 2003, Masjid Shirothal Mustaqim Samarinda
ini meraih anugerah sebagai peserta terbaik ke-dua di Festival Masjid Masjid
Bersejarah Se-Indonesia yang diselenggarakan oleh Dewan Masjid Indonesia.
Selain itu, Masjid Shirothal Mustaqim termasuk sebagai bangunan cagar budaya di
kota Samarinda yang dilindungi UU No 5 tahun 1992.
Renovasi dan Perbaikan Masjid Shirothal Mustaqim
Masjid Shirothal Mustaqim pernah menjalani perbaikan
perbaikan ringan dan penambahan fasilitas penunjang. Berturut pembangunan
masjid dilakukan tahun 1970, 1989 dan terahir tahun 2001 oleh Wali Kota
Samarinda Achmad Amins, tanpa merubah bentuk tapi menambah fasilitas prasarana
masjid misalkan tempat wudhu, rumah kaum, perpustakaan, sekretariat Irma dan
taman masjid.
|
Masjid Shirothal Mustaqim |
Perubahan Nama Masjid Shirothal Mustaqim
Pada bulan Desember 2011, Ishak Ismail, Humas Masjid
Sirathal Mustaqim mengungkapkan kepada publik bahwa hasil penelusuran yang
dilakukan didapatkan bukti bahwa masjid Shirothal Mustaqim pada awalnya
berdirinya hingga tahun 1960 bernama Masjid Jami. Nama Shirotal Mustaqim mulai
disandang masjid ini sejak tahun 1960 setelah datangnya ulama dari Banjarmasin
bernama KH Samuri Arsyad yang aktif mengajar di masjid ini. Perubahan nama
masjid itu diawali beberapa musyawarah yang dilakukan KH Samsuri Arsyad bersama
beberapa tokoh warga dan imam masjid. Setelah meminta petunjuk pada Allah SWT,
akhirnya masjid itu berubah nama menjadi Masjid Shirothal Mustaqim hingga saat
ini.
Legenda Sokoguru Masjid Shiratal Mustaqim
Sebagaimana di ungkapkan oleh Imam Masjid Shiratal Mustaqim,
H Zainuddin Abdullah, Masjid Shiratal Mustaqim dibangun dengan cara bergotong
royong, namun pada saat itu warga yang bergotong royong menghadapi masalah pada
saat akan mendirikan empat tiang utama bangunan masjid. Ukuran tiang yang
cukup besar sepanjang ± 7 meter dari
kayu ulin sangat sulit untuk didirikan sampai kemudian warga menyerah untuk mendirikan
empat tiang besar tersebut.
|
Masjid Shirothal Mustaqim
|
Hingga akhirnya datang seorang nenek dengan menggunakan
jubah putih ke hadapan mereka. Siapa dia tak ada yang tahu. Namun ia berpesan
kepada Pengeran Bendahara dan sejumlah pengikutnya. Disebutkan, ia akan
membantu mendirikan 4 tiang utama tersebut dengan syarat tak ada satu wargapun
yang melihat prosesi pendiriannya. Keesokan harinya, sejumlah warga tertegun
melihat 4 tiang utama sudah berdiri tegak. Bahkan saat warga mencoba mencari
sosok seorang nenek tersebut, mereka tak kunjung menemukannya. Sehingga warga
tak ada yang tahu pasti siapa dia.
Arsitektural Masjid Shiratal Mustaqim
|
Masjid Shirothal Mustaqim Tempo dulu |
Areal Masjid Shiratal Mustaqim seluas 2.028 M2 dengan luas
bangunannya 718.32m2 terdiri dari ruang utama 418,18 M2, Ruang serambi depan 125,56
M2, dan Ruang serambi kanan kiri 174,58 M2. Dibangun menggunakan bahan kayu
Ulin, membuatnya begitu antik. Kayu ulin memang kayu dengan kualitas terbaik
selain keras, kuat dan anti rayap kayu ini juga sangat tahan terhadap cuaca.
Wajar bila bangunan masjid ini masih berdiri kokoh hingga kini meski sudah
berumur 120 tahun lebih.
Masjid Shirothal Mustaqim dibangun dalam arsitektural khas
Indonesia, berdenah segi empat, dengan atap limas bersusun di topang empat
sokoguru masing masing berdiameter lebih kurang 60cm di tengah ruang masjid.
Pembeda utama masjid Shirothal Mustaqim dengan masjid masjid tua Indonesia
lainnya adalah susunan atapnya yang terdiri dari 4 susun. Kebanyakan masjid
masjid tua di tanah air terdiri dari 3 susun saja.
Di tiap sisi bangunan utama dilengkapi dengan serambi dan
disetiap sisi serambi di lengkapi dengan pagar (railing) yang juga dibuat dari
kayu ulin. Mihrab masjid ini dibuat tersendiri dengan atap yang berbentuk sama
dengan atap bangunan utama. Menara masjid yang dibangun 20 tahun setelah masjid
berdiri memang memiliki sedikit perbedaan arsitektural dari bangunan utama
masjid, meski dibangun dengan bahan kayu yang sama. Keseluruhan Jendela pada
bangunan masjid ini berbentuk segi empat dengan dua daun jendela begitupula
dengan pintu pintunya, namun pada bangunan menara tidak menggunakan bentuk segi
empat tapi menggunakan pola lengkungan pada setiap bukaannya.
|
Masjid Shirothal Mustaqim |
Menara masjid Shirothal Mustaqim setinggi 21 meter dengan
empat lantai masing masing lantai dilengkapi dengan balkoni terbuka. Bentuk
puncak atap menara ini yang sangat unik dan menarik karena sangat berbeda
dengan bentuk puncak puncak menara masjid tua lainnya yang ada di Indonesia,
ditambah lagi dengan bahan bangunanannya yang menggunakan kayu besi juga
menjadikannya begitu istimewa.
Aktifitas Masjid Shiratal Mustaqiem
Dalam perkembangannya Masjid Shirothal Mustaqim pun
dilengkapi dengan sarana pendidikan. Pada tahun 1956 didirikan Madrasah Dinul
Islamiyah (MDI) lalu dilanjutkan dengan pembangunan Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama di tahun 1972 dan pembangunan perpustakaan masjid. Kegiatan keagamaan
di masjid ini begitu semarak dari siang hingga malam hari mulai dari taklim
ba’da maghrib hingga pengajaran baca Al Qur’an.
Hal unik lain yang bisa ditemui di Masjid yang sudah berumur
lebih dari 127 tahun ini adalah pembuatan bubur pecak (bubur khas Bugis) yang
terbuat dari rempah-rempah dan santan kelapa yang dihidangkan setiap bulan suci
sebagai menu untuk berbuka puasa bagi para musafir dan masyarakat sekitar.
Sedikitnya 250 porsi bubur disediakan setiap hari selama bulan Ramadhan. Adanya
tradisi Bugis di masjid ini tentu saja tak lepas dari peran masyarakat
keturunan Bugis yang memang telah menempati kawasan Samarinda Seberang sejak
masa kesultanan Kutai sebagaimana disebutkan di awal tulisan ini.***
kalau yang ini, jujur aja belum pernah kesana. Harus keseberang sih. Padahal merupakan wisata samarinda yang mesti diketahui nih.
BalasHapusMau tanya... silsilah keturunan dari ahmad sirajo
BalasHapusSemoga segera mendapat pencerahan
Hapuss74
BalasHapusGood blog! I really love how it is easy on my eyds it
BalasHapusis. Im wondering how I mighut be notified whenever a new post has been made.
I havee subscribed to your RSS feed which may do the trick?
Have a valid day!