Halaman

Sabtu, 13 November 2010

Masjid Raya Sultan Riau, Pulau Penyengat

Masjid Raya Sultan Riau di Pulau Penyengat.

Pulau Penyengat atau lengkapnya bernama Pulau Penyengat Indera Sakti, adalah pulau kecil di kota Tanjung Pinang, Ibukota provinsi Kepulauan Riau (KEPRI). Pulau kecil dengan luas sekitar 240 hektar atau 3,5 kilometer persegi namun menyimpan begitu banyak warisan sejarah kebesaran Riau di masa lalu, sejarah sebuah kesultanan Islam yang begitu berpengaruh. Sebut saja penyair Raja Ali Haji yang terkenal dengan karyanya yang begitu melegenda Gurindam Dua Belas, adalah salah satu Pahlawan Nasional Indonesia dan dinobatkan sebagia Bapak bahasa melayu Indonesia, berasal dari Pulau kecil ini. Bila berkesempatan berkunjung ke Pulau ini anda dapat menikmati bait bait Syair Gurindam Dua Belas yang terpatri rapi di tembok dalam komplek pemakaman Engku Putri, tempat dimana Makam Raja Ali Haji berada.

Masjid Sultan Riau atau lebih dikenal dengan sebutan Masjid Pulau Penyengat merupakan bangunan dari masa kegemilangan kesultan Riau di Pulau Penyengat yang masih terawat baik dari masa itu hingga hari ini. Masjid yang kadang juga disebut sebagai masjid putih telur itu berada di posisi yang begitu mecolok mata dengan warna kuning menyala, dapat dipandang dengan mata telanjang dari pantai kota Tanjung Pinang, seakan menyambut dengan ramah semua orang yang berkunjung ke Pulau Penyengat. Keberadaan masjid ini menjadi Ikon sejarah yang begitu penting bagi Pulau Penyengat dan provinsi Kepulauan Riau.

Masjid Raya Sultan Riau dilihat dari arah laut.

Lokasi Masjid Sultan Riau, Pulau Penyengat

Masjid Sultan Riau berada dalam kawasan Cagar Budaya Pulau Penyengat dapat dicapai beberapa menit menggunakan perahu motor atau dalam bahasa setempat disebut Pompong atau pancung, dari dermaga Sri Bintan Indrapura kota Tanjung Pinang. Jangan lupa untuk masuk ke dermaga lokal bukan dermaga antar bangsa. Karena dermaga kota Tanjung Pinang selain melayani rute lokal, antar pulau antar provinsi, juga melayani perjalanan laut internasional.

Dari Kota Industri Batam, dapat dicapai menggunakan Kapal cepat dengan lama perjalanan kurang lebih satu jam dari beberapa dermaga di Kota Batam ke dermaga Tanjung Pinang. Sementara perjalanan dari pulau pulau lain Indonesia, selain dapat ditempuh dengan transit di kota Batam, dapat memilih rute perjalanan laut langsung ke dermaga Tanjung Pinang atau rute penerbangan langsung ke Bandar Udara Internasional Haji Fisabilillah, di kawasan Kijang, Kota Tanjung Pinang. Tergantung mana yang lebih nyaman bagi perjalanan anda.

 

Akomodasi

Letak kota Tanjung Pinang yang berada di tepi laut di teluk Bintan memberikan pemandangan yang cukup menawan. Kota ini menyediakan cukup banyak alternatif tempat menginap mulai dari penginapan hingga perhotelan.

Sejarah Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat

Masjid Putih Telur

Masjid yang disebut sebut sebagai masjid putih telur ini, pada proses pembangunannya memang banyak menggunakan putih telur untuk campuran material kapur, pasir dan tanah liat yang dipakai untuk membangun masjid ini. Hal tersebut terjadi karena begitu melimpahnya pasokan telur dari masyarakat secara suka rela bagi keperluan para pekerja pembangunan masjid ini hingga telur telur yang tak habis untuk di konsumsi kemudian oleh para pekerja waktu digunakan sebagai pencampur material dengan harapan agar masjid ini lebih kokoh dan tahan lama.

Masjid Raya Sultan Riau.

Mahar Sultan Mahmudsyah Untuk Engku Putri


Pulau Penyengat merupakan Mahar (emas Kawin) dari Raja Mahmudsyah untuk Istrinya, Engku Putri atau Raja Hamidah di tahun 1805. Engku Putri atau Raja Hamidah adalah putri dari Raja Haji Fisabilillah Yang dipertuan muda Riau ke-4. Di tahun yang sama dimulai pembangunan masjid kecil dari kayu di lokasi yang sama. Penerus Sultan Mahmudsyah yang kemudian membangun masjid ini hingga berwujud seperti yang sekarang kita lihat.

Sejarah mencatat bahwa perkawinan Raja Mahmudsyah dengan Engku Putri ini menjadi peristiwa yang penting terkait dengan Kesultan Riau Johor, karena Engku Putri di beri amanat untuk memegang lambang lambang kebesaran kesultanan atau Regelia yang menjadi syarat syah nya penobatan seorang Sultan menurut tradisi setempat. Itu sebabnya di jaman kekuasaan Belanda, pemerintah kolonial Belanda berusaha sekuat tenaha untuk merampas lambang lambang tersebut dari tangan Engku Putri. Namun Engku Putri teguh memegang amanah hingga ahir hayatnya.

Renovasi dan perluasan

Pembangunan masjid secara besar-besaran dilakukan ketika Abdurahman Muazham Shah berkuasa di Riau dengan gelar Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga (1832-1844) menggantikan Raja Ja'far. Tak lama setelah memegang jabatan itu, pada 1 Syawal tahun 1284 H (1832 M), setelah usai shalat Idul Fitri, beliau menyeru masyarakat untuk bergotong royong membangun masjid. Dalam gotong royong itulah, masyarakat membawa berbagai perbekalan. Termasuk telur. Karena berlimpah, banyak putih telur yang tidak habis dimakan. Dan oleh pekerja, putih telur itu dijadikan campuran adukan.

Aerial view Masjid Raya Sultan Riau.

Sejak dibangun tahun 1832 dengan bangunan beton seperti yang kita lihat sekarang ini. Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat, tidak pernah di renovasi atau di ubah bentuknya. Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat ini sudah dijadikan situs cagar budaya oleh pemerintah Republik Indonesia.

Al-Qur’an Tulisan Tangan Koleksi Masjid Sultan Riau

Selain bangunan yang indah, masjid Penyengat menyimpan dua mushaf Alquran tulisan tangan yang diletakkan dalam peti kaca di depan pintu masuk. Mushaf ini ditulis oleh Abdurrahman Stambul. Putera Riau asli Pulau Penyengat yang dikirim oleh Sultan untuk belajar ke Turki pada tahun 1867.

Ada Alquran tulis tangan lain yang ada di masjid, yaitu Alqur`an tulisan tangan Abdullah Al Bugisi tahun 1752. Namun, tak diperlihatkan kepada umum karena sudah terlalu tua dan rapuh serta rentan akan kerusakan. Uniknya, di bingkai mushaf Alqur’an ini terdapat tafsiran-tafsiran dari ayat-ayat Alquran. Bahkan, terdapat berbagai terjemahan dalam bahasa Melayu, kata per kata di atas tulisan ayat-ayat tersebut. Mushaf ini tersimpan bersama 300-an kitab termasuk kitab kitab kuning, dalam dua lemari di sayap kanan depan masjid.

Alqur`an tulisan tangan Abdurrahman Stambul masih bisa dilihat didalam Masjid yang dipajang didalam lemari kaca persis didepan pintu masuk, sedangkan karya Abdullah Al Bugisi tidak bisa dilihat lagi dan disimpan karena sudah rusak dan rapuh.

Masjid Raya Sultan Riau.

Arsitektur Masjid Sultan Riau, Pulau Penyengat

Ada 13 kubah berbentuk bawang di masjid ini yang susunannya bervariasi. Ditopang oleh empat pilat beton dibagian tengah. Ditambah dengan empat menara disetiap penjuru yang masing-masing memiliki ketinggian sekitar 19 meter, dulunya menara ini digunakan sebagai tempat muazin mengumandangkan azan, sebelum kemudian digantikan dengan pengeras suara yang dipasang di ke empat menara tersebut.

Masjid ini juga memiliki 17 bubung. Angka 17 ini diartikan sebagai jumlah rakaat shalat. Masjid ini merupakan satu-satunya peninggalan Kerajaan Riau-Lingga yang masih ada. Berukuran sekitar 54 x 32 meter. Ukuran bangunan induknya sekitar 29,3 x 19,5 meter. Disekitar masjid juga terdapat pemakaman muslim.

Keindahan arsitektur masjid sangat unik. Masjid ini bergaya India karena memang tukang-tukang yang membangun bangunan utamanya adalah orang-orang India yang didatangkan dari Singapura. Di halaman mesjid, terdapat dua buah rumah sotoh yang diperuntukkan bagi musafir dan tempat musyawarah. Selain itu terdapat juga dua balai, tempat orang biasanya menghidangkan makanan ketika kenduri dan untuk berbuka puasa yang disediakan pengurus mesjid setiap hari.

Saat pertama kali dibangun, Masjid Sultan Riau berwarna putih, saat ini sudah dicat dengan warna kebesaran Melayu, warna kuning dipadukan dengan warna hijau sebagi warna kebesaran umat Islam. Ruangan Masjid Sultan Riau bisa dibagi lima ruangan, sebagai penanda Rukun Islam ada lima, ditopang empat tiang beton didalam ruangan berdiameter sekitar 1 meter yang menggambarkan Gurindam Dua Belas yang dinyatakan Raja Ali Haji, "Barang siapa mengenal yang empat, maka dia itulah orang yang ma`rifat". Empat tiang tersebut juga menandakan Islam mempunyai empat Mazhab, yaitu Hambali, Maliki, Syafii dan Hanafi.

Mihrab dan mimbar Masjid Raya Sultan Riau.

Corak bagian dalam 13 kubah tersebut juga memiliki corak dan variasi yang berbeda satu sama lainnya, ada yang berbentuk bulat, segi tiga, segi lima, segi empat dengan lonjong keatas, yang menurut sejarahnya diartikan sebagai sholat lima waktu memiliki jumlah rakaat yang berbeda.

peninggalan sejarah yang ada di masjid tersebut berupa Mimbar untuk Khatib dalam Sholat Juma`t yang didatangkan dari Demak dibuat tahun 1832, berupa kayu jati ukiran Jepara dan masih difungsikan sampai sekarang untuk Khatib Sholat Jum`at dan hari raya. Mimbar ini dipesan deari Jepara, Jawa Tengah, sebanyak dua mimbar. Satu mimbar diletakkan di Mesjid Sultan di Pulau Penyengat, sedangkan mimbar lain yang berukuran lebih kecil, diletakkan pada mesjid di Daik. Sementara lampu kristal hadiah dari Kerajaan Prusia (Jerman) pada tahun 1860-an masih terpasang di salah satu bagian kubah masjid.

Pasir Mekah

di dekat mimbar Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat ini disimpan sepiring pasir yang berasal dari Makkah al-Mukarramah, dibawa oleh Raja Ahmad Engku Haji Tua bangsawan Riau pertama mengerjakan haji tahun 1820-an. Pasir tersebut senantiasa digunakan masyarakat dalam upacara jejak tanah, suatu tradisi menginjak tanah untuk pertama kali bagi kanak-kanak.

Mushaf Al-Qur'an tulisan tangan di Masjid Raya Sultan Riau.

Masjid Indonesia pertama yang memakai kubah

Dalam dua kali pameran mesjid pada Festival Istiqlal di Jakarta (1991-1995) disebutkan bahwa Mesjid Sultan Riau Pulau Penyengat ini merupakan mesjid pertama di Indonesia yang memakai kubah.

Tradisi Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat

Masjid Raya Sultan Riau Pulau Penyengat memiliki tradisi unik dalam memperingatai hari-hari besar Islam, seperti tahun baru Islam setiap tanggal 1 Muharram yang ditandai dengan berkeliling kampung selama tiga hari pada malam hari dengan Ratib Saman. Tujuannya untuk pembersihan kampung dari hal-hal yang tidak baik, seperti mengazankan tempat-tempat yang dianggap angker.

Pada Maulid Nabi Muhammad SAW juga berkeliling kampung sebelum membacakan Kitab Al-Barzanji di Masjid. Selain itu juga pembacaan hikayat Isra Mi`raj Nabi Muhammad S.A.W saat peringatan Isra Mi`raj. Beberapa hari sebelum datang bulan Ramdhan setiap tahun juga dilakukan `Kenduri Jamak` yang diikuti seluruh warga Penyengat dan warga lainnya di Masjid Sultan Riau.

Masjid Raya Sultan Riau.

Cagar Budaya


Masjid Raya Sultan Riau atau Masjid Raya Penyengat, ditetapkan pemerintah sebagai benda cagar budaya bersama 16 situs sejarah lainnya di Pulau milik Engku Putri itu. Pemerintah bersama warga Pulau Penyengat tetap berusaha melestarikan peninggalan sejarah Kerjaan Riau-Lingga di pulau itu.

Pelestarian benda-benda cagar budaya di Pulau Penyengat dibawah pengawasan Pemkot Tanjungpinang, provinsi Kepulauan Riau, Kementerian Kebudyaan dan Pariwisata, serta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Batusangkar, Sumatra Barat dan Balai Arkeologi Medan.

Tujuan Wisata Rohani

Masjid Sultan Riau Pulau Penyengat senantiasa menarik perhatian para pengunjung dari berbagai daerah, terutama di bulan suci Ramadhan. Pengunjung dari berbagai daerah Indonesia serta dari manca negara terutama dari Singapura dan Malaysia berdatangan ke masjid ini. Selain untuk melakanakan sholat juga untuk menikmati keindahan masjid tua ini.

1 komentar:

Dilarang berkomentar berbau SARA