Djenne, Kota kecil di negara Mali, memiliki sejarah yang panjang sebagai salah satu peradaban Islam pertama di Afrika Barat. Kota yang sudah diresmikan oleh UNESCO sebagai warisan dunia bersama masjid tua nya itu kini masih menjadi tujuan para pelancong dari mancanegara yang datang untuk sekedar mengagumi keindahannya atau untuk beribadah disana. Masjid Agung Djenne merupakan bangunan dengan bahan lumpur terbesar di dunia, merupakan sebuah pencapaian arsitektur Sudano-Sahilian yang luar biasa.
Lokasi Masjid Agung Djenne
Berada di wilyah Farmantala, kota tua Djenne, Mopti, Republik Mali (dahulu bernama Sudan Prancis)
Sejarah Panjang Djenne
Djenne kota tertua yang pernah dikenal di wilayah sub sahara Afrika berada di daerah aliran sungai Niger dan Sungai Bani, 354 kilometer sebelah barat daya Timbuktu. Didirikan oleh para pedagang sekitar tahun 800M (di dekat tempat kota yang yang lebih tua yang sudah ada sejak 250 tahun sebelum masehi). Djenne berkembang kala itu karena menjadi pertemuan antara pedagang pedagang dari gurun sudan dan pedagang dari wilayah hutan tropis Guyana.
Dicaplok oleh Emperium Songhai, Soni Ali di tahun 1468 menjadikan Mali sebagai pusat perdagangan terpenting selama abad ke 16. kota tersebut melesat maju karena menjadi titik temu dari sungai dengan Timbuktu dan dari situasinya yang menjadi rute perdagangan emas dan pertambangan garam.
Bulang mengambang di atas Masjid Agung Djene |
Diantara tahun 1591 dan 1780 Djenne berada dibawah kendali Raja Maroko dan selama tahun tahun tersebut pasar disana berkembang pesat, beragam produk dari seantero wilayah utara dan afrika tengah. Tahun 1861 kota tersebut di taklukkan oleh Empirium Tukolor, al-Hajj 'Umar dan kemudian di kuasai oleh Prancis di tahun 1893. stelah itu fungsi perdagagangan kota tersebut diambil alih oleh kota Mopti yang berada di pertemuan dua sungai antara sungai Niger dan Sungai Bani, 90 kilometer sebelah timur laut Djenne. Djenne kini menjadi pusat perdaganganan komuditas pertanian tanpa mengurangi pamor kepentinganya dengan beberapa keindahan nya sendiri termasuk warisan arsitektur Muslim, Masjid Agung Djenne.
Tambahan kepada sejarah pentingnya kota Djenne dalam hal perdanganan, Djenne juga menjadi pusat pembelajaran dan ziarah, menarik para pelajar dan peziarah yang datang dari seluruh wilayah Afrika Barat.
Sejarah Masjid Agung Djenne
Masjid Agung Djenne dipercaya dibangun pertama kali pada tahun 1240 oleh sultan Koi Kunboro, yang masuk Islam lalu mengubah istananya menjadi sebuah masjid. Sangat sedikit informasi tentang bentuk dari masjid pertama tersebut, namun masjid tersebut dinilai terlalu mewah oleh Sheikh Amadou, penguasa Dejene di awal abad ke 19 masehi.
Prangko bergambar Masjid Agung Djene dimasa Mali masih menjadi wilayah jajahan Prancis. |
Sheikh Amadou kemudian membangun masjid kedua tahun 1830 dan membiarkan masjid pertama runtuh dengan sendirinya. Masjid yang kini berdiri mulai dibangun tahun 1906 dan selesai setahun kemudian di tahun 1907, di rancang oleh arsitek Ismaila Traoré, kala itu Mali sudah berada dibawah kekuasaan Prancis yang memberikan bantuan finansial dan dukungan politik bagi pembangunan masjid serta sekolah islam di dalam lingkungan masjid tersebut.
Arsitektur Masjid Agung Djenne
Masjid Agung Djenne dibangun dengan lantai yang ditinggikan dari permukaan tanah disekitarnya. Keseluruhan bahan bangunan menggunakan bahan lumpur yang dikeringkan dibawah sinar matahari. Balok balok lumpur kemudian disusun dan direkatkan satu sama lain menggunakan lumpur basah dan diplester permukaannya juga menggunakan lumpur basah.
Masing masing dinding memiliki keterbalan antara 40 sampai 60 sentimeter. Makin ke atas making menipis. Dinding setebal itu berfungsi untuk menahan berat dari struktur masjid juga memberikan insulasi terhadap sinar matahari gurun yang menyengat. Di siang hari tembok tersebut akan memanas secara perlahan dari luar dan tetap memberikan kesejukan di dalam masjid. Sebaliknya dimalam hari udara panas yang tersimpan di tembok tersebut tetap memberikan kehangatan di dalam masjid dari terpaan udara extrim gurun pasir.
Malam hari di depan Masjid Agung Djene |
Ruang sholat masjid ini ditopan goleh sembilan puluh tiang kayu, mampu menampung hingga 3000 jemaah sekaligus. Struktur masjid tersebut memungkinkan untuk tetap memberikan suasana sejuk di dalam masjid sepanjang hari. Masjid Agung Djenne juga dilengkapi dengan ventilasi udara di bagian atap yang ditutup dengan keramik hasil karya para wanita Djenne. Tutup tersebut dapat dibuka pada malam hari untuk mensirkulasi udara di dalam masjid.
Tembok masjid Agung Djenne juga menggunakan phon pohon palm yang digunakan sebagai penyanggah masjid dari bahan lumpur tersebut. Kayu kayu tersebut tidak saja digunakan selama proses pembangunan sebagai penyanggah bagi para tukang yang membangun masjid tapi juga dipasang secara permanen di tembok masjid dan digunakan setiap tahun untuk memplester ulang masjid tersebut dengan lapisan lumpur yang baru. Yang sudah menjadi tradisi tahunan masjid ini.
Selain itu batang batang kayu palm tersebut juga berfungsi meminimalisir stess yang terjadi pada bahan lumpur yang menjadi bahan utama bangunan masjid akibat udara panas gurun pasir yang menyengat siang hari dan udara yang dingin di malam hari. Cuaca di gurun memang ekstrim. Fasad masjid sama persis dengan arsitektur rumah rumah penduduk Djenne yang termasuk tiga menaranya yang dibagian puncaknya diletakkan telor burung unta sebagai lambang dari kesuburan dan kemurnian.
Kendatipun masjid raya Djenne terkait dengan elemen arsitektur yang ditemukan di masjid masjid seantero dunia Islam, namun masjid ini merepleksikan kearifan lokal dengan penggunaan material bangunan dari lingkungan sekitar yang sudah digunakan oleh masyarakat Djenne selama beberapa abad. Termasuk penggunaan lumpur dan pohon palem yang melimpah di daerah tersebut. Menyerap gaya bangunan lokal untuk beradaptasi dengan iklim gurun yang panas. Serta mengekspresikan hubungan yang elegan dengan lingkungan lokal melalui arsitektur yang membumi dan dapat ditemukan di seluruh pelosok Mali, dan dapat bertahan hingga berabad abad dengan perawatan yang baik.
Perbaikan tahunan masjid Djenne telah menjadi festival tahunan di Djenne yang menarik perhatian banyak wisatawan. Proses perbaikan berupa pemlesteran ulang bangunan masjid dengan bahan campuran lumpur dan sekam padi, di awasi oleh 80 orang pekerja senior yang sudah berpengalaman. Mereka juga yang mengkoordinir keseluruhan proses perbaikan masjid sekali dalam setahun.
Festival ini digambarkan oleh para wisatawan yang pernah bergabung dengan acara tahunan ini sebagai sebuah festival yang penuh dengan tawa dan kesenangan. Anak anak dan dewasa bergabung bersama mencampur lumpur dengan sekam untuk kemudian dipakai untuk memplester ulang dinding masjid. Tahun 1988 Kota tua Djenne dan Masjid Agung nya dijadikan warisan dunia oleh UNESCO.
Warisan dunia versi UNESCO |
Kiblat Masjid Agung Djenne menghadap ke arah timur menuju Baitullah di Mekah. Di depan masjid. Dinding kiblat didominasi tiga menara besar yang menjorok keluar dari dinding utama. Setiap menara dihiasi tangga spiral menuju atap. Di ruang utama untuk shalat, setiap menara di dinding kiblat memiliki ceruk atau mihrab. Imam memimpin shalat dari mihrab di menara yang lebih besar. Sebuah celah sempit di langit-langit mihrab ini terhubung dengan sebuah ruangan kecil yang terletak di bagian atas menara. Pada masa lalu, seseorang akan menyerukan ulangan kata-kata para imam kepada orang-orang di luar masjid. Di sebelah kanan mihrab utama di tengah menara, terdapat ceruk kedua yang berisi mimbar tempat iman menyampaikan khutbah.
Kini masjid Djenne masih menjadi salah satu bangunan penting di Afrika Barat. Umat Muslim dan turis dari seluruh dunia datang mengagumi struktur bangunan masjid, selain beribadah. Ada yang berdoa, belajar, dan juga berguru. Masyarakat kurang mampu dari sekitar Kota Djenne pun mengirim anak-anak mereka setiap bulan atau setiap tahun, untuk belajar menulis dan membaca. ***
Mantab...
BalasHapus