Halaman

Rabu, 27 Oktober 2010

Masjid Agung Jami Malang

Masjid Agung Jami' Malang.

Mendengar nama Malang, para pencinta sepakbola di tanah air pasti akan langsung teringat dengan klub sepakbola Persema dan Arema Indonesia, klub yang disebut terahir ini adalah jawara Liga Super Idonesia musim lalu (2009-2010). Di kota nya Aremania ini terdapat masjid agung tua yang bernama Masjid Agung Jami Malang. Masjid tua yang anggun penuh kharisma, menenangkan hati siapapun yang beribadah disana.

Masjid ini dipercaya sebagai satu dari 3 masjid tua di propinsi Jawa Timur yang di anggap sebagai tempat Mustajabah, atau tempat dimana doa doa dari hamba hamba yang beriman akan dikabulkan oleh Allah Subhanahuwata’ala. Dua masjid lain nya adalah Masjid Ampel Surabaya, Masjid Jami’ Pasuruan

Lokasi Masjid Agung Jami Malang

Masjid Agung Jami’ berada di Jalan Merdeka Barat No 3 Malang, provinsi Jawa Timur. Letaknya cukup strategis dipusat kota. di sebelah barat alun-alun pusat kota Malang. Di sebelah selatan masjid terdapat gedung Bank Mandiri (eks. Bank Bumi Daya) dan di sebelah utara terdapat bangunan kantor Asuransi Jiwasraya.

 

Sejarah Masjid Agung Jami' Malang

Malang pada awal berdirinya Masjid Agung Jami’ Malang masih bernama Masjid  Jami’ Malang. Sebagai masjid utama di Kota Malang, Masjid Agung Jami’ menjadi institusi yang amat penting dalam kehidupan umat Islam. Selain itu, masjid merupakan sarana keagamaan yang memiliki makna strategis bagi umat Islam, tidak saja dalam masalah ritual keagamaan tapi juga berkaitan dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan, sosial dan budaya dalam arti luas.

Ta'mir Masjid Agung Jami' Malang

Masjid Agung Jami’ Malang didirikan pada tahun 1890 M di atas tanah Goepernemen atau tanah negara sekitar 3.000 m2. Menurut prasasti yang ada, Masjid Agung Jami’ dibangun dalam dua tahap. Tahap pertama dibangun tahun 1890 M, kemudian tahap kedua dimulai pada 15 Maret 1903, dan selesai pada 13 September 1903. Bangunan masjid ini berbentuk bujursangkar, berstruktur baja dengan atap tajug tumpang dua, dan sampai saat ini bangunan asli itu masih dipertahankan keberadaannya.

Arsitektur Masjid Agung Jami Malang

Dari bentuknya, Masjid Agung Jami’ Malang mempunyai dua gaya arsitektur, yaitu arsitektur Jawa dan Arsitektur Arab. Gaya arsitektur Jawa terlihat dari bentuk atap masjid bangunan lama yang berbentuk tajug. Sedangkan gaya arsitektur Arab terlihat dari bentuk kubah pada menara masjid dan juga konstruksi lengkung pada bidang-bidang bukaan pintu dan jendela.

Presiden SBY di Masjid Agung Jami' Malang
Pada dasarnya seluruh bagian bangunan Masjid Agung Jami’ Malang mulai batas suci adalah sakral. Hal ini tersirat dengan adanya perbedaan ketinggian lantai yang terlihat mencolok, dimana bagian lantai bangunan yang sakral kurang lebih 105 cm dari muka tanah bangunan di sekitarnya. Di bagian mihrab (tempat imam) lebih sakral lagi, hal ini tersirat dengan peninggian lantai pada bagian tersebut. Bahkan sampai sekarang di belakang mihrab masih ada beberapa makam leluhur pendiri masjid.

Bangunan Masjid ini di topang oleh empat sokoguru utama yang terbuat dari kayu jati dan 20 tiang yang bentuknya dibuat  mirip dengan 4 kolom itu, dibangun dengan penuh tirakat dan keihlasan para pendirinya dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Meski Takmir Masjid Agung Jami’ Malang melakukan renovasi terhadap bangunan masjid bangunan asli masjid tetap dilestarikan.

Radio Masjid Agung Jami’ Malang,  RADIO MADINA FM 99,8

Dalam menjalankan salah satu fungsinya sebagai pusat kegiatan dakwah dan pusat pengembangan budaya, serta juga sebagai pusat informasi sebagai upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan umat Islam, ditengah-tengah meningkatnya serangan faham sekulerisme, pendangkalan agama dari berbagai sudut yang semakin gencar dari mulai media cetak, media elektronik, kegiatan budaya, promosi kenakalan remaja melalui penggunaan narkoba, provokasi pertikaian antar massa dan lain sebagainya.

Untuk merespon serangan serangan pemikiran tersebut dengan bijaksana. Takmir masjid Agung Jami’ Malang terpanggil untuk memberikan satu alternativ informasi dan dakwah Islam dengan mendirikan Radio Madina FM 99.8 dengan harapan menjadi referensi ummat Islam di Malang Raya dan sekitarnya dalam mempelajari dan mendalami ajaran Islam yang dibawa Rasulullah SAW.

Masjid Agung Jami’ Malang menyelenggarakan pengajian umum secara rutin berupa kuliah subuh setiap hari dan pengajian bakada Magrib yang isi oleh para kyai kyai ternama kota Malang. Kegiatan remaja masjid di Masjid Agung Jami’ Malang ini juga cukup semarak.

Sumur Artesis Masjid Agung Jami’ Malang

Fasad Masjid Agung
Jami' Malang
Untuk penyediaan air bersih bagi semua aktivitas masjid, takmir masjid Agung Malang sudah membangun sebuah sumur bor artesis sedalam 205 meter. Sumur artesis tersebut sudah mengeluarkan air sendiri meski tanpa menggunakan pompa dengan debit mencapai 15 liter per detik. Berdasarkan hasil uji oleh PDAM kota Malang, air dari sumur artesis ini memenuhi syarat untuk langsung diminum. Air itu mengandung alkalinitas (Ph) 273.31, kandungan total dissolved water (TDS) mendekati kandungan TDS air zam-zam. TDS air artesis masjid jami sebesar 437 sedangkan air zam-zam 430 TDS.

Pengeboran sumur mulai dilakukan hari Rabu, 27 Januari 2010M /11 Muharram 1431H. Dengan dana sebesar Rp 150 juta ditanggung sepenuhnya oleh seorang dermawan.  Dan air dari sumur artesis tersebut baru keluar dengan sendirinya tanpa pompa di hari ke 41 pekerjaan pengeboran, hari Rabu, 10 Maret 2010M / 24 Rabiul Awwal 1431H Sekitar jam 23.00 WIB justru di saat tidak ada lagi pekerjaan pengeboran.***

Masjid Agung Jami' Malang Tahun 1910
Masjid Agung Jami' Malang Tahun 1914
Masjid Agung Jami' Malang Feb 1948
Masjid Agung Jami' Malang Tahun 1950
Masjid Agung Jami' Malang, Dulu dan Kini
Dipangang dari alun alun

----------------

Selasa, 26 Oktober 2010

Masjid Agung Djenne, Republik Mali

Masjid dari lumpur di Djene, Republik Mali, ini begitu terkenal karena memang dibangun dengan bahan bangunan yang tak biasa, serta bentuk bangunannya yang sangat unik. Masjid yang berada di tengah pemukiman warga Djene ini sehari hari di depannya selalu ramai karena merupakan pasar tradisional masyarakat muslim setempat.

Djenne, Kota kecil di negara Mali, memiliki sejarah yang panjang sebagai salah satu peradaban Islam pertama di Afrika Barat. Kota yang sudah diresmikan oleh UNESCO sebagai warisan dunia bersama masjid tua nya itu kini masih menjadi tujuan para pelancong dari mancanegara yang datang untuk sekedar mengagumi keindahannya atau untuk beribadah disana. Masjid Agung Djenne merupakan bangunan dengan bahan lumpur terbesar di dunia, merupakan sebuah pencapaian arsitektur Sudano-Sahilian yang luar biasa.

Lokasi Masjid Agung Djenne

Berada di wilyah Farmantala, kota tua Djenne, Mopti, Republik Mali (dahulu bernama Sudan Prancis) 


Sejarah Panjang Djenne

Djenne kota tertua yang pernah dikenal di wilayah sub sahara Afrika berada di daerah aliran sungai Niger dan Sungai Bani, 354 kilometer sebelah barat daya Timbuktu. Didirikan oleh para pedagang sekitar tahun 800M (di dekat tempat kota yang yang lebih tua yang sudah ada sejak 250 tahun sebelum masehi). Djenne berkembang kala itu karena menjadi pertemuan antara pedagang pedagang dari gurun sudan dan pedagang dari wilayah hutan tropis Guyana.

Dicaplok oleh Emperium Songhai, Soni Ali di tahun 1468 menjadikan Mali sebagai pusat perdagangan terpenting selama abad ke 16. kota tersebut melesat maju karena menjadi titik temu dari sungai dengan Timbuktu dan dari situasinya yang menjadi rute perdagangan emas dan pertambangan garam.

Bulang mengambang di atas Masjid Agung Djene

Diantara tahun 1591 dan 1780 Djenne berada dibawah kendali Raja Maroko dan selama tahun tahun tersebut pasar disana berkembang pesat, beragam produk dari seantero wilayah utara dan afrika tengah. Tahun 1861 kota tersebut di taklukkan oleh Empirium Tukolor, al-Hajj 'Umar dan kemudian di kuasai oleh Prancis di tahun 1893. stelah itu fungsi perdagagangan kota tersebut diambil alih oleh kota Mopti yang berada di pertemuan dua sungai antara sungai Niger dan Sungai Bani, 90 kilometer sebelah timur laut Djenne. Djenne kini menjadi pusat perdaganganan komuditas pertanian tanpa mengurangi pamor kepentinganya dengan beberapa keindahan nya sendiri termasuk warisan arsitektur Muslim, Masjid Agung Djenne.

Tambahan kepada sejarah pentingnya kota Djenne dalam hal perdanganan, Djenne juga menjadi pusat pembelajaran dan ziarah, menarik para pelajar dan peziarah yang datang dari seluruh wilayah Afrika Barat.

Sejarah Masjid Agung Djenne

Masjid Agung Djenne dipercaya dibangun pertama kali pada tahun 1240 oleh sultan Koi Kunboro, yang masuk Islam lalu mengubah istananya menjadi sebuah masjid. Sangat sedikit informasi tentang bentuk dari masjid pertama tersebut, namun masjid tersebut dinilai terlalu mewah oleh Sheikh Amadou, penguasa Dejene di awal abad ke 19 masehi.

Prangko bergambar Masjid Agung Djene dimasa Mali masih menjadi wilayah jajahan Prancis.

Sheikh Amadou kemudian membangun masjid kedua tahun 1830 dan membiarkan masjid pertama runtuh dengan sendirinya. Masjid yang kini berdiri mulai dibangun tahun 1906 dan selesai setahun kemudian di tahun 1907, di rancang oleh arsitek Ismaila Traoré, kala itu Mali sudah berada dibawah kekuasaan Prancis yang memberikan bantuan finansial dan dukungan politik bagi pembangunan masjid serta sekolah islam di dalam lingkungan masjid tersebut.

Arsitektur Masjid Agung Djenne

Masjid Agung Djenne dibangun dengan lantai yang ditinggikan dari permukaan tanah disekitarnya. Keseluruhan bahan bangunan menggunakan bahan lumpur yang dikeringkan dibawah sinar matahari. Balok balok lumpur kemudian disusun dan direkatkan satu sama lain menggunakan lumpur basah dan diplester permukaannya juga menggunakan lumpur basah.

Masing masing dinding memiliki keterbalan antara 40 sampai 60 sentimeter. Makin ke atas making menipis. Dinding setebal itu berfungsi untuk menahan berat dari struktur masjid juga memberikan insulasi terhadap sinar matahari gurun yang menyengat. Di siang hari tembok tersebut akan memanas secara perlahan dari luar dan tetap memberikan kesejukan di dalam masjid. Sebaliknya dimalam hari udara panas yang tersimpan di tembok tersebut tetap memberikan kehangatan di dalam masjid dari terpaan udara extrim gurun pasir.

Malam hari di depan Masjid Agung Djene

Ruang sholat masjid ini ditopan goleh sembilan puluh tiang kayu, mampu menampung hingga 3000 jemaah sekaligus. Struktur masjid tersebut memungkinkan untuk tetap memberikan suasana sejuk di dalam masjid sepanjang hari. Masjid Agung Djenne juga dilengkapi dengan ventilasi udara di bagian atap yang ditutup dengan keramik hasil karya para wanita Djenne. Tutup tersebut dapat dibuka pada malam hari untuk mensirkulasi udara di dalam masjid.

Tembok masjid Agung Djenne juga menggunakan phon pohon palm yang digunakan sebagai penyanggah masjid dari bahan lumpur tersebut. Kayu kayu tersebut tidak saja digunakan selama proses pembangunan sebagai penyanggah bagi para tukang yang membangun masjid tapi juga dipasang secara permanen di tembok masjid dan digunakan setiap tahun untuk memplester ulang masjid tersebut dengan lapisan lumpur yang baru. Yang sudah menjadi tradisi tahunan masjid ini.

Selain itu batang batang kayu palm tersebut juga berfungsi meminimalisir stess yang terjadi pada bahan lumpur yang menjadi bahan utama bangunan masjid akibat udara panas gurun pasir yang menyengat siang hari dan udara yang dingin di malam hari. Cuaca di gurun memang ekstrim. Fasad masjid sama persis dengan arsitektur rumah rumah penduduk Djenne yang termasuk tiga menaranya yang dibagian puncaknya diletakkan telor burung unta sebagai lambang dari kesuburan dan kemurnian.

Gotong Royong. Sekali setahun masyarakat muslim Djene bergotong royonh memplester ulang struktur bangunan Masjid Agung Djene dengan bahan lumpur yang diangkut dari sungai tak jauh dari sana. Hajatan tersebut melibatkan seluruh warga baik pria maupun wanita.

Kendatipun masjid raya Djenne terkait dengan elemen arsitektur yang ditemukan di masjid masjid seantero dunia Islam, namun masjid ini merepleksikan kearifan lokal dengan penggunaan material bangunan dari lingkungan sekitar yang sudah digunakan oleh masyarakat Djenne selama beberapa abad. Termasuk penggunaan lumpur dan pohon palem yang melimpah di daerah tersebut. Menyerap gaya bangunan lokal untuk beradaptasi dengan iklim gurun yang panas. Serta mengekspresikan hubungan yang elegan dengan lingkungan lokal melalui arsitektur yang membumi dan dapat ditemukan di seluruh pelosok Mali, dan dapat bertahan hingga berabad abad dengan perawatan yang baik.

Perbaikan tahunan masjid Djenne telah menjadi festival tahunan di Djenne yang menarik perhatian banyak wisatawan. Proses perbaikan berupa pemlesteran ulang bangunan masjid dengan bahan campuran lumpur dan sekam padi, di awasi oleh 80 orang pekerja senior yang sudah berpengalaman. Mereka juga yang mengkoordinir keseluruhan proses perbaikan masjid sekali dalam setahun.

Festival ini digambarkan oleh para wisatawan yang pernah bergabung dengan acara tahunan ini sebagai sebuah festival yang penuh dengan tawa dan kesenangan. Anak anak dan dewasa bergabung bersama mencampur lumpur dengan sekam untuk kemudian dipakai untuk memplester ulang dinding masjid. Tahun 1988 Kota tua Djenne dan Masjid Agung nya dijadikan warisan dunia oleh UNESCO.

Warisan dunia versi UNESCO

Kiblat Masjid Agung Djenne menghadap ke arah timur menuju Baitullah di Mekah. Di depan masjid. Dinding kiblat didominasi tiga menara besar yang menjorok keluar dari dinding utama. Setiap menara dihiasi tangga spiral menuju atap. Di ruang utama untuk shalat, setiap menara di dinding kiblat memiliki ceruk atau mihrab. Imam memimpin shalat dari mihrab di menara yang lebih besar. Sebuah celah sempit di langit-langit mihrab ini terhubung dengan sebuah ruangan kecil yang terletak di bagian atas menara. Pada masa lalu, seseorang akan menyerukan ulangan kata-kata para imam kepada orang-orang di luar masjid. Di sebelah kanan mihrab utama di tengah menara, terdapat ceruk kedua yang berisi mimbar tempat iman menyampaikan khutbah.

Kini masjid Djenne masih menjadi salah satu bangunan penting di Afrika Barat. Umat Muslim dan turis dari seluruh dunia datang mengagumi struktur bangunan masjid, selain beribadah. Ada yang berdoa, belajar, dan juga berguru. Masyarakat kurang mampu dari sekitar Kota Djenne pun mengirim anak-anak mereka setiap bulan atau setiap tahun, untuk belajar menulis dan membaca. ***

Senin, 25 Oktober 2010

Masjid Agung Coquimbo, Chile

Masjid Agung Coquimbo, Chile

Nama Coquimbo mungkin terlalu asing untuk pendengaran orang Indonesia dan orang Melayu pada umumnya. Coquimbo adalah kota di negara Chile. Chile sendiri adalah negara yang terletak di Amerika Selatan atau biasa disebut Amerika Latin yang mayoritas penduduknya beragama Katholik. Negara yang pernah diguncang gempa dasyat berkekuatan 8,8 skala Richter dan tercatat sebagai gempa terkuat ke tujuh yang pernah terjadi di planet bumi. Menurut laporan NASA gempa tersebut telah menggeser poros bumi serta  berpengaruh kepada seluruh perputaran bumi membuat siang hari menjadi semakin singkat 1.26 milidetik.

Peta Negara Chile
di Amerika Latin
Data statistik menunjukkan estimasi jumlah ummat Islam di Chile mencapai 4000 orang atau kurang dari 1% dari total penduduk negeri tersebut. Meskipun demikian, Islam terus tumbuh di Chile, pusat pusat Islam dan organisasi organisasi Islam mulai bertebaran termasuk Sociedad Musulmana de Chile Mezquita As-Salam (Komunitas Muslim dan Masjid As-Salam Chile) di Santiago, Ibukota Chile, Mezquita Bilal (Masjid Bilal) di Iquique dan Masjid Agung Coquimbo atau The Mohammed VI Center for Dialogue of Civilizations di Coquimbo.

Berbeda dengan masjid masjid sebelumnya di Chile yang digagas dan didirikan sendiri oleh komunitas muslim setempat. Masjid Agung Coquimbo atau The Mohammed VI Center for Dialogue of Civilizations ini justru digagas oleh walikota Coquimbo sendiri yang beragama Katholik. Sebagai bagian dari rencananya mendirikan tiga bangunan monumental refresentasi dari 3 agama samawi : Islam, Kristen dan Yahudi sebagai landmark bagi Kota Coquimbo.

Masjid Agung Coquimbo atau oleh masarakat setempat dikenal sebagai Mezquita (Mezquita adalah masjid dalam bahasa Spanyol), Ketika selesai dibangun memang menjadi land mark baru bagi kota Coquimbo. Letaknya yang berada dipuncak bukit menjadikan masjid ini sebagai bangunan yang dapat dilihat dari seluruh penjuru kota Coquimbo. Dan terlihat dengan jelas dari arah laut karena kota Coquimbo memang merupakan salah satu kota pelabuhan di Chile.

Lokasi

Masjid Agung Coquimbo berada di puncak bukit Villa Dominant kota Coquimbo, Chile. Akses utama ke masjid ini melalui ruas jalan Videla Avenue yang terhubung langsung dengan Ruta panamarecana La Serena-Coquimbo. 

 

Arsitektur Masjid Agung Coquimbo, Chile

Masjid yang Coquimba dibangung di puncak bukit Villa Dominant kota Coquimbo ini ini, memiliki menara setinggi 40 meter yang merupakan replika dari menara masjid Koutoubia di Marrakech, Kerajaan Maroko. Menara segi empat ber-ornamen khas Moris (Maroko). Pembangunan masjid ini melibatkan para pengukir pengukir arab dibawah pimpinan arsitek Maroko, Faissal Cherradi.

Ornamnet Khas Maroko di Masjid Agung Coquimbo, Chile
Keseluruhan bangunan mencapai luas 722 meter persegi. Di dalam komplek masjid ini juga dilengkapi dengan Pusat Kebudayaan yang terbuka untuk umum. Memiliki dua ruang sholat, perpustakaan dengan pustaka dalam bahasa Spanyol dan Arab (masing masing memiliki ruang konfrensi sendiri) serta bahasa lain nya serta bangunan Musium.

Masjid ini terbuka untuk umum dari semua kalangan kecuali ruang sholat yang hanya diperuntukkan untuk muslim. Untuk mencapai masjid ini pengunjung harus mendaki tujuh teras tanga yang merepresntasikan tujuh lapis langit. Itu sebabnya pengunjung masjid ini suka berseloroh saat menaiki tangga dengan kalimat “mendaki ke surga”. Pemerintah kota Coquimba turut mengeluarkan dana dalam proyek masjid ini dengan memperbaiki atap atap bangunan hunian disekitar masjid yang teletak di puncak bukit tersebut sehingga lebih manis untuk dipandang dari kejauhan. Secara keseluruhan struktur bangunan Masjid Agung Coquimba ini dibangun dengan struktur beton. Berlapiskan batu pualam abu abu, putih dan merah muda.

Sejarah Masjid Agung Coquimbo, Chile

Pembangunan Masjid Agung Coquimbo, merupakan ide dari walikota Coquimbo Pedro Velasquez yang begitu antusias untuk memberikan 3 landmark sekaligus bagi  kota Coquimbo. 3 landmark yang mewakili 3 agama samawi : Islam, Kristen dan Yahudi. Kehadiran masjid ini memang ditunggu tunggu oleh Muslim Chile yang tinggal di Coquimbo. Masjid ini merupakan sumbangan dari keluarga Kerajaan Maroko yang menyumbang sebesar 250 juta pesso untuk pembangunan masjid tersebut.

Bendera Negara Chile dan Maroko
di depan Masjid
Masjid setinggi 36 meter ini menjadi landmark kedua bagi kota Coquimbo yang telah selesai dibangun. Setelah sebelumnya juga sudah diselesaikan pembangunan Gereja Katholik Cross of the Third Millennium, setelah itu rencananya kota Cosquimbo juga akan membangun landmark mereka yang ketiga yaitu sebuah Sinagog Yahudi.

Pedro Velazquest (walikota Coquimbo) dalam penyataannya terkait ide nya untuk mendirikan masjid di kota Coquimbo, mengatakan bahwa “Alqur’an men-syaratkan kepada ummat Islam untuk setidaknya sekali seumur hidup untuk ke Mekah (maksudnya ber-haji), atau setidaknya pergi ke masjid. Walaupun komunitas muslim di Coquimbo relatif sangat sedikit tapi kami percaya bahwa banyak orang yang akan datang kesini”

Meski pembangunan masjid ini digagas oleh Walikota Pedro Velasquest di tahun 2004, namun peresmian nya dilaksanakan pada 14 Maret 2007 di era pemerintahan walikota berikutnya yaitu walikota Oscar Pereira serta delegasi dari Kerajaan Maroko. Upacara peresmian dilakukan di kaki bukit di The Village Parent. Seremoni itu juga dihadiri oleh para pejabat setempat, wakil Dubes Maroko di Chile dan kaum muslimin setempat.

Acara dimulai dengan pengibaran bendera kebangsaan Chile di iringi lagu kebangsaan Chile, kemudian di ikuti pengibaran bendera Maroko dan di iringi lagu kebangsaan Maroko. Utusan Raja Maroko yang hadir di acara tersebut dalam sambutannya berbahasa Prancis menyampaikan terima kasih atas permintaan pembangunan masjid di lokasi tersebut kepada kerajaan Maroko. Masjid dan pusat kebudayaan tersebut dibangun selain untuk sarana ibadah juga sebagai tempat berdialog antar dua kebudayaan, Utusan Raja Maroko juga menyampaikan permintaan maaf karena ketidakhadiran Raja Maroko dan Duta besar Maroko di acara peresmian tersebut.


Ukiran Khas Maroko di Puncak Menara Masjid Agung Coquimbo
Fasad Masjid Coquimbo
Masjid Coquimbo, Chile dari Kejauhan
keindahan Interior Masjid Agung Coquimbo
Tangga menuju masjid Coquimbo
Dari sudut ini, Masjid Agung Coquimba benar benar
tampak menjulang tinggi



Bendera Chile dan Maroko di depan masjid Coquimbo


Masjid Agung Coquimbo, dibadikan dalam sebuah
Kartu Pos 

Minggu, 24 Oktober 2010

Masjid Kampung Keling Malaka, Malaysia

Masjid Kampung Keling (Kampong Kling) Malaka.

Masjid Kampung Keling dibangun tak lama setelah pembangunan Masjid Kampung Hulu Malaka. dimasa penjajahan Belanda di Malaka. Ketika itu Belanda memberikan kebebasan untuk mendirikan masjid sebagai usaha untuk menarik hati orang orang melayu dan kaum muslimin Malaka waktu itu, setelah di era penjajahan Portugis, warga Muslim dilarang mendirikan Masjid bahkan keseluruhan bangunan masjid yang sudah ada dihancurkan oleh Portugis. Keseluruhan biaya pembangunan masjid ini berasal dari jemaah. Masjid Kampung Keling ini merupakan salah satu masjid tertua di Malaysia, dan berada dibawah pengawasan Kementerian Musium dan Purbakala Malaysia.

Menara Masjid Kp. Keling.
Dibangun dengan arsitektur masjid masjid di tanah Jawa dan Sumatera. Kayu kayu yang dipakai untuk pembangunan masjid di datangkan langsung dari Kalimantan, Indonesia. Sementara mastaka masjid, berikut keramik keramik yang menghiasai bangunan masjid ini di datangkan dari Cina. Maski dinding dinding dan tiang tiang kayu nya sudah diganti dengan beton, namun keaslian masjid ini tetap dijaga dengan baik. 4 soko guru utamanya masih berdiri kokoh di tengah masjid tak tergerus waktu, meski 4 sokoguru ini merupakan sokoguru kayu dari bangunan pertama masjid yang sengaja tak diganti dengan beton.

Lokasi Masjid Kampung Keling

Masjid Kampung Keling berada di ujung jalan Hang Lekiu dan Jalan Tokong atau Lorong Harmoni atau Temple street, Malaka 75200, Malaysia. Semua agama utama di Malaka terwakili di jalan ini. dijalan yang sama tak jauh dari Masjid Kampung Keling berdiri Kelenteng Cina Cheng Hoon Tseng dan Kuil Hindu Sri Poyyatha Vinayagar Moorthi yang juga berada di Jalan Tokong.

 

Arsitektur Masjid Kampung Keling

Interior Masjid Kampung Keling, tampak jelas dua Sokoguru nya

Masjid Kampung Keling yang dibangun tak lama setelah berdirinya Masjid Kampung Hulu Malaka, memiliki arsitektural bangunan yang serupa dengan Masjid Kampung Hulu Malaka. Mengadopsi tradisi masjid Jawa dan Sumatera dengan 4 sokoguru menyanggah struktur atap bangunan utama. Ditambah dengan beranda beratap di sekeliling bangunan utama. Masjid Kampung Keling dapat menampung sekitar 600 jemaah sekaligus.

Kolam wudhu Masjid Kp. Keling 
Masjid Kampung Keling juga dilengkapi dengan bangunan tempat wudhu yang melindungi kolam air dibawahnya. Letaknya sedikit ditinggikan dari permukaan disekitarnya. Dilengkapi dengan beberapa anak tangga. Sama dengan Masjid Kampung Hulu, tempat wudhu di Masjid Kampung Keling tidak menggunakan keran tapi langsung berwudhu di kolam yang disediakan. Di belakang kolam wudhu ini terdapat rumah tempat tinggal pengurus masjid.

Menara masjid dibangun terpisah dari masjid dengan bangunan beton tanpa kayu. Menara yang begitu unik karena tampilannya yang mirip dengan pagoda Cina. Dilengkapi dengan jendela jendela berlengkung dan berterali besi. Sementara tembok pagar sekeliling masjid ditinggikan ditahun 1868 untuk melindungi masjid dari jalan raya.

Keramik di import dari Cina untuk menghiasi atap menara, lantai dan tembok bagian bawah. Selain keramik, pengaruh Cina juga terlihat dari hiasan di ujung ujung atap masjid juga pada bagian puncak bangunan yang dihias dengan Mastaka. Pembangunannya yang dilakukan dimasa kekuasaan Belanda yang sedang bercokol di Malaka sedikit memberikan pengaruh Eropa pada plesteran dinding tembok bagian dalam masjid.

Mastaka di puncak atap masjid

Nuansa Nusantara sangat kental di Masjid Kampung Keling ini. Buka-an lantai bangunan yang persegi empat bukan heksagonal atau persegi panjang seperti kebanyakan masjid masjid timur tengah, tanpa kubah seperti yang biasa kita kenal pada bangunan masjid, tapi menggunakan atap limasan bersusun tiga yang merupakan ciri khas bangunan masjid majid tua di tanah Jawa dan Sumatera. Masjid ini memang dibangun dengan gaya masjid Jawa dan Sumatera, Idonesia.

Ukiran kayu dengan nuansa Nusantara juga bisa dinikmati pada bagian atap, jendela, dinding serta ukiran yang begitu indah pada mimbar masjid ini. Keseluruhan pengukir masjid ini merupakan para pengukir asli melayu. Pada saat dibangun Masjid Kampung Keling memiliki 4 sokoguru utama, 12 tiang lain nya menyokong bangunan masjid dan 20 tiang kayu penopang keliling. Kayu kayu yang digunakan untuk pembangunan masjid ini di datangkan dari Kalimantan, Indonesia.

Mastaka di sisi atas
Gerbang Masjid. 
Namun kemudian tiang tiang tersebut diganti dengan beton di tahun 1872 menyisakan 4 sokoguru utama yang menyanggah struktur atap untuk tetap mempertahankan keaslian bentuk masjid. Masjid ini masih menyimpan lampu hias antik yang menggantung dibawah kubah limas di ruang utama masjid. Meski usianya sudah begitu tua lampu ini masih berfungsi dan dirawat dengan baik. Diperkirakan secara kasar harga lampu tersebut mencapai 150 ribu Ringgit Malaysia, dan merupakan satu satunya di Malaysia.

Sejarah Pembangunan Masjid Kampung Keling

Masjid Kampung Keling dibangun di tahun 1748 atau bertepatan dengan tahun Tahun 1152 Hijriah di masa penjajahan Belanda di Malaka, tak lama setelah pembangunan Masjid Kampung Hulu Malaka. Kemudian masjid ini renovasi tahun 1288H / 1872M dengan bangunan beton. Dan tahun 1908 atap masjid ini ditinggikan mengikut Masjid Kampung Hulu Malaka. Keseluruhan biaya pembangunan masjid ini berasal dari jemaah. Semua ukiran-ukiran yang ada dalam masjid dibuat para pemahat melayu asli. Masjid Kampung Keling merupakan salah satu masjid tertua di Malaysia.

Kini menjadi Bangunan cagar budaya Malaysia

Disebut kampung keling karena di daerah yang kini dipenuhi oleh jejeran rumah toko (RUKO) pedagang pedagang keturunan Cina, dulunya pada saat masjid dibangun merupakan kawasan tempat tinggal Muslim India atau Keling yang berasal dari India selatan. Kampung Keling memanjang di sisi barat sungai Malaka. Tipikal bangunan masjid dengan arsitektur seperti Masjid Kampung Keling ini memang sedang berkembang kala itu. Malaka sendiri memang menjadi pusat perdagangan yang begitu maju di abad ke 14 hingga abad le 18M.***