Masjid Pathok Negara Sulthoni Ploso Kuning |
Masjid
Pathok Negara Sulthoni Plosokuning merupakan salah satu dari lima masjid Pathok
Negara Kesultanan Ngayokyakarta Hadiningrat. Didirikan di atas tanah kasultanan
seluas 2.500 m2. Bangunan masjid pada saat didirikan seluas 288 m2 dan setelah
pengembangan menjadi 328 m2. Diantara kelima masjid Pathok Negara milik Kraton
Yogyakarta, Masjid Pathok Negara di Plosokuning adalah bangunan yang paling
terjaga kelestariannya.
Lokasi Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning
Masjid
Pathok Negara ”Plosokuning” berlokasi di Jl. Plosokuning Raya Nomor 99, Desa
Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman Yogyakarta. Letak masjid ini
sekitar 9 km arah utara dari Kraton Yogyakarta.
Arsitektur Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning
Masjid
Pathok Negoro didirikan setelah pembangunan masjid Agung Yogyakarta, sehingga
bentuk masjid tersebut meniru masjid Agung sebagai salah satu usaha legitimasi
masjid milik Kasultanan Yogyakarta. Persamaan ini juga didukung oleh beberapa
komponen yang ada di dalamnya seperti mihrob, kentongan dan beduk.
Masjid
Pathok Negoro mempunyai ciri beratap tajuk dengan tumpang dua. Mahkota masjid
juga mempunyai kesamaan yakni terbuat dari tanah liat dan atap masjid terbuat
dari sirap. Perbedaan jumlah tumpang menandakan bahwa masjid pathok negoro
lebih rendah kedudukannya dibandingkan dengan masjid Agung Yogyakarta yang
mempunyai atap tajuk bertumpang tiga. Ciri-ciri lain dari kekhasan masjid
Pathok Negoro ini adalah pada masing-masing masjid terdapat kolam keliling,
pohon sawo kecik dan terdapat mimbar yang ada di dalam masjid.
Masjid Pathok Negara Sulthoni Ploso Kuning |
Dalam
perkembangan saat ini, arsitektur trradisional telah banyak mengalami perubahan
dan salah satu penyebab semua itu adalah masuknya arsitektur modern di
Indonesia. Hal di atas juga berpengaruh terhadap Masjid Pathok Negoro yang ada.
Dari kelima masjid yang ada, hanya Masjid Pathok Negoro di Plosokuning saja
yang sampai saat ini masih mempertahankan bentuk aslinya.
Sejarah Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning
Masjid
Pathok Negoro Plosokuning didirikan semasa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono
III yang 1812-1814. Beliau adalah ayahanda Pangeran Diponegoro, ketika Kyai
Raden Mustafa (Hanafi I) menjadi Abdi Dalem Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
yang berkedudukan di Plosokuning.
Nama
Plosokuning sendiri diambil dari nama pohon Ploso yang mempunyai daun berwarna
kuning. Dulu, letak pohon ini kira-kira 300 meter sebelah timur masjid, namun
sekarang sudah tidak ada. Satu hal yang menarik dari desa ini. Hingga sekarang
daerah di sekitar masjid, hanya ditempati oleh orang-orang yang masih memiliki
garis keturunan dengan Kyai Mursodo.
Daerah di sekitar masjid dikenal dengan
sebutan daerah Mutihan yang mempunyai arti sebagai tempat tinggal orang-orang
putih atau santri. Daerah di sekitar masjid yang disebut daerah Mutihan juga
disebut sebagai daerah Ploso Kuning Jero, yang hanya ditempati oleh orang yang
mempunyai ikatan darah dengan pendiri masjid. Sedangkan daerah yang agak jauh
dari masjid disebut Ploso Kuning Jobo.
Masjid Pathok Negara Sulthoni Ploso Kuning |
Sebagai
salah satu masjid pathok Negoro, di masjid Plosokluning juga ditempatkan abdi
dalem kemasjidan. Abdi dalem yang menjalankan tugas di masjid Plosokuning
dengan fungsi masing masing sebagai Khotib, Muadzin, Jajar Jama'ah, Jajar
Ulu-ulu (penghulu) dan Jajar Merbot. Kesemua fungsi tersebut di emban oleh andi
dalem bergelar Raden.
Renovasi Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning
Keaslian
Masjid pathok Negoro Plosokuning dapat terlihat pada bagian atap dimana di
atasnya terdapat mahkota gada bersulur yang terbuat dari tanah liat yang sampai
sekarang masih terpasang di puncak atap masjid. Dulu, penutup atap masjid
menggunakan sirap namun atap sirap ini kemudian diganti dengan genteng pada
tahun 1946.
Pada
bagian lantai masjid dahulu diplester biasa dengan menggunakan semen merah, kemudian
pada tahun 1976 lantai masjid ini diganti dengan tegel biasa. Begitu juga
dengan daun pintu dan temboknya dilakukan penggantian pada tahun 1984. Dulu
tembok dinding masjid setebal 2 batu, namun karena terkikis terus menerus
sekarang tinggal 1 batu. Dahulu pintu masjid hanya ada satu dan sangat rendah
yang menyebabkan ruang masjid menjadi gelap. Pintu yang rendah ini dimaksudkan
agar setiap orang yang masuk masjid hendaknya menunduk dan menunjukkan rasa
tatakrama serta sopan santun terhadap masjid. Keadaan demikian menyebabkan
ruangan di dalam masjid menjadi gelap, sehingga pada tahun 1984 ditambah pintu
masuk masjid menjadi 3 bagian serta ditambah jendela di ruang dalam masjid.
Semua
penambahan dan perbaikan bangunan pada masjid, terlebih dahulu dimintakan
persetujuan dari Sinuhun Kanjeng yang berada di kraton, baik mengenai bentuk
dan modelnya. Beberapa tahun terakhir, takmir masjid mengadakan perbaikan dan
penambahan ruang yang ada di samping kanan dan kiri masjid. Hal ini bertujuan
agar kegiatan pengajian dan tadarus dapat berlangsung nyaman sekaligus untuk
menambah shaf putri. Pada ruang dalam masjid terdapat tiang-tiang yang
berfungsi sebagai penahan konstruksi atap. Semua tiang penyangga ini sebagian
besar masih asli dan terbuat dari kayu jati.
Tahun
2000 Masjid Plosokuning mengalami renovasi pada 4 tiang utama dan beberapa
elemen lainnya. Pada tahun 2001, masjid ini kembali mengalami renovasi pada
bagian serambi dan tempat wudhu. Renovasi ini dilaksanakan oleh Dinas
Kebudayaan Provinsi DIY. Pada tahun tersebut masyarakat secara swadaya juga
mengganti lantai tegel masjid dengan keramik, memasang konblok di halaman serta
mendirikan menara pengeras suara.
Tradisi Masjid Pathok Negara Sulthoni Plosokuning
Di
depan masjid terdapat dua kolam dengan kedalaman 3 meter. Setiap orang yang
akan memasuki masjid harus bersuci terlebih dahulu di kolam itu. Makna lain
dari 2 kolam ini adalah apabila kita menuntut ilmu haruslah sedalam-dalamnya.
Saat ini kolam tersebut juga digunakan untuk memelihara ikan serta untuk
mencuci kaki sebelum masuk ke mesjid.
Di
dalam masjid, terdapat mimbar tua yang terbuat dari kayu jati dengan ornamen
pada pegangan mimbar. Mimbar ini juga dilengkapi dengan sebuah tongkat yang
dipakai oleh khatib pada saat memberikan khotbah yang sampai sekarang masih
digunakan. Masjid ini juga masih menganut adat lama dimana adzan pada saat
sholat Jum'at dilakukan 2 kali. Dahulu sekitar tahun 1950 adzan pertama
dilakukan oleh lima orang sekaligus dan adzan kedua dilakukan salah seorang
dari mereka.
Begitu
juga dengan khotbah dilakukan dengan menggunakan bahasa Arab. Baru pada tahun
1960 adat tersebut berubah, muadzin yang semula berjumlah 5 orang menjadi 2
orang, tetapi adzan tetap dilakukan 2 kali. Khotbah juga diganti dengan
menggunakan bahasa Jawa. Pada bagian pintu gerbang, masjid ini memiliki pintu
gerbang yang berundak. Pada tiga undakan pertama berarti Islam itu terdiri dari
3 elemen yakni Iman, Islam dan ikhsan. Pada 5 undakan kedua menunjukkan bahwa
rukun Islam itu ada 5 sedangkan pada 6 undakan ketiga menunjukkan bahwa rukun
iman itu ada 6.
Pada
momen-momen tertentu, di masjid ini juga dilaksanakan kegiatan keagamaan yang
diikuti oleh keluarga kraton, semisal tradisi Bukhorenan. Tradisi ini sudah
menjadi bagian dari tradisi keraton yang lestari hingga sekarang. Maksud dan
tujuannya tidak lain adalah untuk mengkaji ajaran dan tuntunan Nabi dengan
membaca dan memahami hadist-hadist yang terdapat dalam Sahih Bukhari.***
-------------------------------ooOOOoo-------------------------------------
Lanjutkan Membaca Artikel Masjid Pathok Negara Lainnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA