Beberapa bagian dari masjid Saka Tunggal Baitussalam ini telah mengalami perombakan dan sentuhan kekinian, namun demikian sebagian besar bentuk bangunannya masih asli. |
Nama
resmi masjid ini adalah masjid Saka Tunggal Baitussalam, tapi lebih populer dengan nama masjid saka
tunggal karena memang Masjid ini hanya mempunyai saka tunggal (tiang penyangga
tunggal).
Saka tunggal yang berada di tengah bangunan utama masjid, saka dengan
empat sayap ditengahnya yang akan nampak seperti sebuah totem, bagian bawah
dari saka itu dilindungi dengan kaca guna melindungi bagian yang terdapat
tulisan angka 1288 dalam aksara arab yang kemungkinan adalah tahun pendirian masjid tersebut. Masjid
saka tunggal berukuran 12 x 18 meter ini menjadi salah satu masjid tertua di pulau Jawa dan di Indonesia.
Lokasi Masjid Saka Tunggal Baitussalam
Masjid Masjid Saka Tunggal Baitussalam
Desa Cikakak, Kecamatan Wangon Banyumas
Kabupaten Banyumas, Propinsi Jawa
Tengah
Koordinat Geografi : 7°28'26.05"S
109° 3'20.32"E
Masjid
Masjid Saka Tunggal Baitussalam berada di Desa Cikakak, Kecamatan Wangon
Banyumas. , Banyumas, Jawa Tengah, Ditengah suasana pedesaan Jawa yang begitu
kental. Di kawasan masjid yang dipenuhi dengan kera-kera yang berkeliaran
bebas. Di masjid ini terdapat beberapa ruang. Halaman masjid cukup luas untuk
menampung beberapa kendaraan. Di depan halaman masjid, sudah disediakan tempat
berwudhu dan kamar mandi. Dari jalan raya menuju pintu gerbang masjid ini cukup jauh letaknya berada diantara
rumah rumah penduduk. Kawasan ini memang sudah menjadi cagar budaya,
dibelakang masjid ini terdapat komplek pemakaman tua dengan gerbangnya yang
masih bertuliskan aksara Jawa. Makam yang secara rutin di ziarahi oleh warga
muslim setempat.
Sejarah Masjid Saka Tunggal Baitussalam
Masjid
ini dibangun pada tahun 1288 Hijriah sebagaimana angka yang terpahat di satu
satunya tiang di dalam masjid ini, bertepatan dengan tahun 1871 Masehi, menjadikan masjid ini sebagai salah satu masjid tertua di
Indonesia. Berbagai sumber mengaitkan sejarah Masjid Saka Tunggal ini dengan Tokoh penyebar Islam di Cikakak, bernama Mbah Mustolih yang disebutkan hidup dimasa Mataram Kuno.
Dalam syiar Islam yang dilakukannya, Mbah Mustolih menjadikan Cikakak sebagai "markas" dengan ditandai pembangunan masjid dengan tiang tunggal tersebut. Beliau dimakamkan tak jauh dari masjid Saka Tunggal.
Masjid Saka Tunggal Baitussalam saat ini masih dengan bentuk aslinya meski berkali kali diperbaiki. pagar beton disekelilingnya sengaja dibangun untuk menjaga bangunan ini. |
Hal
tersebut cukup membingungkan mengingat bahwa kerajaan Mataram Kuno yang kental dengan agama Hindu, sudah runtuh oleh serbuan Kerajaan Sriwijaya ditahun 1016 atau sekitar delapan setengah abad sebelum Masjid Saka Tunggal ini dibangun.
Kecuali bila yang dimaksud adalah: bahwa Mbah Mustolih adalah
keturunan dari anggota keluarga kerajaan Mataram Kuno atau keturunan dari warga
Mataram Kuno generasi kesekian yang sudah beragama Islam, dan kemudian menjadi
penyebar atau tokoh Islam di Cikakak.
Tarekat Aboge
Masyarakat
desa Cikakak tempat masjid Saka Tunggal Baitussalam ini berdiri seringkali
menjadi pusat perhatian media masa nasional terutama di setiap penghujung bulan
Ramadhan karena penetapan 1 Syawal sebagai hari pertama Idul Fitri yang tidak
mengikuti penetapan pemerintah, akibatnya seringkali Muslim disana merayakan
lebaran tidak berbarengan dengan muslim Indonesia lainnya.
Masyarakat
muslim disini memang merupakan pengikut tarekat Aboge yang memiliki perhitungan
sendiri tentang penetapan 1 Syawal. Di Desa Cikakak, sedikitnya ada 500 orang
pengikut Aboge terdiri dari orang dewasa dan generasi muda dan tentu saja semua
peribadatan komunal mereka diselenggarakan di Masjid Masjid Saka Tunggal ini.
di dua sholat hari raya masjid ini tidak mampu menampung seluruh jemaah
sekaligus, sehingga jamaah harus tumpah ruah ke halaman disekitar masjid.
Yang
unik saat pelaksanaan sholat Idul Fitri adalah khutbahnya disampaikan dalam
bahasa Arab dan tanpa pengeras suara, usai pelaksanaan ibadah Idul Fitri,
jamaah melaksanakan pembacaan takbir, ratib, tahlil dan sholawat bersama-sama.
Suara beduk dan terbang mengiringi prosesi itu. Setelah berdoa bersama-sama,
prosesi silaturahmipun dilaksanakan. Jamaah yang semula berada di dalam masjid
kemudian mencair dan melebur dengan warga yang berdatangan ke area kompleks
Masjid Saka Tunggal. Membentuk barisan yang panjang mengelilingi area kompleks
masjid, merekapun akhirnya saling berjabat tangan untuk saling memaafkan.
Usai
prosesi silaturahmi, sebagian pengikut Aboge mengadakan acara kenduri slametan
di dalam masjid. Usai didoakan, merekapun bersama menyantap makanan yang dibawa
menggunakan 'tenong' dan rantang. Menurut tradisi Aboge, Pedoman untuk
menentukan 1 Syawal, adalah Waljiro- 'Syawal Siji Loro' atau Syawal jatuh pada
hari 'siji' (pertama) dari hari Sabtu dan pasaran 'loro' (kedua) dari pasaran
Legi maka 1 Syawal Tahun Dal akan jatuh pada hari Sabtu Pahing.
Interior Masjid Saka Tunggal Baitussalam |
Diketahui
bahwa dalam Perhitungan Aboge dikenal siklus delapan tahunan (satu windu) yang
masing-masing tahun terkenal dengan tahun Kuruf (Asal dari Bahasa Arab: Huruf).
Tahun Kuruf terdiri dari Alip, Ehe, Jimawal, Je, Dal, Be, Wawu, Jimakir. Dari
sejumlah tetua pengikut Aboge menyebutkan kesamaan rumus yang dipakai dalam
menentukan tanggal, bulan dan tahun Jawa Hijriyah. Selain itu, walaupun ada
yang menyebut bahwa perhitungan Aboge ini ditetapkan secara formal oleh Sultan
Agung sejak abad 17 Masehi namun sejumlah pengikut Aboge menyatakan bahwa
perhitungan Aboge ini telah ada sejak abad 14-15 Masehi yang disebarkan oleh sejumlah
wali dan pengikutnya di daerah Banyumas.
Tradisi Unik Masjid Saka Tunggal Baitussalam
Zikir seperti melantunkan kidung jawa
Keunikan
masjid saka tunggal Banyumas, benar benar terasa di hari Jum’at. Selama
menunggu waktu sholat jum’at dan setelah sholat jum’at, Jamaah masjid Saka
Tunggal berzikir dan bershalawat dengan nada seperti melantunkan kidung jawa.
Dengan bahasa campuran Arab dan Jawa, tradisi ini disebut tradisi ura ura.
Pakaian Imam dan muazin
Imam
masjid tidak menggunakan penutup kepala yang lazimnya digunakan di Indonesia
yang biasanya menggunakan peci, kopiyah, tapi menggunakan udeng/pengikat
kepala. khutbah jumat disampaikan seperti melantunkan sebuah kidung,
Empat muazin sekaligus
Empat
orang muazim berpakaian sama dengan imam, menggunakan baju lengan panjang warna
putih, menggunakan udeng bermotif batik, dan ke empat muazin tersebut
mengumandangkan adzan secara bersamaan.
Kemeriahan ritual Penjarohan |
Semuanya dilakukan berjama’ah
Uniknya
lagi, seluruh rangkaian sholat jumat dilakukan secara berjamaah, mulai dari
shalat tahiyatul masjid, kobliah juma’at, shalat Jumat, ba’diah jum’at, shalat
zuhur, hingga ba’diah zuhur. Semuanya dilakukan secara berjamaah.
Tanpa Pengeras Suara
Masjid
Saka Tunggal Baitussalam hingga saat ini masih mempertahankan tradisi untuk tidak
menggunakan pengeras suara. Meski demikian suara azan yang dilantunkan oleh
empat muazin sekaligus, tetap terdengar begitu lantang dan merdu dari masjid
ini.
Ritual Penjarohan
Ritual
Penjarohan digelar setiap tanggal 26 Rajab di halaman Masjid Saka Tunggal,
Ritual ini sebagai bentuk rasa syukur dan sekaligus haul Mbah Mustalih pendiri
Masjid Saka Tunggal dan seligus perayaan ulang tahun masjid Saka Tunggal. Penjarohan
berasal dari kata "jaroh", yang artinya ziarah. Intinya adalah
penghormatan kepada leluhur yang telah mendirikan desa dan masjid Saka Tunggal
yang sampai sekarang menjadi pusat kegiatan peribadatan dan sosial mereka.
Dalam ritual itu, mereka juga memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar
diberi keselamatan, kesehatan, dan rezeki yang melimpah.
Sholat Idul Fitri di Masjid Saka Tunggal Baitussalam |
Ritual Ganti Jaro, Masjid Saka Tunggal
Adalah
ritual mengganti pagar bambu keliling masjid saka tunggal. Ritual ini diikuti
oleh seluruh warga desa Cikakak. Dalam ritual yang mereka sebut ganti Jaro
Rajapine. Saat membuat pagar ada beberapa pantangan yang harus ditaati. Mereka
dilarang berbicara dengan suara keras serta tidak boleh menggunakan alas kaki.
Sehingga yang terdengar hanya pagar bambu yang dipukul. Karena melibatkan
ratusan warga, hanya dalam waktu 2 jam pagar sepanjang 300 meter ini selesai.
Selain
bermakna kebersamaan dan gotong royong, tradisi ganti Jaro Rajab ini bagi warga
di sini dipercaya bisa menghilangkan sifat jahat dari diri manusia. Pagar bambu
ini selain mengelilingi Masjid Saka Tunggal juga makam Nyai Toleh. Seorang
penyebar agama di Banyumas. Sejumlah utusan dari kraton Surakarta dan
Ngayogjogkarta Hadiningrat ikut ambil bagian dalam acara ini dengan memanjatkan
doa di makam, sebagai rasa syukur.
Ritual
ganti Jaro Rajab ini kemudian diakhiri dengan prosesi arak arakan 5 gulungan
yang berisi nasi tumpeng ini kemudian diperebutkan warga karena dipercaya bisa
memberikan berkah.
Arsitektur Masjid Saka Tunggal Baitussalam
Salah
satu keunikan Saka Tunggal adalah empat helai sayap dari kayu di tengah saka.
Empat sayap yang menempel di saka tersebut melambangkan ”papat kiblat lima
pancer”, atau empat mata angin dan satu pusat. Papat kiblat lima pancer berarti
manusia sebagai pancer dikelilingi empat mata angin yang melambangkan api,
angin, air, dan bumi. Saka tunggal itu
perlambang bahwa orang hidup ini seperti alif, harus lurus. Jangan bengkok,
jangan nakal, jangan berbohong. Kalau bengkok, maka bukan lagi manusia.
Gerbang menuju ke komplek Masjid Saka Tunggal |
Empat
mata angin itu berarti bahwa hidup manusia harus seimbang. Jangan terlalu
banyak air bila tak ingin tenggelam, jangan banyak angin bila tak mau masuk
angin, jangan terlalu bermain api bila tak mau terbakar, dan jangan terlalu
memuja bumi bila tak ingin jatuh. ”Hidup itu harus seimbang,”
Papat
kiblat lima pancer ini sama dengan empat nafsu yang ada dalam manusia. Empat
nafsu yang dalam terminologi Islam-Jawa sering dirinci dengan istilah aluamah,
mutmainah, sopiah, dan amarah. Empat nafsu yang selalu bertarung dan memengaruhi
watak manusia.
Keaslian
yang masih terpelihara adalah ornamen di ruang utama, khususnya di mimbar
khotbah dan imaman. Ada dua ukiran di kayu yang bergambar nyala sinar matahari
yang mirip lempeng mandala. Gambar seperti ini banyak ditemukan pada
bangunan-bangunan kuno era Singasari dan Majapahit.
Kekhasan
yang lain adalah atap dari ijuk kelapa berwarna hitam. Atap seperti ini
mengingatkan atap bangunan pura zaman Majapahit atau tempat ibadah umat Hindu
di Bali. Tempat wudu pun juga masih bernuansa zaman awal didirikan meskipun
dindingnya sudah diganti dengan tembok.
Masjid Soko Tunggal saat ini |
Renovasi dan Benda Benda Peninggalan
Sejak
tahun 1965 masjid ini sudah dua kali dipugar. Selain dinding tembok, juga
diberi dinding anyaman bambu serta lapisan atap seng, Meski sebagian dinding
telah direhab dengan tembok, tetapi arsitektur masjid tetap tidak diubah.
Sehingga tidak ada perbedaan bentuk yang berarti dari awal berdiri hingga
sekarang. Sedangkan tiang dari kayu jati yang menopang bangunan utama masjid
dengan ukuran masih terlihat begitu kokoh. Selama ratusan tahun berdiri, warga
dan jamaah di Cikakak sama sekali tidak mengganti bangunan utama yang ada di
tempat itu, kecuali hanya membangun tembok sekeliling masjid sebagai penopang.
Barang lainnya yang sampai sekarang masih tetap rapi dan dipelihara di
antaranya adalah bedug, kentongan, mimbar masjid, tongkat khatib dan tempat
wudlu.
Status Masjid Saka Tunggal Baitussalam
Sebagaimana
tertulis dalam papan peringatan di sekitar
masjid, tertulis bahwa, Masjid Saka Tunggal Baitussalam, Desa Cikakak,
Kabupaten Banyumas merupakan Benda Cagar Budaya/Situs dengan nomor
11-02/Bas/51/TB/04 dan dilindungi undang undang RI No. 5 tahun 1992 dan PP
nomor 10 tahun 1993.
Updated : 21 April 2023
------------------------------------------
Artikel Terkait
sekali waktu perlu berkunjung kesana...
BalasHapusapakah mimbar kutbahnya juga dari bambu? untuk pemerhati lainnya apakah pernah menjumpai mimbar kutnah bermaterial bambu bukan kayu? trimakasih
BalasHapusApakah mimbar kutbahnya dari bambu juga? Untuk pemirsa lainnya pernahkan menjumpai mimbar kutbah dari material bambu - bukan kayu? ada yang tahu kenapa? trimakasih
BalasHapussubhanallah, ijin share.
BalasHapusAlhamdlillah. OK. jangan lupa link kemari yak
Hapusmohon maaf saya mau menayakan kembali? ritual ganti jaro itu jatuh pada tgl 26 Rajab atau 27 Rajab? karena ada yg mengatakan jatuh pada tgl 27 rajab, mohon maaf bila bertentangan dgnartikel ini. saya ingin tahu saja dan insha allah ingin berkunjung kesana.
BalasHapusMakasih nulis artikel semoga kita semua lebih ngrti perkembangan islam dari tahun ke tahun saya. Berterima kasih mewakili penduduk desa cikakak. Kalaw gk keberatan idul fitri mampir lagi
BalasHapusTrims buat bloger yg baik
BalasHapusShare
BalasHapusijin share....
BalasHapusTerima kasih Informasinya
BalasHapusIzin share!
Artikel hebat,...senang membacanya
BalasHapusKokk tiangnya ga satu ya, kalo masjid soko tunggal di desa saya tiangnya cuma satu..
BalasHapusTerima kasih Informasinya
BalasHapusIzin share!
terima kasih share nya, jd tau di pelosok Jateng ada masjid tua bahkan lbh tua dari Masjid Agung Demak. Kalo dilihat dr tahun di tiang soko nya 1288 menurut saya kemungkinan itu bukan thn Masehi tapi tahun 1288 Hijriah, krn penulisannya arab yg pastinya merujuk pd tahun hijriyah, bukan masehi. itu pendapat saya. terima kasih.
BalasHapus1288 hijriah dikonversikan jadi 1522 masehi
BalasHapushttps://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4032030/berkunjung-ke-masjid-saka-tunggal-banyumas-yang-penuh-filosofi
Terima kasih atas ilmu yang telah dibagikan, semoga bermanfaat dan barokah,, aamiin
BalasHapusMohon izin share ya