Masjid Agung Keraton Buton Dengan Tiang Tiang Bendera Keraton Kesultanan Buton |
Masjid Agung Keraton Buton
terletak di dalam Lingkungan Benteng Kesultanan Buton, Benteng tua terluas di
dunia menurut catatan rekor MURI. Masjid ini dibangun berbentuk empat persegi
panjang berukuran 20,6 x 19,40 m dengan atap berjumlah dua lapis berbentuk
limas. Masjid terdiri dari tiga lantai, mengikuti struktur bangunan rumah
panggung yang menjadi ciri khas rumah adat masyarakat Sulawesi
Tenggara. Bahan yang digunakan untuk membangun masjid itu sama dengan
bahan untuk benteng keraton.
Lantai satu yang lebih luas
sebagai ruang shalat, sementara lantai dua yang lebih kecil berfungsi sebagai
tempat mengumandangkan azan. Di atas bangunan lantai dua itu duduk bangunan
empat persegi yang lebih kecil dan merupakan puncak kerucut dari keseluruhan
bangunan Masjid Agung. Puncak kerucut itu adalah kubah bagi umumnya model
masjid di Tanai Air.
Masjid Agung Keraton Buton Dengan Jangkar Kapal VOC yang karam di Buton di latar depan dan di belakang adalah Tiang Tiang Bendera Keraton Kesultanan Buton |
Struktur bangunan masjid yang
belum pernah diganti sejak didirikan adalah fondasi dan bangunan dinding yang
bahannya menggunakan batuan kapur dengan spesimen pasir dan kapur. Ukuran
masjid juga masih tetap seperti aslinya, 20,6 meter x 19,4 meter. Masjid Agung Keraton Buton merupakan
salah satu dari sembilan Masjid kuno di Indonesia dan telah ditetapkan oleh
pemerintah RI sebagai benda cagar budaya atau situs cagar budaya berdasarkan
keputusan Menteri
Kebudayaan dan Pariwisata No : KM.8/PW.007/MKP.03 Tanggal 04 Maret 2003
Lokasi
Masjid Agung Keraton Buton
terletak di komplek Keraton Kesultanan Buton yang dikenal dengan sebutan
Keraton Wolio di dalam tembok Benteng Kesultanan Buton. Masuk dalam wilayah
Kelurahan Melai, Kecamatan Betoambari, Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara. Dapat
dicapat dari dari Kota Kendari ke Bau-Bau menggunakan pesawat perintis selama 1
jam penerbangan atau kapal laut selama 4 jam pelayaran.
Sejarah
Masjid Agung Keraton Buton
pertama kali didirikan pada tahun 1538 M. Tidak lama berselang, masjid ini
terbakar akibat perang saudara yang terjadi di Kesultanan Buton dalam perebutan
kekuasaan. Pembangunan masjid tersebut baru dimulai lagi pada tahun 1712 M
dengan lokasi yang tidak begitu jauh dari tempat semula pada masa pemerintahan
Sultan Zakiyuddin Darul Alam (La Ngkariyri, Sultan Buton XIX)
Renovasi
Renovasi mesjid ini sudah
dilakukan sebanyak 4 kali, tahun 1929, 1978, 1986 dan 2002. Renovasi pertama
dilakukan tahun 1930, di masa Sultan Hamidi (Sultan Buton ke-37). Struktur asli
bangunan tetap dipertahankan dan hanya mengganti sebagian rangka kayu karena
sudah lapuk dimakan usia, lantainya disemen. Sedangkan atap yang semula
menggunakan atap rumbia diganti dengan seng. Pemugaran kedua dan ketiga masing
masing tahun 1978, dan 1986 juga untuk mengganti atap seng yang sudah usang.
Renovasi terahir dilakukan tahun 2002. Dengan merenovasi lantai masjid
menggunakan marmer atas bantuan Presiden Republik Indonesia Megawati
Soekarnoputri.
Didalam Masjid Agung Kraton Buton |
Megawati pernah berkunjung ke
masjid tua itu menjelang Pemilu 1999. dan kemudian memberikan bantuan untuk
merenovasi Masjid terebut ketika beliau sudah menjadi Presiden. Pelaksanaan
renovasi masjid itu ditangani Gubernur Sultra Laode Kaimuddin dan Ketua PDI-P
Sultra Laode Rifai Pedansa.
Keunikan
Masjid Agung Keraton Buton tidak
memiliki menara. Tetapi, di sisi bangunan sebelah utara berdiri sebuah tiang
bendera yang ujungnya lebih tinggi dibandingkan puncak kerucut masjid. Menurut
Buya Hamka dalam buku tafsirnya, Al Azhar, tiang bendera itu juga berfungsi
sebagai tempat pelaksanaan hukuman gantung berdasarkan syariat Islam.
Menurut Buya Hamka, Tiang bendera di areal Masjid Agung ini difungsikan juga sebagai tiang gantungan untuk pelaksanaan hukuman gantung di masa pemerintahan Kesultanan Buton |
Tiang bendera itu didirikan tidak
lama setelah masjid dibangun. Kayu yang digunakan untuk tiang bendera tersebut
dibawa oleh pedagang beras dari Pattani, Siam (sekarang Thailand). Perahu
dagang selalu membawa kayu untuk persiapan mengganti bagian perahu yang rusak
di perjalanan, Setelah dagangan mereka habis dan hendak kembali ke Pattani,
sultan meminta agar kayu tersebut ditinggalkan untuk dijadikan tiang bendera.
Dahulu, setiap Jumat dipasang bendera kerajaan yang berwarna kuning, merah,
putih, dan hitam di tiang tersebut.
Total perangkat pengurus masjid
Keratorn itu berjumlah 60 orang, terdiri dari lakina agama, imam, empat khatib,
12 moji, dan 40 mukimi. Khatib dan moji melakukan tugasnya secara bergilir.
Perangkat semacam itu tak dimiliki masjid lain di Nusantara.
Masjid Agung Kraton Buton di malam hari |
Terdapat 12 pintu masuk ke dalam
masjid yang salah satu di antaranya berfungsi sebagai pintu utama. Pada bagian
depan masjid - di sebelah timur masjid, terdapat serambi terbuka. di dalam
masjid terdapat sebuah mihrab dan mimbar yang terletak secara berdampingan.
Keduanya terbuat dari batu bata yang di bagian atasnya terdapat hiasan dari
kayu berukir corak tumbuh-tumbuhan yang mirip dengan ukiran Arab.
kayu yang digunakan untuk
membangun masjid tersebut berjumlah 313 potong yang diidentikkan dengan jumlah
tulang pada tubuh manusia. Jumlah anak tangga masuk masjid 17 buah, sama
dengan jumlah rakaat salat umat Islam dalam sehari. Bedug masjid yang berukuran
panjang 99 cm dianalogikan dengan asmaul husna (99 sifat Allah), dan diameter
50 cm dimaknai sama dengan jumlah rakaat salat yang pertama kali diterima
Rasulullah. Pasak yang digunakan untuk mengencangkan bedug tersebut terdiri
dari 33 potong kayu yang dianalogikan dengan jumlah bacaan tasbih sebanyak 33
kali.
Di depan pintu utama di antara
dua selasar terdapat sebuah guci bergaris tengah 50 sentimeter dengan tinggi 60
sentimeter. Guci itu terhunjam ke lantai semen berlapis marmer. Guci tersebut
telah ditempatkan di situ sejak adanya masjid ini sebagai penampungan air untuk
berwudu
Sebuah lampu antik yang terbuat
dari perunggu bercabang tiga yang digantung tepat di tengah ruangan masjid ini.
Pada tiap-tiap cabang lampu gantung tersebut, tersedia tiga tempat untuk bola
lampu. Konon, lampu-lampu dengan model itu hanya terdapat di tiga tempat di
Indonesia, dua lagi terdapat di dalam Istana Negara Jakarta dan Keraton
Yogyakarta.
Masjid Agung Kraton Buton |
Tak jauh dari masjid, terdapat
makam raja terakhir sekaligus Sultan pertama Buton, Murhum yang juga dikenal
dengan Sultan Kaimuddin dan Halu Oleo (dalam bahasa Muna berarti delapan hari).
Nama Halu Oleo diberikan karena Murhum mampu menyelesaikan perang saudara
antara Konawe dengan Mekongga dalam waktu delapan hari.
Murhum adalah raja Buton pertama
yang menganut ajaran Islam. Sejak itu pula, sistem pemerintahan berubah dari
Kerajaan menjadi kesultanan. Makam Murhum terletak di belakang Baruga Keraton
Buton (balai pertemuan) yang berada di hadapan Masjid Agung Keraton Buton.
Tradisi Ramadahan di
Masjid Agung Kraton Buton
Pelaksanaan Shalat Tarwih di
beberapa malam Ramadhan, seperti malam pertama (Tembaana Bula), Malam Nuzul
Quran ke-17 (Qunua), malam 27 (Qadiri/ lailatur Qadar). Pada malam tersebut
shalat tarwih dilaksanakan tepat pada pukul 00.00 malam yang dirangkai dengan
sahur bersama yang dilakukan perangkat Syara Masjid Agung Keraton Buton bersama
pemerintah daerah. Tradisi itu masih terjaga hingga kini.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Dilarang berkomentar berbau SARA