Halaman

Senin, 21 Desember 2009

Masjid Kotagede, Masjid Tertua di Yogyakarta

Masjid Agung Kotagede

Berkelana ke Kotagede tidak akan lengkap jika tidak berkunjung ke Masjid Kotagede, bangunan tempat ibadah islam yang tertua di Yogyakarta. Bangunan itu merupakan tempat yang seringkali hanya dilewati ketika wisatawan hendak menuju kompleks pemakaman raja Mataram, padahal pesona bangunannya tak kalah menarik. Tentu, banyak pula cerita yang ada pada setiap piranti di masjid yang berdiri sekitar tahun 1640-an ini.

Sebelum memasuki kompleks masjid, akan ditemui sebuah pohon beringin yang konon usianya sudah ratusan tahun. Pohon itu tumbuh di lokasi yang kini dimanfaatkan untuk tempat parkir. Karena usianya yang tua, penduduk setempat menamainya "Wringin Sepuh" dan menganggapnya mendatangkan berkah. Keinginan seseorang, menurut cerita, akan terpenuhi bila mau bertapa di bawah pohon tersebut hingga mendapatkan dua lembar daun jatuh, satu tertelungkup dan satu lagi terentang. 

Berjalan mendekat ke arah kompleks masjid, akan ditemui sebuah gapura yang berbentuk paduraksa. Persis di bagian depan gapura, akan ditemui sebuah tembok berbentuk huruf L. Pada tembok itu terpahat beberapa gambar yang merupakan lambang kerajaan. Bentuk paduraksa dan tembok L itu adalah wujud toleransi Sultan Agung pada warga yang ikut membangun masjid yang masih memeluk agama Hindu dan Budha.

Interior Masjid Agung Kotagede dengan garis sajadah yang dimiringkan menyesuaikan dengan arah kiblat saat ini.

Memasuki halaman masjid, akan ditemui sebuah prasasti yang berwarna hijau. Prasasti bertinggi 3 meter itu merupakan pertanda bahwa Paku Buwono pernah merenovasi masjid ini. Bagian dasar prasasti berbentuk bujur sangkar dan di bagian puncaknya terdapat mahkota lambang Kasunanan surakarta. Sebuah jam diletakkan di sisi selatan prasasti sebagai acuan waktu sholat.

Adanya prasasti itu membuktikan bahwa masjid Kotagede mengalami dua tahap pembangunan. Tahap pertama yang dibangun pada masa Sultan Agung hanya merupakan bangunan inti masjid yang berukuran kecil. Karena kecilnya, masjid itu dulunya disebut Langgar. Bangunan kedua dibangun oleh raja Kasunanan Surakarta, Paku Buwono X. Perbedaan bagian masjid yang dibangun oleh Sultan Agung dan Paku Buwono X ada pada tiangnya. Bagian yang dibangun Sultan agung tiangnya berbahan kayu sedangkan yang dibangun Paku Buwono tiangnya berbahan besi.

Bangunan inti masjid merupakan bangunan Jawa berbentuk limasan. Cirinya dapat dilihat pada atap yang berbentuk limas dan ruangan yang terbagi dua, yaitu inti dan serambi. 

Sebuah parit yang mengelilingi masjid akan dijumpai sebelum memasuki bangunan inti masjid. Parit itu di masa lalu digunakan sebagai saluran drainase setelah air digunakan wudlu di sebelah utara masjid. Kini, warga setempat memperbaiki parit dengan memasang porselen di bagian dasar parit dan menggunakannya sebagai tempat memelihara ikan. Untuk memudahkan warga yang ingin beribadah, dibuat sebuah jembatan kecil yang terbuat dari kayu-kayu yang disusun berderet.

Pada bagian luar inti masjid terdapat bedug tua yang bersebelahan dengan kentongan. Bedug yang usianya tak kalah tua dengan masjidnya itu merupakan hadiah dari seseorang bernama Nyai Pringgit yang berasal dari desa Dondong, wilayah di Kabupaten Kulon Progo. Atas jasanya memberikan bedug itu, keturunan Nyai Pringgit diberi hak untuk menempati wilayah sekitar masjid yang kemudian dinamai Dondongan. Sementara bedug pemberiannya, hingga kini masih dibunyikan sebagai penanda waktu sholat.

Kolam berair jernih disekeliling masjid.

Sebuah mimbar untuk berkhotbah yang terbuat dari bahan kayu yang diukir indah dapat dijumpai di bagian dalam masjid, sebelah tempat imam memimpin sholat. Mimbar itu juga merupakan pemberian. Saat Sultan Agung menunaikan ibadah haji, ia mampir ke Palembang untuk menjenguk salah satu adipati di tempat itu. Sebagai penghargaannya, adipati Palembang memberikan mimbar tersebut. Mimbar itu kini jarang digunakan karena sengaja dijaga agar tidak rusak. Sebagai pengganti mimbar itu, warga setempat menggunakan mimbar kecil untuk kepentingan ibadah sehari-hari.

Berjalan mengelilingi halaman masjid, akan dijumpai perbedaan pada tembok yang mengelilingi bangunan masjid. Tembok bagian kiri terdiri dari batu bata yang ukurannya lebih besar, warna yang lebih merah, serta terdapat batu seperti marmer yang di permukaannya ditulis aksara Jawa. Sementara tembok yang lain memiliki batu bata berwarna agak muda, ukuran lebih kecil, dan polos. 

Vibe dari masa silam sangat terasa disini.

Tembok yang ada di kiri masjid itulah yang dibangun pada masa Sultan agung, sementara tembok yang lain merupakan hasil renovasi Paku Buwono X. Tembok yang dibangun pada masa Sultan agung berperekat air aren yang dapat membatu sehingga lebih kuat.Masjid yang usianya telah ratusan tahun itu hingga kini masih terlihat hidup. 

Warga setempat masih menggunakannya sebagai tempat melaksanakan kegiatan keagamaan. Bila datang saat waktu sholat, akan dilihat puluhan warga menunaikan ibadah. Di luar waktu sholat, banyak warga yang menggunakan masjid untuk tempat berkomunikasi, belajar Al Qur'an, dan lain-lain. (artikel dari yogyes.com).

-------------------------------ooOOOoo-------------------------------------

Lanjutkan Membaca Artikel Masjid Pathok Negara Lainnya

Kamis, 17 Desember 2009

Masjid Jami' Sultan Abu Bakar Johor Bahru, Malaysia

Masjid Jami' Sultan Abu Bakar Johor Bahru

Urusan kantor di Johor Bahru, Negeri Johor Darul Takzim, Malaysia, kelar menjelang ashar. Berdua dengan temanku yang pernah lama tinggal disana sepakat meminta sopir taksi mengantar kami ke masjid terdekat untuk sholat ashar. Kontan saja Supir taksi menawarkan untuk mengantar kami ke pusat Bandaraya Johor Bahru, sekalian pelesir disana katanya.

Dia mengantarkan kami ke Masjid Sultan Abu Bakar di pusat Bandar. Bangunan masjid yang begitu indah meskipun umurnya “terlihat sudah sangat tua” berlokasi di sebuah bukit berdampingan dengan bandar Johor Baru dan mempunyai pemandangan indah Selat Johor menghadap langsung ke Singapura tempat dimana ibukota kerajaan Johor pertama kali berada. Bang supir tak tahu persis kapan masjid itu di bangun dia hanya tahu, masjid nan indah itu dibangun oleh Sultan Abu Bakar raja Johor yang begitu termasyur sebagai “Bapak Johor Modern”

Masjid Jamek Sultan Abu Bakar
Masjid Sultan Abu Bakar, 80000 Johor Bahru, Johor, Malaysia
+60 7-223 4935




Masjid bergaya Eropa dengan sentuhan Melayu itu tampak sekali terawat dengan baik. Hal yang patut di acungi jempol kepada pemerintah setempat atas perhatian yang luar biasa terhadap peninggalan kejayaan masa lalu. Masuk ke sana serasa terlempar ke masa lalu dimasa ke emasan kerajaan Johor masa lalu.

Bagian dalam masjid mengingatkanku pada photo photo interior masjidil Aqso di Palestina. Lengkap dengan ornamen yang terpasang di pilar pilar masjid. Bentuknya yang memanjang, pilar yang berderet dari arah pintu masuk hingga ke mimbar. Di pintu masuk ke ruang sholat utama terdapat cawan antik kuningan yang aku sendiri tak pasti kegunaannya untuk apa. Tak ada apapun yang diletakkan di tempat itu. Beberapa sumber mengatakan cawan itu dimasa lalu dipakai untuk meletakkan kemenyan wangi untuk pengharum ruangan. Kini masih di tempatkan ditempatnya meskipun tak lagi di fungsikan.

Interior Masjid Jami' Sultan Abu Bakar Johor Bahru

Hasil pencarian di google memberi informasi bahwa masjid Sultan Abu Bakar dibangun dibangun Oleh Sultan Abu Bakar di tahun 1892 hingga 1900. peletakan batu pertama dilaksanakan pada 1 Muharam 1310 H (26 Juli 1892) dan baru mulai dilaksankan pembangunan setahun kemudian (1311H/1893M) proses pembangunan memakan waktu 8 tahun. Diresmikan pemakaiannya oleh Sultan Ibrahim (putera dari Sultan Abu Bakar) pada 1 Syawal 1319H / 2 Februari 1900) dimulai dengan Sholat Jum’at. Peresmian itu turut dihadiri Menteri Besar Johor Dato Ja’far Bin Haji Muhammad. Keseluruhan pembangunan masjid menelan biaya 400 ribu ringgit kala itu.

Ba’da sholat asyar kami masih punya sedikit waktu untuk menikmati keindahan “masjid tua terindah di Malaysia” itu dibawah cahaya langit senja yang perlahan lahan turun sebelum kami harus bergegas kembali ke hotel lalu ngebut ke bandara senai mengejar penerbangan terahir kembali ke Jakarta.

Tersisa harapan suatu hari nanti berkesempatan untuk kembali kesana.***

Pintu masuk ke ruang sholat utama, masih ada perangkat pembakar wewangian di depan pintu, meski sudah tidak dipergunakan lagi.
Selasar timur
Tangga menuju ke menara
Mimbarnya yang antik dan unik
Selasar selatan
Speaker antik di salah satu menara masjid Jami Sultan Abu Bakar
Menara Timur

-----------------------

Baca Juga Artikel Masjid Malaysia Lain-nya